BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Koruptor, Pengkhianat Bangsa

Koruptor, Pengkhianat Bangsa

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.16

Koruptor, Pengkhianat Bangsa
Oleh Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara
FISIP-UI



HIDUP mewah para koruptor yang su dah terjerat proses hukum menjadi
bukti bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)
belum menjadi bagian dari kesatuan gerak pemberantasan dan pencegahan
penyakit bangsa nomor satu di Indonesia.

Semakin terkuak bongkahan puncak gunung es ketika Gayus melenggang ke
Bali dengan mudah walau sudah menjadi pesakitan di Mako Brimob Kelapa
Dua. Sesuatu yang tidak mungkin untuk kejahatan lainnya walaupun tidak
disebutkan dalam UU sebagai kejahatan luar biasa.

Kesimpulannya, belum cukupkah energi untuk menggerakkan proses
penyembuhan penyakit kronis tersebut dari bumi Indonesia?
Peyorasi kejadian luar biasa Riggs (1960) menyimpulkan adanya budaya
formalisme yang kuat tumbuh dalam tubuh bangsa negara berkembang
termasuk Indonesia.
Dalam konsep agama, formalisme itu biasa disebut dengan istilah
munafik, yakni adanya beda antara yang tertulis dan kenyataannya dan
beda antara yang terucap dan apa yang dilakukan.

Ciri-ciri penyakit itu yang mengkhawatirkan adalah me makan potensi
positif dari pihak lain yang belum terpengaruh atau masih lemah
derajat formalismenya. Pelakunya, orang munafik, ditandai keinginannya
diterima semua kalangan dan akhirnya meminta orang lain berperilaku
sama.

Dengan demikian, kemunafikan akan selalu meminta korban. Oleh karena
itu, justru orang yang baik akan tertelan.
Akhirnya, ketika semua orang menjadi munafik, orang yang tidak munafik
atau tidak berpaham formalisme malah dianggap aneh.

Hingga saat ini, budaya formalisme menjadi perilaku bersama bangsa
Indonesia.
Dengan demikian, di Indonesia, orang yang tidak formalistis malah
dianggap aneh. Oleh karena itu, jika menganggap bahwa korupsi itu
kejadian luar biasa betul-betul dijalankan dan diberantas, orang itu
akan dianggap aneh orang tersebut. Dalam hal ini, tengah terjadi
penyusutan makna (peyorasi) mengenai korupsi sebagai kejahatan luar
biasa sejak UU yang mengatur KPK diberlakukan.

Struktur nilai dan struktur sosial-politik juga dipahami bangsa
Indonesia tidak mengarah pada kesatuan pemaknaan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa. Namun, dalam retorika, diskusi, dalam
pemandangan politik semua nampak sepakat menuliskan dan mengatakan
sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pada saat perwujudan menghilang
dan lenyap sebagai penyakit, terjadi penyusutan yang luar biasa. Itu
adalah sebuah asa. Itu adalah sebuah kemunafikan yang nyata dalam
praktik negara Indonesia. Ada hubungan yang kuat antara pemberantasan
dan pencegah an perilaku korupsi bangsa Indonesia dengan kemunafikan
ini.
Suntikan energi Formalisme di Eropa ditepis dengan gerakan struktur
yang sangat kuat dengan memberikan power dan energi kepada negara
untuk otonom dan menjadi gerakan kultural yang masif merasuki
rasionalitas masyarakat Eropa.
Telah ratusan tahun ini menjadi sebuah gerakan nilai yang terintegrasi
dalam masyarakatnya, menjadi etika moral yang berpengaruh.

Kini masyarakat Eropa menghadapi musuh yang tidak ringan, yaitu
serangan terhadap celah-celah ketidaklengkapan struktur formal
tersebut. Namun, kemajuan ilmu dan teknologi mereka manfaatkan untuk
menjadi garda penepis rapuhnya struktur tersebut. Kultur formalisme
sudah lama dikubur di sana. Jangan main main dengan orang Barat kalau
sudah berjanji. Buat mereka janji adalah harga mati dan merupakan
ukuran kredibilitas seseorang.

Eropa dan negara maju menghadapi penyakit lain yang berupa serangan
pembangkangan, baik terlihat maupun tidak.

Dalam ekonomi politik di sebutkan dengan jelas sebagai a sikap
`oportunis'. Yang terlihat r tentu mudah ditumpas, yang a sulit adalah
pembangkangan tidak terlihat. Sebetulnya ka E rena rasionalitas
masyarakat t Eropa kini terbangun sedemikian rupa, wajar jika salah
satu rujukan, misalnya North (1993) mengatakan bahwa penyakit-penyakit
kekinian di atasi dengan amandemen terus-menerus peraturan yang ada.

Pembangkangan masyarakat Eropa hanya soal sikap oportunis yang dapat
dicegah jika seperangkat aturannya diperbaiki karena akan dipatuhi,
kemudian direspons kembali untuk mencari kelemahannya begitu berulang
sampai akhir zaman.

Di negara berkembang bukan saja sikap oportunis, melainkan juga
menghadapi kemunafikan dalam praktek negara (baca: formalisme) yang
menjadi musuh terlihat, tetapi tidak mudah ditumpas karena menyangkut
kebiasaan dan perilaku bersama.

Formalisme itu harus ditantang dengan gerakan ideologis yang sarat
nilai dan berefek pada p e r u b a h a n k u l t u r.
Gerakan itu bisa didorong dengan mengembalikan proses penyusutan.
Terobosannya adalah menempatkan posisi ko rup si pada pengkhianatan
bangsa.

Pengkhianatan dan pelakunya (pengkhianat) dalam tradisi Eropa yang
didahului kemajuan peradaban Islam disematkan yang utama adalah pada
orang munafik.

Dengan kata lain, orang yang komitmennya rendah bahkan yang
bertentangan dengan komitmennya ditempatkan sebagai pengkhianat.
Oleh karenanya dalam manajemen negara bangsa-bangsa tersebut selalu
ditumpas.
Mereka keras memerangi kaum munafik. Mereka keras mengatasi orang yang
komitmennya rendah bahkan tidak memiliki komitmen. Koruptor amatlah
tinggi kadarnya sebagai orang munafik.

Untuk menjadi koruptor kelas teri harus melewati dulu atau berlatih
dahulu menjadi orang munafik, apalagi koruptor kelas kakap. Mereka
terlatih dan terdidik oleh lingkungan maupun oleh strukturstruktur
nilai, sosial-politik yang ada. Dengan demikian, pengkhianatan itu
terlatih.

Jika kita tempatkan koruptor itu pengkhianat, besar sekali energi
untuk menumpasnya.
Efeknya juga adalah adanya gerakan kultural yang bisa berimbas pada
rasionalitas bangsa. Gerakan itu menjadikan kita menyisakan persoalan
manajemen organisasi negara hanya pada soal oportunis manusia.

Soal ini sampai kapan pun akan hidup hingga akhir zaman sehingga
justru dituntut sistem organisasi negara harus semakin lengkap. Bahkan
sikap itu juga hidup dalam struktur organisasi informal.

Dengan begitu, sikap-sikap tersebut dapat diminimalisasi sedemikian
rupa melalui perbaikan sistem (peraturan perundangan) agar tidak
mengganggu efektivitas manajemen organisasi negara.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/26/ArticleHtmls/26_11_2010_014_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: