BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Realitas Hukum

Realitas Hukum

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.52

Realitas Hukum

Hukum sebaik apa pun penyusunannya, sepanjang dilakukan manusia, tetap
saja hilang kesempurnaannya dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan
dalam praktik.


Hal ini sudah tentu di luar jangkauan persepsi dan pemikiran para
pembentuk undang-undang dan para ahli teoretis hukum yang tak pernah
menyelami realitas hukum dalam kehidupan sehari-hari. Hukum dalam
realitas hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia sehingga karakter
hukum bisa berubah-ubah, sangat tergantung dari karakter manusia yang
menggenggam dan menjalankannya.

Janganlah mencari cita dan idealisme hukum di dalam kenyataan karena
langkah seperti itu akan sia-sia belaka dan berujung kekecewaan karena
cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat dalam text book layaknya
garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang menentukan tertib
tidaknya permainan. Cita hukum, kepastian hukum, dan keadilan hanya
ilusi dan mimpi indah para akademisi. Jika hendak menemukan apa dan
bagaimana hukum itu dilaksanakan, temukanlah di dalam kehidupan rumah
tahanan (detention), penjara (prisons), dan di dalam proses persidangan
pengadilan.

Pada proses tersebutlah dapat dirasakan denyut nadi hukum; tidak akan
ditemukan dan dirasakan di dalam proses perdebatan di Senayan. Hukum
dalam realitas Indonesia kira-kira cocok dengan katakata Hobbes,“Manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya,mereka saling membinasakan satu
sama lain (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes).”Dalam
masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini dipraktikkan melalui hukum
sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realitas sangat
jauh dari cita kepastian hukum dan keadilan.

*** Pembangunan hukum bukan hanya melahirkan UU sebanyakbanyaknya
(kuantitas), tetapi juga seharusnya memasukkan nilainilai kemanusiaan
yang adil dan beradab di dalam Pancasila sehingga untuk itu diperlukan
manusia pemegang amanah penegakan hukum yang berkarakter dan bermoral
Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan nilai-nilai kepastian
hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi kehidupan manusia.

Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekadar mencapai target
memasukkan sebanyak- banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga
harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat itu
diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan
pengadilan yang tetap. Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam
pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakan
karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum.

Sesungguhnya semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan
serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke dalam bui,itu suatu
pertanda bahwa pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami
kegagalan, bukan harus dinilai dan ditafsirkan sebagai sukses. Sukses
dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan
semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga dengan
demikian merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman.

*** Prinsip peradilan cepat, singkat, dan berbiaya murah hanyalah slogan
belaka karena dalam realitas justru sebaliknya.Keadaan ini disebabkan
“kekeliruan “ pemikir dan pembentuk UU yang tidak mempertimbangkan bahwa
subjek dan sekaligus objek penegakan hukum adalah manusia dengan segala
kefitrahannya. Sebaliknya pembentuk UU bahkan telah menetapkan jumlah
masa penahanan mencapai 400 hari sampai pada tingkat kasasi di MA; belum
lagi pemeriksaan PK yang tidak ada batas waktunya di dalam KUHAP.

Kita bisa bayangkan seseorang dalam tahanan, hari demi hari, bulan demi
bulan sampai dengan 120 hari di tingkat penyidikan; 60 hari di tingkat
penuntutan; 60 hari di tingkat pengadilan negeri, dst sampai di
MA.Bayangkan,kebebasan yang dibatasi selama 24 jam sehari sering tanpa
kepastian hukum kapan akan diperiksa! Diskresi penyidik sangat luas dan
tidak terbatas dalam menjalankan ketentuan penangkapan dan penahanan.
Perpanjangan masa penahanan dalam praktik seperti “ban berjalan”,
seorang tahanan diperlakukan sebagai “komoditas”tanpa nyawa.

Batasan antara ditahan dan tidak ditahan sering tidak jelas dan
terkadang hanya kekuasaan, uang, dan nepotismelah yang mampu membatasi
atau menghentikan diskresi tersebut. Sekalipun secara yuridis normatif
tahanan dan hukuman itu berbeda, dalam realitas hukum keduanya tidak
berbeda; bahkan di dalam lingkungan para tahanan dan penegak hukum,
dikenal pemeo “tahanan m e r u p a k a n panjar hukuman”.

Persoalannya, bagaimanakah jika tahanan itu kemudian dibebaskan oleh
pengadilan? Dari sisi proses stigmatisasi, tidak ada perbedaan makna
antara tahanan dan hukuman sekalipun secara yuridis normatif mereka
dapat dibedakan.Dampak stigmatisasi sosial sebagai “penjahat” atau
“koruptor” telah melekat sejak seseorang ditahan sampai dengan duduk
sebagai terdakwa di sidang pengadilan dan diputus pengadilan dan bahkan
setelah bebas dari hukuman. Masyarakat, bahkan kawan terdekat sekalipun,
sering melihat seseorang yang ditahan dan dihukum layaknya orang
berpenyakit kusta; tidak ada yang mau mendekat atau menyapa.

Realitas hukum inilah yang mendorong kita semua bahwa sebaik- baik
menahan dan menghukum seseorang adalah lebih baik kita dapat mencegah
seseorang melakukan kejahatan.Sebaik filosofi dan perlindungan hukum di
dalam konsep dan aturan, tidak lebih baik lagi jika kita melihat dan
mengamati kenyataan bagaimana pemegang amanah penegakan hukum sering
memberlakukan dan mempermainkan hukum atas dasar kepentingan pribadi,
kelompok, atau kekuasaan; terlupa mereka terhadap sisi kemanusiaan yang
adil dan beradab di dalam Pancasila.

Di dalam negara demokrasi seharusnya masalah perlakuan terhadap tahanan
dan di penjara dijadikan ukuran peradaban suatu bangsa, bukan dijadikan
ukuran keberhasilan untuk mempertahankan dan memelihara citra penegakan
hukum; bahkan justru menambah beban anggaran negara dengan banyaknya
orang dijebloskan ke dalam tahanan dan penjara.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249321/
Share this article :

0 komentar: