BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Label Sosial dan Logika Tuyul

Label Sosial dan Logika Tuyul

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 13.53

Label Sosial dan Logika Tuyul


*Benny H Hoed*

Tanpa sadar, setiap kita mengikuti warga lainnya memberikan makna dan
tafsiran tertentu pada hal, benda, lembaga, gagasan, atau orang, itu
adalah realitas sosial budaya di sekitar kita.

Gejala ini saya sebut semiotik sosial, yakni makna dan tafsiran yang
terbentuk dalam masyarakat tentang aneka realitas sosial budaya. Bendera
memiliki semiotik sosial, merah ”berani”, putih ”suci”. Di Jakarta,
bendera kuning dari kertas minyak bermakna ”ada orang meninggal”.

*Label sosial*

Label sosial adalah semacam ”cap sosial” yang diberikan oleh orang,
lembaga, atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya. Iklan
komersial memberikan label sosial kepada produk agar terbentuk semiotik
sosial positif dan kepercayaan publik (ini dikenal dengan istilah
positioning).

Label sosial juga terjadi dalam kehidupan politik dan digunakan,
misalnya dalam pidato politik atau unjuk rasa. Dalam politik, penciptaan
label dilakukan secara sengaja untuk memberikan citra positif
(mendukung) atau negatif (menyerang) dan merupakan bagian dari strategi
politik. Label sosial bisa terjadi secara tidak sengaja.

Label tidak selalu warna, bisa juga kata. Label neolib (akronim
neoliberal) dewasa ini muncul ke permukaan. Neoliberalisme yang
mengandalkan ”pasar bebas” bermakna ”negatif” karena dipandang sebagai
sebuah konsep ekonomi yang ”tidak berpihak pada rakyat”.

Pandangan itu sah saja. Label ini memang sudah lama diberikan kepada tim
ekonomi pemerintahan SBY. Dalam dinamika politik sekarang, label ini
diberikan kepada Boediono, seorang calon wapres. Dalam pidato politik
mereka, SBY dan Boediono kelihatan mencoba menghapus label sosial ini.
Pemberian label sosial seperti ini berpotensi menghasilkan semiotik
sosial yang bisa menimbulkan pemahaman yang belum tentu betul tentang
Boediono.

*”Santri-abangan”*

Dikotomi ”santri-abangan” yang diperkenalkan oleh tokoh sosiologi
Clifford Geertz masih saja menjadi label sosial yang diberikan kepada
sebagian warga beragama Islam di Indonesia. Meskipun sering kali
mendapat kritik dari para pakar ilmu sosial kita, label abangan masih
hidup di dalam semiotik sosial kita.

Editorial salah satu surat kabar nasional bahkan pernah memberikan label
abangan kepada partai-partai ”non-Islam”, seperti PDI-P, Partai Golkar,
dan Partai Demokrat. Meski mungkin tidak disadari penulisnya, pemberian
label itu berpotensi membangun semiotik sosial karena disiarkan oleh
sebuah media. Padahal, banyak anggota, pengurus, konstituen, dan
simpatisan partai-partai itu yang tidak termasuk golongan ”abangan”.
Label sosial seperti itu berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang
tidak tepat tentang partai-partai itu.

Para capres dan cawapres juga menciptakan label sosial bagi kebijakan
mereka dengan berkali-kali menyebutkan kata ekonomi kerakyatan dan
kebijakan prorakyat. Ini lumrah dalam kampanye yang ingin menarik
simpati pemilih. Seperti upaya positioning dalam iklan. Apa maksudnya
tentu belum terlalu jelas.

Label sosial juga sering kali diberikan kepada para selebriti yang
kehidupan pribadinya dibuka di muka publik oleh infotainment. Ini pun
dapat menghasilkan semiotik sosial tentang tokoh yang bersangkutan,
positif atau negatif.

*Logika tuyul*

Tuyul adalah makhluk halus yang dipercayai dapat mencuri uang di rumah
seseorang tanpa diketahui. Dipercayai pula bahwa kita dapat memelihara
tuyul agar dapat disuruh mencuri uang.

”Logika” tentang tuyul atau yang sejenisnya, yakni kepercayaan akan
adanya makhluk halus dan dan hal-hal di luar nalar biasa, masih hidup
subur di negeri kita. Tidak hanya di kalangan kurang terpelajar, tetapi
juga pada kaum terdidik. Berita tersiar, banyak caleg menggunakan ”orang
pinter” untuk memenangkan dirinya. Jika hasilnya sukses, makin
dipercayai, kalau tidak sukses dipercayai sebagai ”belum saatnya”.

Dewasa ini nomor urut para capres pun dibicarakan maknanya. ”Logika”
tuyul juga bermain di sini. Bahkan, media cetak dan elektronik
mengangkat pembicaraan tentang makna ”1”, ”2”, dan ”3” yang menjadi
label bagi setiap pasangan capres-cawapres. Yang ikut bicara pun
orang-orang berpendidikan tinggi.

Dengan memberikan angka sebagai label, setiap pasangan mencoba membangun
semiotik sosial yang menguntungkan dengan memanfaatkan logika tuyul.
Padahal, apa hubungan ”logis” antara angka dan keberuntungan?

Namun, ”logika tuyul” masih hidup di kalangan para pemilih kita. Maka,
label-label yang dibangun di atas dalam logika tuyul itu membentuk suatu
semiotik sosial yang diharapkan akan terjadi di kalangan pemilih.

*Tidak mendidik*

Reformasi 1998 telah memberikan jalan pada proses demokratisasi dalam
masyarakat Indonesia dan harus dipelihara dan dimatangkan menjadi bagian
dari kebudayaan kita. Penciptaan label-label sosial itu merupakan bagian
dari dinamika sosial di alam demokrasi.

Namun, penciptaan label-label sosial dengan memanfaatkan logika tuyul
bisa membawa kita pada pembentukan semiotik sosial yang tidak mendidik
masyarakat untuk menjadi cerdas. Apa pun tujuannya, label-label sosial
seperti itu cenderung menjadi slogan yang bisa membuat masyarakat
menjadi ”pembebek”.

Tentu saja ini merupakan imbauan kepada elite politik dan media massa
kita. Pemaparan yang bernalar jauh lebih mendidik dan bermanfaat bagi
proses demokratisasi daripada penggunaan label-label sosial dan
eksploitasi logika tuyul.

Pemilih yang cerdas seharusnya tidak terbawa dalam arus semiotik sosial
yang dilahirkan dari label-label seperti itu.

/*Benny H Hoed* Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/13/05154175/label.sosial.dan.logika.tuyul
/
Share this article :

0 komentar: