Pembangkangan Struktural Partai Politik
Oleh Eko Setiobudi Alumni Magister Perencanaan Kebijakan Publik UI
P EMILU Legislatif 2009 sudah usai
Namun, berbagai persoalan pelik muncul mengiringi kehidupan partai politik
Berbagai persoalan itu bagai tabuhan yang meningkahi arak-arakan politik
menuju pesta demokrasi tahap berikutnya, yaitu pemilihan presiden.
Secara sporadis muncul feno mena ‘pemberontakan’ dan ‘pembangkangan’
struktural sehingga tampak frontal antara arus bawah dengan arus atas
dalam partai politik
Sebagai contoh paling mencolok, pada saat deklarasi pasangan Megawati
Soekarnoputri (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra) di Bantar Gebang,
Bekasi, tampak warna-warni bendera partai politik, seperti Partai Amanat
Nasisonal (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Padahal pimpinan
kedua partai itu sudah teken kontrak berkoalisi dengan Partai Demokrat
yang mengusung capres/cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meski sudah sepakat
berkoalisi dengan Partai Demokrat, belakangan mulai usil, yaitu merilis
hasil survei yang menyatakan popularitas pasangan SBY/Boediono semakin
terkejar oleh popularitas Jusuf Kalla-Wiranto
Hal serupa juga terjadi di parlemen. Pada saat Sidang Paripurna Selasa
(26/5) lalu, Fraksi PKB, PPP, dan PAN berada pada barisan yang sama,
yaitu menyetujui dilaksanakannya hak angket terhadap pelanggaran pemilu
tempo hari yang secara fantastis dimenangi Partai Demokrat
Fraksi-fraksi itu menuding telah terjadi kecurangan dan kejahatan secara
sistematis yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama pemerintah
yang bertujuan memenangkan Demokrat
Konflik internal Tidak bisa dimungkiri, perbedaan dan bahkan
pertentangan sikap politik ini berakar pada elite partai dengan level
yang ada di bawahnya
Pemicu konfl ik internal adalah hasil pemilu legislatif tempo hari yang
tidak memuaskan
Paling tidak ada dua hal yang berimplikasi terhadap ancaman perpecahan
parpol. Yakni terkait dengan koalisi pilpres yang dianggap tidak
menguntungkan bagi sebagian kalangan elite parpol serta turunnya
perolehan suara parpol dalam Pemilu Legislatif 2009
Sejauh yang bisa di simak di berbagai media massa, beberapa partai
politik tersebut, antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Demokrasi Pembaruan
(PDP), Partai Amanat Nasional (PAN)
Fenomena yang kita temui dalam partai politik ‘sipil’ ini adalah tidak
berjalannya proses regenerasi dalam struktur elite partai politik.
Jabatanjabatan elite partai politik masih diisi orang-orang lama
Di sisi lain, kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada partai
politik setelah reformasi 1998, yang ditandai dengan digelarnya tiga
kali pemilu (1999, 2004, dan 2009) yang diikuti par tai politik dalam
jumlah besar (multipartai), telah menghasilkan supremasi sipil yang
mendapatkan legitimasi kuat, baik legiti masi politik, sosial, maupun
legitimasi budaya. Atas nama demokrasi dan kepentingan sipil, berbagai
bentuk dan pe rilaku politik dari elite politik ‘sipil’ dilegalisasikan
perilaku politik dalam frame demokrasi modern. Kita bisa menyaksikan
sendiri bagaimana partai politik memiliki peranan yang dominan dalam
konteks pengambilan kebijakan di luar kebijakan politik
Alhasil, partai politik memiliki posisi bargaining yang amat kuat, baik
di hadapan pemerintah, pengusaha/swasta, maupun masyarakat sendiri
Fenomena itu seolah memberikan gambaran, segala sesuatu harus
diselesaikan melalui mekanisme politik dengan melibatkan partai politik
sebagai kartu truf jika menginginkan hasil yang maksimal. Hal ini
menggambarkan bahwa prag matisme politik amat inheren dengan inte grasi
sosial kehidupan politik nasional, dengan partai politik berada di dalamnya
Fenomena perpecahan partai politik, kegagalan regenerasi dan sikap
arogansi yang amat dominan, menyisakan sebuah pertanyaan penting, sakan
sebuah pertanyaan penting, yaitu inikah yang disebut demokrasi sipil?
Inikah yang disebut kebebasan politik sipil? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut penulis akan melihatnya dari beberapa sisi, yaitu
Pertama, kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada partai politik
pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 adalah kepercayaan organik dalam bentuk
minim karena tanpa diikuti kesadaran kolektif masyarakat yang tinggi
Indikatornya adalah (1) Ba nyaknya suara golput dalam kedua pemilu
tersebut. (2) Agenda partai adalah agenda lima tahunan, yaitu setiap
momentum pemilu saja dengan pola mobilisasi suara untuk memenangkan
pemilu sehingga jelas bahwa masyarakat hanya diposisikan sebagai basis
untuk mendapatkan suara. patkan suara
Kedua, fenomena terseTIYOK but sekaligus memberikan gambaran tentang
integrasi sosial antara masyarakat, partai politik, dan swasta yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal keseimbangan antara
ketiganya (masyarakat, partai politik, dan swasta) amat penting dalam
konteks mewujudkan kesadaran kolektif di masyarakat, khususnya dalam hal
mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) dan berjalannya
pendidikan politik di masyarakat. Kegagalan partai politik dalam
mengemban kepercayaan masyarakat telah mengakibatkan ketidakseimbangan
integrasi di antara ketiganya
Dengan demikian apa yang pernah dikhawatirkan sosiolog Emile Durkheim
benar-benar akan terjadi dalam kehidupan politik kita. Durkheim
mencatat, solidaritas sosial dalam masyarakat akan terancam karena
adanya benturan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Dengan menguatnya solidaritas organik itu diakibatkan perilaku
menyimpang yang akan merusak kedasaran kolektif masyarakat
Ketiga, ketidakseimbangan yang disertai dengan kegagalan regenerasi
partai politik tersebut akan sangat berpotensi untuk menghentikan
evolusi sosial-politik dari kehidupan politik nasional sehingga lambat
laun ‘sipil’ (masyarakat) benar-benar tidak mendapatkan posisinya dalam
tata kehidupan bangsa. Karena posisinya telah direbut dan direduksi
partai politik yang mengklaim mewakili (kepentingan) masyarakat
Padahal jelas bahwa Max Weber dalam The Theory of Social and Ecomomic
Organization mengatakan, tindakan sosial individu akan membentuk
bangunan dasar dari struktur sosial yang lebih besar, dengan mendasarkan
pada serangkaian distingsi-distingsi tipologis yang bergerak dari
tingkatan hubungan sosial ke tingkatan keteraturan ekonomi dan sosial
politik (Doyle Paul Johnson: 1981) Berdasarkan pada analisis tersebut,
jika konfl ik partai politik yang berbasiskan pada perebutan kekuasaan
dalam tubuh partai tidak segera diakhiri, sudah selayaknya jika
masyarakat segera mencabut dukungan dan kepercayaan kepada partai
politik. Karena jelas, bahwa gambaran konfl ik dalam tubuh partai
politik adalah bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan
pendidikan politik dan mengemban dan menjalankan kepercayaan masyarakat.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/23/ArticleHtmls/23_06_2009_017_002.shtml?Mode=0
Pembangkangan Struktural Partai Politik
Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.48
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar