Intelektual Organis atau Oportunis?
*Oleh Triyono Lukmantoro*
*PEMILIHAN* presiden dan wakil presiden bukan hanya melibatkan kerumunan
massa dan tumpukan modal-finansial. Kompetisi politik itu juga
mengerahkan kaum intelektual. Kalangan pemikir tersebut bukan sekadar
menjadi pengamat di luar pentas, dengan cara menuliskan gagasan atau
memberikan komentar dalam ruang dan waktu media. Mereka terlibat secara
langsung dalam tim sukses, merancang program ekonomi dan politik, atau
menjadi bintang iklan.
Bagaimana kita melihat fenomena itu? Sebenarnya, keterlibatan
intelektual dalam dunia politik bukan realitas yang sama sekali baru.
Bahkan, kaum intelektual memang identik dengan dunia politik itu
sendiri. Apabila selama ini kaum intelektual dipandang ''suci" dari
politik, itu merupakan penilaian yang sama sekali keliru. Wilayah kampus
tidak sekadar berbicara tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Kampus tidak pernah steril dari gejolak politik praktis.
Kenyataan tersebut dapat disimak pada sejumlah intelektual yang secara
sengaja terlibat aktif dalam beberapa partai politik. Kiprah intelektual
dalam kepartaian tentu saja dimaksudkan untuk merebut kekuasaan. Banyak
pula kaum intelektual yang menduduki kursi direktur jenderal, staf ahli,
bahkan menteri. Semua itu bukti bahwa kaum intelektual sangat lekat
dengan kekuasaan politis. Pengilmiahan (saintisasi) politik dan
teknokratisasi kekuasaan pasti merengkuh kaum intelektual.
Lebih dari itu, ilmu pengetahuan yang dipelajari dan diajarkan
intelektual pun mengandaikan keterlibatan dalam pertarungan politik.
Ilmu pengetahuan tidak sekadar berbicara tentang ontologi (bentuk dan
sifat dasar realitas) atau epistemologi (relasi ilmuwan dengan objek
yang dikajinya), namun juga membahas aksiologi (sikap dan tindakan
ilmuwan dalam konteks sosial dan politik). Masalah aksiologis ini
membuka pertanyaan tentang keterlibatan kaum intelektual dalam politik.
Apakah mereka harus melakukan perubahan atau sekadar menjaga /status
quo/ (kemapanan)?
*Saling Berkelindan*
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan saling berkelindan. Bukan saja /knowledge
is power/ (pengetahuan ialah kekuasaan) yang memberikan peluang kepada
manusia (ilmuwan) untuk mengendalikan alam semesta serta manusia-manusia
lain sesuai dengan kehendaknya, melainkan juga /power is knowledge/
(kekuasaan merupakan pengetahuan). ''Kekuasaan memproduksi
pengetahuan,'' kata filsuf Michel Foucault (1926-1984). Kekuasaanlah
yang menentukan jenis-jenis ilmu yang boleh dikaji dan disebarkan.
Serentak dengan itu pula, ilmu pengetahuan menyajikan basis legitimasi
moral bagi kekuasaan. Tanpa ilmu pengetahuan, kekuasaan tidak mungkin
bisa dijalankan serta diterima aktor-aktor sosial-politik. Jalinan
relasional kekuasaan dan ilmu pengetahuan menunjukkan intelektual memang
tidak pernah bisa terlepas dari tarik-menarik kepentingan politis.
Problem yang layak dibicarakan adalah peran intelektual dalam rezim
politik. Dalam kondisi semacam ini, terdapat beberapa jenis intelektual.
Zygmunt Bauman mengontraskan intelektual sebagai legislator dengan
intelektual sebagai interpreter (penerjemah). Sebagai legislator,
intelektual melegislasikan nilai-nilai universal dalam wujud memberikan
pelayanan kepada lembaga-lembaga negara. Sebagai penerjemah, kaum
intelektual menafsirkan teks-teks, peristiwa-peristiwa publik, dan
artifak-artifak lain, serta mengerahkan pengetahuan tertentu untuk
menjelaskannya kepada masyarakat.
Gagasan Bauman itu membuka cara pandang bahwa intelektual dapat bersikap
partisan, memihak negara atau masyarakat. Inilah pilihan etis yang harus
digariskan. Berpihak kepada negara berarti memapankan rezim politik yang
sedang berkuasa. Memihak masyarakat bermakna melakukan perubahan. Selalu
ada kaum intelektual yang berwatak konservatif. Ada pula kaum
intelektual yang memilih sikap progresif. Baik-buruk atas keberpihakan
itu adalah risiko yang harus ditanggung. Sebab, negara tidak selalu
berbuat keliru. Masyarakat pun tidak selalu bertindak benar.
*Fungsi Sosial*
Pandangan keterlibatan intelektual dalam kekuasaan secara jelas
dikemukakan Antonio Gramsci (1891-1937). Menurut Gramsci, semua manusia
pada prinsipnya merupakan intelektual karena memiliki kemampuan berpikir
dan rasional. Hanya, semua manusia tidak mempunyai fungsi sosial
intelektual. Intelektual modern tidak sekadar berbicara, melainkan harus
mengarahkan dan mengorganisasikan masyarakat melalui perangkat aparatus
ideologis, seperti media massa dan pendidikan.
Gramsci lantas membagi intelektual menjadi dua jenis, tradisional dan
organis. Intelektual tradisional adalah kelas yang terpisah dari
masyarakat. Intelektual organis mengartikulasikan -melalui bahasa
kebudayaan- perasaan-perasaan serta berbagai pengalaman massa rakyat
yang tidak mampu disuarakan. Intelektual organis adalah kaum terpelajar
yang memihak rakyat dengan cara merombak dan menunjukkan sikap kritis
terhadap kemapanan.
Persoalan yang dihadapi kaum intelektual di Indonesia saat ini lebih
kompleks. Sebab, semua pasangan calon presiden-wakil presiden mengklaim
sebagai pembela rakyat. Dalam situasi itu, intelektual organis yang
langsung mendukung dan memberdayakan kaum tertindas sulit
diidentifikasi. Alih-alih berperan sebagai organ yang membela rakyat,
intelektual justru bisa terjebak sebagai kaum oportunis. Mereka
memanfaatkan setiap peluang meraih jabatan atau kepentingan jangka
pendek lainnya, yakni sekadar menggapai capaian finansial. Memperkaya
diri dengan berdalih membela rakyat.
Betapa sulit mencari kaum intelektual organis. Lebih gampang menemukan
kaum intelektual oportunis. (*)
/*) / * /Triyono Lukmantoro/ * /, dosen FISIP Universitas Diponegoro
Semarang/
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=77012
Intelektual Organis atau Oportunis?
Written By gusdurian on Kamis, 25 Juni 2009 | 12.18
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar