Sesat atau Siasat DPR?
Beberapa waktu lalu,Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui Komisi III,
berhasrat menghentikan kerja-kerja yang dilaksanakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alasan DPR, KPK saat ini berkurang satu orang, yakni Antasari Azhar yang
menjadi tersangka pada suatu tindakan kejahatan. Artinya, sedang
diberhentikan sementara.Hal yang menurut DPR telah sesuai dengan UU KPK
Pasal 32 Ayat (2).
Namun, kata DPR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 Ayat (2),
“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a disusun sebagai berikut; (a) Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi merangkap anggota; dan (b) wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi terdiri atas 4 (empat) orang,masingmasing merangkap anggota”.
Karenanya, membacanya secara bersamaan dengan Pasal 21 Ayat (5) yang
berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bekerja secara kolektif”, membuat DPR berkesimpulan KPK
seharusnya tidak bisa bekerja dulu.Oleh DPR,Pasalpasal ini kemudian
mereka terjemahkan menjadi KPK harus ada lima orang. Jika tidak genap
lima orang, maka kerja kolektif tidak mungkin terjadi, dan karenanya KPK
sebenarnya tidak boleh melakukan apa-apa selama masa hanya berisi 4 orang.
Sesat Pikir
Sulit membayangkan apa yang ada di benak para anggota DPR, khususnya
Komisi III ini.Jauh dari pikiran substantif pemberantasan korupsi,
mereka malah terjebak berpikir sangat tekstual.Entah untuk apa. Yang
jelas, permintaan anggota DPR agar KPK tidak melakukan apa-apa,sementara
pemeriksaan atas Antasari Azhar dilakukan, menunjukkan betapa sesat
pemahaman DPR atas UU KPK dan atas semangat p e m b e ra n t a s a n
korupsi.
Setidaknya ada empat catatan atas pemahaman sesat DPR sehingga
menerjemahkan UU KPK menjadi seperti itu. Pertama, kesalahan
menerjemahkan UU KPK. Konsep kolektif yang dimaksudkan di Pasal 21 Ayat
(5) tentu tidak bisa dan tidak dapat diterjemahkan menjadi kata “lengkap”.
Konsep kolektif berarti tidak bisa diambil secara perorangan. Maksudnya,
meskipun KPK terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua yang
merangkap anggota sekaligus membidangi 4 bidang tertentu di KPK, tetapi
putusannya tidak bisa diambil secara orang perorangan. Meskipun itu
merupakan putusan pada bidang yang dibawahi oleh salah satu wakil ketua
merangkap anggota.
Keputusan harus diambil secara kelembagaan. Artinya, membaca kolektif
seharusnya diterjemahkan menjadi kata “kelembagaan”. Seharusnya ini
sudah dipahami. Karena dalam Penjelasan Pasal 21 Ayat (5) mencantumkan
kalimat,“ Yang dimaksud dengan ‘bekerja secara kolektif’ adalah bahwa
setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara
bersama- sama oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Kata secara bersama-sama sebagai penerjemahan kata kolektif tidak
mungkin dapat diterjemahkan menjadi kata “lengkap”. Sekali lagi, paling
mungkin diterjemahkan menjadi kata secara “kelembagaan”. Kedua,jika DPR
kekeuhdengan penafsiran sesatnya itu, maka UU KPK malah menjadi UU yang
memiliki contradictio in terminis.
Jika membacanya secara sistematis, maka sulit untuk dipercaya ada konsep
“pemberhentian sementara” yang dianut oleh UU ini.Jika DPR sedari awal
berpikir kata kolektif sebagai penerjemahan dari kata lengkap lima
orang, maka Pasal 32 Ayat (2) yang mengatur pemberhentian sementara
tidak boleh ada,karena sangat potensial mengganggu kinerja lembaga yang
seharusnya terus berjalan tanpa jeda.
Seharusnya sadar adanya kemungkinan KPK bekerja tidak dengan lima orang,
karena pemberhentian sementara merupakan posisi yang secara hukum yang
“menggantung”. Posisinya belum dapat diganti,namun pada saat yang sama
tidak boleh menjalankan kedudukannya. “Pemberhentian sementara”
serta-merta akan menyandera kerja lembaga.
Tidak diganti sehingga tidak cukup lima orang, pada saat yang sama tidak
boleh bekerja untuk mencukupi lima orang. Pun jika DPR tetap dengan
penafsirannya, maka kontradiksi terjadi antarbeberapa pasal. Misalnya
Pasal 36 yang melarang pimpinan melakukan hubungan langsung atau tidak
langsung kepada tersangka atau pihak lain yang terlibat perkara korupsi.
Berarti, jika pimpinan harus 5 orang, maka ketika cuma 4 orang, mereka
bukan lagi pimpinan yang dilarang melakukan hal pada Pasal 36 ini.
Ketiga, jangan dilupakan bahwa KPK adalah lembaga negara independen yang
bebas dari campur tangan cabang kekuasaan manapun.
Bukan sekadar teori independensinya, karena Pasal 3 UU KPK pun
mencantumkan hal yang sama. Itulah sebabnya, seleksi atas lembaga negara
ini dibuat secara model checks and balances antara DPR dan Presiden. Hal
yang dilakukan untuk menghindari kemungkinan pengaruh kuat salah satu
cabang.
Selain proses seleksi, KPK harus dipurifikasi dari campur tangan lembaga
kekuasaan manapun. Artinya, permintaan DPR untuk tidak melakukan apa-apa
selama masa penantian penggantian seorang komisioner baru merupakan
turut campur langsung atas proses KPK. Ini tidak bisa dibiarkan karena
akan sangat berpeluang mengancam keindependenan KPK sebagai sebuah
lembaga negara independen.
Apalagi dilakukan oleh DPR yang sebagai lembaga representasi politik,
sangat penat dengan kepentingan politik. Keempat, kondisi KPK saat ini
adalah kondisi yang di luar dari kehendak siapa pun.Siapa pun tentu
tidak ingin KPK terkurangi satu orang karena menjadi tersangka kejahatan
pembunuhan. Karenanya, kondisi saat ini merupakan kondisi yang tidak
diinginkan.
Andai berpikir substansi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,
kenapa tidak mendorong KPK dengan empat komisioner yang tersisa untuk
melanjutkan proses pemberantasan korupsi? Bahkan jika berpikir
pemberantasan korupsi,DPR seharusnya menegaskan akan mau “pasang badan”
untuk orang yang mempermasalahkan atau mau mendelegitimasi KPK?
Siasat?
Meski pada akhirnya permintaan DPR itu tidak menjadi putusan rapat DPR,
namun kejadian ini tetap mengkhawatirkan. Tentu saja, yang paling kita
khawatirkan adalah jangan-jangan ini merupakan bangunan logika siasat
untuk mengubur KPK dan mendorong pemberantasan korupsi ke jalur lambat.
Ini melengkapi ulah-ulah yang sudah ada sekian lama.Mulai dari ide-ide
membubarkan KPK, mengerdilkan KPK, bahkan termasuk menghalang-halangi
terbentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang seharusnya menjadi
muara dari penyidikan oleh KPK.
Memang, rasanya menggunakan kata DPR seakan-akan terlalu menggeneralisir
para “anggota nakal” di DPR, padahal tentu saja ada pula anggota yang
baik.Tetapi rasanya, ketika keputusan DPR selalu mengarah ke arah yang
merugikan pemberantasan korupsi, jangan-jangan para “anggota nakal” itu
yang mampu menguasai DPR, sehingga DPR bertindak sangat jauh dari
aspirasi masyarakat.
Kehendak masyarakat untuk penguatan penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi malah diberi tindakan yang sangat berlawanan dari kehendak
tersebut. Karenanya, kita sungguh-sungguh harus melawannya. Agar jangan
sampai pikiran sesat DPR ini mulus menjadi siasat mengerdilkan KPK dan
pemberantasan korupsi.(*)
Zainal Arifin Mochtar
Dosen dan Direktur Pusat Kajian
Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/246527/
Sesat atau Siasat DPR?
Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 13.11
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar