BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Demokrasi Mur dan Baut

Demokrasi Mur dan Baut

Written By gusdurian on Rabu, 24 Juni 2009 | 14.50

/Demokrasi Mur dan Baut/

*M. Alfan Alfian*
DOSEN FISIP UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA

Hari ketika malamnya debat (tanpa debat) putaran pertama calon presiden
yang dilakukan dengan panelis Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid
Baswedan, PhD, Kamis, 18 Juni 2009, di Studio Trans Corporation,
berbagai surat kabar masih memberitakan perkara hilangnya banyak mur,
lampu penerang jalan, dan rambu-rambu lalu lintas di Jembatan Suramadu.
Beberapa bagian jembatan sepanjang 5,4 kilometer yang menghubungkan
Surabaya dengan Madura yang didesain tahan erosi dan serangan air laut,
sanggup bertahan sekitar 100 tahun, menelan biaya hingga Rp 5 triliun,
serta melibatkan 3.500 pekerja dari Indonesia dan Cina ini mulai kotor
dengan aneka coretan, di antaranya bertulisan "Love 2009", "Aku Datang",
dan "Andrian 06/09" (/Koran Tempo/, 17 Juni 2009).

Tampaknya banyak yang menilai bahwa acara debat antarcalon presiden
ternyata tak berciri perdebatan alias "debat tanpa debat", lebih mirip
silaturahmi mur dan baut. Mur adalah benda yang berpasangan secara tepat
dan menguatkan apabila dipasangkan dengan baut. Debat diadakan Komisi
Pemilihan Umum yang diikuti calon presiden Megawati Soekarnoputri,
Susilo Bambang Yudhoyono, dan M. Jusuf Kalla itu berlangsung datar-datar
saja, berisi pertanyaan yang dijawab dengan saling melengkapi sehingga
kekontrasan satu sama lain tidak mengemuka.

Kalau Megawati menjawab duluan, Yudhoyono dan Kalla melengkapinya. Kalau
Yudhoyono menjawab duluan, Megawati dan Kalla menambahkan ulasannya.
Kalau Kalla menjawab duluan, Megawati dan Yudhoyono memperkuatnya. Kalau
yang satu menjadi baut, yang lain menjadi murnya. Begitulah kira-kira,
seperti forum silaturahmi "/mikhul dhuwur mendhem jero/". Mereka tidak
saling menyerang dan "buka-bukaan", bahkan saling menutupi kelemahan
satu sama lain, tak seperti debat di level antartim sukses masing-masing.

Debat antarcapres itu menjadi ajang untuk beraksi seperti anekdot sepak
bola kesebelasan Solo versus Yogya yang pernah dilontarkan oleh udayawan
Emha Ainun Nadjib. Kedua kesebelasan itu sopan-sopan, di mana
masing-masing saling menghormati, sehingga hasil pertandingan sampai
babak akhir nol-nol. Ketika bola sudah di depan gawang kesebelasan
Yogya, sang kiper malah mempersilakan, "/Monggo/, dimasukkan saja!"
Tapi, karena pada dasarnya kesebelasan Solo sungkan dan menghormati agar
timnya tidak menang dan tak ingin menyakiti lawan mainnya, bola itu
dioper lagi ke tengah dan berputar-putar di sana. Demikian pula kiper
kesebelasan Solo memperlakukan hal yang sama terhadap kesebelasan Yogya,
dan kejadiannya sama pula. Meraka saling menghormati, memberi
kesempatan, tapi sama-sama tak mau mengecewakan lawan.

Jadi tak ada yang antagonis dalam debat itu, tapi entah pada debat-debat
putaran berikutnya.

/Checks and balances/
Barangkali itulah debat yang disesuaikan dengan kultur kita. Mungkin
masing-masing calon presiden sama-sama meyakini rumus bahwa ketika
tampil di panggung bersama-sama, maka publik akan menilai bahwa siapa
yang terlampau banyak menyerang lawan, maka nilainya akan turun.
Sebaliknya, kalau menyanjung lawan, nilainya akan naik. Soalnya, kalau
menyerang dalam sebuah acara debat yang ditonton banyak orang, ia
langsung berada di wilayah antagonis, di mana penonton Indonesia pun
langsung menjadikannya musuh karena dipandang tak sopan. Jadinya debat
antarcalon presiden terkesan menjadi perlombaan kesopanan, sesuai dengan
adat istiadat budaya Timur.

Kalau demikian, bagaimana dengan nasib demokrasi /checks and balances/,
ketika batas antara Tom dan Jerry tidak jelas, setidaknya hanya sebatas
wacana? Tak usah perlu dikhawatirkan. Sistem pemerintahan kita bukan
parlementer, melainkan presidensial, walaupun pemerintahan akan
dikontrol oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi, kalau mayoritas anggota
DPR pendukung pemerintah, sementara presiden-wakil presiden terpilih
didukung oleh mayoritas mutlak, bagaimana jadinya? Peluang /checks and
balances/ masih terbuka juga. Pemerintahan yang secara demokratis kuat
legitimasinya, sebagaimana ditandai oleh kemenangan besar dalam pemilu
legislatif dan pemilihan presiden, tak berarti berjalan begitu rupa
tanpa kontrol. Setidaknya, kalau DPR kurang optimal, elemen-elemen
masyarakatlah yang akan mengkritiknya.

Antara yang memerintah dan yang diperintah idealnya terkait dalam suatu
hubungan yang saling melengkapi, seperti mur dan baut. Kekuatan
pengimbang alias oposisi perlu karena performa demokrasi langsung yang
multipartai membukakan pintu bagi kemunculannya. Oposisi bisa menjadi
mur bagi pemerintah yang menjadi bautnya. Letak kontrolnya adalah soal
dukungan. Kalau kebijakan pemerintah tak selaras dengan apa yang dinilai
oposisi tak selaras dengan aspirasi publik, mur tak mau melekat ke baut,
atau kalau melekat itu pun hanya menempel sehingga akibatnya kebijakan
itu tak kuat alias tak mantap. Jadi pola /checks and balances/ kita
bukanlah selalu ditandai dengan hal-hal yang diametral.

Tapi bukannya lantas semua itu menghilangkan kekontrasan. Antara
pemerintah dan oposisi tak harus seperti Tom dan Jerry, tapi keduanya
harus menjaga wibawa masing-masing. Posisi dan fungsi kontrol oposisi
harus optimal, tapi tanpa harus "tidak sopan" dan terlalu antagonis. Dan
pemerintah pun harus lebih peka terhadap banyak aspirasi yang berkembang
serta mampu membuat kebijakan jalan tengah yang terbaik bagi kemajuan.
Di atas semua itu, semua aktor politik dan yang lain tetap bermain di
dalam kerangka konstitusi dan hukum-hukum yang ada. Penegakan hukum
harus dijamin, tanpa pandang bulu atas siapa saja.

*Disiplin bangsa*
Hilangnya mur, lampu, dan yang lain di Jembatan Suramadu menyisakan
pertanyaan serius yang terkait dengan mentalitas dan disiplin kita
sebagai bangsa. Apakah kita masih seperti apa yang digambarkan oleh
Mochtar Lubis dalam /Manusia Indonesia/? Apakah kultur kita masih
dibungkus kemunafikan, ditambah pula jauh dari disiplin, apalagi
benar-benar berkorban dan berjuang dalam mengoptimalkan kepentingan
nasional? Sungguh, fenomena ini masih menjadi bagian dari wajah kita.

Tapi, dengan adanya debat antarcalon presiden, betapapun masih memiliki
sejumlah kelemahan, budaya demokrasi dicoba disosialisasi terus-menerus.
Pembangunan mentalitas demokratis butuh proses, di mana diharapkan semua
pihak bisa lebih empan papan, tahu hak dan kewajiban, serta berdisiplin
dalam membangun bangsa. Bukan "merusak bangsa" dengan melakukan hal-hal
yang fatal yang membahayakan orang banyak dan kepentingan bangsa.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/23/Opini/krn.20090623.168965.id.html
Share this article :

0 komentar: