BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebijakan Ekonomi Area Penuh Paradoks

Kebijakan Ekonomi Area Penuh Paradoks

Written By gusdurian on Kamis, 25 Juni 2009 | 13.01

Kebijakan Ekonomi Area Penuh Paradoks
Oleh Kiki Verico Dosen FEUI dan Managing Editor Journal of EFI


F RANCIS FUKUYAMA dalam buku fenomenalnya, The End of History,
menyebutkan bahwa esensi kehidupan adalah kebebasan individu. Ide
Fukuyama begitu memikat karena berangkat dari sifat lahiriah manusia,
yaitu cinta kebebasan. Secara politik, kita ingin bebas berpendapat dan
memilih pemimpin. Secara ekonomi, kita ingin bebas berusaha dan
melakukan konsumsi. Namun, bebas dalam ekonomi harus memperhatikan
batas, tidak boleh merugikan orang lain. Supaya adil harus ada
regulator. Itulah alasan mengapa ekonomi membutuhkan pemerintah. Namun,
kebijakan ekonomi pemerintah sering kali melahirkan paradoks. Kebijakan
yang awalnya bertujuan menciptakan keadilan bisa jadi justru
menghasilkan ketidakadilan
Katakanlah ada dua kantor, yaitu A (sosial) dan B (liberal). Kantor A
memberikan gaji yang sama untuk semua karyawan tanpa melihat
produktivitas, sedangkan kantor B memberikan gaji sesuai produktivitas
karyawannya. Pemimpin kantor A menganggap bahwa gaji yang sama untuk
semua orang adalah adil, sedangkan bagi pimpinan kantor B, gaji yang
adil adalah ketika seseorang dibayar sesuai produktivitasnya. Semakin
rajin seorang karyawan kantor B, semakin banyak uang yang bisa ia
peroleh dan semakin bebas ia untuk melakukan konsumsi. Sebaliknya,
semakin rajin seorang karyawan kantor A, semakin rugi karena gajinya
sama dengan karyawan yang malas. Tidak adanya insentif membuat
produktivitas dan upah riil karyawan kantor A lebih rendah dari karyawan
kantor B. Kantor B meletakkan adil pada bingkai kompetisi dan hasil,
bukan pada persepsi pimpinan kantor
Defi nisi adil berdasarkan usaha itulah yang justru mendorong
produktivitas. Adil, yang didefi - nisikan sebagai sama rata dan sama
rasa tanpa mempertimbangkan usaha justru mematikan produktivitas.
Fenomena itulah yang disebut paradoks. Jeffrey Sachs dalam bukunya The
End of Poverty menunjukkan contoh kebijakan paradoks di Polandia dan
Bolivia, tapi dari arah yang berbeda. Awalnya kebijakan yang mereka
ambil dianggap tidak populis, namun hasilnya justru baik untuk rakyat
Polandia Sebelum 1 Januari 1990, Pemerintah Polandia memberlakukan
kebijakan kontrol harga (price controls). Pemerintah menetapkan harga
maksimal agar seluruh lapisan rakyat bisa membeli kebutuhan pokok.
Namun, kenyataan di lapangan harga kebutuhan pokok di Polandia naik
sampai 500%. Mengapa? Suplai terbatas. Produsen tidak memiliki insentif
untuk berproduksi karena harga jual sudah dipatok rendah oleh
pemerintah. Akibatnya, barang menjadi langka sehingga rakyat harus antre
berjamjam untuk mendapatkan ke butuhan pokok. Sering kali rakyat harus
mem beli barang di pasa gelap (black market) dengan harga yang jauh
lebih mahal
Ketika kebijakan kontrol harga dihapus Pemerintah Po landia, tidak sam
pai satu bulan, kebutuhan pokok melimpah dan harga tu run. Ekonomi
berjalan normal, dan rakyat dapat membeli barang dengan harga murah.
Penghapusan kebijakan kontrol har ga, kendati masa itu tidak populer,
ternyata mampu memajukan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan
mempercepat konvergensi ekonomi Polandia dengan Eropa Barat. Pengalaman
Polandia menunjukkan bahwa kebijakan populer seperti penetapan harga
kebutuhan pokok murah agar seluruh rakyat bisa membeli ternyata tidak tepat
Suplai kebutuhan pokok meningkat dan harga menjadi murah justru setelah
mekanisme pasar ‘dicangkokkan’ di sektor perdagangan
Bolivia Pada 1985, Bolivia mengalami hiperin fl asi akibat defi sit fi
skal yang berlebihan. Defi sit itu ditutupi Bank Sentral Bolivia (BCB)
dengan mencetak uang. Jumlah uang domestik meningkat tajam, sedangkan
devisa tidak bertambah. Akibatnya, nilai tukar peso Bo livia terhadap
US$ mengalami depresiasi hebat

Depresiasi nilai tukar membuat penerimaan devisa US$ dari hasil
penjualan minyak Bolivia mengalami penurunan tajam. Pada awalnya harga
minyak per liter adalah 250 ribu peso
Ketika nilai tukar 1 juta peso per dolar, harga minyak dalam US$ adalah
0,25 per liter. Depresiasi peso dari 1 juta menjadi 8,3 juta per US$
membuat harga minyak Bolivia dalam US$ menjadi sangat murah, yaitu 0,03
per liter. Penurunan harga minyak dalam US$ menimbulkan perbedaan har ga
yang men colok anta ra pasar domestik Bolivia dengan pasar luar negeri.
Perbedaan itu mendorong penyelundupan minyak dari Bolivia ke luar negeri
melalui Peru. Penyelundupan itu secara tidak langsung membuat Pemerintah
Bolivia menyubsidi konsumen luar negeri
Fiskal Bolivia semakin defi sit dan infl asi terus meningkat. Bila
penyelundupan tidak dihentikan, rakyat Bolivia akan semakin sengsara
akibat hiperinfl asi
Kebijakan yang diambil Pemerintah Bolivia ketika itu sangat tidak
populis, yaitu menaikkan harga minyak domestik. Tidak tanggungtanggung,
kenaikannya hampir 10 kali lipat dari 250 ribu peso menjadi 2,3 juta
peso per liter. Kebijakan itu membuat harga minyak Bo livia dalam US$
naik dari 0,03 menjadi 0,28. Tingkat harga yang sama seperti sebelum
terjadi depresiasi peso
Penyelundupan minyak ke luar negeri berhenti, defisit fiskal mulai
mengecil dan beban BCB untuk mencetak uang semakin menurun. Akibatnya,
infl asi terus turun dan rakyat kembali dapat membeli komoditi dengan
harga normal. Kebijakan meningkatkan harga domestik minyak di tengah
kondisi hiperinfl asi sangat tidak populis, tapi kebijakan itu terbukti
efektif menutup kebocoran fi skal dan mengurangi hiperinfl asi di
Bolivia, sungguh sebuah paradoks
Penutup Paradoks kebijakan ekonomi juga terjadi di Indonesia.
Liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia yang awalnya ditentang
karena dikhawatirkan akan menghasilkan kompetisi tidak sehat sehingga
merugikan rakyat, ternyata tidak terbukti. Liberalisasi justru membuat
tarif pulsa di Indonesia jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
ketika telekomunikasi masih dimonopoli pemerintah. Saat yang sama,
liberalisasi perdagangan di Asia Tenggara (AFTA) justru membuat harga
handphone (HP) impor menjadi murah karena tarif bea masuk turun menjadi
kurang dari 5%. Paradoks ekonomi liberal justru membuat tarif pulsa dan
HP menjadi murah dan menguntungkan rakyat
Berangkat dari logika paradoksial, bisa jadi bahwa sistem ekonomi yang
berpusat pada pemerintah kemungkinan hanya akan menghasilkan kroni yang
memperkaya diri sendiri. Kekuasaan ekonomi yang terlalu besar pada
pemerintah hanya akan menciptakan moral hazard. Filsuf Inggris, Lord
Acton, pernah menulis, “Power tends to corrupt absolute power corrupt
absolutely”. Sebaliknya, sistem ekonomi yang mengerti benar apa itu
mekanisme pasar justru menghasilkan pemerintah yang good governance
karena kepercayaan pada mekanisme pasar, secara alamiah, justru
mengurangi hegemoni pemerintah atas ekonomi
Lebih dari itu, mekanisme pasar tidak menihilkan peran pemerintah.
Pemerintah justru berperan penting untuk menyempurnakan mekanisme pasar
dengan memastikan bahwa ekonomi berjalan bebas (liberty), adil (equity),
dan pasti aman (security). Komoditas yang tidak bisa dihasilkan dari
mekanisme pasar, seperti jalan, jembatan, rambu lalu lintas, dan
lain-lain ‘murni’ menjadi tanggung jawab pemerintah. Banyaknya
paradoksial dalam logika ekonomi membuat kita harus hati-hati dalam
memberikan label ‘kebijakan antirakyat’. Kebijakan ekonomi yang dicap
tidak prorakyat, seperti liberalisasi belum tentu menyengsarakan rakyat,
bisa jadi sebaliknya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/25/ArticleHtmls/25_06_2009_018_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: