Integritas Bursa Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Pemilihan direksi Bursa Efek Indonesia (BEI) berdempetan dengan
pemilihan presiden (pilpres). Sinyal daya sadar bangsa Indonesia untuk
bersiap diri menyambut era integrasi perekonomian ASEAN (MEA: Masyarakat
Ekonomi ASEAN), yang telah disepakati dimulai 2015.
Secara hukum (de jure) pemilihan direksi BEI adalah hak para pemegang
sahamnya,yaitu perusahaan efek yang menjadi anggota bursa
(AB).Tapi,apakah bursa bisa besar tanpa partisipasi masyarakatnya?
Itulah de facto legitimasi kepemimpinan bursa yang efektif. Ada
ketakutan yang besar (status quo) di antara pelaku dan otoritas pasar
modal untuk menyertakan euforia publik. Fakta ini terlihat dari beragam
pernyataan “jangan politisasi bursa”.Pertanyaannya, apakah betul bursa
terbebas dari kepentingan politik?
Jejak Politisasi Bursa
Paket Ito Warsito menyatakan kelebihannya “memiliki kedekatan dengan
pemerintah,Bank Indonesia, dan BUMN”(Seputar Indonesia, Rabu,17
Juni).Sinyal ini seolah mengonfirmasi gosip pelaku pasar sejak awal
tahun ini “Lapangan Banteng tetap yang menentukan meskipun aturan main
pemilihan direksi BEI adalah hak demokratis AB”.
Maaf saja,kampanye Paket Ito yang diusung AB papan atas justru menjadi
anomali atas pernyataan “jangan politisasi bursa”. Sebuah pernyataan
yang seolah tidak politis, tapi faktanya justru politis untuk
mempertahankan status quo “arisan di antara para elit di lantai bursa”.
Mari kita ambil contoh pemilihan Dewan Gubernur BI.Hak publik sebagai
pemegang kepentingan diwakilkan kepada presiden (sebagai pihak yang
mencalonkan) dan DPR (yang melakukan pemilihan, seperti layaknya RUPS).
Meskipun secara de jurepemilihan terpusat di antara DPR-Presiden,euforia
publik sebagai pihak yang berkepentingan tetap dibangun dalam wacana di
baliknya. Struktur bursa dengan model swastanisasi memang dimaksudkan
untuk fleksibilitas sesuai kebutuhan para pelakunya.Tapi,apakah bursa
terpisah dari kepentingan publik? Tidak. Karena otoritas negara
(Bapepam-LK) memiliki hak melakukan penetapan kriteria dan uji kepatutan
atas kandidat yang diajukan para pelaku pasar.
Struktur tata laksana pengaturan bursa sangat jelas,yaitu melindungi
kepentingan publik. Cukup aneh jika otoritas tidak membangun euforia
publik di balik proses pemilu direksi BEI.Yang harus disterilkan adalah
politik praktis, tapi bukan hak politik rakyat atas pilihan strategis
lembaga negara yang sejalan dengan kepentingannya. Menjadi lucu jika
kenyataannya politik praktis justru tampak di setiap dukungan atas
sebuah paket tertentu, dari era ke era pemilihan direksi bursa.
Dukungan negara, dalam hal ini pemerintah, akan menjadi sah sepanjang
itu mewakili politik kepentingan publik. Mari kita jawab bersama, apakah
Anda sebagai publik menemukan jawaban atas beragam permasalahan
intermediasi sektor keuangan ke sektor riil dari proses uji kepatutan
oleh Bapepam-LK? Rasanya, ketertutupan justru sangat terasa,domain
publik tidak dibangun. Hanya mengumumkan “Paket Ito dan paket Rugeh
memenuhi syarat mengikuti pemilu BEI”.
Membangun hiruk-pikuk (euforia) publik itu penting. Tidak akan ada bursa
yang dicintai oleh publik jika tidak mengajak publik dalam pusarannya.
Bursa adalah sarana masyarakat berinteraksi. Tanpa itu bursa hanyalah
benalu. Itulah mengapa dalam pusaran isu “neolib”, bursa menjadi sasaran
tembak paling empuk.
Likuiditas dan Intermediasi
Bursa sebagai entitas badan hukum usaha (PT) tentu membutuhkan dana
untuk menjalankan operasionalnya.Pendapatan bursa secara operasional
didapat dari fee transaksi perdagangan dan pencatatan.
Perputaran transaksi yang tinggi (likuiditas) tentu saja dibutuhkan oleh
bursa dan para pelakunya. Meski demikian,bursa sebagaimana ditetapkan
Undang-Undang No 8 tentang Pasar Modal haruslah menjaga transaksi yang
wajar, teratur, dan efisien sehingga “biaya” yang harus dijaga dari
“pendapatan” bursa,yaitu fungsi pengawasan dan penegakan hukum.
Membaca tantangan bursa tak akan terpisahkan dari perannya sebagai (1)
penghubung (intermediasi: sistem dan mekanisme pencatatan) antara sektor
keuangan (pemodal) dan sektor riil; (2) agen likuiditas antar pemodal
(sistem dan mekanisme perdagangan) serta (3) menjaga keteraturan
pencatatan dan perdagangan (sistem pengawasan) menuju bursa yang
disiplin (mekanisme penegakan hukum). Paket Rugeh dalam tag line
kampanye di Facebook menyatakan “mengembalikan citra rasa originitas
bursa”.
Sementara Paket Ito menonjolkan penambahan daya serap pasar melalui
harmonisasi dengan pemerintah. Originitas pasar modal memang sangat
diperlukan di tengah suasana bursa yang terlalu bertumpu ke likuiditas,
yang justru mencerabut akar intermediasi. Jika diibaratkan sebuah pohon,
akar bursa adalah intermediasi,yang kemudian diberi pupuk likuiditas,
dan dirawat oleh ketegasan otoritas dalam menjaganya.
Bursa memerlukan bibit-bibit baru instrumen yang dicatatkan meskipun
transaksi sedemikian meriahnya.Tapi,sebuah pekerjaan rumah yang belum
dijawab adalah rendahnya daya intermediasi bursa ke sektor riil.
Bukankah,jika transaksi bursa likuid harusnya persoalan sektor riil yang
kekurangan modal menemukan solusinya? Suka atau tidak, munculnya PHK di
saat bursa meriah merupakan fakta anomali likuiditas atas intermediasi
itu sendiri.
Dalam struktur ekonomi yang memiliki kesenjangan cukup tinggi seperti
Indonesia,peran belanja dan instrumen kebijakan pemerintah memang akan
menjadi pemain utama sehingga paket Ito juga benar karena harmonisasi
dengan pemerintah merupakan kunci sukses untuk mengarahkan pasokan
kebutuhan dana pasar modal ke sektor riil. Tapi, apakah hiruk-pikuk
kampanye ini melahirkan ide baru dari kedua paket tentang terobosan
intermediasi yang dapat menjadi solusi sektor riil Indonesia, berupa
penyerapan pengangguran?
Penyerapan pengangguran adalah jiwa dari dunia usaha, yaitu pasar (riil)
yang memiliki peningkatan daya beli masyarakatnya. Hanya dengan
masyarakat berdaya beli, kue pemodal lokal dapat diperbesar.
Meningkatkan kue pemodal lokal harus menjadi target bursa. Dengan
transaksi besar seperti saat ini, dan portofolio lebih banyak di tangan
asing, justru mengancam efektivitas instrumen moneter di sisi keuangan
negara (Bank Indonesia).
Lihat saja detik ke detik transaksi BEI dengan pasar uang, betapa nilai
tukar rupiah digerakkan pola perdagangan saham? Itulah dilema kebijakan
moneter Indonesia saat ini, nilai tukar digerakkan portofolio.
Pendisiplinan pasar harus dilakukan untuk menjaga kepentingan publik
yang lebih luas serta investor itu sendiri. Fungsi pengawasan harus “on
rule basis”. Menjadi aneh kalau ada paket yang justru bangga “akan
menerapkan pengawasan yang fleksibel”.
Di titik ini, suka atau tidak, bagi publik yang lebih luas, penegakan
hukum masih menjadi catatan serius di pasar modal. Demutualisasi bursa
adalah agenda MEA 2015.Teknologi sebagai daya saing bursa memang tak
bisa dihindari.Apakah persoalan teknologi yang memerlukan kebutuhan
investasi, semata-mata tujuan demutualisasi? Perdagangan detik ke detik
dolar Amerika (USD) dengan rupiah (IDR) dan dolar Singapura (SDR); serta
antara SDR dan IDR. Polanya jelas, transaksi asing masuk melalui
Singapura. Lihat pula, BUMN Singapura (Temasek) dan Malaysia (Khasanah)
membeli Bank dan Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia.
Demutualisasi di mata bangsa membutuhkan kecerdasan dalam membaca
tandatanda ekspansi tersebut! Perubahan bisa dibangun dari bersatunya
sikap para AB atas kebutuhan publik, bukan karena fragmentasi AB
terkuat. Selamat memilih! (*)
Yanuar Rizky
Pengamat pasar modal
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249121/
Integritas Bursa Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.55
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar