BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi

Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.56

Pengaduan Konstitusional untuk Kebebasan Berekspresi

Di tengah-tengah dominasi pemberitaan persaingan kandidat calon presiden
dan wakil presiden, isu kebebasan berekspresi berhasil mencuri perhatian
luas di berbagai media, terutama media informal dunia maya seperti
situs-situs jejaring sosial dan blog.


Hal ini diakibatkan oleh penahanan Prita Mulyasari atas tuduhan
pencemaran nama baik.Tuduhan ini didasari laporan RS Omni Internasional
atas surat yang dikirimkan Prita ke salah satu mailing list yang
kemudian menyebar ke berbagai situs lain. Isu ini juga diwarnai kasus
serupa yang dialami Khoe Seng Seng terkait surat pembaca yang ditulisnya
di salah satu surat kabar nasional.

Kedua kasus ini menimbulkan keresahan,terutama di kalangan masyarakat
perkotaan yang tengah mengalami euforia kebebasan berekspresi yang luar
biasa yang tercermin dari ramainya fitur-fitur di dunia maya yang
memungkinkan pembaca atau pengguna mengekspresikan komentarnya terhadap
berbagai macam hal, termasuk pelayanan konsumen, serupa dengan yang
dilakukan Prita.

Kebebasan Berekspresi dan Batasannya

Meskipun banyak aspek hukum yang bisa dikaji dalam kasus Prita, inti
dari permasalahan Prita sebenarnya terletak pada kebebasan berekspresi.
Kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 28E yang menyatakan, “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.”

Jaminan ini diperkuat oleh Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk... menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.” Prita hanyalah satu dari sekian banyak
masyarakat Indonesia yang gemar berekspresi di dunia maya, baik dalam
bentuk keluh kesah maupun kritik tajam.

Kasus penghinaan- penghinaan yang cenderung kasar di situs jejaring
Facebook terhadap salah satu kandidat calon presiden merupakan contoh
bentuk paling ekstrem dari kritik tajam bernada negatif. Pertanyaan yang
mengemuka kemudian adalah apakah kebebasan berekspresi yang dijamin
konstitusi ini memiliki batasan? Jika ya, sejauh mana? Di Amerika
Serikat, pembuat ekspresi dilindungi oleh konstitusi AS yang melarang
pemerintah melakukan tindakan yang dianggap ”abridging the freedom of
speech”atau menghalangi kebebasan berekspresi.

Namun di negara seliberal AS pun kebebasan berpendapat memiliki banyak
batasan seperti tidak dilindunginya ”hate speech”, ekspresi yang
menimbulkan kerusuhan, termasuk ekspresi yang mencemarkan nama baik.
Namun, hukum AS telah memiliki batasan jelas mengenai pencemaran nama
baik seperti apa yang tidak dilindungi konstitusi atau dengan kata lain
dapat dipidanakan.

Batasannya antara lain, untuk isu yang menyangkut “masalah publik” dan
terkait “tokoh publik” (seperti kasus penghinaan calon presiden di
Facebook) harus dibuktikan terdapat kebohongan disengaja terkait dengan
ekspresi yang dipermasalahkan dan pihak yang merasa dicemarkanlah yang
memiliki beban pembuktian atas kebohongan tersebut. Apabila menyangkut
“masalah publik” tapi tidak terkait “tokoh publik”(seperti kasus
Prita),pihak yang merasa dicemarkan cukup membuktikan bahwa pihak yang
berekspresi itu ceroboh sehingga mengakibatkan terjadinya kebohongan
tersebut.

Sebagai tambahan, pihak yang dicemarkan harus membuktikan terjadinya
kerugian material akibat ekspresi tersebut kecuali bila ekspresi itu
tertulis. Indonesia sama sekali tidak memiliki batasan yang jelas
mengenai kebebasan berekspresi.Hal ini tidak mengherankan karena kedua
pasal pelindung kebebasan berekspresi hasil amendemen kedua UUD 1945 ini
baru berumur 9 tahun––bandingkan dengan ketentuan serupa di AS yang
telah berumur lebih dari dua abad.

Satu hal yang patut dicatat adalah AS mampu mengembangkan interpretasi
serta batasan yang jelas mengenai kebebasan berekspresi–– maupun jaminan
konstitusi lain seperti kebebasan beragama–– karena keberadaan pengaduan
konstitusional atau constitutional complaint.

Pengaduan Konstitusional

Pengaduan konstitusional dapat didefinisikan sebagai pengaduan yang
diajukan oleh penduduk kepada pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran
atas hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh konstitusi sebagai
akibat tindakan pemerintah.

Untuk kasus Prita dan Khoe Seng Seng, memang ada kemungkinan mengajukan
judicial review atas Pasal 310 KUHP mengenai penghinaan untuk
dipertentangkan dengan UUD 1945 Pasal 28E ke Mahkamah Konstitusi.Namun
hal ini sangat tidak praktis dan mengabaikan proses hukum yang sedang
dijalani keduanya. Upaya ini juga tidak dapat menjangkau isu konstitusi
lain seperti represi kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama yang
tidak melalui undang-undang seperti kasus penyitaan pengeras suara massa
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat melaksanakan demo pendudukan Gaza
serta SKB Ahmadiyah.

Di sinilah perlunya pengaduan konstitusional. Dengan pengaduan
konstitusional, Prita dapat mengadukan seluruh tindakan pemerintah yang
dialami dirinya, sejak penangkapan hingga penahanan sebagai tindakan
inkonstitusional. Dalam mengadili pengaduan ini, dapat sekaligus
diputuskan mengenai konstitusionalitas Pasal 310 KUHP. Atau lebih jauh,
sebagaimana sering terjadi di AS,penafsiran lebih spesifik mengenai
pasal ini, misalnya penambahan syaratsyarat yang lebih jelas mengenai
ekspresi seperti apa yang dapat dipidana tanpa melanggar UUD 1945.

Hampir seluruh negara penganut demokrasi seperti Indonesia telah
memperbolehkan pengaduan konstitusional untuk menangani masalah-masalah
seperti kasus Prita. Ini termasuk Jerman,Polandia,Korea, Spanyol, dan
tentu saja AS. Pada kebanyakan mahkamah konstitusi di dunia, kewenangan
pengaduan konstitusional justru merupakan salah satu fungsi utama
mereka.Namun,tentu tidak mudah mewujudkan hal ini karena amendemen UUD
1945 diperlukan. Selain itu, keberatan paling utama terhadap pengaduan
konstitusional mungkin adalah beban kerja yang akan diberikannya kepada
Mahkamah Konstitusi.

Namun, ini dapat diatasi melalui pengadopsian cara Jerman, yaitu dengan
kewajiban untuk terlebih dahulu menempuh upaya hukum lain yang tersedia
maupun yang mungkin lebih efektif, cara AS, yaitu memberi Mahkamah
Konstitusi kewenangan untuk memilih pengaduan mana yang akan diputusnya
berdasarkan signifikansi konstitusionalitas isu yang diajukan.
Mewujudkan pengaduan konstitusional di Indonesia memang tidak mudah.

Namun mengingat besarnya manfaat yang diberikan bagi terjaminnya hak-hak
konstitusional warga negara, upaya tersebut patut ditempuh agar di masa
yang akan datang, siapa pun presidennya, kita tidak lagi melihat
Prita-Prita lain di balik jeruji.(*)

Sigit Ardianto
Master of Laws Cardozo School of Law, New York, AS


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/249325/
Share this article :

0 komentar: