Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics
without strategy is the noise before defeat.
Sun Tzu
Untuk memenangkan perang diperlukan strategi. Ini hal yang jelas dan
tidak perlu diperdebatkan.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada Desember
2009 menyatakan perang melawan korupsi, logika mengatakan bahwa
Presiden tentu sudah memiliki strategi khusus untuk memenangkan perang
tersebut.
Satu tahun hampir berlalu sejak pidatonya, situasi pemberantasan
korupsi di Indonesia tetap saja jalan di tempat. Hal ini antara lain
dapat dilihat berdasarkan indikator skor Indonesia dalam Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) 2010 yang masih
belum bergeser dari angka 2,8.
CPI adalah instrumen pengukuran korupsi global yang dibuat
Transparency International dengan rentang indeks 0-10, di mana 0
dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih. Apakah ini berarti
pidato Presiden hanya sekadar janji politik dan pemerintah sama sekali
tidak memiliki strategi apa pun untuk berperang melawan korupsi?
Salah satu elemen paling penting dalam penyusunan strategi adalah
penetapan target capaian. Tanpa adanya target, strategi akan
kehilangan makna dan hanya akan berupa serangkaian aktivitas yang
tidak jelas arah tujuannya.
Dalam konteks strategi pemberantasan korupsi, pemerintah ternyata
punya target capaian. Capaian itu dapat ditemukan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Di dalamnya
ada target demokratisasi dan penegakan hukum dengan salah satu
indikator skor Indonesia dalam CPI 2014 adalah 5.
Secara metodologi, penetapan CPI sebagai target capaian pemberantasan
korupsi sebenarnya sangat bermasalah. Transparency International dalam
setiap publikasinya tentang CPI selalu mengingatkan bahwa CPI bukanlah
instrumen yang tepat untuk menganalisis kecenderungan perubahan
antarwaktu. Ini karena metode CPI menggabungkan indeks dari berbagai
sumber survei yang bisa berbeda dari tahun ke tahun sehingga perubahan
skor dapat terjadi akibat perubahan metode dan bukan representasi
perubahan sesungguhnya di lapangan. CPI lebih merupakan potret situasi
tahunan korupsi di suatu negara.
Sepertinya pemerintah tidak mengindahkan fakta ini ketika menyusun
target capaian RPJMN. Dalam penyusunan strategi perang, penentuan
target capaian yang tidak tepat merupakan kekeliruan fatal.
Bantai atau bumi hangus?
Dalam perang melawan korupsi, teori perang konvensional bisa
diaplikasikan. Teks-teks mengenai teori perang menyebutkan, paling
tidak ada dua tipe perang, yaitu war of annihilation dan war of
attrition.
War of annihilation atau perang pembantaian mengacu pada strategi
penghancuran total kemampuan berperang dalam beberapa atau bahkan
dalam satu pertempuran yang menentukan. Strategi perang ini digunakan
Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Austerlitz (1805) melawan pasukan
koalisi Kerajaan Rusia dan Australia.
Pertempuran Austerlitz secara efektif menghancurkan perlawanan negara-
negara Eropa terhadap kekuatan Kerajaan Perancis. Dalam perang melawan
korupsi, strategi perang pembantaian bisa diaplikasikan dalam bentuk
penyelesaian secara cepat dan tegas kasus-kasus korupsi besar,
penangkapan koruptor kelas kakap dan berpengaruh, dan pemberian
hukuman maksimal kepada para koruptor.
War of attrition atau perang bumi hangus adalah strategi perang yang
bertujuan menghancurkan kemampuan bertempur lawan lewat perang
berkepanjangan dan penghancuran sumber daya logistik dan personel.
Ketika Kerajaan Romawi diinvasi pasukan Carthage di bawah pimpinan
Hannibal Barca dalam perang Punic Kedua (218-202 SM), Konsul Fabius
menggunakan strategi bumi hangus.
Ia menghancurkan jalur suplai makanan dan bantuan personel dengan
membakar desa-desa dan ladang gandum yang akan dilewati pasukan
Cartaghe. Strategi Fabius ternyata efektif memaksa pasukan Cartaghe
mundur.
Dalam perang melawan korupsi, strategi bumi hangus dapat diaplikasikan
dengan cara menutup ruang gerak koruptor dalam birokrasi melalui
penerapan reformasi birokrasi, pengawasan yang efektif, dan penerapan
transparansi. Strategi ini bila diterapkan secara efektif akan menutup
ruang gerak dan jalur-jalur suplai uang haram para koruptor.
Strategi pencitraan
Sebagai mantan jenderal lulusan terbaik Akabri angkatan 1973, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tentunya sangat paham mengenai strategi
perang tersebut. Doktrin perang modern menyatakan bahwa strategi
perang berkembang dan saat ini strategi perang pembantaian ataupun
bumi hangus secara murni tidak aplikatif lagi. Sama halnya dalam
perang melawan korupsi, kedua strategi pertempuran tersebut harus
digunakan dengan melihat prioritas yang terukur secara jelas.
Persoalannya, pemerintah seakan tidak memiliki skala prioritas yang
jelas dalam pemberantasan korupsi. Penegakan hukum dan penindakan
kasusnya tanggung. Reformasi birokrasi dan penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik juga berjalan sangat lambat.
Seharusnya pemerintah membuat gebrakan berani dengan membongkar kasus-
kasus besar yang melibatkan orang-orang kuat, misalnya dengan
menindaklanjuti kesaksian Gayus Tambunan di persidangan atau kasus cek
pelawat di DPR. Prioritas reformasi birokrasi harus difokuskan pada
sektor-sektor strategis, seperti aspek perizinan usaha dan tata kelola
industri ekstraktif.
Alih-alih melakukan hal itu, pemerintah justru menerapkan strategi
pencitraan dengan institusi-institusi taktis dan ad-hoc yang ternyata
tidak efektif dalam memerangi korupsi yang sistemik. Strategi
pencitraan mungkin jitu untuk kepentingan pemenangan pemilu, tapi saya
kira tidak tepat bila diterapkan untuk berperang.
Dokumen Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi dan Rencana Aksi
Pemberantasan Korupsi 2010-2025 telah diluncurkan awal tahun ini oleh
Bappenas. Dokumen yang rencananya akan diresmikan sebagai peraturan
presiden, ternyata sampai saat ini belum ditandatangani sehingga tidak
punya kekuatan hukum. Ironis rasanya bahwa perang yang dicanangkan
oleh Presiden hampir setahun yang lalu ternyata hanya mengandalkan
taktik tanpa strategi.
Frenky Simanjuntak Manager Economic Governance Department Transparency
International Indonesia
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar