PRIVATISASI DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN
Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, berupaya
memperbaiki akses ke perguruan tinggi negeri (PTN) bagi semua warga
dengan menaikkan kuota penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi
bersama minimal 60 persen. Selama hampir satu dekade, terutama sejak
diberlakukannya perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) di
beberapa PTN, penjaringan mahasiswa baru secara bersama di sejumlah
PTN dan PT BHMN banyak yang kurang dari 50 persen, bahkan di PT BHMN
ada yang hanya 10 persen. Itu artinya, ketentuan baru tersebut
merupakan angin segar bagi warga kebanyakan untuk mengakses pendidikan
tinggi di PTN.
Pasal 53-B PP tersebut menyebutkan: (1) Satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah wajib menjaring peserta didik baru
program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit
60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap
program studi pada program pendidikan sarjana. (2) Pola penerimaan
secara nasional sebagaimana dimaksud di atas tidak termasuk penerimaan
mahasiswa melalui penelusuran minat dan bakat atau bentuk lain yang
sejenis. (3) Peserta didik baru yang terjaring melalui pola penerimaan
secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk peserta
didik yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua atau pihak
yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.
Bagi kami, yang sejak awal menolak privatisasi PTN menjadi PT BHMN,
termasuk menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), bunyi
pasal 53-B ini merupakan akomodasi terhadap aspirasi kami yang
menuntut pengembalian seluruh PT BHMN menjadi PTN dan pembatalan UU
BHP. Dapat dikatakan ini adalah win-win solution dari tarik-menarik
kepentingan antara pemerintah dari para penolak PT BHMN dan UU BHP.
Meskipun secara garis besar PP Nomor 66 Tahun 2010 ini merupakan upaya
kanibalisasi beberapa pasal dalam UU BHP, terutama menyangkut tata
kelola, untuk hal
hal yang prinsip ada perbedaan karena peraturan pemerintah ini
mengembalikan peran negara yang lebih besar untuk proses pencerdasan
bangsa. Untuk itu, secara pribadi saya perlu mengapresiasi keberadaan
pasal 53-B di atas. Pasal ini menunjukkan adanya kemauan pemerintah
untuk mendengarkan suara warga.
Hal lain yang perlu diapresiasi adalah keberadaan pasal 220-A dan 220-
B mengenai pengelolaan pendidikan PT BHMN, se
perti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut
Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera
Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga,
termasuk pengelolaan keuangannya yang perlu menyesuaikan dengan
peraturan ini dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) paling lama 3
tahun sebagai masa transisi sejak peraturan pemerintah ini diundangkan
atau paling akhir 31 Desember 2012. Konsekuensi dari pasal ini adalah
dihapusnya status PT BHMN dan berubah menjadi BLU. Dalam status BLU,
peran pemerintah masih tetap menonjol sehingga memudahkan masyarakat
menyampaikan kontrol. Selama ini muncul kesan bahwa PT BHMN begitu
otonomnya sehingga pemerintah pun tidak bisa mengintervensi sama
sekali, termasuk ketika PT BHMN tersebut melakukan rekrutmen mahasiswa
baru dengan menjadikan uang sebagai dasar penerimaannya.
Perluasan akses Keberadaan pasal 53-B dalam PP Nomor 66 Tahun 2010
tersebut memiliki dua makna penting. Pertama, bagi PTN yang
bersangkutan, pasal ini dapat mengembalikan jati diri PTN sebagai
institusi yang mencerdaskan bangsa dan sekaligus menjaga kebenaran.
Selama satu dekade terakhir, PTN dan PT BHMN telah terjebak pada
proses kapitalisasi melalui penerimaan mahasiswa baru yang menjadikan
uang sebagai dasar diterima-tidaknya seseorang sebagai calon mahasiswa
baru. Berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru dikem bangkan oleh PTN
dan PT BHMN serta jalur-jalur tersebut lebih dikenal sebagai usaha
untuk menarik uang sebesar-besarnya dari masyarakat. Model penerimaan
mahasiswa baru melalui seleksi bersama, seperti UMPTN (sekarang
menjadi SNMPTN), hanya menyisakan 10-50 persen, sehingga akses orang
miskin terhadap pendidikan tinggi mengecil.
Keberadaan PT BHMN selama ini, selain telah memarginalkan golongan
miskin, telah menghilangkan jati diri PT sebagai pengembang ilmu
pengetahuan, teknologi, kebudayaan, serta penjaga kebenaran; karena
sibuk dengan urusan-urusan manajerial dan keuangan. Segala sumber daya
yang ada dialokasikan untuk proses kapitalisasi kampus atas nama
otonomi kampus, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah otonomi dalam
pendanaan saja. Betul, kondisi fisik kampus terlihat makin bagus, tapi
sebetulnya kurang didukung oleh sendi-sendi kehidupan yang merakyat.
Sebaliknya, kampus semakin asing dari orang miskin dan cenderung
memarginalkan kaum miskin. Ini ironis karena salah satu
sumbangan kaum kampus mestinya adalah bagaimana mengatasi kemiskinan,
tapi yang terjadi justru kampus sendiri memarginalkan kaum miskin.
Pengembalian PT BHMN menjadi PTN atau BLU diharapkan mendorong PTN
kembali berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan, dan sebagai penjaga kebenaran, yang tetap harus kritis
terhadap segala kebijakan yang tidak selaras dengan misi kemanusiaan.
Hal itu diharapkan dapat terjadi karena pengelola PTN tidak lagi
disibukkan oleh urusan keuangan dan manajerial. Pemerintah diharapkan
bisa lebih meningkatkan alokasi dananya untuk PTN, sedangkan urusan
manajerial diharapkan bukan sebagai tujuan, melainkan sarana saja
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.
Makna kedua, pasal ini membuka akses yang lebih luas dan mudah bagi
semua warga untuk masuk ke PTN, termasuk PTN favorit. Luas dalam
pengertian strata sosial yang heterogen, termasuk anak petani dan
pedagang kecil, sedangkan mudah dalam pengertian hanya satu variabel
dasarnya dasar penerimaannya, yaitu kemampuan akademiknya, baik yang
ditunjukkan melalui nilai rapor maupun nilai tes. Mudah itu juga dalam
pengertian hanya melalui satu jalur yang dilaksanakan secara bersama-
sama oleh semua PTN di Indonesia. Kebijakan ini jelas dapat membuka
akses bagi anak-anak petani kecil, pedagang kecil, pegawai negeri, dan
sejenisnya untuk dapat kuliah di PTN seperti yang terjadi sebelum
dekade 2000-an, sehingga persentase orang miskin di PTN terkemuka
dapat ditingkatkan dari hanya 4 persen menjadi 10 persen.
Pola penyaringan mahasiswa baru melalui tes bersama itu tidak akan
menurunkan mutu PTN kita, sejauh ada komitmen tinggi dari pemerintah
untuk mendukung pendanaannya. Pemerintah lebih baik memotong subsidi
untuk energi (bahan bakar minyak dan listrik), untuk selanjutnya
dialihkan buat pendidikan agar pendidikan tinggi yang murah dan
bermutu bukan impian, melainkan betul-betul dapat diwujudkan dalam
kebijakan nyata. Bukankah subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh
golongan kaya saja?
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar