BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Peran Strategis Pertanian

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 14.06

Peran Strategis Pertanian

Secara umum posisi sektor pertanian dalam perekonomian nasional
mempunyai fungsi ganda. Pertama, mengemban fungsi ekonomi guna
penyediaan pangan dan kesempatan kerja.


Kedua, fungsi sosial yang berkaitan dengan pemeliharaan masyarakat
perdesaan sebagai penyangga budaya bangsa. Ketiga, fungsi ekologi guna
perlindungan lingkungan hidup, konservasi lahan,dan cadangan sumber air.
Era baru pertanian ke depan menghendaki orientasi pada pencapaian nilai
tambah,pendapatan, serta kesejahteraan petani sebagai acuan utama dalam
pembangunan pertanian.

Untuk itu restrukturisasi usaha pertanian menuju skala ekonomi yang
kompetitif sejalan dengan pengembangan investasi guna menghasilkan
produk segar dan olahan yang berorientasi pasar merupakan sesuatu yang
tak bisa ditawar-tawar lagi. Itu berarti pula bahwa sektor pertanian
harus menjadi sektor modern,efisien dan berdaya saing, agar mampu
berperan sebagai landasan perekonomian nasional. Terpuruknya
perekonomian nasional pada masa krisis tahun 1997 yang dampaknya masih
berkepanjangan hingga saat ini,membuktikan rapuhnya fundamental
perekonomian Indonesia yang kurang bersandar kepada kelimpahan sumber
daya domestik.

Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti
empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh
menghadapi terpaan krisis global. Bahkan hanya sektor pertanian
satu-satunya sektor yang masih mampu bertumbuh positif 0,03% (1998)
sementara sektorsektor yang lain bertumbuh negatif sebesar -13,7%
(1998). Kekeliruan mendasar dalam pembangunan selama ini adalah sektor
pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang cenderung
hanya untuk mengamankan kepentingan makro.

Sektor pertanian hanya pengemban tugas penyediaan pangan dan bahan baku
industri serta menampung tenaga kerja dalam rangka menjamin stabilitas
ekonomi nasional. Sementara di sisi lain, disadari atau tidak, petani
yang menjadi pelaku utama pembangunan pertanian sering terabaikan
kesejahteraannya.

Pilar Pembangunan Ekonomi Kerakyatan

Pertanian merupakan sektor strategis yang sekaligus sektor yang paling
banyak menyerap tenaga kerja dan berbasis pedesaan. Maka pemberesan pada
sektor ini, harus ada dalam kerangka langkah strategis untuk membereskan
berbagai persoalan sosial ekonomi bangsa sekaligus bentuk keberpihakan
nyata pada ekonomi kerakyatan.

Meskipun keberpihakan kepada sektor pertanian ini belumlah optimal,
pertanian telah membuktikan keandalannya, yaitu mampu menciptakan
ketahanan pangan,mendukung pembangunan sektor sekunder dan tersier
sekaligus menyumbang penerimaan devisa negara. Oleh karena
itu,pembangunan pertanian ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya
perubahan struktural secara sistematis dan komprehensif lintas sektor.

Pembangunannya harus berdasarkan sistem pengambilan keputusan yang
terpadu dan terkoordinasi secara efektif.Jika pola itu dilaksanakan akan
menjadi penopang tujuan pembangunan pertanian yang berdaya saing,
berkerakyatan, berkeadilan serta berkelanjutan.

Pembangunan pertanian mendatang akan lebih memperhatikan pada penekanan
partisipasi masyarakat petani dan stakeholder lainnya secara bersama dan
sinergis dalam iklim berusaha yang kondusif untuk mewujudkan
kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya secara berkeadilan dan
demokratis. Dengan terciptanya kesejahteraan petani yang berkeadilan dan
demokratis, harapan Indonesia yang aman dan damai akan dapat
diwujud-nyatakan.

Indonesia Berdaulat Pangan

Indonesia berdaulat pangan tidak boleh ditawar-tawar. Indonesia
berdaulat pangan merupakan akar kemerdekaan sebagai bangsa yang
bermartabat. Indonesia berdaulat pangan merupakan kedaulatan bagi
petani. Pada zaman penjajahan petani dijajah oleh kolonial, di era pasar
bebas petani dijajah oleh kekuatan modal kapitalis global yang bekerja
sama dengan komprador lokal.Kedaulatan petani berarti meningkatnya taraf
hidup dan kualitas hidup petani.

Kedaulatan petani berarti kedaulatan rakyat sebagai kolektivitas. Untuk
itu mutlak diperlukan dukungan politik dari pihak legislatif maupun
eksekutif,yang memperhatikan kepentingan petani sebagai bagian mayoritas
warga bangsa. Tanpa kemauan politik (political will), niscaya sektor
pertanian akan tetap berjalan di tempat dengan semakin memarginalkan
masyarakat pertanian dan perdesaan.

Kepentingan-kepentingan makro di tingkat nasional seperti stabilitas,
dan lain-lain, harus seirama dan kompatibel dengan kepentingan petani di
tingkat mikro atau “grass-root level”. Indonesia sebagai negara agraris
seyogianya menjadikan sektor pertanian menjadi landasan dan pilar
pembangunan nasional. Di sinilah perlu diletakkan konsep pembangunan
pertanian dengan paradigma baru yang dapat mewujudkan pertanian modern
yang demokratis dan berkeadilan, serta kedaulatan pangan yang aman
sebagai landasan kokoh pembangunan nasional.

Berdasarkan pengalaman penulis, untuk mewujudkan Indonesia berdaulat
pangan dalam jangka waktu lima tahun ke depan sangat mungkin dicapai
dengan Strategi Dasar sebagai berikut : Pertama, menyejahterakan petani
yang demokratis dan berkeadilan.

Orientasi utama pembangunan pertanian ke depan adalah peningkatan taraf
hidup dan kualitas hidup pelaku usaha tani yang didukung oleh (1)
kebijakan yang konsisten mendukung kesejahteraan pelaku usaha tani, (2)
sinergi kebijakan lintas sektoral, serta (3) meningkatkan partisipasi
dan pemberdayaan pelaku usaha tani. Kedua, membangun kedaulatan pangan
yang berkelanjutan. Orientasi utamanya adalah terwujud kemandirian
pangan yang berkesinambungan yang mengindahkan kelestarian lingkungan
dan kesejahteraan petani.

Target itu akan ditopang oleh (1) jaminan kesejahteraan petani yang
berpartisipasi secara demokratis di dalam penciptaan kedaulatan
pangan,(2) kebijakan diversifikasi pangan yang didukung secara sinergis
dan konsisten oleh sektor nonpertanian, (3) terjaminnya ketersediaan
pangan dalam kualitas, kuantitas dan kontinuitas, terjangkau, yang
terdistribusi secara merata di seluruh wilayah Indonesia, 4) sinergi
seluruh stakeholder, termasuk pemerintah pusat dan daerah, serta (5)
mengembangkan teknologi dan model pertanian yang menjaga kelestarian
lingkungan.

Ketiga, pembangunan pertanian yang berdaya saing sebagai landasan
pembangunan nasional. Dalam konteks ini harus ada pembagian peran yang
transparan, harmonis dan sinergis antara pusat dan daerah dalam melayani
dan memfasilitasi aspirasi masyarakat.Pada tataran teknisnya akan
dituangkan dalam perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan
akuntabilitas merupakan prasyarat terbangunnya keberlanjutan pembangunan
pertanian. Keempat, strategi agroindustri sebagai pemacu pertumbuhan.
Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pertanian dapat diakselerasi melalui
industrialisasi berbasis pertanian (domestic resource based).

Dalam pengembangan tersebut ada lima prinsip dasar, yaitu (1) memiliki
keterkaitan (linkages) yang besar baik ke hulu maupun ke hilir, (2)
produknya mempunyai nilai elastisitas permintaan akan pendapatan yang
relatif tinggi sehingga makin besar pendapatan masyarakat akan makin
terbuka pasar bagi produk agroindustri,(3) kegiatannya bersifat resource
base industry sehingga dukungan dengan potensi sumber daya alam yang
besar merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif dengan pasar
global, (4) menggunakan input yang renewable sehingga keberlangsungan
(sustainability) kegiatannya lebih terjamin, serta (5) memiliki basis di
perdesaan sehingga lebih berakar pada kegiatan ekonomi desa.

Saya percaya jika strategi dasar di atas dapat dijalankan, hal itu dapat
mewujudkan pembangunan pertanian yang demokratis, berkeadilan, dan
sejahtera serta terwujudnya Indonesia berdaulat pangan akan menjadi
keniscayaan.(*)

Dr Ir Mohammad Jafar Hafsah
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Kelautan, Perikanan, Pertanian & Kehutanan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/245474/

Menyambut DPR Kaum Muda

Menyambut DPR Kaum Muda


*M Fadjroel Rachman*

Pasca-Pemilu Legislatif 2009, kaum muda menguasai 63,2 persen DPR meski
penggembosan dan penggelembungan daftar pemilih tetap menjadi catatan
hitam lima tahun ke depan.

Dari penelusuran Kompas (26/5), 560 anggota DPR yang akan dilantik pada
1 Oktober 2009 yang berusia 25-50 tahun cenderung membesar. Tercatat
sebanyak 38,8 persen tahun 1999-2004, 49,0 persen (2004- 2009), dan 63,2
persen (2009- 2014).

Sedangkan anggota DPR usia 50 tahun lebih cenderung menurun. Ada 57,5
persen tahun 1999- 2004, 50,6 persen (2004-2009), dan 36,1 persen
(2009-2014). Selain itu, tingkat pendidikan tinggi yang disandang calon
anggota juga meningkat. Pascasarjana sebesar 18,6 persen (1999-2004),
33,6 persen (2004-2009), dan 41,1 persen (2009-2014). Sarjana 56,3
persen (1999-2004), 49,1 persen (2004-2009), dan 49,5 persen
(2009-2014). Berarti profil DPR periode 2009-2014 mengalami (1)
regenerasi keanggotaan DPR, (2) embrio DPR kaum muda generasi kedua
pascareformasi, serta (3) perbaikan dan kenaikan tingkat pendidikan.

*Habitus semidemokrasi*

Seharusnya regenerasi DPR dan meningkatnya pendidikan menjadi pertanda
baik untuk keberlanjutan demokrasi, sebagaimana dicatat Samuel P
Huntington, (Gelombang Demokratisasi Ketiga, 1995). Di Jerman dan
Jepang, warga negara berusia lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi
menunjukkan sikap lebih prodemokrasi. Hanya 2 persen warga negara Jerman
yang memilih republik federal yang baru (1950), bahkan 30 persen
mengatakan akan mendukung atau acuh tak acuh terhadap upaya Partai Nazi
baru untuk merebut kekuasaan, lalu tahun 1959 dukungan terhadap republik
federal menjadi 42 persen dan memuncak 81 persen tahun 1970.

Artinya, demokrasi berkembang sejalan dengan perubahan generasi dan
terciptanya lingkungan demokratis sebagai habitus warganya. Namun pada
2009-2014, partai politik dan lingkungannya masih semidemokratis.
Sejumlah parpol yang lolos ke DPR masih antipenegakan dan pengadilan
HAM, bahkan koalisi parpol pasangan capres- cawapres untuk pemilu
presiden 8 Juli 2009 meninggalkan pendekatan HAM sebagai basis penentuan
koalisi dan platform kerja koalisi.

Dalam habitus semidemokrasi, dapatkah embrio DPR kaum muda menuntaskan
transisi dan konsolidasi demokrasi? Transisi demokrasi adalah sebuah
tahapan antara dari sistem antidemokrasi ke sistem demokrasi. Tahapan
antara itu mensyaratkan sejumlah agenda, arena, regulasi, dan aktor yang
dapat menjamin berakhirnya sistem antidemokrasi dan berkelanjutannya
perkembangan sistem demokrasi.

Tahap transisi demokrasi mensyaratkan diskontinuitas terhadap tahap
otoriter/totaliter yang antidemokrasi, sedangkan tahap sistem demokrasi
yang diperluas dan diperdalam mensyaratkan kontinuitas dengan transisi
demokrasi. Secara sederhana, ketiga tahapan itu adalah, pertama, tahap
otoriter/totaliter sistem antidemokrasi; kedua, tahap transisi
demokrasi; ketiga, tahap sistem demokrasi berkelanjutan yang diperluas
dan diperdalam.

Pada tahap transisi demokrasi, arena apa saja yang harus dikonsolidasi?
Kata Juan J Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic
Transition and Consolidation (1996), ada lima arena utama konsolidasi
demokrasi modern: (1) civil society; (2) political society; (3) rule of
law; (4) state apparatus; dan (5) economic society.

*Demarkasi demokrasi*

Tahap transisi selalu memiliki agenda demarkasi demokrasi dan
antidemokrasi, umumnya berpusat pada konstitusi antidemokrasi, kejahatan
HAM, kejahatan KKN, dan pemilu curang. Karena itu harus dibentuk (1)
konstitusi demokrasi, (2) komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), (3)
pengadilan HAM, (4) komisi antikejahatan KKN, dan (5) pemilu jujur dan
adil. Amandemen UUD 1945 Kelima seharusnya adalah upaya membuat
konstitusi demokrasi menyeluruh, demokratis, dan progresif, idealnya
dilakukan Komisi Konstitusi Independen di Filipina atau Afrika Selatan.
Agendanya termasuk menyetarakan wewenang DPD dan DPR, membolehkan capres
independen selain capres parpol/gabungan parpol, serta menyerap
pendekatan HAM, ekologi, dan demokrasi secara utuh.

Bersediakah ”embrio” DPR kaum muda melakukan amandemen UUD 1945 Kelima?
Bersediakah membuat undang-undang untuk menghentikan swastanisasi BUMN,
minyak, gas dan sumber daya alam lain, menasionalisasi/merenegosiasi,
serta menetapkan reformasi agraria/perburuhan dan pajak progresif?

Agenda transisi lainnya, membuat kembali UU KKR yang berpihak kepada
korban, merevisi kewenangan KPK membongkar KKN prareformasi (Soeharto,
keluarga, dan kroni) serta pascareformasi atau membentuk lembaga seperti
Presidential Commission on Good Government di Filipina untuk mengejar
harta KKN Marcos, keluarga, dan kroni.

Dalam konsolidasi aparatus negara, tentu merujuk pada reformasi dan
reorganisasi birokrasi, TNI dan Polri. TNI dan Polri profesional berarti
melepaskan fungsi teritorial, bisnis, dan menempatkan TNI di bawah
Departemen Pertahanan serta Polri di bawah Departemen Dalam Negeri.
Termasuk memfokuskan TNI Angkatan Laut sebagai ujung tombak pertahanan
Indonesia sebagai negara maritim.

*DPR/presiden muda*

Perubahan generasi sekaligus perubahan paradigma yang berjalan kini
secara perlahan dapat melengkapi persyaratan penuntasan agenda, arena,
regulasi, dan aktor transisi demokrasi sehingga tercapai tahap demokrasi
dan habitus demokrasi. Lahirnya ”embrio” DPR kaum muda 2009 ini
melahirkan sikap positif skeptis-optimistis untuk penuntasan transisi
dan konsolidasi demokrasi. Bila integritas moral dan intelektual serta
keberpihakan pada si miskin dan tertindas terjaga baik, pada 2014 secara
serentak akan muncul DPR kaum muda dan presiden kaum muda.

Di tengah habitus semidemokrasi yang dilengkapi godaan masif kekuasaan,
harta, dan pengkhianatan, saat berakhir masa jabatan, mereka harus dapat
membayangkan akan ada intelektual yang menulis, seperti Harsya W
Bachtiar menulis teladan Soe Hok Gie, ”Di tengah pertentangan politik,
agama, dan kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip
perikemanusiaan dan keadilan serta secara jujur dan berani menyampaikan
kritik atas dasar prinsip itu demi kemajuan bangsa”.

/*M Fadjroel Rachman* Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04431935/menyambut.dpr.kaum.muda
/

Perbedaan Garis Ekonomi Para Capres

Perbedaan Garis Ekonomi Para Capres
Oleh Hendri Saparini Ekonom Econit


AKHIR-akhir ini diskusi tentang perbedaan garis kebijakan ekonomi
pasangan capres makin marak. Namun, benarkah dalam Pilpres 2009 akan ada
pertarungan ideologi atau garis ekonomi? Sebagaimana diketahui, ketiga
capres adalah muka lama. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati
Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla (JK) ketiganya pernah menjabat sebagai
pemimpin tertinggi di republik ini, baik sebagai presiden maupun wakil
presiden.

Bagi saya, Pilpres 2009 tetap menarik. Meskipun capres yang akan
bertarung adalah stok lama, akan tetapi cawapres yang mendampingi adalah
para tokoh yang selama ini mengusung garis ekonomi yang berbeda.
Cawapres Prabowo Subianto dan Wiranto adalah para mantan jenderal yang
sejak dua tahun lalu muncul dengan menawarkan perubahan kebijakan
ekonomi bagi Indonesia. Prabowo dan Gerindra mengusung bendera ekonomi
kerakyatan, sedangkan Wiranto bersama Hanura menawarkan kemandirian
ekonomi. Sementara itu, cawapres Boediono adalah pengusung dan ikon
garis ekonomi neoliberal dengan agenda liberalisasi dan privatisasi.

A Keputusan JK untuk menggandeng Wiranto akan ditangkap masyarakat
sebagai pesan bahwa JK akan mendukung kemandirian ekonomi.

Demikian juga pilihan Megawati pada Prabowo menciptakan persepsi publik
bahwa Megawati akan menutup lembar ekonomi liberal dan membuka lembaran
ekonomi kerakyatan yang pernah ditinggalkan. Oleh karenanya, saat SBY
menjatuhkan pinangannya pada Boediono, masyarakat segera menangkap pesan
SBY untuk melanjutkan ekonomi liberalnya selama ini.

Bila benar para capres berpegang teguh pada garis ekonominya, kebijakan
ekonomi lima tahun ke depan akan sangat ditentukan siapa pasangan
capres-cawapres yang memenangkan Pilpres 2009. Bahkan pilpres sangat
mungkin untuk menjadi momentum perubahan arah ekonomi Indonesia ke
depan. Mungkin masih banyak keraguan terhadap kemampuan para capres
dalam mengimplementasikan perubahan yang dijanjikan, tapi paling tidak
Mega-Pro dan JK-Win akan menuju pada arah kebijakan ekonomi yang berbeda
dengan SBY Berbudi.

Untuk memberikan gambaran perbedaan pilihan kebijakan ekonomi
berdasarkan garis ekonomi para capres, saya akan membandingkan pilihan
kebijakan yang seharusnya diambil para capres terhadap dua isu yang
menjadi perhatian publik, yakni kebijakan perdagangan dan peran BUMN.

Kebijakan perdagangan Kebijakan perdagangan Presiden SBY dan Menko
Perekonomian Boediono selama lima tahun terakhir telah mengarah pada
liberalisasi kebijakan perdagangan yang ugal-ugalan. Sebagai contoh,
kebijakan perdagangan rotan mentah.

Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia.

Pada 2005, pemerintahan SBY membebaskan ekspor rotan. Bagi penganut
garis ekonomi liberal kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga
menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara juga akan diuntungkan
dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan mendorong
kinerja pertumbuhan ekonomi.

Sepintas kebijakan itu seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi
rotan mentah mengakibatkan produsen barang dari rotan, yang umumnya di
wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku.
Bila permintaan dan harga internasional tinggi, petani rotan akan
memilih untuk menjual langsung ke pasar dunia.

Sebuah pilihan yang wajar karena pembayaran dan order lebih pasti,
dengan konsekuensi banyak industri mebel rotan kecil dan menengah
nasional yang tutup.

Bagi capres pengusung ekonomi kemandirian dan kerakyatan, pilihan
kebijakan yang diberikan akan sangat berbeda. Melimpahnya produksi rotan
di Kalimantan semestinya bukan menjadi kesempatan untuk mendorong ekspor
rotan mentah, tetapi menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi
Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia. Pemerintah dapat
mengembangkan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil
rotan. Selain akan menciptakan lapangan kerja yang besar, kesejahteraan
petani dan perajin rotan akan meningkat. Itu karena nilai tambah dari
pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati rakyat di Indonesia.
Sementara itu, pembebasan ekspor akan menyerahkan nilai tambah tersebut
kepada negara lain.

Pilihan kebijakan serupa dapat dilakukan untuk mengoreksi kebijakan
liberalisasi perdagangan untuk berbagai komoditas primer yang menjadi
keunggulan Indonesia. Indonesia adalah produsen timah kedua dunia.
Melimpahnya produksi timah tidak seha rusnya menjadikan In donesia
sebagai spesialis eksportir timah mentah.

Dengan garis kebijakan ekonomi mandiri dan kerakyatan, tangan pemerintah
akan turun untuk merencanakan, memberikan contoh, dan mendukung
munculnya industri-industri penghasil produk-produk dari timah.
Indonesia harus bisa menghasilkan nilai tambah dari timah hingga tiga
ratus kali sebagaimana dilakukan China.

Di sektor perdagangan sektor ritel, pengusung perubahan semestinya akan
menghentikan liberalisasi yang terjadi pada pemerintahan SBY.

Karena, tidak efektifnya pembatasan lokasi, berkembangnya usaha ritel
raksasa di pusat kota telah mengakibatkan banyak UMKM tergusur dan
terpaksa bangkrut. Padahal di negara asalnya mereka hanya boleh membuka
usaha di luar kota sehingga tidak melibas pemain kecil dan menengah.
Selain itu, di sisi penguasaan pasar pun harus dibatasi, seperti
misalnya di Jepang dibatasi maksimal 1% dan Korea Selatan 3%. Saat ini
perusahaan raksasa ritel dunia telah menguasai lebih dari 11% pasar
ritel di Indonesia.

Fakta terbaru saat menghadapi krisis global, pemerintah SBY yang
proliberal justru menyiapkan stimulus fi skal yang tidak memihak kepada
kepentingan nasional. Industri pengolahan susu justru mendapatkan paket
subsidi berupa pembebasan bea masuk impor bahan susu. Jika pemerintah
mengusung ekonomi kemandirian dan kerakyatan, stimulus fi skal tersebut
akan diberikan kepada industri yang menyerap susu produksi para petani
dalam bentuk keringanan pajak atau subsidi dalam bentuk lain.

Kebijakan BUMN Presiden SBY dan tim ekonomi yang mengusung agenda
neoliberal dipastikan akan melanjutkan rencana penjualan berbagai BUMN.
Seperti diketahui, pemerintah SBY pernah merilis 40 BUMN yang siap
diswastakan.

Tidak mengherankan karena privati sasi memang merupakan salah satu
agenda utama neo liberal. Sulitnya para pengusung privatisasi dalam
memberikan alasan yang masuk akal, akhirnya hanya mengusung isu korupsi
dan inefisiensi.

Sangat menyederhanakan masalah. Seolah bila pemerintah terlibat dalam
pengelolaan ekonomi lewat berbagai BUMN, pasti akan merugikan karena
korup dan tidak efi sien. Mereka lupa banyak negara yang maju dan dapat
menyejahterakan rakyat lewat BUMN yang kuat. Singapura misalnya, hingga
saat ini lebih dari 75% ekonominya masih dikelola usaha milik negara.

Singapore Airlines dan Temasek adalah sedikit contoh badan usaha milik
negara yang sangat kompetitif tidak hanya di dalam, tapi juga di luar
negeri.

Memang benar masih banyak BUMN yang salah kelola. Namun, untuk
menyelesaikannya bukan dengan jalan pintas, yakni menjual BUMN. Harus
diingat bahwa BUMN memiliki fungsi strategis lain sebagai penggerak
ekonomi sehingga pemberantasan korupsi yang dilakukan tidak dengan
menghilangkan peran strategis tersebut.

Capres yang akan menawarkan kemandirian ekonomi tentu saja harus
memprioritaskan penghentian privatisasi BUMN. Bahkan harus mengembalikan
peran BUMN sebagai agen pembangunan.

Bila merujuk pada tawaran kebijakan perdagangan di atas, misalnya, BUMN
harus menjadi motor penggerak pembangunan industri pengolahan berbagai
sumber daya alam di Indonesia. Bila saat ini banyak BUMN lebih berperan
sebagai pedagang komoditas primer, harus mengubah haluan kebijakannya
untuk merencanakan pengembangan industri pengolahan komoditas yang
dikelolanya. PT Timah tidak hanya menjadi eksportir timah batangan atau
bahkan pasir timah, tetapi akan menjadi bagian penting untuk membangun
industri pengolahnya.

Strategi kebijakan di bidang keuangan semestinya juga berbeda.
Liberalisasi keuangan dan perbankan harus dihentikan karena sektor
keuangan adalah salah satu jantung kegiatan ekonomi. Saat ini
kepemilikan asing di perbankan nasional sudah mencapai separo. Sementara
itu, untuk memberdayakan UMKM harus ada ruang bagi pemerintah untuk
menggerakkan berbagai dana yang dimiliki di berbagai bank BUMN. Jika
dilakukan privatisasi, kelenturan dalam menggerakkan dana bagi UMKM akan
berkurang, atau bahkan hilang.

Beda garis kebijakan ekonomi, seharusnya beda kebijakannya. Pilihan
kebijakan pe ngusung garis ekonomi liberal dengan pe ngusung ekonomi
kerakyatan dan kemandirian tidak akan sama. Mudahkah untuk meyakinkan
masyarakat dan melaksanakannya? Tentu tidak, karena Indonesia telah
mengalami liberalisasi yang sangat dalam. Namun, tidak ada pilihan lain.
Ekonomi kerakyatan atau kemandirian adalah jalan yang harus ditempuh
untuk menyejahterakan dan memajukan seluruh masyarakat Indonesia saat ini.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/09/ArticleHtmls/09_06_2009_025_002.shtml?Mode=0

"Argumentum ad Populum"

"Argumentum ad Populum"


*Ignas Kleden*

Menghadapi kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sekarang
ini, kita bertanya: apa gerangan yang hendak dicapai masing-masing tim
sukses untuk tokoh yang mereka jagokan?

Jawabannya, agar tokoh yang dipromosikan dalam setiap kampanye berkenan
di hati rakyat. Setelah itu, perkenanan rakyat akan dinyatakan melalui
suara yang diberikan kepada tokoh bersangkutan dalam pemilihan umum
nanti. Dengan kata lain, yang menjadi kecemasan tim sukses adalah kalau
tokohnya tidak berkenan.

Akan tetapi, di situlah soalnya, apakah kita memerlukan pemimpin yang
berkenan dan menghindari yang tidak berkenan, ataukah kita memerlukan
pemimpin yang sanggup bertindak benar dan menghindari pemimpin yang
bertindak tidak benar? Mungkin para pemilih dan pemberi suara perlu
berpikir ulang tentang siapa yang hendak mereka dapatkan sebagai pemimpin.

Sebagai perbandingan, coba bayangkan, Anda datang ke sebuah hotel,
resepsionis menerima dengan senyum yang ramah dan murah meriah, tetapi
ketika Anda memerlukan sesuatu, urusannya amat lambat dan bertele-tele
dan Anda tidak mendapat pelayanan yang Anda perlukan. Sebaliknya, ada
pula hotel dengan resepsionis yang serba lugas dan tampang sedikit
galak, tetapi melayani semua permintaan Anda dengan cepat dan memuaskan.

Anda harus berpikir, ke hotel manakah sebaiknya Anda pergi untuk
menginap: ke tempat yang ramah dan kelihatan menyenangkan, tetapi dengan
pelayanan tidak efektif atau ke hotel lain dengan suasana yang serba
lugas, tetapi di sana keperluan Anda dilayani segera.

Hal yang lebih kurang mirip akan Anda hadapi dalam pemilihan presiden
dan wakil presiden yang akan menjadi pemimpin nasional Indonesia selama
lima tahun mendatang. Jelas, tiap tim sukses akan mereka-reka dan
menciptakan tampilan setiap tokoh mereka semenarik mungkin, entah dengan
foto yang memikat, janji yang melambung, atau dengan acara-acara hiburan
berupa nyanyian dan tarian, pantun, sajak, atau entertainment lain.

Anda jatuh hati dan mulai berpikir untuk memberikan suara kepada tokoh
bersangkutan karena dia berkenan dan menarik hati Anda. Namun, sebelum
terlambat, pikirkan sejenak, jangan-jangan tokoh simpatik ini tidak bisa
memenuhi kebutuhan dan harapan Anda jika sudah memerintah. Karena itu,
daripada terlena mendengar kata-kata yang menarik dan terpukau oleh
tampilan yang memesona, cobalah Anda selidiki apakah tokoh bersangkutan
mengajukan program politiknya yang bisa dipegang. Anda harus bertanya
apakah tokoh bersangkutan sanggup dan mau melakukan suatu program
politik yang konkret untuk mewujudkan apa yang Anda impikan sebagai
terwujudnya perbaikan nasib Anda sebagai warga negara.

*Komitmen pemimpin*

Seorang pemimpin nasional, yaitu dia yang memegang tanggung jawab
tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, semestinya
seseorang yang mengetahui dengan jelas apa yang akan dilakukannya,
mempunyai komitmen untuk melaksanakan apa yang diketahuinya, dan berani
menanggung risiko dari keputusan dan tindakan politiknya. Kita tidak
memilih pemimpin karena hati kita terharu dan perasaan kita terpesona,
tetapi karena ada keyakinan yang cukup berdasar bahwa pemimpin yang
dipilih akan memperbaiki nasib dan perikehidupan rakyatnya karena dia
mempunyai pengetahuan, kesanggupan, dan kemauan untuk melaksanakannya.

Dalam pengantar filsafat, dibedakan beberapa jenis logika. Kalau Anda
bertanya kepada seorang anggota DPR tentang apa yang disumbangkannya
kepada perbaikan nasib rakyat yang konon diwakilinya, dan Anda mendapat
serangan balik terhadap diri Anda, maka anggota DPR kita melakukan suatu
argumentum ad hominem (misalnya dengan mengatakan ”saudara mengerti apa
tentang urusan DPR, ini soal yang penuh komplikasi yang tidak saudara
pahami”). Sebaliknya, kalau dia tidak menjawab pertanyaan Anda secara
langsung, tetapi menceritakan kehebatan riwayat dirinya dan menonjolkan
pribadinya, maka di sana dia melakukan suatu argumentum ad populum
(misalnya dengan mengatakan bahwa dia sudah mengalami tiga masa kerja di
DPR dan semua orang juga tahu siapa dirinya).

Seseorang bisa menyerang lawan bicaranya secara pribadi atau dapat pula
berusaha menarik hatinya secara pribadi. Akan tetapi, dengan itu kita
belum mengetahui apa yang dilakukannya sebagai wakil rakyat untuk para
konstituennya. Pada titik itu dia tidak memberikan argumentum ad rem,
yaitu jawaban atau keterangan tentang hal yang ditanyakan.

*Menyimak tokoh*

Dalam masa kampanye sekarang ini, rakyat pemilih sebaiknya menyimak
apakah tokoh-tokoh yang mencalonkan dirinya sanggup dan bersedia
memberikan jawaban mengenai soal-soal penting yang ditanyakan (yaitu
memberikan argumentum ad rem), atau hanya menyerang pesaingnya secara
pribadi dan juga menyerang pihak yang meragukan kemampuannya (yaitu
melakukan argumentum ad hominem), atau juga hanya berusaha menarik
simpati publik kepada dirinya dengan membuat pendengarnya kagum dan
terpesona, tanpa menjawab berbagai soal yang ditanyakan mengenai
tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin nasional tertinggi (yaitu hanya
memberikan argumentum ad populum).

Pada titik ini para pemilih sebaiknya diingatkan bahwa suara yang mereka
berikan kepada seorang calon pemimpin nasional bakal menentukan keadaan
negara dan bangsa ini untuk masa lima tahun ke depan. Juga bahwa suara
yang diberikan akan menentukan juga nasib mereka sendiri sebagai warga
negara, apakah hak-hak mereka dipenuhi, perlindungan terhadap mereka
dijamin, serta kebutuhan dan harapan mereka bakal dipenuhi.

Choose the right path, not the easy path (pilihlah jalan yang benar,
bukan jalan yang gampang), kata Presiden Obama dalam pidatonya di Kairo
pada 4 Juni 2009. Kita juga sebaiknya memilih pemimpin yang benar dan
bukan sekadar pemimpin yang berkenan di hati.

/*Ignas Kleden* Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04453785/argumentum.ad.populum

Optimisme di Tengah Korupsi Berjemaah

Optimisme di Tengah Korupsi Berjemaah
Todung Mulya Lubis, Ketua Transparency International-Indonesia.
Hari ini Global Corruption Barometer diluncurkan, dan kita bisa berkaca di mana kita berada dalam peta korupsi dunia sekarang ini. Meski Global Corruption Barometer ini hanya mencakup 69 negara, Indonesia termasuk di dalamnya bersama enam negara ASEAN lainnya. Sekaligus kita bisa melihat di mana posisi Indonesia di lingkungan ASEAN.
Kesimpulan umum dari survei yang diikuti oleh 73,132 responden ini bahwa korupsi masih sangat memprihatinkan. Sekitar 10 persen diperkirakan masih terlibat dalam korupsi dan suap, dan korupsi yang paling nyata adalah apa yang disebut korupsi kecil-kecilan (petty corruption, petty bribery). Kesimpulan lain, rakyat tak terlalu terkesan dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, dan karena sektor swasta (pengusaha) ditengarai telah merusak negara melalui apa yang disebut state capture corruption.
Kemudian kesimpulan lain, persepsi publik seperti tahun-tahun sebelumnya tetap mempersepsikan institusi publik secara negatif. Institusi publik yang dimaksud di sini adalah partai politik, parlemen, pengadilan, dan pegawai negeri. Media juga tak bersih dari korupsi, tapi tak separah institusi publik dan pengusaha. Terakhir kesimpulan survei ini adalah rendahnya kemauan untuk melaporkan korupsi karena kepercayaan yang rendah terhadap efektivitas lembaga penegak hukum pemberantas korupsi. Jadi korupsi, terutama korupsi kecil-kecilan, tetap jadi angka yang gelap dan sepertinya diperlakukan sebagai budaya atau adat istiadat.
Dalam survei yang menggunakan angka 1 untuk tidak korupsi dan 5 untuk sangat korup ini ditanyakan kepada publik tentang persepsi mereka mengenai partai politik, parlemen, dunia usaha, media, birokrasi, dan pengadilan. Untuk Indonesia, kita melihat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dianggap paling korup dengan angka 4.4, pengadilan dianggap sebagai kedua terkorup dengan angka 4,1, partai politik dan birokrasi ketiga terkorup dengan angka 4,0, dunia usaha keempat terkorup dengan angka 3,2, serta media sebagai yang kurang korup dengan angka 2,3. Angka rata-rata Indonesia adalah 3,7, terburuk di ASEAN jika dibandingkan dengan Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Terus terang, prestasi ini bukanlah prestasi yang membanggakan mengingat dalam 10 tahun ini kita sudah berjuang memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, malah berhasil memasukkan istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai nomenklatur politik kontemporer yang sifatnya sangat memaksa pemerintah untuk melaksanakan pemberantasannya.
Global Corruption Barometer 2009
Persepsi Lembaga Terkorup
NegaraPartai politikDPRDunia usahaMediaBirokrasiYudikatifAngka rata-rata
Brunei Darussalam2.12.12.71.92.62.02.3
Cambodia3.02.72.62.33.54.03.0
Indonesia4.04.4 3.22.34.04.13.7
Malaysia3.93.33.42.73.73.13.4
Filipina4.03.93.02.04.03.43.4
Singapura2.11.82.72.52.21.82.2
Thailand4.13.13.22.83.62.83.3

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang gencar memberantas korupsi, tampaknya tak membuat "deterrent" dalam melakukan korupsi dan suap. Padahal sudah banyak gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, pegawai tinggi, dan pengusaha yang dihukum karena korupsi. Entah mengapa korupsi tetap berjalan, malah dalam bentuknya yang semakin canggih. Tak mengyerankan kalau partai politik, pengadilan, DPR, dan instansi pemerintah tetap dipersepsikan sebagai lembaga-lembaga publik yang korupsinya masih sangat melembaga, sistemik, endemis, dan widespread. Korupsi tak berkurang, hanya berubah bentuk.
Ada tiga pengamatan yang hendak saya kemukakan sebagai sesuatu yang menarik dari hasil survei Global Corruption Barometer ini. Pertama, menguatnya korupsi sektor swasta oleh pengusaha dalam bentuk state capture corruption dengan mempengaruhi serta merebut negara dalam membuat kebijakan, legislasi, dan peraturan daerah. Korupsi dilegalisasi melalui undang-undang dan peraturan daerah. Korupsi dilegitimasi melalui kebijakan pemerintah. Di sinilah hasil korupsi tak selalu gampang dilacak karena ia bisa masuk melalui transaksi off shore, pajak, maupun saham di bursa. Kontrak-kontrak pertambangan berjangka lama adalah korupsi yang bisa terjadi karena kudeta terhadap negara. Biaya-biaya politik bisa berasal dari state capture corruption, yang dalam bahasa vulgar disebut money politics.
Kedua, ini sebetulnya bukan barang baru tapi penting untuk dikemukakan, yaitu masih merajalelanya korupsi kecil-kecilan (petty corruption, petty bribery). Korupsi berjemaah ini adalah korupsi yang terjadi karena berbagai hal yang merupakan gabungan dari rendahnya remunerasi, lemahnya pengawasan, kualitas sumber daya manusia yang bobrok, pandangan budaya yang salah, dan represi yang tak menyentuh korupsi berjemaah. Di sini kita bicara tentang sistem pemerintahan yang tak memberantas korupsi, sistem yang tak menjamin transparansi dan akuntabilitas. Reformasi birokrasi sipil tampaknya sangat terbatas, dan dampaknya juga sangat terbatas. Koruptor kecil ini bukannya kebal hukum, melainkan tak tersentuh tangan hukum. Adapun koruptor kakap itu bukan tak tersentuh tangan hukum, melainkan kebal hukum dan di atas hukum (untouchable dan above the law).
Meski kita dihadapkan pada state capture corruption dan korupsi berjemaah, yang menarik adalah bahwa 7 dari 10 orang Indonesia sangat optimistis bahwa pemberantasan korupsi berjalan efektif. Bersama orang-orang di Brunei Darussalam, Hong Kong, Nigeria, dan Singapura, orang-orang Indonesia percaya bahwa pemerintah telah memberi harapan bahwa korupsi bisa diberantas. Optimisme ini melegakan, dan pemerintah seharusnya menangkap optimisme ini. Dalam pemilihan presiden yang akan diadakan pada bulan depan, kita berharap bahwa para calon presiden mendengar suara rakyat yang optimistis ini. Modal dasar untuk berhasil sudah ada, dan jangan rakyat dikecewakan.
Dari hasil Global Corruption Barometer 2009 ini, satu pelajaran berharga yang kita dapat adalah pemberantasan korupsi tidak semata-mata soal represi, menangkap, menuntut, mengadili, dan menghukum. Persoalan utama dalam keberhasilan pemberantasan korupsi adalah membangun sistem pemerintahan yang transparan, berintegritas, dan akuntabel. Kita bisa menangkap sejuta koruptor, tapi kalau sistem pemerintahan tetap tidak berintegritas, transparan, dan akuntabel, jutaan koruptor akan lahir dan berkembang biak.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/09/Opini/index.html

Prita, Apa Salahmu?

Prita, Apa Salahmu?


*Itet Tridjajati Sumarijanto*

Entah mimpi apa, Prita Mulyasari harus masuk penjara. Entah mimpi apa
pula, RS Omni Internasional masuk berita yang merusak reputasi lembaga itu.

Sekian tahun lalu tujuan berdirinya RS swasta modern adalah untuk
mencegah pasien lari ke luar negeri. RS swasta tumbuh marak. Sayang,
pembangunan rumah sakit-rumah sakit swasta baru sebatas mewahnya gedung
dan peralatan canggih. Sedikit manajemen RS mewah memerhatikan kualitas
pelayanan secara komprehensif yang didambakan pasien. Masih banyak
pasien berobat ke negara tetangga.

*Industri kesehatan*

Kini, pelayanan kesehatan sudah menjadi industri, maka berlaku hukum
ekonomi. Makin tinggi harga, makin tinggi kualitas barang yang diterima.

Hal serupa berlaku untuk kasus Prita. Dengan biaya RS yang tidak murah,
semua layanan yang diterima harus seimbang. Keluh kesah Prita melalui
e-mail kepada teman-teman seharusnya ditangani arif dan merupakan
peringatan bagi RS untuk introspeksi, bahkan RS itu harus memberikan
kompensasi. Jika saja jaksa tidak menahan Prita, bumerang terhadap RS
Omni tak akan terjadi.

Tulisan ini adalah analisis e-mail Prita dari sudut medical record atau
DRM (dokumen rekam medis). Masalahnya sepertinya sepele, tetapi fatal.

Pertama, RS tidak mau memberikan hasil pemeriksaan laboratorium untuk
trombosit yang 27.000 iu meski pemeriksaan diulang dua kali. Kemungkinan
bagian lab memberikan data yang salah atau milik pasien lain. Karena
Prita awam, dia menggunakan kata ”fiktif” untuk hasil itu. Kemungkinan
bisa dikatakan lalai karena hasil lab berada di pihak manajemen rumah
sakit. Normalnya, tiap data pasien harus menjadi bagian DRM yang boleh
diketahui pasien. Jika datanya benar dan tercantum dalam DRM, kasus
menghebohkan ini tak perlu terjadi. RS bisa memberikan fotokopi DRM yang
menjadi hak Prita.

Kedua, RS tidak memberikan data DRM yang diminta. Pertanyaannya, apakah
RS tidak tahu bahwa itu adalah hak pasien. Atau data DRM tidak lengkap
menggambarkan secara kronologis, sampai pada kesimpulan bahwa pasien
terkena DBD.

Ketiga, manajer RS seorang dokter, meminta pasien (dalam keadaan sakit)
menceritakan kembali apa yang terjadi. Ini ironis sekali. Bukankah
dokter bisa membaca urutan kejadian dari DRM, mulai pukul berapa pasien
diterima di UGD sampai menjadi pasien rawat inap; mulai dari anamnesis,
data yang bersifat subyektif dari pasien sampai data obyektif melalui
pemeriksaan fisik dan data penunjang medis. Yang terpenting ditanyakan
adalah apakah pasien alergi terhadap obat, bahkan makanan tertentu.

Bergesernya angka lab pemeriksaan trombosit dari 27.000 iu menjadi
180.000 iu dalam waktu singkat perlu menjadi bahan evaluasi dokter.
Apakah secara empiris ini pernah terjadi atau ada sesuatu yang janggal.
DRM berperan penting sebagai alat untuk evaluasi kinerja dokter,
perawat, bahkan petugas administrasi yang mendata identitas pasien.

Dari uraian itu, kemungkinan dokter tidak tahu arti pentingnya DRM. RS
tidak membuat kebijakan penting DRM yang berkualitas yang harus
diciptakan oleh siapa saja yang berkontribusi terhadap terciptanya DRM.

*Tak beri keterangan*

Soal dokter tidak memberikan keterangan obat yang disuntikkan merupakan
etika komunikasi yang kerap menjadi bagian terlemah para dokter dan
perawat. Inform consent (IC) minimal diperlukan saat pasien akan rawat
inap, terutama jika ada tindakan (operasi) yang akan dilakukan dan saat
DRM diperlukan sebagai bukti di pengadilan. Namun, apa saja yang
diperlukan untuk IC bergantung pada kebijakan RS, misalnya untuk
memberikan suntikan apa perlu IC.

Dalam aspek hukum, DRM menjadi alat bukti seluruh layanan yang diberikan
RS terhadap pasien. Jika Prita harus berhadapan dengan pengadilan, DRM
dipakai sebagai bukti dan dibawa seorang ahli medical record yang harus
disumpah lebih dulu bahwa ia tidak menukar, mengurangi, atau menambah
data atau informasi dalam DRM.

Perkembangan DRM di RS belum menjadi prioritas. Secara fundamental DRM
merupakan salah satu alat guna meningkatkan mutu layanan rumah sakit,
terutama dokter. RS pendidikan, seperti RSCM bersama UI, bertanggung
jawab mencetak dokter, perawat berkualitas internasional, karena RSCM
adalah RS Rujukan Tertinggi Nasional. Inilah yang harus diperhatikan
siapa pun yang ingin mendirikan RS bertaraf internasional. Semua staf,
terutama dokter, juga harus berkualitas internasional.

Kasus seperti Prita banyak yang tidak terungkap. Ini adalah wake up call
bagi RS. Siapa yang berwenang memantau dan mengevaluasi mutu dokumen
rekam medis di Tanah Air? Jika layanan rumah sakit di Indonesia serius
mau bersaing dengan negara tetangga, itu adalah syarat utama yang harus
dipenuhi.

/*Itet Tridjajati Sumarijanto* Medical Record Administrator

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04441932/prita.apa.salahmu

Menggenapkan Hajat Demokrasi

Menggenapkan Hajat Demokrasi
Oleh Zacky Khairul Umam Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam,
Universitas Indonesia


R UMUS berpolitik tentu tidak matematis.

Satu ditambah satu sama dengan dua, misalnya. Politik kerap bersifat
spekulatif.

Karena itu, misalnya lagi, satu ditambah satu bisa menghasilkan lima.
Seni keserbamungkinan hadir di sini.

Itu terlihat dari pergerakan peta koalisi belakangan ini. Tidak ada
persekutuan yang persis abadi. Yudhoyono-Kalla harus bisa: berpisah.

Perhimpunan kepentingan dalam ruang kekuasaan benar adanya. Keputusan
berani Kalla (atau Golkar) dipasangkan dengan Wiranto tentu mempunyai
makna tersendiri, terpisah dari ada kekurangan dan kelebihannya. Itu
berpaling dari dalil, jika Yudhoyono-Kalla berpasangan lagi, trayek
pemerintahan akan berjalan mulus, program pembangunan tinggal
diteruskan, dan keseimbangan eksekutif-legislatif bisa terjaga.

Sebagai partai yang identik dengan partai pemerintah, kini Golkar pun
harus membentuk induk semang yang baru; mampukah dia menjadi oposan
seperti yang digariskan tegas oleh PDIP? Nalar kuasa yang tidak linear
memungkinkan gerak demokrasi menjadi dinamis. Koalisi pemerintah hari
ini bisa jadi buyar di kemudian hari.

Lawan politik sekarang mungkin saja menjadi mitra setia di masa
mendatang. Selain variabel kepentingan, yang dibutuhkan bukan kesetiaan
bersekutu antarpartai atau antarelite politisi, melainkan juga kalkulasi
terkait dengan modal politik di kemudian hari. Entah itu modal kapital
ataupun modal yang lebih tradisional, yakni pewarisan trah kekuasaan dan
syukur-syukur penurunan garis ideologis kepartaian, kalau bisa.

Logika terbalik karena itu penting diperhatikan sebagai jalan demokrasi.
Kemampuan untuk mengubah wajah dan posisi yang berbeda dalam suatu masa
pemerintahan patut ditabalkan. Partai apa pun mesti bisa menjadi
pendukung pemerintah hari ini, dan besok siap menjadi penentang sebagai
oposisi. Meski tak mudah dengan sistem multipartai yang dianut,
setidaknya terdapat kemampuan untuk mengelola sebuah pemerintahan yang
efektif. Ada yang menjalankan, ada yang mengawasi. Sekarang mengawasi,
besok menjalankan, dan seterusnya. Lebih bagus lagi jika yang digunakan
sebagai arah berpolitik ialah mengukuhkan kesamaan misi dan program.

Daya politik yang bisa melompat seperti itu yang bisa meramaikan ruang
publik menjadi seru sebagai wahana saling bertukar pikiran dan
membuyarkan keajekan, yaitu sesuatu yang tampak mustahil karena
kestabilan berarti proses berpolitik menjadi mati. Teorema ‘selagi setia
gandeng, tak setia tak lagi bersekutu’ menjadi wajar saja. Fenomena itu
tak perlu ditakuti sebagai bentuk ketidakkonsistenan yang tak produktif.

Sebaliknya, eksperimen menjalankan demokratisasi ada di situ. Tepatnya,
demokrasi ala elite politik. Percaya saja bahwa proses itu, justru
karena tak linear, sedang mematangkan dirinya menuju perbaikan yang
lebih maksimal.

Kalaupun ada kekurangan berhitung dalam melangkah, anggap saja sebagai
percobaan demokrasi yang masih terus berlangsung dan belum berakhir.

Itu agar kehidupan berpolitik tak mengikuti cara berpikir ala lembaga
survei yang bukan menyuguhkan data yang dipercaya, melainkan malah
menentukan pola pikir masyarakat dengan tendensi hasil-hasil angka
tertentu. Artinya, tidak semua gerak politik dinominalkan secara pasti
dan bersifat menentukan. Nalar keganjilan menjadi penting. Hasil kreasi
politik mesti mendekati kualitas dan bukan melulu menggunakan parameter
kuantitas. Kualitas politik ialah perihal bagaimana menggunakan
rasionalitas dan kesetiaan pada khitah berpolitik untuk memajukan
demokrasi. Sementara itu, kuantitas politik selalu mengarah pada raupan
suara yang bisa dikibuli amanahnya di suatu saat.

Berimbang Hanya, ada yang lebih sulit ketimbang mengganjilkan gerak
politik yang tidak selalu ajek.

Memang, perlu digarisbawahi, ganjil tak selamanya buruk. Yang lebih
sulit daripada hal itu ialah mengembalikan kepraktisan berpolitik pada
imajinasi bersama untuk tujuan yang lebih luhur dan berjangka panjang.
Itu membersitkan sebuah imperatif untuk menggenapkan hajat demokrasi.
Tepatnya, selalu menghadirkan keadaban dan kemanusiaan sebagai pangkal
kebajikan dalam berpolitik.

Itu kenapa yang ganjil dalam berpolitik mesti digenapkan dengan
membangun partisipasi masyarakat yang luas, masyarakat tidak
terbengkalai lagi, program-program kesejahteraan ditingkatkan,
pendidikan diprioritaskan, masalah kesehatan diperhatikan, dan standar
kualitas kemanusiaan Indonesia dinaikkan ke martabat yang lebih
manusiawi. Penambahan hal-hal tersebut terasa penting untuk mengimbuhi
sesuatu yang luput dalam keasyikan membangun kepentingan, memperkuat
koalisi perhimpunan, dan memperlebar sayap persekutuan politik.

Kebajikan-kebajikan itu yang kerap terlupakan.

Pemilu memang penting. Pergantian periode pemerintahan memang perlu
dilewati. Namun, kalau hanya berhenti di sini arah berpolitik kita amat
celaka. Terlebih jika kualitas penyelenggaraan pemilu yang menambah
ruwet. Yang lebih penting jika dibandingkan dengan hajatan demokrasi
lima tahunan itu ialah mengisi titiktitik dari hari ke hari untuk
perbaikan peradaban bangsa. Kepemimpinan politik berperan penting di
sini. Titik-titik itu yang kita lihat sebagai sebuah garis lurus yang
tak termungkiri.

Jalan garis lurus itu tidak bisa ditelikung hanya dengan pemilihan dan
pergantian pemimpin.

Jika satu, tiga, lima, dan seterusnya ialah kedinamisan berpolitik,
bilangan itu mesti diisi dengan dua, empat, enam, dan seterusnya supaya
genap. Keganjilan dalam berpolitik wajar, tetapi kalau sudah menghindari
kegenapan politik untuk mewujudkan kebajikan semakin menyeruak, politik
hari ini ialah politik manipulasi, yaitu politik yang gagal berhitung
tentang masa depan.

Karena klaim politik yang netral, yang ganjil dan yang genap perlu
digabungkan agar seimbang.

Agar kehidupan demokrasi kita tidak timpang. Supaya demokrasi kita
mempunyai jiwa dan raga sekaligus.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/09/ArticleHtmls/09_06_2009_025_003.shtml?Mode=0

Moral Hazard Dunia Kesehatan

Moral Hazard Dunia Kesehatan

Suatu hari nanti mungkin kita akan menjadi pasien yang membutuhkan
atensi khusus. Saat ini mungkin kita masih merasa sehat. Kalaupun sakit,
masih terbilang ringan-ringan saja.



Namun untuk yang sedang dan pernah merasakan sakit berat pasti akan
menghadapi dilema yang kurang lebih sama. Dilema dalam mencari praktik
kesehatan yang baik. Sistem praktik kesehatan saat ini belum baik. Kita
bisa melihat beberapa indikator yang menguatkan tesis itu,antara lain:
tidak adanya dokter keluarga, tidak berjalannya mekanisme rujukan, tidak
ada kendali mutu dan kendali biaya melalui sistem perasuransian
kesehatan yang baik.

Masalah masalah itu selalu memungkinkan terjadinya dilema untuk memilih
pelayanan (dokter dan rumah sakit).Misal,saat pasien sakit akan muncul
pertanyaan, rumah sakit (RS) mana yang akan dipilih? Apa referensinya?
Para pasien tersebut umumnya hanya dapat info dari mulut ke mulut, tanya
kanan-kiri, akhirnya hanya berdasarkan rasa percaya yang dimiliki,
dipilihlah rumah sakit yang dituju.

Sebuah rasa percaya yang tidak ada garansinya. Kenapa? Karena pada
dasarnya antara pasien dan rumah sakit serta tenaga kesehatan terdapat
jurang asymmetric information yang besar.Jurang tersebut kalau tidak
dikontrol dengan baik, akan melahirkan power RS untuk berbuat apa saja
berdasarkan delegation of decision-making authority yang sudah diberikan
pasien tersebut. Rasa percaya pasien atas tenaga kesehatan, akhirnya
hanya dijamin oleh keyakinan bahwa sejak berabad-abad silam profesi
tenaga kesehatan berkarakter unselfish (they put patient’s interest
above their own).

Sifat itu kemudian ditulis dalam kode etik,untuk dokter, misalnya, “Not
allow his/her judgment to be influenced by personal profit; not receive
any financial benefits or other incentives solely for referring patients
or prescribing specific products; Strive to use health care resources in
the best way to benefit patients and their community” (World Medical
Association Code of Ethics). Tenaga kesehatan, khususnya dokter,
dinobatkan menjadi tenaga profesional dan memiliki otonomi dalam
pekerjaannya.

World Federation of Medical Education, kemudian mendefinisikan tenaga
kesehatan sebagai profesional yang memiliki ethical behavior, integrity,
honesty, altruism, service to others, adherence to professional codes,
justice and respect to others. Tenaga kesehatan diharapkan menjelma
sebagai pribadi yang memiliki otonomi, namun tidak mutlak sifatnya
karena harus selalu ensure at all times make informed decision in the
best interest of their patients, base on best available evidence. Tenaga
kesehatan selalu diharapkan selalu ada posisi yang mengedepankan
kepentingan dan keuntungan pasiennya.

Ignorancy dan Induce Demand

Penobatan tenaga kesehatan sebagai sosok profesional dan otonom
merupakan satu keniscayaan, namun pada sisi lain dapat menjadi sumber
moral hazard kalau tidak dibimbing ketat.Walau organisasi profesi tenaga
kesehatan selalu memberi sanksi kalau terjadi pelanggaran atas moral
profesi, namun ada saja satu-dua tenaga kesehatan yang tetap melakukan
praktik yang “tidak benar” dan berlindung di balik tirai profesionalisme
dan otonomi yang dimilikinya.

Moral hazard ini dapat berkembang menjadi “perilaku tidak bermoral” yang
muncul memanfaatkan ketidaktahuan pasien (patient ignorance). Atau dalam
bentuk memancing timbulnya keinginan yang berlebihan dari pasien saat
menjalani konsultasi/pengobatan (induce demand), misalnya menggunakan
teknologi canggih yang belum tentu diperlukan.

Untuk menjaga moralitas tenaga kesehatan, sangat naif apabila prosesnya
hanya diserahkan kepada ”suara hati” dari tenaga kesehatan itu sendiri.
Mengharapkan tenaga kesehatan sepenuhnya— atas kesadaran
sendiri—mematuhi sumpah dan janji serta kode etik profesinya akan sangat
berat.Apalagi dengan pergeseran nilai dan situasi sosial yang terjadi
saat ini.Seperti juga profesi lainnya, tenaga kesehatan akan menjadi
lebih baik apabila sistem sosialnya baik.

Tenaga kesehatan dapat menjadi tidak baik apabila sistem lain yang
berinteraksi dan berinterelasi dengannya, ternyata menunjang untuk
terciptanya perilaku tidak baik. Isu umum yang selalu terjadi secara
periodik, misalnya untuk dokter,tentang dugaan ”perselingkuhan” dengan
perusahaan farmasi lebih karena sistem yang ada saat ini memungkinkan
hal tersebut terjadi.

Begitu juga dengan berbagai isu lain, misalnya di rumah sakit—walaupun
masih berbentuk rumor dan harus dibuktikan lagi informasinya—berkembang
kabar kalau pasiennya dibayar oleh asuransi kesehatan komersial,
biasanya tarif pelayanan medisnya bisa saja tiba-tiba menjadi ”tidak
tentu”.

Perlu Penataan Sistem Praktik

Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya peningkatan konflik yang
bersumberkan etika antara pasien dan tenaga kesehatan pada masa-masa
mendatang, negara harus menciptakan sistem praktik kesehatan yang lebih
baik.Sebuah sistem praktik kesehatan yang ditujukan untuk mengeliminasi
pengaruh sistem atau lingkungan sekitar yang buruk.

Memang,sejak diterbitkannya Undang-Undang Praktik Kedokteran, paling
tidak keberadaan mutu dokter sebagai salah satu inputdalam sistem
praktik kesehatan mulai dibenahi.Melalui penerbitan Surat Tanda
Registrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (lembaga resmi di bawah
Kepala Negara), jaminan atas kompetensi dan etika yang dimiliki dokter
semakin jelas.Dokter setiap lima tahun sekali mesti diregistrasi ulang.
Registrasi yang juga mempertimbangkan riwayat etiknya.

Walau begitu, tenaga kesehatan atau dokter hanyalah salah satu
subsistem.Pada dasarnya praktik kesehatan adalah sistem yang terdiri
dari berbagai subsistem lain. Subsistem lain harus diperhatikan, paling
tidak subsistem pembiayaan dan subsistem pelayanan. Subsistem pembiayaan
merupakan faktor penting. Penataan subsistem pembiayaan, akan menata
subsistem pelayanan (termasuk subsistem rujukan pasien di dalamnya).

Penataan sistem pembiayaan melalui mobilisasi dana masyarakat berbasis
jaminan sosial bidang kesehatan (JSBK) akan mewujudkan kemampuan
masyarakat untuk menjangkau praktik kedokteran yang lebih bermutu
sekaligus mengendalikan biaya kesehatan yang tidak perlu. Adapun
subsistem pembiayaan kesehatan yang baik akan menata subsistem pelayanan
kesehatan tingkat dasar (primary healthcare) agar sesuai dengan prinsip
JSBK. Sebuah prinsip yang dapat menginisiasi pelayanan kesehatan agar
bersifat praupaya dengan pembiayaan prabayar. Praupaya dan prabayar
artinya dokter dibayar di muka berdasarkan prinsip JSBK (asuransi
kesehatan).

Dokter diberi sejumlah uang untuk menjaga kesehatan sejumlah penduduk
yang menjadi peserta JSBK.Tugas dokter mencegah penduduk agar tidak
sakit (melalui pendekatan dokter keluarga). Makin banyak penduduk yang
sakit, incomedokter akan berkurang karena uangnya dipakai untuk
mengobati penduduk yang sakit. Dokter berupaya keras mencerdaskan
masyarakat untuk berperilaku hidup sehat agar tidak sakit, misalnya
untuk tidak merokok,dll. Hanya masyarakat yang benarbenar membutuhkan
layanan spesialis yang kemudian dibawa oleh dokternya ke rumah sakit.

Dokter keluarga mengawal ignorancy pasiennya di rumah sakit. Dokter
keluargalah yang menjaga kemungkinan terjadinya induce demand atas
pelayanan rumah sakit.Dokter keluarga dan JSBK yang mengatur kendali
biaya agar tagihan rumah sakit sesuai dengan mutu yang diharapkan. Moral
hazard akan “terkerangkeng”dengan sistem itu.

Apabila keterpaduan antara subsistem pembiayaan dan subsistem pelayanan
ini dapat segera diciptakan, kasus sehari-hari yang ditemui,misalnya
antara Ibu Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional, Tangerang,
mungkin dapat dicegah lebih awal. Karena pada dasarnya seperti yang
ditulis Bodenheimer dan Grumbach, “…health policy affects the patients
we see on daily basis…”.(*)

Dr dr Fachmi Idris, MKes
Ketua Umum PB IDI dan Presiden Terpilih Ikatan Dokter Asia Oceania


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/245819/

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam
Sutera, Banten,Tangerang saat ini susah mengaso.


Kasus Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga
melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin
pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu
saja dengan tendensi negatif dan destruktif. Saat ini bisa kita lihat
dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya.

Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan recovery karena
kini RS itu menjadi musuh publik. Tingkat kepercayaan tentu langsung
turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut. Bayangkan ini: orangtua
sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar
anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu.

Salah Langkah

Sejak awal RS Omni memakai paradigma yang salah dalam menangani
persoalan, yaitu dengan paradigma palu dan paku.Oleh RS Omni, pasien
hanya dianggap sebagai “paku kecil” yang perlu “digetok” lantas beres
masalahnya. Kesalahan ini bisa dianggap makin fatal jika benar dalam
menggetok itu RS Omni mendapatkan masukan dari penasihat hukum atau
dukungan aparat penegak hukum.

Kasus ini sebenarnya tidak perlu berujung menistakan RS Omni jika RS itu
punya manajemen komunikasi (public relation/PR) yang berjalan dengan
baik karena bagaimanapun layanan jasa itu menyangkut kepuasan orang.Di
sini bisa kita lihat bukannya fungsi PR yang mengemuka, melainkan fungsi
hukum. Padahal harusnya keduanya berjalan bersama jika terjadi krisis
komunikasi.Wajar RS Omni tidak bisa menghitung ancaman yang bakal
terjadi jika sampai memasukkan Prita ke penjara. Pikirannya pun
sederhana, dengan mengirim Prita ke penjara,semua orang akan jera dan
tidak akan main-main lagi menistakan RS Omni.

Pendekatan yang dipakai Omni juga lebih terasa kental sebagai pendekatan
perusahaan daripada pendekatan RS yang lebih mementingkan servis dan
pelayanan yang excellent. Maka harus dimaklumi jika publik kemudian
marah. Bisakah Anda bayangkan, besarnya impact yang ditimbulkan dari
siaran langsung televisi yang mengetengahkan Prita yang menangis karena
kangen anak-anaknya? Dahsyatnya pula,TV menayangkan gambar dua anak itu
yang seperti itik kehilangan induk.Hati siapa yang tidak tergedor, siapa
pula yang tidak mengumpat RS Omni? Pada kasus ini, jangan membicarakan
yang rasional. Karena rasionalitas pasti tidak jalan.

Publik sudah marah dan ketika marah, publik kehilangan rasionalitasnya,
yang ada hanya satu kata: “lawan”. Karena itu, sikap gagah-gagahan
dengan menyerahkan semuanya kepada hukum untuk menindak aparat yang
terbukti tidak profesional sama dengan penyataan bunuh diri.Suasana
makin buruk ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga tidak membela RS
Omni karena rekam jejak kesehatan adalah hak pasien. Dalam kondisi
krisis seperti ini, komunikasi yang terjadi menjadi invalid sehingga
perlu penanganan khusus.

Misalnya RS Omni sangat yakin bahwa pihaknya berada dalam posisi yang
benar, padahal sebagai dokter yang juga manusia, masih mungkin mereka
salah. Ini yang membuat publik makin geregetan. Mereka hanya menyerahkan
masalah ini pada hukum yang berlaku.Tidak ada sifat rendah hati dan maaf
yang tecermin dalam klarifikasi di media (atau mungkinkah media juga
marah)? Antipati publik merupakan respons alami yang bisa dijelaskan.
Publik seketika akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Prita yang
merupakan cerminan warga kebanyakan.

Dapat kita lihat betapa banyak ibu-ibu penggemar Facebook yang merasa
terancam. Berbagai pertanyaan membayangi pikiran mereka seperti apakah
saya dan keluarga saya aman bila berobat ke sana? Apa yang bisa saya
lakukan untuk melindungi diri dan keluarga saya? Siapa yang menyebabkan
semua ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk Prita?

Krisis Komunikasi

Jika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di RS itu, kasus
semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun
ikon kebesaran RS tersebut.Biayanya tentu jauh lebih murah daripada
beriklan.

Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan RS melihat bahwa
Prita bisa menjadi “agen kebaikan”dari RS tersebut. Tetapi ini memang
tidak mudah karena diperlukan kecerdasan PR, sebuah kecerdasan yang
dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan
out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan
memecahkan masalah yang paling pelik pun.Ujungnya tentu saja melindungi
imej perusahaan dari kejadian- kejadian yang tidak diinginkan.

Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya RS
melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang
akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi PR
berjalan,yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi
persoalan agar tidak sampai membuat imej atau nama baik perusahaan
terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya
mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus
dijalankan. Pada saat itu “teman”terdekat seorang PR adalah media.

Karena media berhubungan langsung kepala publik, itulah pintu yang
paling lebar yang harus dijaga. Dari pintu itu pula semua persoalan
di-manage sedemikian rupa sehingga semua under control. Tantangan bidang
kerja PR dan fungsi PR bisa amat sangat berat. Karena targetnya mengacu
pada membangun image dan mempertahankannya. Bagi perusahaan yang mapan
dan sadar imej,apa pun dilakukan untuk menyelamatkan imej korporasi mereka.

Karena mereka sadar,bila sudah jatuh,akan sulit membangunnya kembali.
Sering kali di sinilah dibutuhkan pemikiran yang lateral tadi, pemikiran
yang tidak biasa dan terobosan-terobosan untuk sebuah kemenangan
branding.Contohnya, bagaimana KPK yang superbody itu goyang dihantam
krisis Antasari. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda
melihat KPK masih sama seperti dulu atau sedikit berubah? Kasus-kasus
krisis komunikasi semacam ini memang perlu ditangani secara
extra-ordinary. Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis
komunikasi.

Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi
seharusnya adalah orangorang yang sangat paham dengan media, punya
keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap
perubahan mendadak di lingkungannya.Konsultan komunikasi sama pentingnya
dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu. Ada
sebuah cerita. Suatu saat maskapai penerbangan Jepang Japan Airlines
(JAL) mengumumkan membatalkan penerbangan dari San Fransico, AS, ke
Jepang karena pesawat rusak oleh badai salju.

Semua penumpang dipindahkan dan hampir semua penumpang menerima dengan
senang hati.Namun ada seorang ibu yang tidak mau dan ngototakan menunggu
perbaikan pesawat JAL hingga selesai.Akhirnya manajemen mengabulkan
penerbangan ibu yang dari muda selalu naik JAL itu. Hanya saja sekarang
dia di-upgrade di kelas bisnis sambil ditemani wartawan! Bayangkan apa
yang terjadi.(*)

Luthfi Subagio
PR Consultant, Tinggal di Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/245818/

Ihwal Kecelakaan Pesawat Militer

Ihwal Kecelakaan Pesawat Militer


*F Djoko Poerwoko*

Lagi, heli militer jatuh, tiga perwira tewas (Kompas, 9/6).

Judul berita di halaman depan itu masih ditambah kata-kata, ”penyebab
sebaiknya dibuka”.

Kata-kata terakhir inilah yang banyak orang kurang paham, tidak ada
aturan yang mengatur kecelakaan pesawat militer diumumkan ke publik.

Hal ini terkait hilang atau rusaknya barang milik negara karena
digunakan untuk pertahanan negara. Hanya berkas laporan kecelakaan dan
surat kehilangan inventaris negara yang diperlukan, maka pesawat heli
itu telah dihapus dari daftar inventaris negara.

Dalam kasus ini, helikopter BO-105 Bolkow/HS-7112 dari Skuadron Heli
Serbu-11 yang bermarkas di Lanumad A Yani hancur, tiga perwira tewas,
dan dua terluka.

Luka atau tewas dalam militer adalah risiko tugas, tetapi TNI tetap akan
menyelidiki kasus ini bukan untuk mencari kesalahan, tetapi menjaga agar
kecelakaan serupa tidak terulang.

Melihat registrasi pesawat dengan logo segi 5 berbintang menunjukkan
pesawat ini termasuk pesawat negara atau state aircraft.

Dengan demikian, dalam penyelidikan kecelakaan tidak akan menyertakan
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan hasilnya dilaporkan
berjenjang ke atas. Meski untuk tahun ini TNI telah kehilangan 79
prajurit dalam enam kali kecelakaan pesawat, tugas menjaga NKRI tidak
akan surut.

*Keterbatasan anggaran*

Menyikapi cekaknya anggaran pertahanan tahun 2009 yang dipangkas Rp 1,39
triliun, disikapi Panglima TNI dengan penajaman tugas. Setidaknya ada
lima parameter menjadi fokus yang harus tetap dilaksanakan, yaitu
pengaturan anggaran untuk tugas faktual; kesiapan operasional; kesiapan
pendidikan dan latihan; memelihara alat utama sistem persenjataan
(alutsista); serta kesejahteraan prajurit.

Lima parameter yang dikemukakan Panglima TNI itu disikapi dengan
pengetatan pengeluaran yang tidak penting. Sektor-sektor yang dipangkas
pendanaannya adalah kegiatan protokoler, seminar, dan kunjungan ke luar
negeri. Makna lain, pemeliharaan alutsista tetap menjadi salah satu
fokus pelaksanaan tugas.

Khusus pemeliharaan, diterapkan skala prioritas dengan mengoperasikan
alutsista berdasarkan anggaran yang tersedia.

Bila saat ini TNI AU memiliki 19 C-130 Hercules, hanya dioperasikan 10
unit (dalam sirkulasi) ini diharapkan terbang di atas 80 persen dan akan
menjadi 100 persen pada situasi yang diperlukan, misal Latgab TNI.
Kekuatan pesawat yang siap akan menurun lagi sejalan tugas dan kadang
hanya sekitar 40 persen.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang, tertuang dalam Rencana
Penggunaan Alat Utama Sistem Senjata (Rengunsista) yang bergulir tiap
tahun. Perlu ditegaskan, pesawat dalam sirkulasi telah memenuhi standar
kelaikan sesuai prosedur baku yang dianut dalam pengoperasian pesawat
terbang militer.

*Pilot mahal*

Sangat mahal memang ”harga” seorang pilot militer di Indonesia.

Selain sang calon pilot harus mengikuti pendidikan terbang selama 20
bulan dalam 220 jam terbang, dana untuk mendidik berkisar Rp 1 miliar
per siswa atau dua kali lipat pendidikan pilot pesawat komersial.
Sebagai gambaran, untuk mengirim seorang pilot TNI AU mengikuti
pendidikan di Fighter Instructor Weapon School di luar negeri perlu dana
1,5 juta dollar AS per pilot.

Setelah lulus dan mendapatkan brevet, dia harus menyelesaikan pendidikan
transisi di pesawat yang akan diawaki dan pendidikan konversi.

Pendidikan berlanjut terus dilakukan sampai akhirnya menjadi seorang
kapten pilot atau flight leader untuk pesawat tempur.

Pendidikan masih berlanjut untuk menjadi seorang instruktur pilot atau
menjadi test pilot. Untuk sampai jenjang ini, umumnya mereka telah
berpangkat mayor.

Ironisnya, dalam struktur gaji TNI, sang mayor hanya mendapat take home
pay Rp 5 juta untuk hidup bersama istri dan dua anak.

Bila gugur, sang pilot hanya mendapatkan asuransi Rp 200 juta, selain
santunan kematian Rp 25 juta ditambah uang perawatan jenazah Rp
2.000.000, pralaya Rp 1,5 juta, dan uang duka tiga kali pendapatan gaji
terakhir. Jumlah akan lebih rendah untuk bintara dan tamtama.

Mahal dan murah amat relatif. Tetapi, kehilangan seorang pilot yang
terlatih, apalagi kehilangan seorang marsekal atau seorang pasukan
khusus berpangkat kolonel, memang tidak terhingga.

Terpenting menjaga kewibawaan pemimpin dan tanggung jawab lebih penting
serta mengucapkan... ”Saya bertanggung jawab”.

/*F Djoko Poerwoko* Marsekal Muda TNI (Pur); Mantan Test Pilot TNI AU

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/10/05180317/ihwal.kecelakaan.pesawat.militer
/

Label Sosial dan Logika Tuyul

Label Sosial dan Logika Tuyul


*Benny H Hoed*

Tanpa sadar, setiap kita mengikuti warga lainnya memberikan makna dan
tafsiran tertentu pada hal, benda, lembaga, gagasan, atau orang, itu
adalah realitas sosial budaya di sekitar kita.

Gejala ini saya sebut semiotik sosial, yakni makna dan tafsiran yang
terbentuk dalam masyarakat tentang aneka realitas sosial budaya. Bendera
memiliki semiotik sosial, merah ”berani”, putih ”suci”. Di Jakarta,
bendera kuning dari kertas minyak bermakna ”ada orang meninggal”.

*Label sosial*

Label sosial adalah semacam ”cap sosial” yang diberikan oleh orang,
lembaga, atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya. Iklan
komersial memberikan label sosial kepada produk agar terbentuk semiotik
sosial positif dan kepercayaan publik (ini dikenal dengan istilah
positioning).

Label sosial juga terjadi dalam kehidupan politik dan digunakan,
misalnya dalam pidato politik atau unjuk rasa. Dalam politik, penciptaan
label dilakukan secara sengaja untuk memberikan citra positif
(mendukung) atau negatif (menyerang) dan merupakan bagian dari strategi
politik. Label sosial bisa terjadi secara tidak sengaja.

Label tidak selalu warna, bisa juga kata. Label neolib (akronim
neoliberal) dewasa ini muncul ke permukaan. Neoliberalisme yang
mengandalkan ”pasar bebas” bermakna ”negatif” karena dipandang sebagai
sebuah konsep ekonomi yang ”tidak berpihak pada rakyat”.

Pandangan itu sah saja. Label ini memang sudah lama diberikan kepada tim
ekonomi pemerintahan SBY. Dalam dinamika politik sekarang, label ini
diberikan kepada Boediono, seorang calon wapres. Dalam pidato politik
mereka, SBY dan Boediono kelihatan mencoba menghapus label sosial ini.
Pemberian label sosial seperti ini berpotensi menghasilkan semiotik
sosial yang bisa menimbulkan pemahaman yang belum tentu betul tentang
Boediono.

*”Santri-abangan”*

Dikotomi ”santri-abangan” yang diperkenalkan oleh tokoh sosiologi
Clifford Geertz masih saja menjadi label sosial yang diberikan kepada
sebagian warga beragama Islam di Indonesia. Meskipun sering kali
mendapat kritik dari para pakar ilmu sosial kita, label abangan masih
hidup di dalam semiotik sosial kita.

Editorial salah satu surat kabar nasional bahkan pernah memberikan label
abangan kepada partai-partai ”non-Islam”, seperti PDI-P, Partai Golkar,
dan Partai Demokrat. Meski mungkin tidak disadari penulisnya, pemberian
label itu berpotensi membangun semiotik sosial karena disiarkan oleh
sebuah media. Padahal, banyak anggota, pengurus, konstituen, dan
simpatisan partai-partai itu yang tidak termasuk golongan ”abangan”.
Label sosial seperti itu berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang
tidak tepat tentang partai-partai itu.

Para capres dan cawapres juga menciptakan label sosial bagi kebijakan
mereka dengan berkali-kali menyebutkan kata ekonomi kerakyatan dan
kebijakan prorakyat. Ini lumrah dalam kampanye yang ingin menarik
simpati pemilih. Seperti upaya positioning dalam iklan. Apa maksudnya
tentu belum terlalu jelas.

Label sosial juga sering kali diberikan kepada para selebriti yang
kehidupan pribadinya dibuka di muka publik oleh infotainment. Ini pun
dapat menghasilkan semiotik sosial tentang tokoh yang bersangkutan,
positif atau negatif.

*Logika tuyul*

Tuyul adalah makhluk halus yang dipercayai dapat mencuri uang di rumah
seseorang tanpa diketahui. Dipercayai pula bahwa kita dapat memelihara
tuyul agar dapat disuruh mencuri uang.

”Logika” tentang tuyul atau yang sejenisnya, yakni kepercayaan akan
adanya makhluk halus dan dan hal-hal di luar nalar biasa, masih hidup
subur di negeri kita. Tidak hanya di kalangan kurang terpelajar, tetapi
juga pada kaum terdidik. Berita tersiar, banyak caleg menggunakan ”orang
pinter” untuk memenangkan dirinya. Jika hasilnya sukses, makin
dipercayai, kalau tidak sukses dipercayai sebagai ”belum saatnya”.

Dewasa ini nomor urut para capres pun dibicarakan maknanya. ”Logika”
tuyul juga bermain di sini. Bahkan, media cetak dan elektronik
mengangkat pembicaraan tentang makna ”1”, ”2”, dan ”3” yang menjadi
label bagi setiap pasangan capres-cawapres. Yang ikut bicara pun
orang-orang berpendidikan tinggi.

Dengan memberikan angka sebagai label, setiap pasangan mencoba membangun
semiotik sosial yang menguntungkan dengan memanfaatkan logika tuyul.
Padahal, apa hubungan ”logis” antara angka dan keberuntungan?

Namun, ”logika tuyul” masih hidup di kalangan para pemilih kita. Maka,
label-label yang dibangun di atas dalam logika tuyul itu membentuk suatu
semiotik sosial yang diharapkan akan terjadi di kalangan pemilih.

*Tidak mendidik*

Reformasi 1998 telah memberikan jalan pada proses demokratisasi dalam
masyarakat Indonesia dan harus dipelihara dan dimatangkan menjadi bagian
dari kebudayaan kita. Penciptaan label-label sosial itu merupakan bagian
dari dinamika sosial di alam demokrasi.

Namun, penciptaan label-label sosial dengan memanfaatkan logika tuyul
bisa membawa kita pada pembentukan semiotik sosial yang tidak mendidik
masyarakat untuk menjadi cerdas. Apa pun tujuannya, label-label sosial
seperti itu cenderung menjadi slogan yang bisa membuat masyarakat
menjadi ”pembebek”.

Tentu saja ini merupakan imbauan kepada elite politik dan media massa
kita. Pemaparan yang bernalar jauh lebih mendidik dan bermanfaat bagi
proses demokratisasi daripada penggunaan label-label sosial dan
eksploitasi logika tuyul.

Pemilih yang cerdas seharusnya tidak terbawa dalam arus semiotik sosial
yang dilahirkan dari label-label seperti itu.

/*Benny H Hoed* Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/13/05154175/label.sosial.dan.logika.tuyul
/

BANGYOS

BANGYOS

DARI semua yang mencapreskan diri,yang saya kenal secara pribadi, sosok
paling percaya diri adalah Sutiyoso (Bang Yos). Bang Yos memiliki cukup
banyak alasan untuk percaya, bahkan yakin terhadap kemampuan dirinya
sendiri, berkat memang memiliki track record untuk layak menjadi kepala
negara Indonesia.

Sebenarnya Sutiyoso bukan insan Betawi asli, tetapi wong Semarang, namun
malah berkuasa sebagai Gubernur DKI Jakarta selama tidak kurang dari
sepuluh tahun ( 1997–2007 ), sehingga masuk Muri sebagai gubernur masa
lima presiden! Perwira lulusan AMN Magelang angkatan 1968 ini digodok
habishabisan di berbagai kawah Candradimuka!

Sebagai anggota pasukan elite, Sutiyoso diterjunkan ke Operasi
PGRS/PARAKU di Kalbar,Operasi Flamboyan dan Operasi Penumpasan GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh,serta Operasi Seroja di Timor Timur. Di
medan pertempuran itulah sikap kemiliteran, kedisiplinan, ketegasan plus
gaya otoriter Sutiyoso ditempa.

Perwira muda kelahiran Desa Pongangan sekitar 12 km dari Kota Semarang
itu membuktikan kedigdayaan sebagai Komandan Korem 062 Suryakencana
Bogor, sehingga dinobatkan sebagai Danrem Terbaik se-Indonesia pada
1994, yang kemudian langsung diangkat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya.

Dua tahun kemudian melejit ke jabatan Pangdam Jaya, sebelum akhirnya
pada 1997 naik tahta kegubernuran daerah paling istimewa di persada
Nusantara: Jakarta. Sebagai Gubernur Jakarta, Bang Yos memang sering
tampil bersama Kepala Negara RI di acara-acara kenegaraan yang
diselenggarakan di Ibu Kota negara Indonesia.

Mungkin di masa itulah Sutiyoso mulai merasa betapa sebenarnya jabatan
kepala daerah istimewa Jakarta tidak terlalu jauh jaraknya dari jabatan
kepala negara Indonesia. Dan secara politopsikologis, memang terasa
betapa kekuasaan memimpin Ibu Kota negara Indonesia dengan sistem
kepemerintahan yang memang cenderung sentris ke pusat, itu memiliki
dampak pengaruh bukan sekadar terbatas antarkota atau regional, tapi
benar-benar nasional.

Ibarat pengemudi,apabila Bang Yos mengarahkan Jakarta ke kiri, seluruh
Indonesia juga bergerak ke arah kiri. Lantas,timbul hasrat Gubernur DKI
Jakarta ini melangkah lebih lanjut ke arah tahta singgasana kepresidenan
Republik Indonesia. Dalam pembicaraan pembicaraan pribadi dengan saya di
masa masih Gubernur DKI Jakarta, Bang Yos memang sudah menegaskan layak
dan mampu menjadi Presiden RI.

Apalagi setelah sejawat sesama serdadu, Susilo Bambang Yudhoyono, yang
lebih muda lima tahun itu, terbukti bisa terpilih menjadi Presiden RI.
Suburlah keyakinan Bang Yos bahwa apabila SBY bisa, maka BY juga bisa!
Setelah masa jabatan gubernur usai, Sutiyoso tidak membuang-buang waktu
untuk istirahat, tapi langsung mempersiapkan diri menempuh perjalanan
menuju gelanggang Pemilu 2009.

Namun, di sela-sela kilaugemerlap terselip suram, ternyata data-data
garapan berbagai lembaga survei selalu menempatkan peringkat popularitas
Sutiyoso bukan di tiras atas, tapi lebih ke arah bawah,bahkan sempat
terbawah.

Dari segenap data lembaga survei yang merajalela di masa menjelang
pemilu, dapat disimpulkan bahwa titik lemah tampil ke permukaan akibat
gaung popularitas Bang Yos secara regional di Jakarta memang belum
terdengar sampai merambah ke daerah-daerah luar Jakarta secara nasional.

Keterbatasan daya gaung popularitas itu mungkin semula kurang tersadari
oleh Bang Yos yang di masa masih Gubernur Jakarta sudah terbiasa
dielu-elukan masyarakat Betawi sedemikian gegapgempita, seolah
mengelu-elukan seorang presiden! Ternyata hasil Pemilu 2009 memang
membuktikan bahwa Bang Yos lebih memiliki peluang untuk tampil sebagai
cawapres di babak pemilihan presiden RI masa jabatan 2009–2014.

Namun, beda dengan para kolega sesama mantan jenderal seperti Wiranto
atau Prabowo, tampaknya Bang Yos tidak berkenan memerosotkan jenjang
sasaran ambisinya untuk menjadi sekadar cawapres. Mungkin akibat dahulu
saja jabatan dirinya sudah seorang gubernur, bukan wakil gubernur.

Dan selanjutnya masih belum jelas apakah di Pemilihan Presiden 2014
mendatang, Sutiyoso akan tetap gigih “maju tak gentar” atau akan
mengundurkan diri dari kemelut khasanah politik Nusantara.(*)

JAYA SUPRANA


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246577/38/

Parodi Deklarasi Pemilu

Parodi Deklarasi Pemilu

Di tengah-tengah karutmarut berita pemilu dan kritik yang tajam terhadap
kinerja KPU, bolehlah publik sejenak memberikan apresiasi atas
kreativitas KPU menyajikan Deklarasi Pemilu Damai (10/6).

Deklarasi ini mengisyaratkan komitmen para calon presiden dan wakil
presiden yang akan menciptakan Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 aman,
tertib, dan damai, dilandasi semangat persatuan dan persaudaraan. Suatu
pilpres yang bermartabat tidak lain adalah kemampuan semua pihak untuk
ikut menyukseskan pesta demokrasi ini tanpa melakukan kegiatan-kegiatan
yang tercela.

Sebut saja maslah menjelekjelekkan lawan politik,membunuh karakter
pesaing dan melakukan secara sistematis penggelembungan suara dengan
memanipulasi proses pemungutan suara dari TPS hingga penghitungan suara
akhir. Deklarasi pemilu damai kali ini menarik dicermati karena ada
parodi politik yang menampilkan monolog seniman Butet Kartaredjasa.

Muatan kritik sosialnya yang dikemas dalam gaya teaterikal yang menarik
dan kocak telah membuat ekspresi dan mimik para capres dan cawapres
sering kali berubah-ubah dalam hitungan detik. Menurut Butet—yang sangat
mantap menirukan suara mantan presiden Soeharto itu–apa yang
disajikannya bukan fiksi, tapi fakta.

Sebagai profesional dia tak peduli apakah ada yang senang ada yang
cemberut atau benci, karena itulah seni menurutnya. Dia tampil atas
permintaantimMega- Prabowo dengan syarat tidak disensor, sehingga walau
mewakili aspirasi Mega-Prabowo, pasangan ini pun sempat dibuat
terperangah karena celetukannya yang di luar dugaan.

*** Mempersoalkan kritik Butet yang dibahas di media televisi
sesungguhnya lebih mengatrol popularitas Butet itu. Bagi kita masyarakat
awam parodinya adalah suatu hiburan karena materi politik yang sangat
kompleks mampu dikemas dengan menonjolkan sense of humor.

Kalau saja ahli semiologi atau semiotika Ferdinand de Saussure dan pakar
dramaturgi Kenneteh Duva Burke masih hidup, mereka pasti tersenyum
menyaksikan monolog Butet yang mencoba mengombinasikan permainan bahasa
yang sarat dengan simbol-simbol, aksentuasi, dan nilai yang terkandung
di dalamnya.

Di tataran pemahaman bahasa semiotika, kemampuan memainkan
denotasi—sebagai first order of signification—memberikan aksentuasi pada
common sense dan konotasi sebagai second order of comunication yang
merujuk pada nilai,kaidah dan emosi. Sesuatu menjadi sinis di mata orang
politik jika melihat pernyataan budayawan yang lepas dari aturan-aturan
birokratis.

Pada hakikatnya budayawan berpikir merdeka, bebas, dan penuh imajinasi
yang melampaui limit waktu serta sekat-sekat aturan dan nilainilai umum
yang sering memasung dirinya. Budayawan sejati tidak akan
mempresentasikan sekadar titipan pesan dari kelompok yang memintanya
untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Untungnya seorang komedian sekaliber Butet tidak terjebak pada pesan
sponsor,bahkan menurut pengamatan kita,dalam parodinya dia malah sempat
mencengangkan Mega dan Prabowo.Para capres dan cawapres yang lengkap
hadir menjadi sulit menduga apa yang diinginkan mereka.

*** DalamsebuahorasicapresMegawati menilai sukses tidaknya pemilu bukan
ditentukan oleh siapa yang menang atau kalah,tapi oleh penyelenggaraan
pemilu yang adil, jujur, tegasdanbebasdariintervensipihak manapun. Dia
berharap para birokrat, dari pusat hingga daerah, bersikap
netral,bertindak independen, dan tegas.

Capres SBY lebih mengimbau rakyat agar menggunakan hak pilih.Meski
diakui situasi panas, hendaknya rakyatbisamenahandiri, sehingga tidak
terjadi benturan atau tindak kekerasan apa pun. Kemudian capres Kalla
mengharapkan pemilu berlangsung demokratis dan penuh kedamaian,
penyelenggara pemilu harus melakukannya sesuai dengan aturan hukum.

KPU dan aparat keamanan diharapkan bersikap netral. Bagi kita, apa pun
komitmen Deklarasi Damai tetap harus mengedepankan moral dan etika.
Hindarkan cara-cara main curang dan menghalalkan segala cara karena itu
akan mengingkari dan memerkosa hak-hak rakyat.

Sikap kenegarawanan para capres/cawapres akan menjadi tuntunan bagi
tercapainya pemilu yang damai.Karena pada akhirnya siapa pun yang akan
terpilih harus memenuhi janji dan merealisasikan harapan rakyat untuk
hidup sejahtera,adil,dan bermartabat. Memang calon-calon yang ada
sekarang dan sebentar lagi akan menjadi presiden dan wakil presiden
merupakan primus interpares, pribadi yang terpilih dan terbaik dari
pribadi-pribadi yang memang baik.

Deklarasi pemilu damai tampaknya merupakan suatu budaya demokrasi di
dunia.Banyak negara yang menjalankan pemilu tanpa melalui ritual yang
dibalut dengan seremoni yang kental dengan nilainilai budaya.Amerika
Serikat memang suka melakukan ritual-ritual politik yang menggugah emosi
publik. Begitu juga beberapa negara di Eropa seperti Jerman,Prancis,
Inggris, dan Italia.

Mereka kerap menampilkan ritual dan parodi politik yang mampu menggalang
massa. Tapi bolehlah bagi kita, sebagai salah satu negara demokrasi
terbesar di dunia ini,memerkan ritual politik yang diharapkan akan
menjadi tradisi positif untuk lebih merekatkan persatuan dan kesatuan
bangsa. Bagi Indonesia menjaga pluralisme merupakan sesuatu komitmen
yang harus diusung dan dijaga oleh siapa pun yang memimpin.

Indonesia tidak boleh tercabik karena ambisi dan kekerasan politik yang
mengakibatkan rakyat kehilangan harapan untuk menggapai masa depan.
Capres dan cawapres kita adalah teladan utama yang perilakunya akan
ditiru oleh masyarakat banyak. Di tengah-tengah spekulasi siapa yang
akan memenangkan pilpres masih terlihat bagaimana bahasa tubuh dari
masing-masing capres dan cawapres pada saat deklarasi pemilu damai.

Capres Jusuf Kalla ketika bersalaman mengulurkan kedua tangannya yang
disambut hangat oleh SBY, lalu keduanya berangkulan. Bahasa tubuh kedua
tokoh ini dapat dibaca oleh publik, meskipun perseteruan politik mereka
semakin seru saja, bahkan tingkat sindir menyindirnya semakin
menggelitik publik, tapi tetap saja terlihat masih hangatnya hubungan
silaturahmi di antara mereka.

Tentu Butet dengan sedikit humor provokasinya mengharapkan
akanterjadinya salamanmesraantara SBY dengan Megawati.Tapi begitulah
Megawati,walaupun Butet sedikit banyaknya pada malam itu penyambung
lidahnya, tetapi tidak mau begitu saja mengikuti ajakan Butet untuk
melakukan tindakan bersahaja dengan memamerkan salaman yang mesra dengan
SBY.

Apakah itu by design atau kebetulan pemirsa tidak melihat SBY–Megawati
bersalaman seperti pada waktu acara pengundian nomor di KPU . Patut pula
kita cermati bahwa Deklarasi Pemilu Damai 2009 yang diikrarkan oleh
capres/cawapres berbunyi sebagai berikut.

”Kami calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu 2009 dengan
semangat persatuan dan persaudaraan menyatakan siap menciptakan pemilu
yang aman,tertib,dan damai demi terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan
bangsa serta terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”Semoga deklarasi tersebut menjadi kenyataan.(*)

Prof Bachtiar Aly
Pemerhati Komunikasi
Politik

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246524/

Sesat atau Siasat DPR?

Sesat atau Siasat DPR?

Beberapa waktu lalu,Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui Komisi III,
berhasrat menghentikan kerja-kerja yang dilaksanakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).

Alasan DPR, KPK saat ini berkurang satu orang, yakni Antasari Azhar yang
menjadi tersangka pada suatu tindakan kejahatan. Artinya, sedang
diberhentikan sementara.Hal yang menurut DPR telah sesuai dengan UU KPK
Pasal 32 Ayat (2).

Namun, kata DPR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 Ayat (2),
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disusun sebagai berikut; (a) Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi merangkap anggota; dan (b) wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang,masingmasing merangkap anggota”.

Karenanya, membacanya secara bersamaan dengan Pasal 21 Ayat (5) yang
berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bekerja secara kolektif”, membuat DPR berkesimpulan KPK
seharusnya tidak bisa bekerja dulu.Oleh DPR,Pasalpasal ini kemudian
mereka terjemahkan menjadi KPK harus ada lima orang. Jika tidak genap
lima orang, maka kerja kolektif tidak mungkin terjadi, dan karenanya KPK
sebenarnya tidak boleh melakukan apa-apa selama masa hanya berisi 4 orang.

Sesat Pikir

Sulit membayangkan apa yang ada di benak para anggota DPR, khususnya
Komisi III ini.Jauh dari pikiran substantif pemberantasan korupsi,
mereka malah terjebak berpikir sangat tekstual.Entah untuk apa. Yang
jelas, permintaan anggota DPR agar KPK tidak melakukan apa-apa,sementara
pemeriksaan atas Antasari Azhar dilakukan, menunjukkan betapa sesat
pemahaman DPR atas UU KPK dan atas semangat p e m b e ra n t a s a n
korupsi.

Setidaknya ada empat catatan atas pemahaman sesat DPR sehingga
menerjemahkan UU KPK menjadi seperti itu. Pertama, kesalahan
menerjemahkan UU KPK. Konsep kolektif yang dimaksudkan di Pasal 21 Ayat
(5) tentu tidak bisa dan tidak dapat diterjemahkan menjadi kata “lengkap”.

Konsep kolektif berarti tidak bisa diambil secara perorangan. Maksudnya,
meskipun KPK terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang
merangkap anggota sekaligus membidangi 4 bidang tertentu di KPK, tetapi
putusannya tidak bisa diambil secara orang perorangan. Meskipun itu
merupakan putusan pada bidang yang dibawahi oleh salah satu wakil ketua
merangkap anggota.

Keputusan harus diambil secara kelembagaan. Artinya, membaca kolektif
seharusnya diterjemahkan menjadi kata “kelembagaan”. Seharusnya ini
sudah dipahami. Karena dalam Penjelasan Pasal 21 Ayat (5) mencantumkan
kalimat,“ Yang dimaksud dengan ‘bekerja secara kolektif’ adalah bahwa
setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara
bersama- sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”.

Kata secara bersama-sama sebagai penerjemahan kata kolektif tidak
mungkin dapat diterjemahkan menjadi kata “lengkap”. Sekali lagi, paling
mungkin diterjemahkan menjadi kata secara “kelembagaan”. Kedua,jika DPR
kekeuhdengan penafsiran sesatnya itu, maka UU KPK malah menjadi UU yang
memiliki contradictio in terminis.

Jika membacanya secara sistematis, maka sulit untuk dipercaya ada konsep
“pemberhentian sementara” yang dianut oleh UU ini.Jika DPR sedari awal
berpikir kata kolektif sebagai penerjemahan dari kata lengkap lima
orang, maka Pasal 32 Ayat (2) yang mengatur pemberhentian sementara
tidak boleh ada,karena sangat potensial mengganggu kinerja lembaga yang
seharusnya terus berjalan tanpa jeda.

Seharusnya sadar adanya kemungkinan KPK bekerja tidak dengan lima orang,
karena pemberhentian sementara merupakan posisi yang secara hukum yang
“menggantung”. Posisinya belum dapat diganti,namun pada saat yang sama
tidak boleh menjalankan kedudukannya. “Pemberhentian sementara”
serta-merta akan menyandera kerja lembaga.

Tidak diganti sehingga tidak cukup lima orang, pada saat yang sama tidak
boleh bekerja untuk mencukupi lima orang. Pun jika DPR tetap dengan
penafsirannya, maka kontradiksi terjadi antarbeberapa pasal. Misalnya
Pasal 36 yang melarang pimpinan melakukan hubungan langsung atau tidak
langsung kepada tersangka atau pihak lain yang terlibat perkara korupsi.

Berarti, jika pimpinan harus 5 orang, maka ketika cuma 4 orang, mereka
bukan lagi pimpinan yang dilarang melakukan hal pada Pasal 36 ini.
Ketiga, jangan dilupakan bahwa KPK adalah lembaga negara independen yang
bebas dari campur tangan cabang kekuasaan manapun.

Bukan sekadar teori independensinya, karena Pasal 3 UU KPK pun
mencantumkan hal yang sama. Itulah sebabnya, seleksi atas lembaga negara
ini dibuat secara model checks and balances antara DPR dan Presiden. Hal
yang dilakukan untuk menghindari kemungkinan pengaruh kuat salah satu
cabang.

Selain proses seleksi, KPK harus dipurifikasi dari campur tangan lembaga
kekuasaan manapun. Artinya, permintaan DPR untuk tidak melakukan apa-apa
selama masa penantian penggantian seorang komisioner baru merupakan
turut campur langsung atas proses KPK. Ini tidak bisa dibiarkan karena
akan sangat berpeluang mengancam keindependenan KPK sebagai sebuah
lembaga negara independen.

Apalagi dilakukan oleh DPR yang sebagai lembaga representasi politik,
sangat penat dengan kepentingan politik. Keempat, kondisi KPK saat ini
adalah kondisi yang di luar dari kehendak siapa pun.Siapa pun tentu
tidak ingin KPK terkurangi satu orang karena menjadi tersangka kejahatan
pembunuhan. Karenanya, kondisi saat ini merupakan kondisi yang tidak
diinginkan.

Andai berpikir substansi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,
kenapa tidak mendorong KPK dengan empat komisioner yang tersisa untuk
melanjutkan proses pemberantasan korupsi? Bahkan jika berpikir
pemberantasan korupsi,DPR seharusnya menegaskan akan mau “pasang badan”
untuk orang yang mempermasalahkan atau mau mendelegitimasi KPK?

Siasat?

Meski pada akhirnya permintaan DPR itu tidak menjadi putusan rapat DPR,
namun kejadian ini tetap mengkhawatirkan. Tentu saja, yang paling kita
khawatirkan adalah jangan-jangan ini merupakan bangunan logika siasat
untuk mengubur KPK dan mendorong pemberantasan korupsi ke jalur lambat.

Ini melengkapi ulah-ulah yang sudah ada sekian lama.Mulai dari ide-ide
membubarkan KPK, mengerdilkan KPK, bahkan termasuk menghalang-halangi
terbentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang seharusnya menjadi
muara dari penyidikan oleh KPK.

Memang, rasanya menggunakan kata DPR seakan-akan terlalu menggeneralisir
para “anggota nakal” di DPR, padahal tentu saja ada pula anggota yang
baik.Tetapi rasanya, ketika keputusan DPR selalu mengarah ke arah yang
merugikan pemberantasan korupsi, jangan-jangan para “anggota nakal” itu
yang mampu menguasai DPR, sehingga DPR bertindak sangat jauh dari
aspirasi masyarakat.

Kehendak masyarakat untuk penguatan penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi malah diberi tindakan yang sangat berlawanan dari kehendak
tersebut. Karenanya, kita sungguh-sungguh harus melawannya. Agar jangan
sampai pikiran sesat DPR ini mulus menjadi siasat mengerdilkan KPK dan
pemberantasan korupsi.(*)

Zainal Arifin Mochtar
Dosen dan Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246527/

Boediono

Boediono

*Wicaksono*

Seorang /blogger/ baru telah lahir. Kenalkan, namanya Boediono. Ya,
Boediono yang calon wakil presiden itu. Dia sekarang memiliki blog
berjudul Boediono Mendengar (/http://boedionomendengar.com/). Di ruang
sosial daring inilah mantan gubernur Bank Indonesia itu akan
berinteraksi dengan khalayak, baik yang mendukung maupun menentangnya.

"Ah, yang /bener/, Mas? Memangnya siapa yang mengajari Pak Boed membuat
blog?" tanya Mat Bloger.

"Saya /nggak/ tahu, Mat. Dan /nggak/ penting juga mengetahui siapa yang
memberi dia inspirasi dan pelajaran mengenai blog."

"Halah, /kemlinthi/. Sampean pasti kura-kura dalam perahu. Ya kan, Mas?"

"Eh, kok /nggak/ percaya sih? Ya sudah, terserah sampean."

"Oke, Mas. Lantas, menurut sampean, untuk apa Pak Boed membuat blog?
Apakah dia juga akan merawat blognya seperti halnya sampean?"

"Begini, Mat," saya memulai diskusi dengan Mat Bloger. "Para pemasar dan
para juru poles citra (d/h petugas humas) di luar sana sudah lama
memakai blog sebagai senjata pelengkap menjual dagangan. Di ranah
politik, para politikus juga mulai memanfaatkan blog sebagai alat
pemasaran. Yang dipasarkan tentu saja diri mereka sendiri. Pemicunya
adalah kesuksesan Barack Obama meraih kursi kepresidenan satu di Amerika
Serikat, antara lain berkat keberhasilannya memanfaatkan blog dan media
sosial daring (/online/).

Para politikus Tanah Air pun ternyata hendak mengikuti jejak Obama.
Mereka menganggap Internet dan ekosistemnya, antara lain blog,
/microblogging/, dan Facebook, merupakan tiket mencapai kesuksesan. Para
calon presiden dan wakil presiden merasa perlu berbicara dan harus
tampil sebanyak mungkin di media-media sosial daring--seperti yang
dilakukan Obama.

Upaya ini tentu sah-sah saja. Bahkan, menurut saya, langkah itu sudah
tepat. Blog memang bisa menolong seorang kandidat calon memperkenalkan
diri, berkampanye, dan membentuk /brand image/. Konstituen bisa menengok
profil, rekam jejak, juga gagasan yang ditawarkan seorang calon
legislator di blog. Dari bloglah publik mengenal profil sang calon
sehingga bisa memutuskan akan memilih atau tidak.

Hanya, diperlukan ketekunan dan keseriusan para politikus mengelola
media sosial seperti blog. Membangun blog adalah langkah pertama.
Langkah berikutnya ada merawatnya. Caranya? Pertama, berlakulah seperti
layaknya penerbit koran. Buatlah tulisan dan terbitkan secara rutin
sehingga pengunjung selalu mendapatkan hal baru. Isi blog yang selalu
basi tak membuat orang tertarik datang lagi.

Berikutnya, kenali khalayak dan ciptakan komunitas. Cari tahu bagaimana
profil, preferensi, tabiat mereka. Penuhi apa yang mereka suka dan
tidak. /Blogger/ yang mengabaikan pembacanya pasti dianggap ogah akrab
dan bakal dijauhi. /Blogger/ yang loyal akan membentuk komunitas dengan
sendirinya. Komunitas adalah basis pendukung yang setidaknya akan
meningkatkan statistik blog.

Selain itu, buatlah agar blog menjadi media interaktif. Sebab, pada
dasarnya blog adalah ruang dialog, tempat pemiliknya mendengar dan
berbicara. Tapi jangan sampai mengontrol respons khalayak. Mereka pasti
tak suka. Lebih baik lakukan pendekatan persuasif."

"Apakah kiat-kiat itu pasti akan berhasil memikat khalayak, Mas?"

"Saya /nggak/ tahu, Mat. Khalayak memiliki kearifan sendiri. Tapi saya
rasa dengan cara-cara sederhana seperti itu, setidaknya seorang
/blogger/ telah menunjukkan niat baik. Apakah hasilnya akan diterima
publik atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting bagi seorang
/blogger/, siapa pun dia, adalah membuktikan bahwa blognya memang
dibangun atas dasar hasrat berbagi dan bukan semata-mata menjual kecap."

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/13/iTempo/krn.20090613.167969.id.html