BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ihwal Kecelakaan Pesawat Militer

Ihwal Kecelakaan Pesawat Militer

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 13.54

Ihwal Kecelakaan Pesawat Militer


*F Djoko Poerwoko*

Lagi, heli militer jatuh, tiga perwira tewas (Kompas, 9/6).

Judul berita di halaman depan itu masih ditambah kata-kata, ”penyebab
sebaiknya dibuka”.

Kata-kata terakhir inilah yang banyak orang kurang paham, tidak ada
aturan yang mengatur kecelakaan pesawat militer diumumkan ke publik.

Hal ini terkait hilang atau rusaknya barang milik negara karena
digunakan untuk pertahanan negara. Hanya berkas laporan kecelakaan dan
surat kehilangan inventaris negara yang diperlukan, maka pesawat heli
itu telah dihapus dari daftar inventaris negara.

Dalam kasus ini, helikopter BO-105 Bolkow/HS-7112 dari Skuadron Heli
Serbu-11 yang bermarkas di Lanumad A Yani hancur, tiga perwira tewas,
dan dua terluka.

Luka atau tewas dalam militer adalah risiko tugas, tetapi TNI tetap akan
menyelidiki kasus ini bukan untuk mencari kesalahan, tetapi menjaga agar
kecelakaan serupa tidak terulang.

Melihat registrasi pesawat dengan logo segi 5 berbintang menunjukkan
pesawat ini termasuk pesawat negara atau state aircraft.

Dengan demikian, dalam penyelidikan kecelakaan tidak akan menyertakan
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan hasilnya dilaporkan
berjenjang ke atas. Meski untuk tahun ini TNI telah kehilangan 79
prajurit dalam enam kali kecelakaan pesawat, tugas menjaga NKRI tidak
akan surut.

*Keterbatasan anggaran*

Menyikapi cekaknya anggaran pertahanan tahun 2009 yang dipangkas Rp 1,39
triliun, disikapi Panglima TNI dengan penajaman tugas. Setidaknya ada
lima parameter menjadi fokus yang harus tetap dilaksanakan, yaitu
pengaturan anggaran untuk tugas faktual; kesiapan operasional; kesiapan
pendidikan dan latihan; memelihara alat utama sistem persenjataan
(alutsista); serta kesejahteraan prajurit.

Lima parameter yang dikemukakan Panglima TNI itu disikapi dengan
pengetatan pengeluaran yang tidak penting. Sektor-sektor yang dipangkas
pendanaannya adalah kegiatan protokoler, seminar, dan kunjungan ke luar
negeri. Makna lain, pemeliharaan alutsista tetap menjadi salah satu
fokus pelaksanaan tugas.

Khusus pemeliharaan, diterapkan skala prioritas dengan mengoperasikan
alutsista berdasarkan anggaran yang tersedia.

Bila saat ini TNI AU memiliki 19 C-130 Hercules, hanya dioperasikan 10
unit (dalam sirkulasi) ini diharapkan terbang di atas 80 persen dan akan
menjadi 100 persen pada situasi yang diperlukan, misal Latgab TNI.
Kekuatan pesawat yang siap akan menurun lagi sejalan tugas dan kadang
hanya sekitar 40 persen.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang, tertuang dalam Rencana
Penggunaan Alat Utama Sistem Senjata (Rengunsista) yang bergulir tiap
tahun. Perlu ditegaskan, pesawat dalam sirkulasi telah memenuhi standar
kelaikan sesuai prosedur baku yang dianut dalam pengoperasian pesawat
terbang militer.

*Pilot mahal*

Sangat mahal memang ”harga” seorang pilot militer di Indonesia.

Selain sang calon pilot harus mengikuti pendidikan terbang selama 20
bulan dalam 220 jam terbang, dana untuk mendidik berkisar Rp 1 miliar
per siswa atau dua kali lipat pendidikan pilot pesawat komersial.
Sebagai gambaran, untuk mengirim seorang pilot TNI AU mengikuti
pendidikan di Fighter Instructor Weapon School di luar negeri perlu dana
1,5 juta dollar AS per pilot.

Setelah lulus dan mendapatkan brevet, dia harus menyelesaikan pendidikan
transisi di pesawat yang akan diawaki dan pendidikan konversi.

Pendidikan berlanjut terus dilakukan sampai akhirnya menjadi seorang
kapten pilot atau flight leader untuk pesawat tempur.

Pendidikan masih berlanjut untuk menjadi seorang instruktur pilot atau
menjadi test pilot. Untuk sampai jenjang ini, umumnya mereka telah
berpangkat mayor.

Ironisnya, dalam struktur gaji TNI, sang mayor hanya mendapat take home
pay Rp 5 juta untuk hidup bersama istri dan dua anak.

Bila gugur, sang pilot hanya mendapatkan asuransi Rp 200 juta, selain
santunan kematian Rp 25 juta ditambah uang perawatan jenazah Rp
2.000.000, pralaya Rp 1,5 juta, dan uang duka tiga kali pendapatan gaji
terakhir. Jumlah akan lebih rendah untuk bintara dan tamtama.

Mahal dan murah amat relatif. Tetapi, kehilangan seorang pilot yang
terlatih, apalagi kehilangan seorang marsekal atau seorang pasukan
khusus berpangkat kolonel, memang tidak terhingga.

Terpenting menjaga kewibawaan pemimpin dan tanggung jawab lebih penting
serta mengucapkan... ”Saya bertanggung jawab”.

/*F Djoko Poerwoko* Marsekal Muda TNI (Pur); Mantan Test Pilot TNI AU

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/10/05180317/ihwal.kecelakaan.pesawat.militer
/
Share this article :

0 komentar: