BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kebijakan Ekonomi Area Penuh Paradoks

Written By gusdurian on Kamis, 25 Juni 2009 | 13.01

Kebijakan Ekonomi Area Penuh Paradoks
Oleh Kiki Verico Dosen FEUI dan Managing Editor Journal of EFI


F RANCIS FUKUYAMA dalam buku fenomenalnya, The End of History,
menyebutkan bahwa esensi kehidupan adalah kebebasan individu. Ide
Fukuyama begitu memikat karena berangkat dari sifat lahiriah manusia,
yaitu cinta kebebasan. Secara politik, kita ingin bebas berpendapat dan
memilih pemimpin. Secara ekonomi, kita ingin bebas berusaha dan
melakukan konsumsi. Namun, bebas dalam ekonomi harus memperhatikan
batas, tidak boleh merugikan orang lain. Supaya adil harus ada
regulator. Itulah alasan mengapa ekonomi membutuhkan pemerintah. Namun,
kebijakan ekonomi pemerintah sering kali melahirkan paradoks. Kebijakan
yang awalnya bertujuan menciptakan keadilan bisa jadi justru
menghasilkan ketidakadilan
Katakanlah ada dua kantor, yaitu A (sosial) dan B (liberal). Kantor A
memberikan gaji yang sama untuk semua karyawan tanpa melihat
produktivitas, sedangkan kantor B memberikan gaji sesuai produktivitas
karyawannya. Pemimpin kantor A menganggap bahwa gaji yang sama untuk
semua orang adalah adil, sedangkan bagi pimpinan kantor B, gaji yang
adil adalah ketika seseorang dibayar sesuai produktivitasnya. Semakin
rajin seorang karyawan kantor B, semakin banyak uang yang bisa ia
peroleh dan semakin bebas ia untuk melakukan konsumsi. Sebaliknya,
semakin rajin seorang karyawan kantor A, semakin rugi karena gajinya
sama dengan karyawan yang malas. Tidak adanya insentif membuat
produktivitas dan upah riil karyawan kantor A lebih rendah dari karyawan
kantor B. Kantor B meletakkan adil pada bingkai kompetisi dan hasil,
bukan pada persepsi pimpinan kantor
Defi nisi adil berdasarkan usaha itulah yang justru mendorong
produktivitas. Adil, yang didefi - nisikan sebagai sama rata dan sama
rasa tanpa mempertimbangkan usaha justru mematikan produktivitas.
Fenomena itulah yang disebut paradoks. Jeffrey Sachs dalam bukunya The
End of Poverty menunjukkan contoh kebijakan paradoks di Polandia dan
Bolivia, tapi dari arah yang berbeda. Awalnya kebijakan yang mereka
ambil dianggap tidak populis, namun hasilnya justru baik untuk rakyat
Polandia Sebelum 1 Januari 1990, Pemerintah Polandia memberlakukan
kebijakan kontrol harga (price controls). Pemerintah menetapkan harga
maksimal agar seluruh lapisan rakyat bisa membeli kebutuhan pokok.
Namun, kenyataan di lapangan harga kebutuhan pokok di Polandia naik
sampai 500%. Mengapa? Suplai terbatas. Produsen tidak memiliki insentif
untuk berproduksi karena harga jual sudah dipatok rendah oleh
pemerintah. Akibatnya, barang menjadi langka sehingga rakyat harus antre
berjamjam untuk mendapatkan ke butuhan pokok. Sering kali rakyat harus
mem beli barang di pasa gelap (black market) dengan harga yang jauh
lebih mahal
Ketika kebijakan kontrol harga dihapus Pemerintah Po landia, tidak sam
pai satu bulan, kebutuhan pokok melimpah dan harga tu run. Ekonomi
berjalan normal, dan rakyat dapat membeli barang dengan harga murah.
Penghapusan kebijakan kontrol har ga, kendati masa itu tidak populer,
ternyata mampu memajukan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan
mempercepat konvergensi ekonomi Polandia dengan Eropa Barat. Pengalaman
Polandia menunjukkan bahwa kebijakan populer seperti penetapan harga
kebutuhan pokok murah agar seluruh rakyat bisa membeli ternyata tidak tepat
Suplai kebutuhan pokok meningkat dan harga menjadi murah justru setelah
mekanisme pasar ‘dicangkokkan’ di sektor perdagangan
Bolivia Pada 1985, Bolivia mengalami hiperin fl asi akibat defi sit fi
skal yang berlebihan. Defi sit itu ditutupi Bank Sentral Bolivia (BCB)
dengan mencetak uang. Jumlah uang domestik meningkat tajam, sedangkan
devisa tidak bertambah. Akibatnya, nilai tukar peso Bo livia terhadap
US$ mengalami depresiasi hebat

Depresiasi nilai tukar membuat penerimaan devisa US$ dari hasil
penjualan minyak Bolivia mengalami penurunan tajam. Pada awalnya harga
minyak per liter adalah 250 ribu peso
Ketika nilai tukar 1 juta peso per dolar, harga minyak dalam US$ adalah
0,25 per liter. Depresiasi peso dari 1 juta menjadi 8,3 juta per US$
membuat harga minyak Bolivia dalam US$ menjadi sangat murah, yaitu 0,03
per liter. Penurunan harga minyak dalam US$ menimbulkan perbedaan har ga
yang men colok anta ra pasar domestik Bolivia dengan pasar luar negeri.
Perbedaan itu mendorong penyelundupan minyak dari Bolivia ke luar negeri
melalui Peru. Penyelundupan itu secara tidak langsung membuat Pemerintah
Bolivia menyubsidi konsumen luar negeri
Fiskal Bolivia semakin defi sit dan infl asi terus meningkat. Bila
penyelundupan tidak dihentikan, rakyat Bolivia akan semakin sengsara
akibat hiperinfl asi
Kebijakan yang diambil Pemerintah Bolivia ketika itu sangat tidak
populis, yaitu menaikkan harga minyak domestik. Tidak tanggungtanggung,
kenaikannya hampir 10 kali lipat dari 250 ribu peso menjadi 2,3 juta
peso per liter. Kebijakan itu membuat harga minyak Bo livia dalam US$
naik dari 0,03 menjadi 0,28. Tingkat harga yang sama seperti sebelum
terjadi depresiasi peso
Penyelundupan minyak ke luar negeri berhenti, defisit fiskal mulai
mengecil dan beban BCB untuk mencetak uang semakin menurun. Akibatnya,
infl asi terus turun dan rakyat kembali dapat membeli komoditi dengan
harga normal. Kebijakan meningkatkan harga domestik minyak di tengah
kondisi hiperinfl asi sangat tidak populis, tapi kebijakan itu terbukti
efektif menutup kebocoran fi skal dan mengurangi hiperinfl asi di
Bolivia, sungguh sebuah paradoks
Penutup Paradoks kebijakan ekonomi juga terjadi di Indonesia.
Liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia yang awalnya ditentang
karena dikhawatirkan akan menghasilkan kompetisi tidak sehat sehingga
merugikan rakyat, ternyata tidak terbukti. Liberalisasi justru membuat
tarif pulsa di Indonesia jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
ketika telekomunikasi masih dimonopoli pemerintah. Saat yang sama,
liberalisasi perdagangan di Asia Tenggara (AFTA) justru membuat harga
handphone (HP) impor menjadi murah karena tarif bea masuk turun menjadi
kurang dari 5%. Paradoks ekonomi liberal justru membuat tarif pulsa dan
HP menjadi murah dan menguntungkan rakyat
Berangkat dari logika paradoksial, bisa jadi bahwa sistem ekonomi yang
berpusat pada pemerintah kemungkinan hanya akan menghasilkan kroni yang
memperkaya diri sendiri. Kekuasaan ekonomi yang terlalu besar pada
pemerintah hanya akan menciptakan moral hazard. Filsuf Inggris, Lord
Acton, pernah menulis, “Power tends to corrupt absolute power corrupt
absolutely”. Sebaliknya, sistem ekonomi yang mengerti benar apa itu
mekanisme pasar justru menghasilkan pemerintah yang good governance
karena kepercayaan pada mekanisme pasar, secara alamiah, justru
mengurangi hegemoni pemerintah atas ekonomi
Lebih dari itu, mekanisme pasar tidak menihilkan peran pemerintah.
Pemerintah justru berperan penting untuk menyempurnakan mekanisme pasar
dengan memastikan bahwa ekonomi berjalan bebas (liberty), adil (equity),
dan pasti aman (security). Komoditas yang tidak bisa dihasilkan dari
mekanisme pasar, seperti jalan, jembatan, rambu lalu lintas, dan
lain-lain ‘murni’ menjadi tanggung jawab pemerintah. Banyaknya
paradoksial dalam logika ekonomi membuat kita harus hati-hati dalam
memberikan label ‘kebijakan antirakyat’. Kebijakan ekonomi yang dicap
tidak prorakyat, seperti liberalisasi belum tentu menyengsarakan rakyat,
bisa jadi sebaliknya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/25/ArticleHtmls/25_06_2009_018_004.shtml?Mode=0

Komnas Anak Sayangkan Sponsor Rokok dalam Film King

Komnas Anak Sayangkan Sponsor Rokok dalam Film King

By Republika Newsroom


JAKARTA -- Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) menyambut
baik film "King" yang ditayangkan di bioskop mulai 25 Juni ini. Film
yang mengangkat tema anak-anak dan nasionalisme ini merupakan angin
segar dalam perfilman nasional yang saat ini didominasi oleh film--film
horor dan komedi porno.

Meski demikian, Komnas Anak menyayangkan keterlibatan salah satu produk
rokok dalam film King. Film yang mengangkat tema anak-anak yang
diproduksi oleh Alenia Pictures ini secara tidak langsung membenarkan
penghancuran generasi bangsa yang dilakukan oleh industri rokok. "Sebab,
rokok adalah satu-satunya produk legal yang membunuh separuh dari
konsumennya," kata Ketua Komnas Anak, Seto Mulyadi, Kamis (25/6).

Seto mengungkapkan, dari hasil penelitian, promosi dan sponsor rokok
terbukti merangsang aspek kognitif anak untuk merokok. Selain itu, iklan
atau sponsor rokok juga mendorong anak untuk tetap terus merokok. "Serta
mendorong perokok anak yang sudah berhenti merokok untuk kembali
merokok," ungkap Seto.

Agresifitas pemasaran iklan rokok, tutur Seto, telah menyebabkan jumlah
prokok anak mengalami lonjakan yang signifikan. Prevalensi perokok
remaja usia 15-19 meningkat sebanyak 144 persen selama tahun 1995 hingga
2004. Dari 13,7 persen di tahun 1995 menjadi 32,8 persen di tahun 2004.

Seto menyatakan, survey ini juga menunjukkan perokok yang mulai merokok
pada usia 5-9 tahun meningkat lebih dari empat kali lipat dari 0,4 pada
tahun 2001 persen menjadi 1,8 persen pada tahun 2004. "Ini membuktikan
adanya hubungan yang kuat antara agresifitas iklan , promosi dan sponsor
rokok dengan meningkatnya prevalensi merokok anak," kata Seto.

Ironisnya, ungkap Seto, aturan saat ini yang berlaku di Indonesia yaitu
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang pengamanan rokok bagi
kesehatan, justru memberi kebebasan hampir mutlak bagi industri rokok
untuk mengiklankan dan mempromosikan prduknya ke masyarakat luas.
"Lemahnya peraturan ini digunakan industri rokok untuk membentuk
ketergantungan industri seni dan olah raga melalui pemberian
sponsorship," terang Seto.

Celakanya, ungkap Seto, anak-anak dan remajalah yang menjadi sasaran
dari iklan, promosi dan kegiatan-kegiatan yang disponsori oleh rokok.
"Konsekuensinya, anak-anak menganggap prilaku merokok adalah wajar dan
tidak berbahaya bagi kesehatan, sehingga mereka terjerat menjadi perokok
tetap," kata Seto.

Demi kepentingan terbaik untuk anak, jelas Seto, Komnas Anak menyatakan
protes atas sponsor rokok dalam film King dan mendesak Alenia Pictures
agar memberi tanggapan atas siaran ini kepada Komnas Anak.

Selain itu, Alenia Pictures juga mengeluarkan pernyataan maaf kepada
publik atas keterlibatan sponsor perusahaan rokok dalam film King. "Juga
tidak bekerjasama dengan industri rokok dalam bentuk apa pun di masa
mendatang," tutur Seto menandaskan. *c81/ahi

http://republika.co.id/berita/58409/Komnas_Anak_Sayangkan_Sponsor_Rokok_dalam_Film_King
*

Menjaga Stabilitas Rupiah

Menjaga Stabilitas Rupiah
Oleh: Agus Suman

*BANTALAN* empuk sebagai mimpi indah ekonomi kita tampaknya dihadirkan
lewat cukup tangguhnya nilai tukar rupiah, setidaknya hingga semester
awal tahun ini. Saat ini rupiah cukup kukuh pada kisaran Rp 10.000 per
dolar AS.

Dalam asumsi RAPBN 2010 yang telah ditetapkan oleh pemerintah, nilai
tukar per dolar AS dipatok pada kisaran Rp 9.500-Rp 10.500. Menjaga
posisi rupiah saat ini tentu dapat menjadi harapan cerahnya kondisi
ekonomi ke depan.

Tetapi, tentu itu bukan pekerjaan yang mudah dan sederhana.
Faktor-faktor yang menguatkan otot rupiah sangat jamak. Bahkan,
suksesnya pemilu legislatif kemarin dianggap sebagai salah satu bumbu
yang cukup dominan.

Maka, berdasar fakta itu, kecemasan terhadap nilai tukar rupiah masih
cukup beralasan untuk diterbitkan. Mengingat, awal bulan depan pemilihan
eksekutif dihelat.

Memang, kita tidak boleh lengah. Bahkan, pencapaian pertumbuhan ekonomi
kita pada kuartal pertama 2009, yang mampu melampaui negara-negara
sekawasan yang terjungkal dalam pertumbuhan negatif, rasanya cukup
riskan untuk dijadikan jaminan. Karena itu, kewaspadaan pantang
dikendurkan.

Tentu saja bara optimisme terhadap keadaan ekonomi yang lebih baik tidak
boleh padam. Contohnya kondisi rupiah pada kuartal ketiga 2008 yang
tenggelam pada level Rp 12.000 per dolar AS. Hal tersebut cukup
mencemaskan.

Ternyata, kita juga mampu menjinakkan gejolak rupiah, bahkan mampu
menghadirkan pertumbuhan 6 persen. Juga, inflasi Indonesia relatif lebih
baik karena hanya melonjak dua kali lipat jika dibandingkan dengan 2007.
Sementara itu, inflasi negara-negara lain umumnya melonjak 3-4 kali dari
tahun sebelumnya.

Selain itu, penurunan nilai rupiah relatif paling kecil bila
disandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Nilai mata uang negara
lain tergerus hingga 23 persen, seperti won Korea. Sedangkan nilai
rupiah menyusut hanya 11,96 persen.

*Potret Kerentanan*

Hukum permintaan dan persediaan turut mewarnai kondisi rupiah saat ini.
Artinya, kebutuhan dolar sebagai alat transaksi internasional masih
lebih kecil bila dibandingkan dengan mengalirnya mata uang internasional
itu ke dalam negeri. Selisih itulah yang kerap disebut sebagai cadangan
devisa.

Dolar sering dipakai para importer dan menjadi alat pembayaran utang
luar negeri. Sedangkan eksporter dan investor adalah pihak yang mampu
menghasilkan dolar untuk dibenamkan di dalam negeri.

Saat ini pesona gelanggang perdagangan kita cukup berkilau. Hal tersebut
tampak dari investasi asing yang membanjiri. Selama Mei 2009 saja,
investasi yang masuk mencapai Rp 123 triliun.

Itulah yang menjadikan devisa kita saat ini sangat tambun, mencapai 58
miliar dolar AS. Tetapi, ada yang harus kita ingat, pada awal semester
II/2008 devisa kita juga cukup gemuk. Tetapi, liarnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS mampu mengikis cukup tajam devisa kita. Jika pada Juli
2008 pundi devisa kita masih menjulang dengan 57 miliar dolar AS, enam
minggu berikutnya menyusut tinggal 51 miliar dolar AS.

Saat itu devisa tidak saja digerogoti untuk menjinakkan nilai tukar
rupiah, tetapi juga menutupi tekornya neraca perdagangan kita. Pada Juli
2008 impor kita mencapai 12,82 miliar dolar AS, sedangkan ekspor cuma
12,55 miliar dolar AS. Akibatnya, terjadi defisit perdagangan hampir 300
juta dolar AS.

Bila melihat kondisi saat ini, ketika ekspor kita masih mencemaskan
karena suasana ekonomi negara-negara yang menjadi pasar utama, seperti
Jepang (19,79 persen), AS (14,02 persen), dan Singapura (9,50 persen),
belum pulih, tentu peran mereka sebagai keran devisa mampet.

Karena itu, menjaga hawa politik dan kondisi sosial, yang kesemuanya
bermuara pada iklim ekonomi yang sejuk, mutlak dihadirkan. Sebab, memang
itulah salah satu hal yang mampu mengusir kecemasan akan lunglainya
kondisi rupiah.

Pendek kata, ketidakpastian masih menghadang di depan mata. Indonesia
masih harus bersiap-siap dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi yang
mungkin bisa lebih berat.

Bertenggernya rupiah pada level saat ini dapat menjadi jimat untuk
menghadapi permasalahan ekonomi ke depan. Kita tidak ingin temperatur
politik yang mendidih karena babak pemilihan pemangku negara sekarang
menjadi toksin bagi kondisi rupiah. Sebab, jika hal tersebut terjadi,
pencapaian dan kerja keras tahun-tahun kemarin hanya tumbal di atas
altar politik. *(*)*

/*). / * /Agus Suman/ * /, guru besar ekonomi dan ketua LP3 Universitas
Brawijaya, Malang/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Intelektual Organis atau Oportunis?

Intelektual Organis atau Oportunis?
*Oleh Triyono Lukmantoro*

*PEMILIHAN* presiden dan wakil presiden bukan hanya melibatkan kerumunan
massa dan tumpukan modal-finansial. Kompetisi politik itu juga
mengerahkan kaum intelektual. Kalangan pemikir tersebut bukan sekadar
menjadi pengamat di luar pentas, dengan cara menuliskan gagasan atau
memberikan komentar dalam ruang dan waktu media. Mereka terlibat secara
langsung dalam tim sukses, merancang program ekonomi dan politik, atau
menjadi bintang iklan.

Bagaimana kita melihat fenomena itu? Sebenarnya, keterlibatan
intelektual dalam dunia politik bukan realitas yang sama sekali baru.
Bahkan, kaum intelektual memang identik dengan dunia politik itu
sendiri. Apabila selama ini kaum intelektual dipandang ''suci" dari
politik, itu merupakan penilaian yang sama sekali keliru. Wilayah kampus
tidak sekadar berbicara tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Kampus tidak pernah steril dari gejolak politik praktis.

Kenyataan tersebut dapat disimak pada sejumlah intelektual yang secara
sengaja terlibat aktif dalam beberapa partai politik. Kiprah intelektual
dalam kepartaian tentu saja dimaksudkan untuk merebut kekuasaan. Banyak
pula kaum intelektual yang menduduki kursi direktur jenderal, staf ahli,
bahkan menteri. Semua itu bukti bahwa kaum intelektual sangat lekat
dengan kekuasaan politis. Pengilmiahan (saintisasi) politik dan
teknokratisasi kekuasaan pasti merengkuh kaum intelektual.

Lebih dari itu, ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diajarkan
intelektual pun mengandaikan keterlibatan dalam pertarungan politik.
Ilmu pengetahuan tidak sekadar berbicara tentang ontologi (bentuk dan
sifat dasar realitas) atau epistemologi (relasi ilmuwan dengan objek
yang dikajinya), namun juga membahas aksiologi (sikap dan tindakan
ilmuwan dalam konteks sosial dan politik). Masalah aksiologis ini
membuka pertanyaan tentang keterlibatan kaum intelektual dalam politik.
Apakah mereka harus melakukan perubahan atau sekadar menjaga /status
quo/ (kemapanan)?

*Saling Berkelindan*

Ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling berkelindan. Bukan saja /knowledge
is power/ (pengetahuan ialah kekuasaan) yang memberikan peluang kepada
manusia (ilmuwan) untuk mengendalikan alam semesta serta manusia-manusia
lain sesuai dengan kehendaknya, melainkan juga /power is knowledge/
(kekuasaan merupakan pengetahuan). ''Kekuasaan memproduksi
pengetahuan,'' kata filsuf Michel Foucault (1926-1984). Kekuasaanlah
yang menentukan jenis-jenis ilmu yang boleh dikaji dan disebarkan.
Serentak dengan itu pula, ilmu pengetahuan menyajikan basis legitimasi
moral bagi kekuasaan. Tanpa ilmu pengetahuan, kekuasaan tidak mungkin
bisa dijalankan serta diterima aktor-aktor sosial-politik. Jalinan
relasional kekuasaan dan ilmu pengetahuan menunjukkan intelektual memang
tidak pernah bisa terlepas dari tarik-menarik kepentingan politis.

Problem yang layak dibicarakan adalah peran intelektual dalam rezim
politik. Dalam kondisi semacam ini, terdapat beberapa jenis intelektual.
Zygmunt Bauman mengontraskan intelektual sebagai legislator dengan
intelektual sebagai interpreter (penerjemah). Sebagai legislator,
intelektual melegislasikan nilai-nilai universal dalam wujud memberikan
pelayanan kepada lembaga-lembaga negara. Sebagai penerjemah, kaum
intelektual menafsirkan teks-teks, peristiwa-peristiwa publik, dan
artifak-artifak lain, serta mengerahkan pengetahuan tertentu untuk
menjelaskannya kepada masyarakat.

Gagasan Bauman itu membuka cara pandang bahwa intelektual dapat bersikap
partisan, memihak negara atau masyarakat. Inilah pilihan etis yang harus
digariskan. Berpihak kepada negara berarti memapankan rezim politik yang
sedang berkuasa. Memihak masyarakat bermakna melakukan perubahan. Selalu
ada kaum intelektual yang berwatak konservatif. Ada pula kaum
intelektual yang memilih sikap progresif. Baik-buruk atas keberpihakan
itu adalah risiko yang harus ditanggung. Sebab, negara tidak selalu
berbuat keliru. Masyarakat pun tidak selalu bertindak benar.

*Fungsi Sosial*

Pandangan keterlibatan intelektual dalam kekuasaan secara jelas
dikemukakan Antonio Gramsci (1891-1937). Menurut Gramsci, semua manusia
pada prinsipnya merupakan intelektual karena memiliki kemampuan berpikir
dan rasional. Hanya, semua manusia tidak mempunyai fungsi sosial
intelektual. Intelektual modern tidak sekadar berbicara, melainkan harus
mengarahkan dan mengorganisasikan masyarakat melalui perangkat aparatus
ideologis, seperti media massa dan pendidikan.

Gramsci lantas membagi intelektual menjadi dua jenis, tradisional dan
organis. Intelektual tradisional adalah kelas yang terpisah dari
masyarakat. Intelektual organis mengartikulasikan -melalui bahasa
kebudayaan- perasaan-perasaan serta berbagai pengalaman massa rakyat
yang tidak mampu disuarakan. Intelektual organis adalah kaum terpelajar
yang memihak rakyat dengan cara merombak dan menunjukkan sikap kritis
terhadap kemapanan.

Persoalan yang dihadapi kaum intelektual di Indonesia saat ini lebih
kompleks. Sebab, semua pasangan calon presiden-wakil presiden mengklaim
sebagai pembela rakyat. Dalam situasi itu, intelektual organis yang
langsung mendukung dan memberdayakan kaum tertindas sulit
diidentifikasi. Alih-alih berperan sebagai organ yang membela rakyat,
intelektual justru bisa terjebak sebagai kaum oportunis. Mereka
memanfaatkan setiap peluang meraih jabatan atau kepentingan jangka
pendek lainnya, yakni sekadar menggapai capaian finansial. Memperkaya
diri dengan berdalih membela rakyat.

Betapa sulit mencari kaum intelektual organis. Lebih gampang menemukan
kaum intelektual oportunis. (*)

/*) / * /Triyono Lukmantoro/ * /, dosen FISIP Universitas Diponegoro
Semarang/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=77012

Dahlan Iskan: Pikiran Besar di Kota Kecil (1)

Dahlan Iskan: Pikiran Besar di Kota Kecil (1)
*Sebagaimana Hati Saya, Kendari Benar-Benar Berbeda*

*SAYA* pernah tergeletak kelelahan di ruang tunggu yang pengap, sempit,
dan kotor menunggu keberangkatan pesawat yang akan membawa saya ke
Makassar dan Ambon. Kejadiannya sekitar enam tahun lalu, ketika pesawat
mengalami keterlambatan selama dua jam di bandara Kendari.

Saat itu, ternyata saya sebenarnya sudah mulai sakit, namun tidak pernah
saya rasakan. Mestinya hati saya sudah terkena sirosis, mengeras dan
sudah mulai tumbuh bibit-bibit kankernya. Namun, saya tidak tahu semua
itu. Kelelahan yang saya rasakan di ruang tunggu itu semula hanya saya
anggap sebagai akibat kurang tidur dan perjalanan panjang ke beberapa
kota sebelumnya.

Pekan lalu, saya kembali lagi ke Kendari, yang menjadi ibu kota Provinsi
Sulawesi Tenggara. Semuanya sudah berubah. Bandara lama yang parah itu
sudah diganti dengan bandara baru yang indah. Tidak besar, tapi cantik
dan modern. Cukuplah untuk kepentingan Kendari sampai lima tahun ke depan.

Penerbangan juga sudah begitu banyak sehingga kalau ada pesawat yang
terlambat pun masih ada pilihan untuk "loncat" ke pesawat yang lain.
Jalan menuju bandara itu juga sudah disiapkan sangat lebar sehingga
tidak akan mengalami kesulitan kalau arus lalu lintas meningkat drastis
di kemudian hari.

Kini negara kita memang sudah mulai punya bandara-bandara yang baik. Di
Makassar megahnya bukan main, di Palembang juga indah dan modern, Manado
sudah baik, Ambon demikian juga, Padang juga sudah modern. Bahkan,
Makassar dan Palembang sudah terasa kurang besar karena kemajuan
wilayah-wilayah di luar Jawa sangat cepat.

Tinggal Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur yang begitu kaya,
bandaranya lebih jelek daripada terminal angkutan kota di Kendari.
Memang sedang ada persiapan membangun bandara di Samarinda, tapi masih
sangat ruwet untuk bisa berharap cepat selesai.

Maka, kedatangan saya ke Kendari kali ini dengan suasana yang sangat
berbeda jika dibandingkan dengan enam tahun lalu. Bandara baru,
jalan-jalan baru, dan dengan hati saya yang juga baru. Hampir dua tahun
lalu saya memang menjalani operasi ganti hati di Tianjin, Tiongkok, yang
alhamdulillah berhasil dengan sangat baik.

Kegembiraan hati saya kali ini juga saya rasakan setelah melihat bahwa
harian /Kendari Post/ dan juga /Kendari Ekspres/ mengalami kemajuan yang
pesat. Apalagi saya juga melihat para pimpinan dan manajer saya di
Kendari sudah sangat mampu sehingga sudah tidak perlu lagi diajari,
dibina, atau dimarahi.

Maka, kedatangan saya ke Kendari sore itu benar-benar hanya untuk
"rekreasi", ngobrol santai dengan karyawan di ruang rapat, makan-makan
ikan bakar yang sangat segar itu, jalan-jalan ke pantai, menengok dua
karyawan yang lagi sakit di rumah masing-masing, ke kota lama, ke MTQ
Square, ke kota atas, dan besoknya sudah bisa terbang ke Manado (via
Makassar) pada pukul 07.00 pagi.

Kendari, sebagaimana juga hati saya, sudah benar-benar berbeda. Ketika
saya datang ke Kendari pertama kali untuk membangun /Kendari Post/ 14
tahun lalu, di kota itu praktis hanya ada satu jalan yang memanjang.
Ibaratnya, kalau Joko Tjandra mau melarikan diri, jangan sekali-kali
melarikan diri ke Kendari: pasti kepegang. Mau lewat jalan mana
/hayooo/? Hanya ada satu jalan di situ.

Kini Kendari sudah sangat berkembang. Memang terasa kota ini kekurangan
dana pembangunan (dan terutama dana pemeliharaan), tapi dasar-dasar
pembangunan kotanya sudah sangat baik: tidak hanya terfokus ke kota lama
yang sempit, tapi sudah membangun kota baru yang masih mudah
direncanakan. Juga mulai membenahi pinggir lautnya yang panjang karena
Kendari memang memiliki kekayaan teluk yang jauh menjorok ke dalam
(banyak yang berseloroh bentuk teluk Kendari ini menggambarkan kekayaan
vital terpenting wanita).

Kota itu juga sudah mengalokasikan wilayah perkantoran seluas 1.000 ha
dengan infrastruktur jalan yang sudah dan sedang dikerjakan. Kantor
gubernur yang baru dibangun di sini. Juga mapolda dan lain sebagainya.

Bangunan kantor gubernurnya sendiri kecil (sesuai dengan keperluan yang
ada sekarang), tapi persiapan luasan lahannya yang kini masih berbentuk
taman hutan sangat mengesankan. Terasa para pemimpin di Kendari memiliki
sisi wawasan ke depan. *(Bersambung)

http://jawapos.com/

Saatnya Berburu Koruptor Daerah

Saatnya Berburu Koruptor Daerah
Oleh:* *Joko Susanto

*TERTANGKAPNYA* Hengky Samuel Daud, bos PT Istana Sarana Raya, dalam
kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar) menimbulkan
efek bola salju. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan mendapat
amunisi baru dan siap-siap menciduk para kepala daerah yang terindikasi
kuat terlibat kasus itu. Optimisme tersebut diperoleh setelah semua
bukti pendukung dikumpulkan. /(Jawa Pos, 22 Juni 2009)./

Sebenarnya KPK telah memeriksa sejumlah kepala daerah yang pernah
membeli mobil damkar milik Hengky. Misalnya, Gubernur Kepri Ismeth
Abdullah, Gubernur Irian Jaya Barat Abraham Octavianus Atururi, Gubernur
Sulawesi Utara Sinyo H. Sarundajang, mantan Gubernur Bali Dewa Made
Beratha, dan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi. Namun, dengan
tertangkapnya Hengky, ''posisi'' mereka diharapkan makin transparan.

***

Sinyalemen bahwa otonomi daerah yang deras digeber beberapa tahun
terakhir ini telah menghasilkan raja-raja kecil di daerah bukan isapan
jempol belaka. Urusannya sangat kompleks. Para gubernur, bupati, wali
kota, dan anggota DPRD dengan alasan otonomi seolah berhak mengolah
keuangan di daerahnya. Tak heran, mantan KPK Taufiequrachman Ruki
menyatakan bahwa mayoritas korupsi di Indonesia akan terjadi di
pemerintahan daerah.

Pernyataan itu dikuatkan dengan data statistik PuKAT (Pusat Kajian
Antikorupsi) Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta dalam laporan
korupsi triwulan III 2008 memaparkan kerugian negara akibat maraknya
korupsi di daerah mencapai ratusan miliar. Modus korupsinya paling
tinggi penyalahgunaan anggaran. Kelompok kerugian negara di bawah Rp1
miliar tercatat sebelas kasus, korupsi kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 10
miliar 19 kasus, kisaran Rp 10 miliar hingga Rp100 miliar 12 kasus, dan
korupsi di atas Rp 100 miliar satu kasus.

Untuk meluluskan semua keputusan penggunaan dana APBD perlu mendapatkan
stempel dari para wakil rakyat. Para anggota DPRD yang seharusnya
mengawasi penggunaan dana APBD malah merasa perlu mendapatkan bagian
alias saling pengertian. Banyak sekali alasannya, mulai uang rapat, uang
kunjungan, tunjangan-tunjangan jabatan, hingga polis asuransi yang
nilainya acapkali melebihi nilai anggaran untuk publik. Jadilah APBD
sebagai akronim ''ajang persetujuan bagi-bagi duit''.

Pengejaran koruptor daerah oleh lembaga superbodi itu mengandung
beberapa arti. /Pertama/*/,/* pembabatan korupsi di daerah oleh penegak
hukum daerah masih jauh dari memuaskan. Wajar saja gelombang
ketidakpuasan akibat penanganan kasus korupsi daerah terus bermunculan.
Banyak kasus di daerah yang macet bila diduga melibatkan kepala daerah.
Hambatan kasus itu biasanya karena kejaksaan dan kepolisian beralasan
membutuhkan izin presiden untuk memeriksa kepala daerah. Sedangkan KPK
tidak membutuhkan.

/Kedua,/ gema perang korupsi selama ini masih bersifat ''Jakarta
sentris''. Segala sesuatu yang berhubungan dengan korupsi masih berada
di wilayah aparat penegak hukum di Jakarta. Lihat saja /blow up/ media
yang besar bila kasus pusat terungkap. Pengungkapan koruptor daerah
seakan nyaris tak terdengar. Tak heran, koruptor daerah merasa ada
kesempatan untuk santai.

Emerson Yuntho (2006), aktivis antikorupsi, menyebutkan bahwa berdasar
data ICW yang berasal dari mitra kerja di 13 kota besar di Indonesia
dengan 191 kasus korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian di
daerah, ditemukan sejumlah permasalahan lain yang muncul, seperti
laporan korupsi tidak ditindaklanjuti, dihentikan penyidikannya (SP3),
serta sulitnya izin pemeriksaan terhadap kepala daerah dan anggota
legislatif daerah.

/Ketiga/*/,/*/ /semua elemen penegak hukum di daerah mestinya terpacu
dan berani membuktikan diri bahwa mereka masih mampu dan punya taring
tajam untuk mencegah daerah dijadikan pesta korupsi. Alasan klise
anggaran dana yang berbeda dengan KPK kiranya bukan penyebab yang
mutlak. Menegakkan keadilan hukum adalah tugas mulia.

*Otonomi Korupsi*

Berbagai kejadian penyalahgunaan wewenang di daerah setidaknya makin
membuka kotak pandora* *bahwa dana anggaran daerah telah menjadi lahan
empuk bagi orang-orang nakal di daerah, termasuk oknum lembaga
legislatif. Maka, jelas diperlukan efek jera untuk mencegah daerah
menjadi otonomi korupsi. Ironisnya, dalam memberangus korupsi, intrik
dan friksi politik lebih terlihat ketimbang keinginan dan kesadaran
bahwa kejahatan tersebut dapat kita hilangkan.

Penanganan kasus-kasus korupsi di daerah sering mengecewakan. Kalaupun
diproses sampai ke pengadilan umum, penanganannya berjalan sangat
lambat, berputar-putar, berbelit-belit, sangat menguras energi, dan
menghabiskan waktu. Sebagian terdakwa pelaku korupsi miliaran rupiah
akhirnya malah divonis bebas. Cara penanganan kasus-kasus korupsi
semacam itu tentu sangat menyakitkan hati rakyat. Itu berbeda dengan
kasus korupsi yang ditangani KPK yang tidak sedikit berakhir di balik
jeruji tahanan.

Meminjam istilah Mar'ie Muhammad (2005), korupsi itu selalu /abuse of
power/. Semakin tinggi kualitas dari /good governance,/ maka semakin
rendah korupsi. Sebaliknya, semakin rendah kualitas /good governance/,
korupsinya akan semakin tinggi. Perihal latar belakang diperlukannya
membangun masyarakat transparansi terkait hal-hal fundamental dalam
etika kekuasaan. Kalau sudah mencapai kekuasan, meskipun mencapai
kekuasaan itu dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan konsensus di
masyarakat, masih timbul pertanyaan: bagaimana kekuasaan itu digunakan.
Apakah telah digunakan betul-betul untuk kepentingan publik atau
masyarakat yang diwakili.

Saatnya KPK tidak hanya tebar pesona di Jakarta dengan gebrakan-gebrakan
yang spektakuler, sementara kasus-kasus korupsi di daerah semakin
terbengkalai. Untuk menguatkan upaya preventif itu, media massa perlu
terus aktif memantau korupsi di daerah. Alasannya, publikasi korupsi di
media jelas menjadi kontrol sosial dan /warning/ bagi penegak keadilan
di daerah. (*)

/*)./*/Joko Susanto/*, /alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=77013

Menaklukkan Dunia Lewat Kreativitas

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 15.04

Menaklukkan Dunia Lewat Kreativitas


*Ridwan Kamil*

Di suatu pagi yang cerah di kota Damaskus, Suriah, ketika sedang
berjalan menuju Pasar Madhat Basha, penulis dikejutkan oleh papan
reklame raksasa yang mengiklankan Indomie. Ternyata rasa Indomie ini
berhasil memikat dan memenetrasi selera global. Sebuah fakta yang cukup
positif di tengah-tengah pencitraan tentang Indonesia yang umumnya negatif.

Berita-berita di luar negeri tentang Indonesia biasanya jika tidak
tentang runtutan musibah bencana alam pasti tentang ekstremisme Muslim,
kerusuhan sosial, tragedi TKW, atau jawara peringkat hal negatif,
seperti indeks korupsi atau kualitas hidup. Teori jurnalistik tentang
bad news is good news ini sungguh menghasilkan sebuah pencitraan
kolektif yang merisaukan.

Karena itu, hadirnya poster Indomie di kota-kota dunia, terutama di
Timur Tengah, tertulisnya menu ”Indonesian nasi goreng” di banyak
restoran hotel berbintang di mancanegara atau perbincangan tentang
surgawinya Pulau Bali cukup melegakan hati.

Banyak sekali sebenarnya hal baik atau prestasi-prestasi mendunia karya
anak bangsa yang membanggakan, seperti halnya keberhasilan juara-juara
olimpiade fisika atau penghargaan UNESCO untuk inovasi batik Fraktal
asal Bandung. Namun, entah mengapa gaungnya tidak banyak terekam dengan
optimal. Gaungnya belum mampu melawan balik pencitraan negatif yang
lebih sering muncul.

Permasalahan di atas persis seperti yang diteorikan tokoh marketing
dunia, Peter Drucker, bahwa dalam filosofi bisnis hanya terkandung dua
nilai utama: inovasi dan pemasaran. Kita kalah bersaing karena sering
kali produk kita kurang inovatif untuk kompetisi global atau kalaupun
produk-produknya inovatif, sering kali dikalahkan oleh kurang canggihnya
strategi pemasaran yang jitu dan tepat sasaran. Indonesia sering kali
kalah langkah dengan cara kreatif negara-negara tetangga kita Malaysia,
Thailand, ataupun Singapura dalam hal memasarkan citra positif negaranya
melalui iklan-iklan pariwisata yang hadir membombardir beragam media di
mancanegara.

*Kreativitas *

Kata kunci isu di atas adalah kreativitas. Kreativitas yang mampu
menghasilkan hal-hal baru yang didapat dari hasil berpikir di luar
kelaziman. Derajat tertinggi kreativitas adalah aspek inovatif karena
tidak semua output kreativitas selalu bersifat inovatif. Inovasi
mengedepankan orisinalitas yang tidak pernah ada sebelumnya. Kita tahu
faktor orisinalitaslah yang membuat produk kursi Accupunto karya Leo
Theosabarata ataupun Magno radio kayu karya Singgih Kartono mendapatkan
penghargaan kelas dunia. Di situs Google banyak sekali publikasi untuk
kedua karya anak bangsa ini.

Faktor kreativitas kelas dunia adalah resep utama yang membuat kekayaan
budaya dan alam kita bisa dikenal di mancanegara. Kreativitas dalam
mengemas pertunjukan teater I La Galigo, misalnya, ternyata bisa
menghadirkan legenda kitab Sureq Galigo ini secara mengagumkan di
seluruh dunia, termasuk di pentas Broadway, New York. Sentuhan
kreativitas kelas dunia karya sutradara Robert Wilson ini mampu menyihir
para penontonnya untuk larut terkesima dalam cerita epik suku Bugis abad
ke-14 ini. Mampukah kita mengemas puluhan legenda budaya kita untuk
dihadirkan ke pentas dunia sefenomenal sentuhan Wilson?

Kreativitas dalam mengemas dan memasarkan pulalah yang berhasil
mengangkat produk alam Indonesia, yaitu kopi Toraja, menjadi salah satu
kopi termahal oleh jaringan Starbucks. Edisi terbatas kopi-kopi termahal
ini diberi label Black Apron yang oleh Dub Hay, kurator utama Starbucks,
pilihan kopi Toraja ini diberi nama komersial ”Kopi Kampung”. Satu
kilonya bisa dijual sekitar Rp 500.000. Luar biasa. Mampukah kita
mengemas dan memasarkan puluhan, bahkan ratusan, kekayaan alam agraris
kita untuk menjadi produk unggulan berkelas dunia? Jawabannya harusnya bisa.

Salah satu produk kreatif yang paling fenomenal adalah industri clothing
berbasis gaya hidup anak muda yang dipelopori di Bandung. Penetrasi
pasar dengan konsep Distro (distribution outlet) independen ini sudah
mewa- bah ke seratusan lebih kota-kota lain di Indonesia. Jika tahun
1998 hanya kurang dari selusinan merek, sekarang melonjak melebihi 1.000
merek di seluruh Indonesia dengan omzet ratusan miliar per tahun. Kunci
keberhasilannya adalah kekuatan kreativitas desain yang selalu
membedakan karakter satu merek dengan merek lainnya dengan edisi
terbatas. Dengan dukungan kekuatan industri rumahan sebagai pilar
produksinya, beragam distro Bandung mulai dilirik untuk dijual di
kota-kota besar di Asia, seperti Singapura, Kuala Lumpur, Cebu, dan
Saigon. Berkat industri ini, di Bandung mudah sekali menemukan miliarder
dengan usia di bawah 30 tahun.

*Masa depan dunia*

Contoh-contoh di atas secara inspiratif bercerita bahwa sebenarnya kita
memiliki potensi sumber daya manusia, alam, dan budaya yang luar biasa
kaya. Kekayaan yang bisa menjadi produk berkelas dunia asal dua syarat
ala Peter Drucker, yaitu inovasi dan kreativitas pemasaran kelas dunia,
bisa kita hasilkan. Masa depan dunia akan dikuasai oleh talenta-talenta
berbasis kreativitas ini dan berada di pundak orang-orang kreatif yang
mampu menyulap pengetahuan dan kreativitas menjadi inovasi yang
melahirkan mesin ekonomi yang luar biasa seperti sempat diwacanakan oleh
ekonom John How- kins, The Creative Economy: How People Make Money from
Ideas (2001) dan Richard Florida, The Rise of Creative Class (2002).

Penulis pun makin percaya bahwa masa depan Indonesia akan banyak
diselamatkan oleh ekonomi yang memberikan nilai tambah paling besar,
yaitu ekonomi berbasis ide atau lazim disebut ekonomi kreatif tadi.
Menariknya, produk ekonomi gelombang ke-4 ini bisa berbentuk produk
kreatif seperti clothing distro ala Bandung atau radio kayu Magno yang
dijual sampai harga tiga jutaan di luar negeri, bisa juga berupa produk
nonkreatif seperti kopi Toraja, tetapi diberi sentuhan pengemasan dan
pemasaran yang kreatif sehingga bisa bernilai tambah puluhan kali lipat
dan menjadi salah satu yang termahal di dunia.

Daniel Pink dalam bukunya, A Whole New Mind: Why Right-brainers Will
Rule the Future, memprediksi masa depan dunia akan dikuasai oleh
manusia-manusia dengan kekuatan ide-ide kreatif dan inovatif yang
berbasis kekuatan otak kanan. Karena itu, menjadi tugas besar kita untuk
terus menghasilkan generasi baru yang kreatif, produk-produk inovatif,
dan prestasi-prestasi kelas dunia lainnya yang secara kolektif bisa
mengangkat pencitraan Indonesia sebagai negara yang kompetitif dan mampu
bersaing global.

Melihat produk-produk unggulan Indonesia di papan-papan reklame di
mancanegara ala reklame Indomie di Damaskus seharusnya bukan hanya impian.

Ridwan Kamil /Arsitek/Dosen ITB; Ketua Bandung Creative City Forum
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/23/03313861/menaklukkan.dunia.lewat..kreativitas
/

Gila Hormat

Gila Hormat


Beberapa waktu yang lalu, sopir saya yang sudah selama 10 tahun
mengantar saya ke sana ke mari meminta untuk dibuatkan seragam safari
biru. Saya terkejut dan bertanya-tanya mengapa ia mendadak minta
dibuatkan seragam?

Ia lalu menjelaskan kepada saya; seorang rekannya bercerita, bahwa
dengan mengenakan seragam, dijamin di mana-mana kita akan lebih
dihormati dan, yang lebih penting lagi, dia akan lebih mudah mendapatkan
tempat parkir. Intinya, kalau dia berseragam, para petugas parkir di
gedung-gedung dan di mal-mal akan mengira saya orang penting sehingga
akan lebih dihormati dan dia pun akan diberikan tempat parkir yang istimewa.

Teman saya, seorang aktor, juga pernah memamerkan mobil BMW-nya.
Padahal, saya tahu betul sebenarnya agak berat untuknya membeli mobil
semewah itu. Dia menjelaskan bahwa, walaupun berat, mobil itu adalah
modal utama bagi dia untuk bisa mendapatkan honor tinggi dari produser film.

Saya agak bingung awalnya, apa hubungan BMW-nya dengan honornya di seni
peran? Lalu dia mengatakan, kalau dia datang dengan mobil mewah,
produser akan segan menawarkan honor yang rendah, wong mobilnya saja
sudah BMW!

Kedua kejadian di atas mengingatkan saya pada sebuah film China yang
berjudul The Uniform. Film yang sangat menarik dari sutradara Diao
Yi’nan, yang melalui film pertamanya ini berhasil meraih penghargaan
Dragons and Tigers Awards di Vancouver International Film Festival di
Kanada tahun 2003.

Film ini mengisahkan seorang pemuda pecundang bernama Wang Xiaojian yang
bekerja di toko jahit dan setrika pakaian milik keluarganya. Suatu hari
ia menemukan seragam polisi yang telantar dan tak kunjung diambil
pemiliknya.

Ketika akan mengantar seragam itu ke pemiliknya, ia mengetahui bahwa
sang polisi pemilik seragam tersebut ternyata tengah cedera dan tidak
bisa bertugas untuk beberapa minggu. Ia pun membatalkan niatnya untuk
mengembalikan seragam itu.

Dalam perjalanan pulang, Xiaojian memutuskan untuk mencoba seragam
polisi itu. Yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Tiba tiba
orang-orang yang ia temui di jalan menjadi hormat dan segan kepadanya.
Orang mengira ia polisi betulan.

Di hari hari berikutnya, ia tidak pernah lagi melepaskan seragam itu.
Lebih jauh lagi, ia mulai menyetop motor dan bus di jalan, seolah
melakukan razia dan memalak uang suap dari pengemudinya. Xiaojian juga
berhasil memikat gadis cantik idamannya dengan seragam polisinya itu.
Hidupnya berubah total. Akan tetapi, berapa lama ia bisa berpura-pura?

Saya jadi menyadari, beginilah nasib negara berkembang, di mana jurang
pemisah antara yang miskin dan yang kaya begitu lebar, dengan kelas
menengahnya yang gamang. Kekayaan dan kekuasaan menjadi cita cita utama
karena tergila-gila untuk dihormati dan disegani banyak orang.

Masih jauhkan perjalanan kita untuk menjadi bangsa yang berpendidikan
dan berbudaya, di mana kehormatan bisa diberikan dan didapat bukan dari
sekadar penampilan, tetapi dari sikap, kerja, dan karya yang baik?

Kembali ke sopir setia saya, walaupun saya menolak membuatkan seragam
safari biru idamannya itu, ia akhirnya bersikeras membuat seragam itu
dari koceknya sendiri. Ia hanya bertahan satu bulan dengan seragam itu
karena, katanya, gerah dan tidak nyaman.

Sementara teman aktor saya akhirnya menjual BMW kebanggaannya karena ada
kebutuhan dana yang mendesak.

Hormat yang didambakan harus terputus di tengah jalan. Alias, reality
bites! Kenyataan memang kadang pahit, kawan?

Mira Lesmana, /Sineas

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/23/0346033/gila.hormat

Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi

Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi

Di tengah-tengah dominasi pemberitaan persaingan kandidat calon presiden
dan wakil presiden, isu kebebasan berekspresi berhasil mencuri perhatian
luas di berbagai media, terutama media informal dunia maya seperti
situs-situs jejaring sosial dan blog.


Hal ini diakibatkan oleh penahanan Prita Mulyasari atas tuduhan
pencemaran nama baik.Tuduhan ini didasari laporan RS Omni Internasional
atas surat yang dikirimkan Prita ke salah satu mailing list yang
kemudian menyebar ke berbagai situs lain. Isu ini juga diwarnai kasus
serupa yang dialami Khoe Seng Seng terkait surat pembaca yang ditulisnya
di salah satu surat kabar nasional.

Kedua kasus ini menimbulkan keresahan,terutama di kalangan masyarakat
perkotaan yang tengah mengalami euforia kebebasan berekspresi yang luar
biasa yang tercermin dari ramainya fitur-fitur di dunia maya yang
memungkinkan pembaca atau pengguna mengekspresikan komentarnya terhadap
berbagai macam hal, termasuk pelayanan konsumen, serupa dengan yang
dilakukan Prita.

Kebebasan Berekspresi dan Batasannya

Meskipun banyak aspek hukum yang bisa dikaji dalam kasus Prita, inti
dari permasalahan Prita sebenarnya terletak pada kebebasan berekspresi.
Kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.”

Jaminan ini diperkuat oleh Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk... menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.” Prita hanyalah satu dari sekian banyak
masyarakat Indonesia yang gemar berekspresi di dunia maya, baik dalam
bentuk keluh kesah maupun kritik tajam.

Kasus penghinaan- penghinaan yang cenderung kasar di situs jejaring
Facebook terhadap salah satu kandidat calon presiden merupakan contoh
bentuk paling ekstrem dari kritik tajam bernada negatif. Pertanyaan yang
mengemuka kemudian adalah apakah kebebasan berekspresi yang dijamin
konstitusi ini memiliki batasan? Jika ya, sejauh mana? Di Amerika
Serikat, pembuat ekspresi dilindungi oleh konstitusi AS yang melarang
pemerintah melakukan tindakan yang dianggap ”abridging the freedom of
speech”atau menghalangi kebebasan berekspresi.

Namun di negara seliberal AS pun kebebasan berpendapat memiliki banyak
batasan seperti tidak dilindunginya ”hate speech”, ekspresi yang
menimbulkan kerusuhan, termasuk ekspresi yang mencemarkan nama baik.
Namun, hukum AS telah memiliki batasan jelas mengenai pencemaran nama
baik seperti apa yang tidak dilindungi konstitusi atau dengan kata lain
dapat dipidanakan.

Batasannya antara lain, untuk isu yang menyangkut “masalah publik” dan
terkait “tokoh publik” (seperti kasus penghinaan calon presiden di
Facebook) harus dibuktikan terdapat kebohongan disengaja terkait dengan
ekspresi yang dipermasalahkan dan pihak yang merasa dicemarkanlah yang
memiliki beban pembuktian atas kebohongan tersebut. Apabila menyangkut
“masalah publik” tapi tidak terkait “tokoh publik”(seperti kasus
Prita),pihak yang merasa dicemarkan cukup membuktikan bahwa pihak yang
berekspresi itu ceroboh sehingga mengakibatkan terjadinya kebohongan
tersebut.

Sebagai tambahan, pihak yang dicemarkan harus membuktikan terjadinya
kerugian material akibat ekspresi tersebut kecuali bila ekspresi itu
tertulis. Indonesia sama sekali tidak memiliki batasan yang jelas
mengenai kebebasan berekspresi.Hal ini tidak mengherankan karena kedua
pasal pelindung kebebasan berekspresi hasil amendemen kedua UUD 1945 ini
baru berumur 9 tahun––bandingkan dengan ketentuan serupa di AS yang
telah berumur lebih dari dua abad.

Satu hal yang patut dicatat adalah AS mampu mengembangkan interpretasi
serta batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi–– maupun jaminan
konstitusi lain seperti kebebasan beragama–– karena keberadaan pengaduan
konstitusional atau constitutional complaint.

Pengaduan Konstitusional

Pengaduan konstitusional dapat didefinisikan sebagai pengaduan yang
diajukan oleh penduduk kepada pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran
atas hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi sebagai
akibat tindakan pemerintah.

Untuk kasus Prita dan Khoe Seng Seng, memang ada kemungkinan mengajukan
judicial review atas Pasal 310 KUHP mengenai penghinaan untuk
dipertentangkan dengan UUD 1945 Pasal 28E ke Mahkamah Konstitusi.Namun
hal ini sangat tidak praktis dan mengabaikan proses hukum yang sedang
dijalani keduanya. Upaya ini juga tidak dapat menjangkau isu konstitusi
lain seperti represi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang
tidak melalui undang-undang seperti kasus penyitaan pengeras suara massa
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat melaksanakan demo pendudukan Gaza
serta SKB Ahmadiyah.

Di sinilah perlunya pengaduan konstitusional. Dengan pengaduan
konstitusional, Prita dapat mengadukan seluruh tindakan pemerintah yang
dialami dirinya, sejak penangkapan hingga penahanan sebagai tindakan
inkonstitusional. Dalam mengadili pengaduan ini, dapat sekaligus
diputuskan mengenai konstitusionalitas Pasal 310 KUHP. Atau lebih jauh,
sebagaimana sering terjadi di AS,penafsiran lebih spesifik mengenai
pasal ini, misalnya penambahan syaratsyarat yang lebih jelas mengenai
ekspresi seperti apa yang dapat dipidana tanpa melanggar UUD 1945.

Hampir seluruh negara penganut demokrasi seperti Indonesia telah
memperbolehkan pengaduan konstitusional untuk menangani masalah-masalah
seperti kasus Prita. Ini termasuk Jerman,Polandia,Korea, Spanyol, dan
tentu saja AS. Pada kebanyakan mahkamah konstitusi di dunia, kewenangan
pengaduan konstitusional justru merupakan salah satu fungsi utama
mereka.Namun,tentu tidak mudah mewujudkan hal ini karena amendemen UUD
1945 diperlukan. Selain itu, keberatan paling utama terhadap pengaduan
konstitusional mungkin adalah beban kerja yang akan diberikannya kepada
Mahkamah Konstitusi.

Namun, ini dapat diatasi melalui pengadopsian cara Jerman, yaitu dengan
kewajiban untuk terlebih dahulu menempuh upaya hukum lain yang tersedia
maupun yang mungkin lebih efektif, cara AS, yaitu memberi Mahkamah
Konstitusi kewenangan untuk memilih pengaduan mana yang akan diputusnya
berdasarkan signifikansi konstitusionalitas isu yang diajukan.
Mewujudkan pengaduan konstitusional di Indonesia memang tidak mudah.

Namun mengingat besarnya manfaat yang diberikan bagi terjaminnya hak-hak
konstitusional warga negara, upaya tersebut patut ditempuh agar di masa
yang akan datang, siapa pun presidennya, kita tidak lagi melihat
Prita-Prita lain di balik jeruji.(*)

Sigit Ardianto
Master of Laws Cardozo School of Law, New York, AS


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249325/

Integritas Bursa Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Integritas Bursa Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Pemilihan direksi Bursa Efek Indonesia (BEI) berdempetan dengan
pemilihan presiden (pilpres). Sinyal daya sadar bangsa Indonesia untuk
bersiap diri menyambut era integrasi perekonomian ASEAN (MEA: Masyarakat
Ekonomi ASEAN), yang telah disepakati dimulai 2015.

Secara hukum (de jure) pemilihan direksi BEI adalah hak para pemegang
sahamnya,yaitu perusahaan efek yang menjadi anggota bursa
(AB).Tapi,apakah bursa bisa besar tanpa partisipasi masyarakatnya?
Itulah de facto legitimasi kepemimpinan bursa yang efektif. Ada
ketakutan yang besar (status quo) di antara pelaku dan otoritas pasar
modal untuk menyertakan euforia publik. Fakta ini terlihat dari beragam
pernyataan “jangan politisasi bursa”.Pertanyaannya, apakah betul bursa
terbebas dari kepentingan politik?

Jejak Politisasi Bursa

Paket Ito Warsito menyatakan kelebihannya “memiliki kedekatan dengan
pemerintah,Bank Indonesia, dan BUMN”(Seputar Indonesia, Rabu,17
Juni).Sinyal ini seolah mengonfirmasi gosip pelaku pasar sejak awal
tahun ini “Lapangan Banteng tetap yang menentukan meskipun aturan main
pemilihan direksi BEI adalah hak demokratis AB”.

Maaf saja,kampanye Paket Ito yang diusung AB papan atas justru menjadi
anomali atas pernyataan “jangan politisasi bursa”. Sebuah pernyataan
yang seolah tidak politis, tapi faktanya justru politis untuk
mempertahankan status quo “arisan di antara para elit di lantai bursa”.
Mari kita ambil contoh pemilihan Dewan Gubernur BI.Hak publik sebagai
pemegang kepentingan diwakilkan kepada presiden (sebagai pihak yang
mencalonkan) dan DPR (yang melakukan pemilihan, seperti layaknya RUPS).

Meskipun secara de jurepemilihan terpusat di antara DPR-Presiden,euforia
publik sebagai pihak yang berkepentingan tetap dibangun dalam wacana di
baliknya. Struktur bursa dengan model swastanisasi memang dimaksudkan
untuk fleksibilitas sesuai kebutuhan para pelakunya.Tapi,apakah bursa
terpisah dari kepentingan publik? Tidak. Karena otoritas negara
(Bapepam-LK) memiliki hak melakukan penetapan kriteria dan uji kepatutan
atas kandidat yang diajukan para pelaku pasar.

Struktur tata laksana pengaturan bursa sangat jelas,yaitu melindungi
kepentingan publik. Cukup aneh jika otoritas tidak membangun euforia
publik di balik proses pemilu direksi BEI.Yang harus disterilkan adalah
politik praktis, tapi bukan hak politik rakyat atas pilihan strategis
lembaga negara yang sejalan dengan kepentingannya. Menjadi lucu jika
kenyataannya politik praktis justru tampak di setiap dukungan atas
sebuah paket tertentu, dari era ke era pemilihan direksi bursa.

Dukungan negara, dalam hal ini pemerintah, akan menjadi sah sepanjang
itu mewakili politik kepentingan publik. Mari kita jawab bersama, apakah
Anda sebagai publik menemukan jawaban atas beragam permasalahan
intermediasi sektor keuangan ke sektor riil dari proses uji kepatutan
oleh Bapepam-LK? Rasanya, ketertutupan justru sangat terasa,domain
publik tidak dibangun. Hanya mengumumkan “Paket Ito dan paket Rugeh
memenuhi syarat mengikuti pemilu BEI”.

Membangun hiruk-pikuk (euforia) publik itu penting. Tidak akan ada bursa
yang dicintai oleh publik jika tidak mengajak publik dalam pusarannya.
Bursa adalah sarana masyarakat berinteraksi. Tanpa itu bursa hanyalah
benalu. Itulah mengapa dalam pusaran isu “neolib”, bursa menjadi sasaran
tembak paling empuk.

Likuiditas dan Intermediasi

Bursa sebagai entitas badan hukum usaha (PT) tentu membutuhkan dana
untuk menjalankan operasionalnya.Pendapatan bursa secara operasional
didapat dari fee transaksi perdagangan dan pencatatan.

Perputaran transaksi yang tinggi (likuiditas) tentu saja dibutuhkan oleh
bursa dan para pelakunya. Meski demikian,bursa sebagaimana ditetapkan
Undang-Undang No 8 tentang Pasar Modal haruslah menjaga transaksi yang
wajar, teratur, dan efisien sehingga “biaya” yang harus dijaga dari
“pendapatan” bursa,yaitu fungsi pengawasan dan penegakan hukum.

Membaca tantangan bursa tak akan terpisahkan dari perannya sebagai (1)
penghubung (intermediasi: sistem dan mekanisme pencatatan) antara sektor
keuangan (pemodal) dan sektor riil; (2) agen likuiditas antar pemodal
(sistem dan mekanisme perdagangan) serta (3) menjaga keteraturan
pencatatan dan perdagangan (sistem pengawasan) menuju bursa yang
disiplin (mekanisme penegakan hukum). Paket Rugeh dalam tag line
kampanye di Facebook menyatakan “mengembalikan citra rasa originitas
bursa”.

Sementara Paket Ito menonjolkan penambahan daya serap pasar melalui
harmonisasi dengan pemerintah. Originitas pasar modal memang sangat
diperlukan di tengah suasana bursa yang terlalu bertumpu ke likuiditas,
yang justru mencerabut akar intermediasi. Jika diibaratkan sebuah pohon,
akar bursa adalah intermediasi,yang kemudian diberi pupuk likuiditas,
dan dirawat oleh ketegasan otoritas dalam menjaganya.

Bursa memerlukan bibit-bibit baru instrumen yang dicatatkan meskipun
transaksi sedemikian meriahnya.Tapi,sebuah pekerjaan rumah yang belum
dijawab adalah rendahnya daya intermediasi bursa ke sektor riil.
Bukankah,jika transaksi bursa likuid harusnya persoalan sektor riil yang
kekurangan modal menemukan solusinya? Suka atau tidak, munculnya PHK di
saat bursa meriah merupakan fakta anomali likuiditas atas intermediasi
itu sendiri.

Dalam struktur ekonomi yang memiliki kesenjangan cukup tinggi seperti
Indonesia,peran belanja dan instrumen kebijakan pemerintah memang akan
menjadi pemain utama sehingga paket Ito juga benar karena harmonisasi
dengan pemerintah merupakan kunci sukses untuk mengarahkan pasokan
kebutuhan dana pasar modal ke sektor riil. Tapi, apakah hiruk-pikuk
kampanye ini melahirkan ide baru dari kedua paket tentang terobosan
intermediasi yang dapat menjadi solusi sektor riil Indonesia, berupa
penyerapan pengangguran?

Penyerapan pengangguran adalah jiwa dari dunia usaha, yaitu pasar (riil)
yang memiliki peningkatan daya beli masyarakatnya. Hanya dengan
masyarakat berdaya beli, kue pemodal lokal dapat diperbesar.
Meningkatkan kue pemodal lokal harus menjadi target bursa. Dengan
transaksi besar seperti saat ini, dan portofolio lebih banyak di tangan
asing, justru mengancam efektivitas instrumen moneter di sisi keuangan
negara (Bank Indonesia).

Lihat saja detik ke detik transaksi BEI dengan pasar uang, betapa nilai
tukar rupiah digerakkan pola perdagangan saham? Itulah dilema kebijakan
moneter Indonesia saat ini, nilai tukar digerakkan portofolio.
Pendisiplinan pasar harus dilakukan untuk menjaga kepentingan publik
yang lebih luas serta investor itu sendiri. Fungsi pengawasan harus “on
rule basis”. Menjadi aneh kalau ada paket yang justru bangga “akan
menerapkan pengawasan yang fleksibel”.

Di titik ini, suka atau tidak, bagi publik yang lebih luas, penegakan
hukum masih menjadi catatan serius di pasar modal. Demutualisasi bursa
adalah agenda MEA 2015.Teknologi sebagai daya saing bursa memang tak
bisa dihindari.Apakah persoalan teknologi yang memerlukan kebutuhan
investasi, semata-mata tujuan demutualisasi? Perdagangan detik ke detik
dolar Amerika (USD) dengan rupiah (IDR) dan dolar Singapura (SDR); serta
antara SDR dan IDR. Polanya jelas, transaksi asing masuk melalui
Singapura. Lihat pula, BUMN Singapura (Temasek) dan Malaysia (Khasanah)
membeli Bank dan Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia.

Demutualisasi di mata bangsa membutuhkan kecerdasan dalam membaca
tandatanda ekspansi tersebut! Perubahan bisa dibangun dari bersatunya
sikap para AB atas kebutuhan publik, bukan karena fragmentasi AB
terkuat. Selamat memilih! (*)

Yanuar Rizky
Pengamat pasar modal


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249121/

Mobilisasi Investasi Ekonomi Perdesaan

Mobilisasi Investasi Ekonomi Perdesaan

Pembangunan perdesaan di Indonesia beberapa tahun terakhir kian
menunjukkan hasil yang menggembirakan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat perdesaan.

Keberhasilan ini–diakui atau tidak–tentu buah dari keberpihakan
pemerintah selama lima tahun terakhir yang lebih mengarahkan dan
memfokuskan kebijakan pembangunannya ke daerah dan perdesaan. Terlebih
dengan diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri oleh pemerintah, gerak pembangunan di kawasan perdesaan kian masif.

Hal ini ditunjukkan dengan beragam sasaran pada PNPM Mandiri
2008.Tercatat adanya sasaran PNPM perdesaan (12.045 desa, 2.389
kecamatan), PNPM perkotaan (1.528 desa, 955 kecamatan), PNPM desa
tertinggal (1.044 desa, 158 kecamatan), dan PNPM infrastruktur perdesaan
(1.800 desa, 486 kecamatan) dengan alokasi dana Rp6,56 triliun. PNPM
merupakan instrumen pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang
didanai APBN.

Pembangunan perdesaan diperkirakan juga akan mengalami percepatan
(akselerasi), terencana, sistematis, dan komprehensif seiring dengan
keputusan DPR RI untuk segera membahas RUU Pembangunan Perdesaan
bersama- sama dengan unsur pemerintah agar segera menjadi undangundang.

Kondisi faktual di perdesaan dan komitmen politik legislasi di parlemen,
menurut penulis, menarik untuk diperkuat dengan gagasan One Village and
One Product (OVOP).Hal itu agar terdapat suatu desain investasi
perdesaan yang berwatak kultural dan berguna bagi tumbuhnya inovasi
masyarakat perdesaan.

OVOP, Saka-Sakti, dan Sentra Produksi

Konsepsi One Village and One Product (OVOP) dikembangkan oleh Gubernur
Hiramatsu dari prefektur Oita, Jepang. Berinspirasi dari OVOP, lahirlah
konsepsi saka-sakti (satu kabupaten/kota satu kompetensi inti industri)
yang dipaparkan oleh Prof Dr Martani Huseini dari Indonesia.

Tujuan kedua konsepsi itu adalah membangun daya saing daerah melalui
penciptaan kompetensi inti industri di daerah. Seluruh sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki oleh daerah terfokus pada upaya untuk
menciptakan kompetensi inti industri. Perbedaan antara keduanya terletak
pada locus, yaitu sakasakti pada tingkat kabupaten/kota, sedangkan OVOP
di tingkat desa.

Sifat sesentralistik saka-sakti dalam bingkai NKRI dapat diturunkan
dalam bentuk penyaluran alokasi dana permodalan di tingkat desa melalui
tugas pembantuan (medebewind). Dalam hal ini,pihak ketiga (swasta dan
konsultan pemberdayaan) mendapatkan ruang untuk berpartisipasi dalam
menjalankan metode pelatihan, pendidikan, dan pengawalan terhadap akses
permodalan.

Dilihat dari dimensi daerah (kabupaten/kota), pemilihan kompetensi inti
industri tidak boleh keluar dari kriteria-kriteria seperti memiliki
nilai tambah yang tinggi, memiliki keunikan daerah, memiliki keterkaitan
yang kuat, serta memiliki peluang untuk menembus pasar global. Dengan
kata lain penentuan kompetensi inti industri suatu daerah haruslah
memberikan dampak yang besar dalam menstimulus perekonomian daerah.

Selama proses penyusunan RUU Pembangunan Perdesaan,penulis merenungkan
perlunya suatu gagasan yang menghindarkan sikap“meniru”antardaerah dalam
kompetisi. Konsepsi OVOP/sakasakti mempersyaratkan keunikan dalam
produksi unggulan di tiap daerah. Operasionalisasi konsepsi ini masih
dalam tataran kajian, sistem desentralisasi, dan penjajakan pelaksanaan
multisektoral. Adapun perdesaan sebagai “akar kekuatan ekonomi riil” di
Indonesia memerlukan pertimbangan konsepsi,strategi,dan program nasional
tentang OVOP dan saka-sakti.

Kekuatan kelembagaan yang semieksis selama ini adalah suatu kumpulan
atau komunitas usaha dalam “sentra produksi” yang berkonsentrasi dalam
sektor industri kecil dan menengah (IKM). Peran sentra produksi IKM
masih minim dalam perekonomian daerah maupun global. Hal ini disebabkan
akses pendanaan yang relatif sulit meski sudah ada skema kredit.Pola
dana bergulir memerlukan social collateral yang terjamin secara yuridis.
Hal itu agar pola dana bergulir dapat memupus praktik “rentenir desa”
dalam jangka panjang.

Sentra produksi kesulitan pula memperoleh bahan baku yang berkualitas.
Pemasaran produk sentra produksi masih sekitar pasar lokal, pun masih
bersaing dengan masuknya produk China yang lebih murah. Sumber daya
manusia concern pada aspek penjualan untuk kebutuhan pokok sehingga
belum sempat memikirkan manajemen berbasis sistem informasi (pasar,
teknologi, dan desain). Pola manajemen pemasaran saat ini mulai terarah
pada integrated marketing communication (IMC) yang menggabungkan
kekuatan pemasaran konvensional dengan marketing online.

Langkah Mobilisasi

Menilik pada konsep pembangunan desa seperti yang telah dijabarkan di
atas,perlu ada langkah mobilisasi yang menjadi katalis pembangunan desa
itu sendiri. Menurut penulis,langkah-langkah mobilisasi investasi
perdesaan itu terdiri atas berbagai rangkaian mulai dari monitoring dan
evaluasi terhadap praktik perizinan usaha di tingkat perdesaan hingga
tata kelola pemerintahan desa yang baik.

Pertama, monitoring dan evaluasi secara kritis untuk menilai bagaimana
aspek psikologi-sosial masyarakat desa,pihak swasta,dan birokrasi dalam
sistem “perizinan satu atap”. Persepsi tentang perizinan yang “cepat dan
mudah” bisa dibuat dalam bentuk village publication agar investor
percaya dalam melakukan efisiensi biaya pengelolaan sumber daya domestik
di perdesaan.

Kedua, adanya perencanaan spasial (spatial planning) yang menghasilkan
data potensi desa, komoditas, dan produk unggulan, kompetensi inti
sentra produksi, serta dokumen perencanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes), dan
Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes) dari seluruh desa
Indonesia.Pihak investor dapat menyusun prospek investasi berdasarkan
data publik tersebut dan berperan sebagai fasilitator sarana produksi,
pelayanan teknis, manajemen dan pemasaran hingga mediasi dengan lembaga
keuangan.

Ketiga,APBN memberikan alokasi dana desa, yang mengintegrasikan akses
permodalan,akses teknologi, akses informasi, dan penguasaan pasar.
Sistem alokasi ke rekening desa melalui tugas pembantuan (medebewind)
merupakan terobosan agar dana permodalan dapat diakses melalui kerja
sama antara kelompok usaha di desa dengan pihak-pihak swasta yang
langsung berkepentingan dengan komoditi perdesaan.

Keempat, pemda bekerja sama dengan pemerintahan desa dan organisasi
kemasyarakatan mendorong skema value chain (rantai nilai) dalam
penyediaan sarana produksi di segala sektor yang menyangkut industri
pengolahan, pelayanan teknis, manajemen informasi dan pasar. Dengan
pelaksanaan keempat langkah ini, gagasan mobilisasi investasi perdesaan
dalam jangka panjang diharapkan dapat meretas kemandirian masyarakat
perdesaan.

Pelembagaan investasi desa mulai di tingkat program legislasi nasional,
evaluasi perencanaan dan penganggaran, skema permodalan hingga aspek
komunikasi pemasaran, berdampak positif bagi restrukturisasi ekonomi
desa dan penghentian laju urbanisasi.(*)

Marwan Ja’far
Wakil Ketua RUU Pembangunan Perdesaan dan Ketua DPP PKB


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249327/

Realitas Hukum

Realitas Hukum

Hukum sebaik apa pun penyusunannya, sepanjang dilakukan manusia, tetap
saja hilang kesempurnaannya dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan
dalam praktik.


Hal ini sudah tentu di luar jangkauan persepsi dan pemikiran para
pembentuk undang-undang dan para ahli teoretis hukum yang tak pernah
menyelami realitas hukum dalam kehidupan sehari-hari. Hukum dalam
realitas hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia sehingga karakter
hukum bisa berubah-ubah, sangat tergantung dari karakter manusia yang
menggenggam dan menjalankannya.

Janganlah mencari cita dan idealisme hukum di dalam kenyataan karena
langkah seperti itu akan sia-sia belaka dan berujung kekecewaan karena
cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat dalam text book layaknya
garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang menentukan tertib
tidaknya permainan. Cita hukum, kepastian hukum, dan keadilan hanya
ilusi dan mimpi indah para akademisi. Jika hendak menemukan apa dan
bagaimana hukum itu dilaksanakan, temukanlah di dalam kehidupan rumah
tahanan (detention), penjara (prisons), dan di dalam proses persidangan
pengadilan.

Pada proses tersebutlah dapat dirasakan denyut nadi hukum; tidak akan
ditemukan dan dirasakan di dalam proses perdebatan di Senayan. Hukum
dalam realitas Indonesia kira-kira cocok dengan katakata Hobbes,“Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya,mereka saling membinasakan satu
sama lain (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes).”Dalam
masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini dipraktikkan melalui hukum
sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realitas sangat
jauh dari cita kepastian hukum dan keadilan.

*** Pembangunan hukum bukan hanya melahirkan UU sebanyakbanyaknya
(kuantitas), tetapi juga seharusnya memasukkan nilainilai kemanusiaan
yang adil dan beradab di dalam Pancasila sehingga untuk itu diperlukan
manusia pemegang amanah penegakan hukum yang berkarakter dan bermoral
Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan nilai-nilai kepastian
hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi kehidupan manusia.

Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekadar mencapai target
memasukkan sebanyak- banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga
harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat itu
diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan
pengadilan yang tetap. Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam
pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakan
karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum.

Sesungguhnya semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan
serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke dalam bui,itu suatu
pertanda bahwa pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami
kegagalan, bukan harus dinilai dan ditafsirkan sebagai sukses. Sukses
dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan
semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga dengan
demikian merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman.

*** Prinsip peradilan cepat, singkat, dan berbiaya murah hanyalah slogan
belaka karena dalam realitas justru sebaliknya.Keadaan ini disebabkan
“kekeliruan “ pemikir dan pembentuk UU yang tidak mempertimbangkan bahwa
subjek dan sekaligus objek penegakan hukum adalah manusia dengan segala
kefitrahannya. Sebaliknya pembentuk UU bahkan telah menetapkan jumlah
masa penahanan mencapai 400 hari sampai pada tingkat kasasi di MA; belum
lagi pemeriksaan PK yang tidak ada batas waktunya di dalam KUHAP.

Kita bisa bayangkan seseorang dalam tahanan, hari demi hari, bulan demi
bulan sampai dengan 120 hari di tingkat penyidikan; 60 hari di tingkat
penuntutan; 60 hari di tingkat pengadilan negeri, dst sampai di
MA.Bayangkan,kebebasan yang dibatasi selama 24 jam sehari sering tanpa
kepastian hukum kapan akan diperiksa! Diskresi penyidik sangat luas dan
tidak terbatas dalam menjalankan ketentuan penangkapan dan penahanan.
Perpanjangan masa penahanan dalam praktik seperti “ban berjalan”,
seorang tahanan diperlakukan sebagai “komoditas”tanpa nyawa.

Batasan antara ditahan dan tidak ditahan sering tidak jelas dan
terkadang hanya kekuasaan, uang, dan nepotismelah yang mampu membatasi
atau menghentikan diskresi tersebut. Sekalipun secara yuridis normatif
tahanan dan hukuman itu berbeda, dalam realitas hukum keduanya tidak
berbeda; bahkan di dalam lingkungan para tahanan dan penegak hukum,
dikenal pemeo “tahanan m e r u p a k a n panjar hukuman”.

Persoalannya, bagaimanakah jika tahanan itu kemudian dibebaskan oleh
pengadilan? Dari sisi proses stigmatisasi, tidak ada perbedaan makna
antara tahanan dan hukuman sekalipun secara yuridis normatif mereka
dapat dibedakan.Dampak stigmatisasi sosial sebagai “penjahat” atau
“koruptor” telah melekat sejak seseorang ditahan sampai dengan duduk
sebagai terdakwa di sidang pengadilan dan diputus pengadilan dan bahkan
setelah bebas dari hukuman. Masyarakat, bahkan kawan terdekat sekalipun,
sering melihat seseorang yang ditahan dan dihukum layaknya orang
berpenyakit kusta; tidak ada yang mau mendekat atau menyapa.

Realitas hukum inilah yang mendorong kita semua bahwa sebaik- baik
menahan dan menghukum seseorang adalah lebih baik kita dapat mencegah
seseorang melakukan kejahatan.Sebaik filosofi dan perlindungan hukum di
dalam konsep dan aturan, tidak lebih baik lagi jika kita melihat dan
mengamati kenyataan bagaimana pemegang amanah penegakan hukum sering
memberlakukan dan mempermainkan hukum atas dasar kepentingan pribadi,
kelompok, atau kekuasaan; terlupa mereka terhadap sisi kemanusiaan yang
adil dan beradab di dalam Pancasila.

Di dalam negara demokrasi seharusnya masalah perlakuan terhadap tahanan
dan di penjara dijadikan ukuran peradaban suatu bangsa, bukan dijadikan
ukuran keberhasilan untuk mempertahankan dan memelihara citra penegakan
hukum; bahkan justru menambah beban anggaran negara dengan banyaknya
orang dijebloskan ke dalam tahanan dan penjara.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249321/

Hutan untuk Hutan, Hutan untuk Manusia

Hutan untuk Hutan, Hutan untuk Manusia

*M.S. Kaban*
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Kita semua tahu: hutan bukan hanya paru-paru bumi. Ia juga rumah bagi
berjenis-jenis satwa dan tumbuhan. Dalam kandungannya, tersimpan
berbagai mineral dan hasil tambang yang siap dimaslahatkan bagi
kesejahteraan umat manusia. Tidak hanya untuk hari ini, tapi juga sampai
jauh ke masa depan. Anugerah Tuhan yang Maha Esa berupa sumber kekayaan
alam yang serba guna ini harus dikelola sehingga fungsinya terpelihara
sepanjang masa, begitu pula kemampuannya untuk memperbarui diri. Karena
itu, sumber daya alam yang tidak terbarukan pun harus digunakan sehemat
mungkin.

Hutan harus mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat di
sekitarnya, baik manfaat ekonomi, sosial-budaya, maupun ekologi. Secara
yuridis-konsepsional, kedudukan hutan dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut
undang-undang itu, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Kelestarian (/sustainability/), dalam konteks pengelolaan
sumber daya hutan, sejak semula dipahami sebagai pencapaian dan
pemeliharaan yang dapat diperbarui secara terus-menerus.

Faktor-faktor yang menentukan meliputi kondisi sosial-ekonomi
masyarakat, kelengkapan peraturan dan hukum yang menjadi landasan
operasional, perangkat kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan,
serta kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Salah satu program
Departemen Kehutanan yang merujuk pada tujuan itu adalah Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Gerakan yang dicanangkan sejak
2003 ini mentargetkan penghijauan lahan 3 juta hektare dalam kurun lima
tahun. Pelaksanaannya tidak hanya di lahan hutan milik negara, tapi juga
di lahan hutan milik rakyat yang kondisinya rusak.

Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat dalam rangka Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, yang dimulai pada 2003, masih perlu
dilanjutkan mengingat masih adanya lahan tidak produktif di luar kawasan
hutan dengan kondisi masyarakatnya yang masih memerlukan pemberdayaan.
Melalui program ini, hingga 2009 telah tertanam pohon pada kawasan
seluas 3,7 juta hektare dari target 5 juta hektare.

Pembukaan tanaman hutan rakyat merupakan wujud upaya rehabilitasi
meningkatkan produktivitas lahan dengan berbagai tanaman berupa
kayu-kayuan dan non-kayu, memberikan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, serta
meningkatkan kualitas lingkungan melalui percepatan rehabilitasi lahan
dan konservasi tanah.

Pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan ini diarahkan sebagai usaha
kelompok tani secara mandiri, dan diharapkan akan mempercepat upaya
rehabilitasi lahan, perbaikan lingkungan, pemenuhan kebutuhan kayu,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan di sekitar
hutan. Hal ini sesuai dengan satu dari lima kebijakan prioritas
Departemen Kehutanan 2005-2009, yaitu pemberdayaan ekonomi masyarakat di
dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Hutan sebagai sumber daya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kepentingan masyarakat. Tidak boleh dipusatkan pada seseorang, kelompok,
atau golongan tertentu. Karena itu, pemanfaatan dan penggunaan kawasan
hutan harus didistribusikan secara adil melalui peningkatan peran serta
masyarakat, dengan tujuan memberi peluang dan kesempatan yang sama untuk
meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat.

Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor
dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557
meter kubik dengan luas 1.568.415,64 hektare, sedangkan data potensi
hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai
39.564.003 meter kubik dengan luas 1.560.229 hektare. Jumlah pohon
mencapai 226.080.019 batang, dengan jumlah pohon siap tebang 78.485.993
batang.

Pasal 70 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bagaimana
masyarakat ikut dalam mengelola hutan dan bagaimana pemerintah ikut
mendorong partisipasi masyarakat. Dampak yang diinginkan adalah
masyarakat sejahtera, khususnya masyarakat sekitar hutan. Mereka
diharapkan memiliki keterikatan dengan hutan di sekitarnya, baik ikatan
sosial maupun ikatan ekonomi.

Berdasarkan pengalaman, keberhasilan pengembangan hutan rakyat terutama
ditentukan pula oleh kesesuaian jenis pohon dengan kondisi lahan
pembudidayaannya. Beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan di hutan
rakyat, seperti sengon (/Paraserianthes falcataria/), kayu putih
(/Melaleuca leucadendron/), aren (/Arenga pinata/), sungkai (/Peronema
canescens/), akasia (/Acacia sp/.), jati putih (/Gmelina arborea/),
johar (/Cassia siamea/), kemiri (/Aleurites moluccana/), kapuk randu
(/Ceiba petandra/), jabon (/Anthocepallus cadamba/), mahoni (/Swietenia
macrophylla/), bambu (/Bambusa/), mimba (/Azadirachta indica/), cemara
pantai (/Casuarina equisetifolia/), dan kaliandra (/Calliandra
calothyrsus/).

Selain mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan,
Departemen Kehutanan berupaya keras melakukan penanaman pohon secara
besar-besaran dan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan. Antara lain
dengan Program HTI, yang hingga 2009 telah menanam pohon pada kawasan
seluas 4,2 juta hektare dari target 5 juta hektare; Program Perluasan
dan Intensifikasi Hutan Rakyat hingga 2009 telah menanami 1,7 juta
hektare dari target 2 juta hektare; Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat
hingga 2015 dengan target 5,4 juta hektare; Hutan Desa hingga 2015
dengan target 2,1 juta hektare; dan Hutan Kemasyarakatan hingga 2015
dengan target 2,1 juta hektare.

Departemen Kehutanan juga telah berupaya menurunkan laju deforestasi dan
degradasi hutan dan lahan dari 2,83 juta hektare per tahun pada
1999-2000 menjadi 1,08 juta hektare per tahun pada 2000-2006, menurunkan
lahan yang terdegradasi atau kritis dari 59,3 juta hektare sebelum 2005
menjadi 30 juta hektare setelah 2005.

Tingkat pencurian kayu dan perdagangan kayu ilegal turun dari 9.600
kasus pada akhir 2004 menjadi 300 kasus pada akhir 2008. Tingkat
kebakaran lahan dan hutan, dengan jumlah /hotspot/ 121.622 titik pada
2006, turun menjadi 27.247 titik pada 2007, dan hingga 11 November 2008
terpantau 17.020 titik. Dibanding pada 2006 di provinsi rawan kebakaran,
pada 2007 terjadi penurunan /hotspot/ sebesar 78 persen dan pada 2008
terjadi penurunan /hotspot/ sebesar 86 persen.

Bayangkan, satu hektare saja lahan yang dipenuhi oleh pohon besar mampu
menyumbangkan banyak hal, di antaranya menghasilkan 0,6 ton oksigen per
hari (jumlah yang dibutuhkan oleh 1.500 orang per hari), menyerap 2,5
ton karbon dioksida per tahun, menyimpan 900 meter kubik air tanah per
tahun, mentransfer 4.000 liter air per hari, meredam kebisingan 25-80
persen, meredam angin 75-80 persen, dan menyerap gas emisi mobil.

Karena itu, keuntungan yang dapat diambil dalam meningkatkan pendapatan
negara sekaligus menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah melalui
program perdagangan emisi karbon, atau yang lebih dikenal dengan
perdagangan karbon. Sebagaimana disetujui oleh Kyoto Protocol Clean
Development Mechanism (CDM) dan sebagian oleh Chicago Climate Exchange
(CCX), demi mengurangi gas buang karbon di dunia, negara maju memberikan
kompensasi bagi negara berkembang yang mampu menekan emisi gas
karbonnya. Hitungan rata-ratanya US$ 10 per ton karbon. Indonesia
berpeluang besar untuk terlibat dalam perdagangan karbon ini.

Semua upaya ini dilakukan karena Departemen Kehutanan sadar bahwa hutan
mempunyai peranan yang sangat besar dalam keseimbangan lingkungan
global, sehingga keterikatannya dengan dunia internasional sangat
penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Apalagi jenis
hutan di Indonesia merupakan ekosistem terkaya di bumi serta berperan
penting dalam hidrologi regional, penyimpanan karbon, dan iklim global.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/23/Opini/krn.20090623.168964.id.html

Perdebatan Setengah Hati

Perdebatan Setengah Hati

PERDEBATAN antarcalon presiden yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
di Studio Trans Corporation,Jakarta,Kamis (18/6), menuai kritik dari
berbagai kalangan.


Tiga koran Ibu Kota yang penulis baca memberi judul berita utamanya
dengan nada sumbang. Koran Seputar Indonesia, edisi Jumat (19/6)
misalnya, memberi judul,“Debat Capres Kurang Seru,” sementara Kompas,
“Debat Tanpa Perdebatan,” dan The Jakarta Post memberi judul yang
puitis, “A dull debate? A Debut nontheless.” Bagi penulis sendiri, debat
antarcapres itu dapat dikatakan ”perdebatan setengah hati,” karena
masing-masing kandidat presiden agak sungkan untuk mengomentari atau
mengkritik secara tajam pandangan ataupun pendapat para kandidat yang lain.

Gaya berdebat semacam itu dapat dimaklumi karena, pertama, masing-masing
calon presiden pernah dan ada yang masih berada dalam pemerintahan yang
sama; kedua, para calon presiden terbelenggu oleh budaya politik yang
seolah-olah masih dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa
mengkritik itu suatu yang tidak sopan, apalagi kalau itu dilakukan oleh
calon pemimpin bangsa; ketiga, KPU sendiri membuat aturan yang terlalu
protokoler dan kaku sehingga mereka yang berada di ruangan pun tidak
boleh bertepuk tangan sebelum seorang kandidat selesai bicara.

Padahal,spontanitas penonton amat penting agar suasana menjadi meriah
dan alami. Lepas dari semua kelemahan itu, penulis setuju dengan judul
The Jakarta Post, paling tidak ini debut awal yang baik di mana para
capres dapat melontarkan gagasannya secara langsung di hadapan publik.
Mari kita simak kembali debat soal ketatanegaraan yang telah berlalu
itu. Pada paparan pertama yang masing-masing capres mendapatkan waktu 10
menit, capres nomor urut 1, Megawati Soekarnoputri, tanpa teks bicara
panjang lebar soal pemerintahan yang melayani dan mengayomi masyarakat
dengan baik dan bukan pemerintahan untuk dirinya sendiri.

Megawati menekankan aspek filosofis berbangsa dan bernegara yang
bersendi pada konstitusi negara serta pentingnya pembangunan karakter
bangsa yang dulu dikumandangkan Bung Karno. Capres nomor 2, Susilo
Bambang Yudhoyono, dengan teks yang sudah disiapkan, lebih menekankan
hasil yang sudah dicapainya selama lima tahun ini,khususnya pada
persoalan tiadanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penegakan
hukum yang tanpa pandang bulu.

Lalu capres nomor 3, Jusuf Kalla,seperti juga Megawati tanpa teks bicara
secara detail tentang tata pemerintahan dari tingkat presiden sampai ke
kepala desa. Jusuf Kalla juga menekankan pentingnya tujuan berbangsa dan
bernegara sesuai dengan alinea keempat pembukaan UUD 1945. Dari ketiga
capres, Jusuf Kalla merupakan kandidat yang paling hemat menggunakan
waktu,yakni kurang dari 8 menit.

Santai dan Grogi

Walau Megawati awalnya agak kaku,namun harus diakui bahwa Mega adalah
capres yang paling santai pada prosesi tanya jawab, bahkan banyak
mengumbar senyum dan tawa,sementara SBY tetap serius dan Jusuf Kalla
agak grogi. Mega berhasil memecah kekakuan dengan kalimat-kalimat yang
mengundang tawa hadirin.

Posisi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden menyebabkannya agak grogi
untuk berbeda pandangan dengan SBY ataupun Megawati. Padahal, ia dapat
saja tetap bersikap apa adanya sebagai seorang pribadi dan bicara terus
terang dan santai.Jusuf Kalla seharusnya menggunakan pilihan kata yang
tidak membuat dirinya berada pada posisi yang tidak sederajat dengan dua
pasangan lain.

Contohnya, dia dapat mengatakan,”Karena saya masih wakil presiden,saya
setuju dengan pandangan Pak SBY sampai 20 Oktober 2009, batas akhir
pemerintahan yang sekarang, selepas itu saya punya rencana dan kebijakan
sendiri yang lebih cepat, lebih baik dari apa yang sudah dilakukan oleh
pemerintahan yang sekarang.” Debat antarcalon presiden yang lalu memang
terlalu protokoler. Tidaklah mengherankan jika tidak sedikit media massa
dan pengamat politik serta komunikasi politik yang menyarankan agar dua
debat capres yang akan datang lebih hidup.

Kita tidak dapat terusmenerus terbelenggu oleh budaya ketimuran yang
katanya tidak cocok dengan gaya debat capres atau calon perdana menteri
di negaranegara Barat. Pemilihan presiden langsung mengharuskan para
calon untuk dapat mengemukakan pandangannya secara lugas dan
cerdas,tanpa harus menohok pribadi seseorang. Gaya berpolitik yang lugas
sudah ada sejak Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, bahkan sejak era
Volksraad sekalipun.

Kalaupun calon pemimpin bangsa berdebat secara lugas dan keras, ini
tidak mengurangi penghormatan orang padanya. Bahkan rakyat akan tahu
karakter para calon pemimpinnya,apakah seorang yang terperamental
ataukah orang yang dapat menangkis komentar lawannya secara santai,
santun,tapi menohok.

Rakyat juga tidak mudah terpana pada potret wajah calon pemimpin yang
tersebar melalui baliho,melainkan memahami kapabilitas calon pemimpin
bangsanya dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa ke depan yang jauh
lebih menantang dan rumit. Hanya melalui perdebatan sejati hal itu dapat
diketahui rakyat, bukan melalui “perdebatan setengah hati.”(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249356/38/

Demokrasi Mur dan Baut

/Demokrasi Mur dan Baut/

*M. Alfan Alfian*
DOSEN FISIP UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA

Hari ketika malamnya debat (tanpa debat) putaran pertama calon presiden
yang dilakukan dengan panelis Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid
Baswedan, PhD, Kamis, 18 Juni 2009, di Studio Trans Corporation,
berbagai surat kabar masih memberitakan perkara hilangnya banyak mur,
lampu penerang jalan, dan rambu-rambu lalu lintas di Jembatan Suramadu.
Beberapa bagian jembatan sepanjang 5,4 kilometer yang menghubungkan
Surabaya dengan Madura yang didesain tahan erosi dan serangan air laut,
sanggup bertahan sekitar 100 tahun, menelan biaya hingga Rp 5 triliun,
serta melibatkan 3.500 pekerja dari Indonesia dan Cina ini mulai kotor
dengan aneka coretan, di antaranya bertulisan "Love 2009", "Aku Datang",
dan "Andrian 06/09" (/Koran Tempo/, 17 Juni 2009).

Tampaknya banyak yang menilai bahwa acara debat antarcalon presiden
ternyata tak berciri perdebatan alias "debat tanpa debat", lebih mirip
silaturahmi mur dan baut. Mur adalah benda yang berpasangan secara tepat
dan menguatkan apabila dipasangkan dengan baut. Debat diadakan Komisi
Pemilihan Umum yang diikuti calon presiden Megawati Soekarnoputri,
Susilo Bambang Yudhoyono, dan M. Jusuf Kalla itu berlangsung datar-datar
saja, berisi pertanyaan yang dijawab dengan saling melengkapi sehingga
kekontrasan satu sama lain tidak mengemuka.

Kalau Megawati menjawab duluan, Yudhoyono dan Kalla melengkapinya. Kalau
Yudhoyono menjawab duluan, Megawati dan Kalla menambahkan ulasannya.
Kalau Kalla menjawab duluan, Megawati dan Yudhoyono memperkuatnya. Kalau
yang satu menjadi baut, yang lain menjadi murnya. Begitulah kira-kira,
seperti forum silaturahmi "/mikhul dhuwur mendhem jero/". Mereka tidak
saling menyerang dan "buka-bukaan", bahkan saling menutupi kelemahan
satu sama lain, tak seperti debat di level antartim sukses masing-masing.

Debat antarcapres itu menjadi ajang untuk beraksi seperti anekdot sepak
bola kesebelasan Solo versus Yogya yang pernah dilontarkan oleh udayawan
Emha Ainun Nadjib. Kedua kesebelasan itu sopan-sopan, di mana
masing-masing saling menghormati, sehingga hasil pertandingan sampai
babak akhir nol-nol. Ketika bola sudah di depan gawang kesebelasan
Yogya, sang kiper malah mempersilakan, "/Monggo/, dimasukkan saja!"
Tapi, karena pada dasarnya kesebelasan Solo sungkan dan menghormati agar
timnya tidak menang dan tak ingin menyakiti lawan mainnya, bola itu
dioper lagi ke tengah dan berputar-putar di sana. Demikian pula kiper
kesebelasan Solo memperlakukan hal yang sama terhadap kesebelasan Yogya,
dan kejadiannya sama pula. Meraka saling menghormati, memberi
kesempatan, tapi sama-sama tak mau mengecewakan lawan.

Jadi tak ada yang antagonis dalam debat itu, tapi entah pada debat-debat
putaran berikutnya.

/Checks and balances/
Barangkali itulah debat yang disesuaikan dengan kultur kita. Mungkin
masing-masing calon presiden sama-sama meyakini rumus bahwa ketika
tampil di panggung bersama-sama, maka publik akan menilai bahwa siapa
yang terlampau banyak menyerang lawan, maka nilainya akan turun.
Sebaliknya, kalau menyanjung lawan, nilainya akan naik. Soalnya, kalau
menyerang dalam sebuah acara debat yang ditonton banyak orang, ia
langsung berada di wilayah antagonis, di mana penonton Indonesia pun
langsung menjadikannya musuh karena dipandang tak sopan. Jadinya debat
antarcalon presiden terkesan menjadi perlombaan kesopanan, sesuai dengan
adat istiadat budaya Timur.

Kalau demikian, bagaimana dengan nasib demokrasi /checks and balances/,
ketika batas antara Tom dan Jerry tidak jelas, setidaknya hanya sebatas
wacana? Tak usah perlu dikhawatirkan. Sistem pemerintahan kita bukan
parlementer, melainkan presidensial, walaupun pemerintahan akan
dikontrol oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi, kalau mayoritas anggota
DPR pendukung pemerintah, sementara presiden-wakil presiden terpilih
didukung oleh mayoritas mutlak, bagaimana jadinya? Peluang /checks and
balances/ masih terbuka juga. Pemerintahan yang secara demokratis kuat
legitimasinya, sebagaimana ditandai oleh kemenangan besar dalam pemilu
legislatif dan pemilihan presiden, tak berarti berjalan begitu rupa
tanpa kontrol. Setidaknya, kalau DPR kurang optimal, elemen-elemen
masyarakatlah yang akan mengkritiknya.

Antara yang memerintah dan yang diperintah idealnya terkait dalam suatu
hubungan yang saling melengkapi, seperti mur dan baut. Kekuatan
pengimbang alias oposisi perlu karena performa demokrasi langsung yang
multipartai membukakan pintu bagi kemunculannya. Oposisi bisa menjadi
mur bagi pemerintah yang menjadi bautnya. Letak kontrolnya adalah soal
dukungan. Kalau kebijakan pemerintah tak selaras dengan apa yang dinilai
oposisi tak selaras dengan aspirasi publik, mur tak mau melekat ke baut,
atau kalau melekat itu pun hanya menempel sehingga akibatnya kebijakan
itu tak kuat alias tak mantap. Jadi pola /checks and balances/ kita
bukanlah selalu ditandai dengan hal-hal yang diametral.

Tapi bukannya lantas semua itu menghilangkan kekontrasan. Antara
pemerintah dan oposisi tak harus seperti Tom dan Jerry, tapi keduanya
harus menjaga wibawa masing-masing. Posisi dan fungsi kontrol oposisi
harus optimal, tapi tanpa harus "tidak sopan" dan terlalu antagonis. Dan
pemerintah pun harus lebih peka terhadap banyak aspirasi yang berkembang
serta mampu membuat kebijakan jalan tengah yang terbaik bagi kemajuan.
Di atas semua itu, semua aktor politik dan yang lain tetap bermain di
dalam kerangka konstitusi dan hukum-hukum yang ada. Penegakan hukum
harus dijamin, tanpa pandang bulu atas siapa saja.

*Disiplin bangsa*
Hilangnya mur, lampu, dan yang lain di Jembatan Suramadu menyisakan
pertanyaan serius yang terkait dengan mentalitas dan disiplin kita
sebagai bangsa. Apakah kita masih seperti apa yang digambarkan oleh
Mochtar Lubis dalam /Manusia Indonesia/? Apakah kultur kita masih
dibungkus kemunafikan, ditambah pula jauh dari disiplin, apalagi
benar-benar berkorban dan berjuang dalam mengoptimalkan kepentingan
nasional? Sungguh, fenomena ini masih menjadi bagian dari wajah kita.

Tapi, dengan adanya debat antarcalon presiden, betapapun masih memiliki
sejumlah kelemahan, budaya demokrasi dicoba disosialisasi terus-menerus.
Pembangunan mentalitas demokratis butuh proses, di mana diharapkan semua
pihak bisa lebih empan papan, tahu hak dan kewajiban, serta berdisiplin
dalam membangun bangsa. Bukan "merusak bangsa" dengan melakukan hal-hal
yang fatal yang membahayakan orang banyak dan kepentingan bangsa.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/23/Opini/krn.20090623.168965.id.html

Pembangkangan Struktural Partai Politik

Pembangkangan Struktural Partai Politik
Oleh Eko Setiobudi Alumni Magister Perencanaan Kebijakan Publik UI


P EMILU Legislatif 2009 sudah usai
Namun, berbagai persoalan pelik muncul mengiringi kehidupan partai politik
Berbagai persoalan itu bagai tabuhan yang meningkahi arak-arakan politik
menuju pesta demokrasi tahap berikutnya, yaitu pemilihan presiden.
Secara sporadis muncul feno mena ‘pemberontakan’ dan ‘pembangkangan’
struktural sehingga tampak frontal antara arus bawah dengan arus atas
dalam partai politik

Sebagai contoh paling mencolok, pada saat deklarasi pasangan Megawati
Soekarnoputri (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra) di Bantar Gebang,
Bekasi, tampak warna-warni bendera partai politik, seperti Partai Amanat
Nasisonal (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Padahal pimpinan
kedua partai itu sudah teken kontrak berkoalisi dengan Partai Demokrat
yang mengusung capres/cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meski sudah sepakat
berkoalisi dengan Partai Demokrat, belakangan mulai usil, yaitu merilis
hasil survei yang menyatakan popularitas pasangan SBY/Boediono semakin
terkejar oleh popularitas Jusuf Kalla-Wiranto
Hal serupa juga terjadi di parlemen. Pada saat Sidang Paripurna Selasa
(26/5) lalu, Fraksi PKB, PPP, dan PAN berada pada barisan yang sama,
yaitu menyetujui dilaksanakannya hak angket terhadap pelanggaran pemilu
tempo hari yang secara fantastis dimenangi Partai Demokrat
Fraksi-fraksi itu menuding telah terjadi kecurangan dan kejahatan secara
sistematis yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama pemerintah
yang bertujuan memenangkan Demokrat
Konflik internal Tidak bisa dimungkiri, perbedaan dan bahkan
pertentangan sikap politik ini berakar pada elite partai dengan level
yang ada di bawahnya
Pemicu konfl ik internal adalah hasil pemilu legislatif tempo hari yang
tidak memuaskan
Paling tidak ada dua hal yang berimplikasi terhadap ancaman perpecahan
parpol. Yakni terkait dengan koalisi pilpres yang dianggap tidak
menguntungkan bagi sebagian kalangan elite parpol serta turunnya
perolehan suara parpol dalam Pemilu Legislatif 2009
Sejauh yang bisa di simak di berbagai media massa, beberapa partai
politik tersebut, antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Demokrasi Pembaruan
(PDP), Partai Amanat Nasional (PAN)
Fenomena yang kita temui dalam partai politik ‘sipil’ ini adalah tidak
berjalannya proses regenerasi dalam struktur elite partai politik.
Jabatanjabatan elite partai politik masih diisi orang-orang lama
Di sisi lain, kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada partai
politik setelah reformasi 1998, yang ditandai dengan digelarnya tiga
kali pemilu (1999, 2004, dan 2009) yang diikuti par tai politik dalam
jumlah besar (multipartai), telah menghasilkan supremasi sipil yang
mendapatkan legitimasi kuat, baik legiti masi politik, sosial, maupun
legitimasi budaya. Atas nama demokrasi dan kepentingan sipil, berbagai
bentuk dan pe rilaku politik dari elite politik ‘sipil’ dilegalisasikan
perilaku politik dalam frame demokrasi modern. Kita bisa menyaksikan
sendiri bagaimana partai politik memiliki peranan yang dominan dalam
konteks pengambilan kebijakan di luar kebijakan politik
Alhasil, partai politik memiliki posisi bargaining yang amat kuat, baik
di hadapan pemerintah, pengusaha/swasta, maupun masyarakat sendiri

Fenomena itu seolah memberikan gambaran, segala sesuatu harus
diselesaikan melalui mekanisme politik dengan melibatkan partai politik
sebagai kartu truf jika menginginkan hasil yang maksimal. Hal ini
menggambarkan bahwa prag matisme politik amat inheren dengan inte grasi
sosial kehidupan politik nasional, dengan partai politik berada di dalamnya

Fenomena perpecahan partai politik, kegagalan regenerasi dan sikap
arogansi yang amat dominan, menyisakan sebuah pertanyaan penting, sakan
sebuah pertanyaan penting, yaitu inikah yang disebut demokrasi sipil?
Inikah yang disebut kebebasan politik sipil? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut penulis akan melihatnya dari beberapa sisi, yaitu
Pertama, kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada partai politik
pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 adalah kepercayaan organik dalam bentuk
minim karena tanpa diikuti kesadaran kolektif masyarakat yang tinggi
Indikatornya adalah (1) Ba nyaknya suara golput dalam kedua pemilu
tersebut. (2) Agenda partai adalah agenda lima tahunan, yaitu setiap
momentum pemilu saja dengan pola mobilisasi suara untuk memenangkan
pemilu sehingga jelas bahwa masyarakat hanya diposisikan sebagai basis
untuk mendapatkan suara. patkan suara
Kedua, fenomena terseTIYOK but sekaligus memberikan gambaran tentang
integrasi sosial antara masyarakat, partai politik, dan swasta yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal keseimbangan antara
ketiganya (masyarakat, partai politik, dan swasta) amat penting dalam
konteks mewujudkan kesadaran kolektif di masyarakat, khususnya dalam hal
mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) dan berjalannya
pendidikan politik di masyarakat. Kegagalan partai politik dalam
mengemban kepercayaan masyarakat telah mengakibatkan ketidakseimbangan
integrasi di antara ketiganya
Dengan demikian apa yang pernah dikhawatirkan sosiolog Emile Durkheim
benar-benar akan terjadi dalam kehidupan politik kita. Durkheim
mencatat, solidaritas sosial dalam masyarakat akan terancam karena
adanya benturan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Dengan menguatnya solidaritas organik itu diakibatkan perilaku
menyimpang yang akan merusak kedasaran kolektif masyarakat

Ketiga, ketidakseimbangan yang disertai dengan kegagalan regenerasi
partai politik tersebut akan sangat berpotensi untuk menghentikan
evolusi sosial-politik dari kehidupan politik nasional sehingga lambat
laun ‘sipil’ (masyarakat) benar-benar tidak mendapatkan posisinya dalam
tata kehidupan bangsa. Karena posisinya telah direbut dan direduksi
partai politik yang mengklaim mewakili (kepentingan) masyarakat

Padahal jelas bahwa Max Weber dalam The Theory of Social and Ecomomic
Organization mengatakan, tindakan sosial individu akan membentuk
bangunan dasar dari struktur sosial yang lebih besar, dengan mendasarkan
pada serangkaian distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari
tingkatan hubungan sosial ke tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial
politik (Doyle Paul Johnson: 1981) Berdasarkan pada analisis tersebut,
jika konfl ik partai politik yang berbasiskan pada perebutan kekuasaan
dalam tubuh partai tidak segera diakhiri, sudah selayaknya jika
masyarakat segera mencabut dukungan dan kepercayaan kepada partai
politik. Karena jelas, bahwa gambaran konfl ik dalam tubuh partai
politik adalah bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan
pendidikan politik dan mengemban dan menjalankan kepercayaan masyarakat.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/23/ArticleHtmls/23_06_2009_017_002.shtml?Mode=0