Perdebatan Setengah Hati
PERDEBATAN antarcalon presiden yang diadakan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
di Studio Trans Corporation,Jakarta,Kamis (18/6), menuai kritik dari
berbagai kalangan.
Tiga koran Ibu Kota yang penulis baca memberi judul berita utamanya
dengan nada sumbang. Koran Seputar Indonesia, edisi Jumat (19/6)
misalnya, memberi judul,“Debat Capres Kurang Seru,” sementara Kompas,
“Debat Tanpa Perdebatan,” dan The Jakarta Post memberi judul yang
puitis, “A dull debate? A Debut nontheless.” Bagi penulis sendiri, debat
antarcapres itu dapat dikatakan ”perdebatan setengah hati,” karena
masing-masing kandidat presiden agak sungkan untuk mengomentari atau
mengkritik secara tajam pandangan ataupun pendapat para kandidat yang lain.
Gaya berdebat semacam itu dapat dimaklumi karena, pertama, masing-masing
calon presiden pernah dan ada yang masih berada dalam pemerintahan yang
sama; kedua, para calon presiden terbelenggu oleh budaya politik yang
seolah-olah masih dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa
mengkritik itu suatu yang tidak sopan, apalagi kalau itu dilakukan oleh
calon pemimpin bangsa; ketiga, KPU sendiri membuat aturan yang terlalu
protokoler dan kaku sehingga mereka yang berada di ruangan pun tidak
boleh bertepuk tangan sebelum seorang kandidat selesai bicara.
Padahal,spontanitas penonton amat penting agar suasana menjadi meriah
dan alami. Lepas dari semua kelemahan itu, penulis setuju dengan judul
The Jakarta Post, paling tidak ini debut awal yang baik di mana para
capres dapat melontarkan gagasannya secara langsung di hadapan publik.
Mari kita simak kembali debat soal ketatanegaraan yang telah berlalu
itu. Pada paparan pertama yang masing-masing capres mendapatkan waktu 10
menit, capres nomor urut 1, Megawati Soekarnoputri, tanpa teks bicara
panjang lebar soal pemerintahan yang melayani dan mengayomi masyarakat
dengan baik dan bukan pemerintahan untuk dirinya sendiri.
Megawati menekankan aspek filosofis berbangsa dan bernegara yang
bersendi pada konstitusi negara serta pentingnya pembangunan karakter
bangsa yang dulu dikumandangkan Bung Karno. Capres nomor 2, Susilo
Bambang Yudhoyono, dengan teks yang sudah disiapkan, lebih menekankan
hasil yang sudah dicapainya selama lima tahun ini,khususnya pada
persoalan tiadanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penegakan
hukum yang tanpa pandang bulu.
Lalu capres nomor 3, Jusuf Kalla,seperti juga Megawati tanpa teks bicara
secara detail tentang tata pemerintahan dari tingkat presiden sampai ke
kepala desa. Jusuf Kalla juga menekankan pentingnya tujuan berbangsa dan
bernegara sesuai dengan alinea keempat pembukaan UUD 1945. Dari ketiga
capres, Jusuf Kalla merupakan kandidat yang paling hemat menggunakan
waktu,yakni kurang dari 8 menit.
Santai dan Grogi
Walau Megawati awalnya agak kaku,namun harus diakui bahwa Mega adalah
capres yang paling santai pada prosesi tanya jawab, bahkan banyak
mengumbar senyum dan tawa,sementara SBY tetap serius dan Jusuf Kalla
agak grogi. Mega berhasil memecah kekakuan dengan kalimat-kalimat yang
mengundang tawa hadirin.
Posisi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden menyebabkannya agak grogi
untuk berbeda pandangan dengan SBY ataupun Megawati. Padahal, ia dapat
saja tetap bersikap apa adanya sebagai seorang pribadi dan bicara terus
terang dan santai.Jusuf Kalla seharusnya menggunakan pilihan kata yang
tidak membuat dirinya berada pada posisi yang tidak sederajat dengan dua
pasangan lain.
Contohnya, dia dapat mengatakan,”Karena saya masih wakil presiden,saya
setuju dengan pandangan Pak SBY sampai 20 Oktober 2009, batas akhir
pemerintahan yang sekarang, selepas itu saya punya rencana dan kebijakan
sendiri yang lebih cepat, lebih baik dari apa yang sudah dilakukan oleh
pemerintahan yang sekarang.” Debat antarcalon presiden yang lalu memang
terlalu protokoler. Tidaklah mengherankan jika tidak sedikit media massa
dan pengamat politik serta komunikasi politik yang menyarankan agar dua
debat capres yang akan datang lebih hidup.
Kita tidak dapat terusmenerus terbelenggu oleh budaya ketimuran yang
katanya tidak cocok dengan gaya debat capres atau calon perdana menteri
di negaranegara Barat. Pemilihan presiden langsung mengharuskan para
calon untuk dapat mengemukakan pandangannya secara lugas dan
cerdas,tanpa harus menohok pribadi seseorang. Gaya berpolitik yang lugas
sudah ada sejak Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, bahkan sejak era
Volksraad sekalipun.
Kalaupun calon pemimpin bangsa berdebat secara lugas dan keras, ini
tidak mengurangi penghormatan orang padanya. Bahkan rakyat akan tahu
karakter para calon pemimpinnya,apakah seorang yang terperamental
ataukah orang yang dapat menangkis komentar lawannya secara santai,
santun,tapi menohok.
Rakyat juga tidak mudah terpana pada potret wajah calon pemimpin yang
tersebar melalui baliho,melainkan memahami kapabilitas calon pemimpin
bangsanya dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa ke depan yang jauh
lebih menantang dan rumit. Hanya melalui perdebatan sejati hal itu dapat
diketahui rakyat, bukan melalui “perdebatan setengah hati.”(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249356/38/
Perdebatan Setengah Hati
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.50
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar