Oleh Prof Dr M Bashori Muchsin, MSi Guru Besar dan Pembantu Rektor II
Universitas Islam Malang
EMANG ada idiom ‘With money you can buy blood but not life’ atau
berarti, ‘Dengan uang, Anda bisa membeli darah, tapi tidak bisa
membeli hidup’. Namun, benarkah pepatah ini berlaku di Indonesia?
Gayus, misalnya, sudah menunjukkan dirinya berduit dan bisa menentukan
hidupmatinya penegak hukum. Berbagai jenis pemberitaan telah
menyebutkan kemampuannya dalam mengucurkan uang bernilai puluhan juta
rupiah setiap bulan, meski dirinya berada di dalam tahanan.
Uang telah digunakannya sebagai senjata istimewa yang bisa mengubah
atau mendesain keadaan, dari kondisi yang kurang menguntungkan atau
menyiksa menjadi kondisi serbamenyenangkan, dari atmosfer neraka
menjadi surga.
Siapa yang tahan di penjara atau menghuni rutan berlamalama? Siapa
yang mau menderita secara fi sik dan psikologis di tahanan, padahal
dirinya terbiasa hidup mewah, makan enak, dan barangkali akrab dengan
dunia hiburan? Kalau sampai Gayus bisa berjalan-jalan di luar tahanan
seperti layaknya orang merdeka dan bebas dari perkara hukum,
sebenarnya apa yang dilakukannya mencerminkan keinginan setiap orang
(tahanan).
Sayangnya, tahanan selain Gayus tidak mempunyai kemampuan seperti yang
dimiliki Gayus, sehingga dirinya tidak bisa keluar dari penjara
(rutan). Gayus memiliki uang yang bisa menentukan hidupmatinya
seseorang dan bahkan
negara.
Faktanya, Gayus memang mempunyai uang yang jumlahnya tidak bisa
diketahui secara pasti. Meski aparat berhasil membongkar dan
mengamankan kekayaan Gayus yang diduga berkaitan dengan kejahatan yang
dilakukannya, aparat juga meyakini sebenarnya jumlah kekayaan Gayus
masih banyak.
Aparat atau siapa pun yang dipercaya menangani kasus mafia memang
seharusnya cerdas membaca setiap sikap dan sepak terjang tersangka/
terdakwanya, baik ketika di luar tahanan maupun dalam tahanan. Sebab,
sosok demikian ini mestilah akan berusaha memengaruhi, menjinakkan,
atau mengalahkan setiap elemen negara yang berperan menjaringnya.
Sosok yang sedang bermasalah itu logis saja jika berulah dan berusaha
menunjukkan kehebatannya. Ia mempunyai senjata yang bisa digunakan
untuk membeli, menguasai, dan membunuh mo ral aparat yang berperan
menanganinya.
Senjata yang digunakan ini merupakan alat utama melumpuhkan keyakinan
atau mengoyak integritas moral aparat.
Kalau kode etik profesi aparat bisa dimatikan, apakah kita masih layak
menyebut negeri ini masih bernyawa? Sosok itu paham dalam membaca
realitas di jagat hukum negeri ini, yang secara u m u m e l e m e n p
e n e g a k hukum nya rentan tergoda oleh virus yang bernama uang.
Dengan kondisi aparat yang rentan ini, sosok yang berada di jalur
pembangkangan hukum (legal disobedience), men
jadikannya sebagai objek yang digiring untuk dijadikan mitra kolusi
dan berkolaborasi.
Virus uang memang telah membuat elemen penegak hukum atau rechstaat
menjadi karut-marut, lumpuh, dan merana. Virus ini telah membuat
aparat ikut terlibat dalam praktik-praktik malapraktik dan malversasi
profesinya.
Mereka tidak takut Profesi mereka ternoda dan kehilangan kredibilitas,
asalkan saat berhubungan dengan orang yang bermasalah secara hukum ini
mereka mendapatkan keuntungan (uang) besar.
Put not your trust in money, but put your money in trust atau jangan
Jangan letakkan kepercayaan Anda pada uang, tetapi letakkan uang Anda
dalam kepercayaan.
Demikian Oliver We n d e l l H o l m e s mengingatkan kalangan
profesional bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena u a n g , t e
t a p i b e rfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Dengan kalkulasi materialistik tersebut, masyarakat memang layak
mengidap ketakutan besar kalau masa depan Indonesia nantinya bukannya
menjadi lebih baik, namun semakin buram, khususnya dalam dunia hukum.
Meski banyak komisi atau institusi bertajuk rehabilitasi dunia hukum
didirikan negara, akibat mentalitas bervirus uang yang terus dipeli
hara dan dibudayakannya, wajar kalau ekspektasi terkikis dan
terdegradasi.
Tidak ada gunanya negeri ini menyandang predikat sebagai negara
konstitusi, yang di dalamnya menggariskan pakem negara hukum atau
berdoktrin siapa pun wajib dipertang
gungjawabkan secara hukum tanpa diskriminasi, kalau saja dalam
realitasnya negeri ini berada dalam genggaman erat komunitas mafia
yang bisa membuka dan mengunci pintu peradilan secara leluasa dan
liberal.
Begitu pun apa gunanya rutan, lembaga pemasyarakatan, atau jeruji
besi, kalau di dalamnya berjaya kekuatan mafia, yang bisa membuat
pintunya terbuka lebar ketika virus uang menyerangnya.
Kebenaran dan kejujuran
hanya diperlakukan sebagai nyanyian usang atau aksesori struktural
yang dikalahkan oleh praktik-praktik pembangkangan yang mendapatkan
tempat longgar. Komunitas oknum pembangkang merasa mendapatkan lisensi
tirani yudisial untuk mencari keuntungan pribadi dan kroni sebanyak-
banyaknya.
Pengkhianatan norma atau penyelingkuhan etika jabatan yang digadaikan
pada penjahat seperti yang dilakukan petugas rutan seolah sebagai
keharusan budaya di kalangan oknum demi mendulang un tung berlaksa.
Atau barangkali menurut nya, dengan alat ru tan, mereka (petu gas)
bisa memba ngun kerajaan eks klusif yang mengun tungkannya.
Tidak salah jika kemudian mencuat tuduhan bahwa pengkhianatan nor ma
yuridis tersebut sudah sampai pada ranah kewajiban: di kalangan
oportunis dan kriminalis rutan.
Mereka menggalang kekuatan, kerja sama sistemis, atau jaring an
terorganisasi un tuk membuka dan mengamankan kran guna mengalirkan
uang berlimpah dari siapa pun yang ber masalah secara hu kum, termasuk
ka langan pencari kea dilan.
Mereka itu menja di semacam kekuat an eksklusif yang tidak gampang di
dekonstruksi oleh kekuatan lain. Me reka telah menyiapg laba-laba yang
bisa kan jaring laba-laba yang bisa digunakan untuk menggiring
bermacam orang supaya jadi konsumen yang patuh. Mereka telah
memproduksi budaya yang dapat merangsang kaum idealis atau pejuang
hukum menjadi frustrasi akibat budaya bobrok yang masih
dipertahankannya.
Katakanlah (barangkali) aparat rutan yang tersuap tetap bisa tertawa
menikmati kemenangan dan punya imunitas (kekebalan) hukum ketika
berhadapan dengan napi atau keluarga tersangka/terdakwa yang menyuap.
Akan tetapi secara moral, apa yang dilakukan elemen penegak hukum ini
tetaplah penyelingkuhan profesi.
Perilaku aparat rutan yang berposisi tersuap ini sama artinya dengan
memperlakukan institusi peradilan, meminjam istilah Antony F Susanto
(2004) layaknya toko swalayan.
Pasalnya, elemen peradilan terjerumus menjadikan institusi yang
diamanatkan kepadanya sebagai toko yang berjualan hukum atau layanan
privasi rutan yang diserahkan kepada konsumen atau pasar untuk membeli
dan menikmati sesuai dengan seleranya.
Apa yang dilakukan aparat rutan itu mencerminkan perilaku kamufl ase
yang dibenarkan sebagai regulasi tak tertulis yang mendorong setiap
tersangka/terdakwa atau keluarga untuk mengiblatinya.
Kriminalisasi prosedur penanganan tersangka/terdakwa di rutan ini
mencerminkan mental manusia yang suka mempertahankan sikap-sikap
buruknya. Di antara mental buruk yang melekat dalam diri manusia
Indonesia adalah mental hipokrit, menerabas (suka mempermainkan
aturan), dan etos kerjanya lemah. Mental ini merupakan gambaran dari
manusia palsu, suka ambivalensi, berpribadi ganda atau pecah (split of
personality), termasuk mengambivalenkan profesinya.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar