BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mobilisasi Investasi Ekonomi Perdesaan

Mobilisasi Investasi Ekonomi Perdesaan

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.55

Mobilisasi Investasi Ekonomi Perdesaan

Pembangunan perdesaan di Indonesia beberapa tahun terakhir kian
menunjukkan hasil yang menggembirakan bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat perdesaan.

Keberhasilan ini–diakui atau tidak–tentu buah dari keberpihakan
pemerintah selama lima tahun terakhir yang lebih mengarahkan dan
memfokuskan kebijakan pembangunannya ke daerah dan perdesaan. Terlebih
dengan diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri oleh pemerintah, gerak pembangunan di kawasan perdesaan kian masif.

Hal ini ditunjukkan dengan beragam sasaran pada PNPM Mandiri
2008.Tercatat adanya sasaran PNPM perdesaan (12.045 desa, 2.389
kecamatan), PNPM perkotaan (1.528 desa, 955 kecamatan), PNPM desa
tertinggal (1.044 desa, 158 kecamatan), dan PNPM infrastruktur perdesaan
(1.800 desa, 486 kecamatan) dengan alokasi dana Rp6,56 triliun. PNPM
merupakan instrumen pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang
didanai APBN.

Pembangunan perdesaan diperkirakan juga akan mengalami percepatan
(akselerasi), terencana, sistematis, dan komprehensif seiring dengan
keputusan DPR RI untuk segera membahas RUU Pembangunan Perdesaan
bersama- sama dengan unsur pemerintah agar segera menjadi undangundang.

Kondisi faktual di perdesaan dan komitmen politik legislasi di parlemen,
menurut penulis, menarik untuk diperkuat dengan gagasan One Village and
One Product (OVOP).Hal itu agar terdapat suatu desain investasi
perdesaan yang berwatak kultural dan berguna bagi tumbuhnya inovasi
masyarakat perdesaan.

OVOP, Saka-Sakti, dan Sentra Produksi

Konsepsi One Village and One Product (OVOP) dikembangkan oleh Gubernur
Hiramatsu dari prefektur Oita, Jepang. Berinspirasi dari OVOP, lahirlah
konsepsi saka-sakti (satu kabupaten/kota satu kompetensi inti industri)
yang dipaparkan oleh Prof Dr Martani Huseini dari Indonesia.

Tujuan kedua konsepsi itu adalah membangun daya saing daerah melalui
penciptaan kompetensi inti industri di daerah. Seluruh sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki oleh daerah terfokus pada upaya untuk
menciptakan kompetensi inti industri. Perbedaan antara keduanya terletak
pada locus, yaitu sakasakti pada tingkat kabupaten/kota, sedangkan OVOP
di tingkat desa.

Sifat sesentralistik saka-sakti dalam bingkai NKRI dapat diturunkan
dalam bentuk penyaluran alokasi dana permodalan di tingkat desa melalui
tugas pembantuan (medebewind). Dalam hal ini,pihak ketiga (swasta dan
konsultan pemberdayaan) mendapatkan ruang untuk berpartisipasi dalam
menjalankan metode pelatihan, pendidikan, dan pengawalan terhadap akses
permodalan.

Dilihat dari dimensi daerah (kabupaten/kota), pemilihan kompetensi inti
industri tidak boleh keluar dari kriteria-kriteria seperti memiliki
nilai tambah yang tinggi, memiliki keunikan daerah, memiliki keterkaitan
yang kuat, serta memiliki peluang untuk menembus pasar global. Dengan
kata lain penentuan kompetensi inti industri suatu daerah haruslah
memberikan dampak yang besar dalam menstimulus perekonomian daerah.

Selama proses penyusunan RUU Pembangunan Perdesaan,penulis merenungkan
perlunya suatu gagasan yang menghindarkan sikap“meniru”antardaerah dalam
kompetisi. Konsepsi OVOP/sakasakti mempersyaratkan keunikan dalam
produksi unggulan di tiap daerah. Operasionalisasi konsepsi ini masih
dalam tataran kajian, sistem desentralisasi, dan penjajakan pelaksanaan
multisektoral. Adapun perdesaan sebagai “akar kekuatan ekonomi riil” di
Indonesia memerlukan pertimbangan konsepsi,strategi,dan program nasional
tentang OVOP dan saka-sakti.

Kekuatan kelembagaan yang semieksis selama ini adalah suatu kumpulan
atau komunitas usaha dalam “sentra produksi” yang berkonsentrasi dalam
sektor industri kecil dan menengah (IKM). Peran sentra produksi IKM
masih minim dalam perekonomian daerah maupun global. Hal ini disebabkan
akses pendanaan yang relatif sulit meski sudah ada skema kredit.Pola
dana bergulir memerlukan social collateral yang terjamin secara yuridis.
Hal itu agar pola dana bergulir dapat memupus praktik “rentenir desa”
dalam jangka panjang.

Sentra produksi kesulitan pula memperoleh bahan baku yang berkualitas.
Pemasaran produk sentra produksi masih sekitar pasar lokal, pun masih
bersaing dengan masuknya produk China yang lebih murah. Sumber daya
manusia concern pada aspek penjualan untuk kebutuhan pokok sehingga
belum sempat memikirkan manajemen berbasis sistem informasi (pasar,
teknologi, dan desain). Pola manajemen pemasaran saat ini mulai terarah
pada integrated marketing communication (IMC) yang menggabungkan
kekuatan pemasaran konvensional dengan marketing online.

Langkah Mobilisasi

Menilik pada konsep pembangunan desa seperti yang telah dijabarkan di
atas,perlu ada langkah mobilisasi yang menjadi katalis pembangunan desa
itu sendiri. Menurut penulis,langkah-langkah mobilisasi investasi
perdesaan itu terdiri atas berbagai rangkaian mulai dari monitoring dan
evaluasi terhadap praktik perizinan usaha di tingkat perdesaan hingga
tata kelola pemerintahan desa yang baik.

Pertama, monitoring dan evaluasi secara kritis untuk menilai bagaimana
aspek psikologi-sosial masyarakat desa,pihak swasta,dan birokrasi dalam
sistem “perizinan satu atap”. Persepsi tentang perizinan yang “cepat dan
mudah” bisa dibuat dalam bentuk village publication agar investor
percaya dalam melakukan efisiensi biaya pengelolaan sumber daya domestik
di perdesaan.

Kedua, adanya perencanaan spasial (spatial planning) yang menghasilkan
data potensi desa, komoditas, dan produk unggulan, kompetensi inti
sentra produksi, serta dokumen perencanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes), dan
Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes) dari seluruh desa
Indonesia.Pihak investor dapat menyusun prospek investasi berdasarkan
data publik tersebut dan berperan sebagai fasilitator sarana produksi,
pelayanan teknis, manajemen dan pemasaran hingga mediasi dengan lembaga
keuangan.

Ketiga,APBN memberikan alokasi dana desa, yang mengintegrasikan akses
permodalan,akses teknologi, akses informasi, dan penguasaan pasar.
Sistem alokasi ke rekening desa melalui tugas pembantuan (medebewind)
merupakan terobosan agar dana permodalan dapat diakses melalui kerja
sama antara kelompok usaha di desa dengan pihak-pihak swasta yang
langsung berkepentingan dengan komoditi perdesaan.

Keempat, pemda bekerja sama dengan pemerintahan desa dan organisasi
kemasyarakatan mendorong skema value chain (rantai nilai) dalam
penyediaan sarana produksi di segala sektor yang menyangkut industri
pengolahan, pelayanan teknis, manajemen informasi dan pasar. Dengan
pelaksanaan keempat langkah ini, gagasan mobilisasi investasi perdesaan
dalam jangka panjang diharapkan dapat meretas kemandirian masyarakat
perdesaan.

Pelembagaan investasi desa mulai di tingkat program legislasi nasional,
evaluasi perencanaan dan penganggaran, skema permodalan hingga aspek
komunikasi pemasaran, berdampak positif bagi restrukturisasi ekonomi
desa dan penghentian laju urbanisasi.(*)

Marwan Ja’far
Wakil Ketua RUU Pembangunan Perdesaan dan Ketua DPP PKB


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249327/
Share this article :

0 komentar: