BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perbedaan Garis Ekonomi Para Capres

Perbedaan Garis Ekonomi Para Capres

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 14.04

Perbedaan Garis Ekonomi Para Capres
Oleh Hendri Saparini Ekonom Econit


AKHIR-akhir ini diskusi tentang perbedaan garis kebijakan ekonomi
pasangan capres makin marak. Namun, benarkah dalam Pilpres 2009 akan ada
pertarungan ideologi atau garis ekonomi? Sebagaimana diketahui, ketiga
capres adalah muka lama. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati
Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla (JK) ketiganya pernah menjabat sebagai
pemimpin tertinggi di republik ini, baik sebagai presiden maupun wakil
presiden.

Bagi saya, Pilpres 2009 tetap menarik. Meskipun capres yang akan
bertarung adalah stok lama, akan tetapi cawapres yang mendampingi adalah
para tokoh yang selama ini mengusung garis ekonomi yang berbeda.
Cawapres Prabowo Subianto dan Wiranto adalah para mantan jenderal yang
sejak dua tahun lalu muncul dengan menawarkan perubahan kebijakan
ekonomi bagi Indonesia. Prabowo dan Gerindra mengusung bendera ekonomi
kerakyatan, sedangkan Wiranto bersama Hanura menawarkan kemandirian
ekonomi. Sementara itu, cawapres Boediono adalah pengusung dan ikon
garis ekonomi neoliberal dengan agenda liberalisasi dan privatisasi.

A Keputusan JK untuk menggandeng Wiranto akan ditangkap masyarakat
sebagai pesan bahwa JK akan mendukung kemandirian ekonomi.

Demikian juga pilihan Megawati pada Prabowo menciptakan persepsi publik
bahwa Megawati akan menutup lembar ekonomi liberal dan membuka lembaran
ekonomi kerakyatan yang pernah ditinggalkan. Oleh karenanya, saat SBY
menjatuhkan pinangannya pada Boediono, masyarakat segera menangkap pesan
SBY untuk melanjutkan ekonomi liberalnya selama ini.

Bila benar para capres berpegang teguh pada garis ekonominya, kebijakan
ekonomi lima tahun ke depan akan sangat ditentukan siapa pasangan
capres-cawapres yang memenangkan Pilpres 2009. Bahkan pilpres sangat
mungkin untuk menjadi momentum perubahan arah ekonomi Indonesia ke
depan. Mungkin masih banyak keraguan terhadap kemampuan para capres
dalam mengimplementasikan perubahan yang dijanjikan, tapi paling tidak
Mega-Pro dan JK-Win akan menuju pada arah kebijakan ekonomi yang berbeda
dengan SBY Berbudi.

Untuk memberikan gambaran perbedaan pilihan kebijakan ekonomi
berdasarkan garis ekonomi para capres, saya akan membandingkan pilihan
kebijakan yang seharusnya diambil para capres terhadap dua isu yang
menjadi perhatian publik, yakni kebijakan perdagangan dan peran BUMN.

Kebijakan perdagangan Kebijakan perdagangan Presiden SBY dan Menko
Perekonomian Boediono selama lima tahun terakhir telah mengarah pada
liberalisasi kebijakan perdagangan yang ugal-ugalan. Sebagai contoh,
kebijakan perdagangan rotan mentah.

Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia.

Pada 2005, pemerintahan SBY membebaskan ekspor rotan. Bagi penganut
garis ekonomi liberal kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga
menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara juga akan diuntungkan
dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan mendorong
kinerja pertumbuhan ekonomi.

Sepintas kebijakan itu seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi
rotan mentah mengakibatkan produsen barang dari rotan, yang umumnya di
wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku.
Bila permintaan dan harga internasional tinggi, petani rotan akan
memilih untuk menjual langsung ke pasar dunia.

Sebuah pilihan yang wajar karena pembayaran dan order lebih pasti,
dengan konsekuensi banyak industri mebel rotan kecil dan menengah
nasional yang tutup.

Bagi capres pengusung ekonomi kemandirian dan kerakyatan, pilihan
kebijakan yang diberikan akan sangat berbeda. Melimpahnya produksi rotan
di Kalimantan semestinya bukan menjadi kesempatan untuk mendorong ekspor
rotan mentah, tetapi menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi
Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia. Pemerintah dapat
mengembangkan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil
rotan. Selain akan menciptakan lapangan kerja yang besar, kesejahteraan
petani dan perajin rotan akan meningkat. Itu karena nilai tambah dari
pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati rakyat di Indonesia.
Sementara itu, pembebasan ekspor akan menyerahkan nilai tambah tersebut
kepada negara lain.

Pilihan kebijakan serupa dapat dilakukan untuk mengoreksi kebijakan
liberalisasi perdagangan untuk berbagai komoditas primer yang menjadi
keunggulan Indonesia. Indonesia adalah produsen timah kedua dunia.
Melimpahnya produksi timah tidak seha rusnya menjadikan In donesia
sebagai spesialis eksportir timah mentah.

Dengan garis kebijakan ekonomi mandiri dan kerakyatan, tangan pemerintah
akan turun untuk merencanakan, memberikan contoh, dan mendukung
munculnya industri-industri penghasil produk-produk dari timah.
Indonesia harus bisa menghasilkan nilai tambah dari timah hingga tiga
ratus kali sebagaimana dilakukan China.

Di sektor perdagangan sektor ritel, pengusung perubahan semestinya akan
menghentikan liberalisasi yang terjadi pada pemerintahan SBY.

Karena, tidak efektifnya pembatasan lokasi, berkembangnya usaha ritel
raksasa di pusat kota telah mengakibatkan banyak UMKM tergusur dan
terpaksa bangkrut. Padahal di negara asalnya mereka hanya boleh membuka
usaha di luar kota sehingga tidak melibas pemain kecil dan menengah.
Selain itu, di sisi penguasaan pasar pun harus dibatasi, seperti
misalnya di Jepang dibatasi maksimal 1% dan Korea Selatan 3%. Saat ini
perusahaan raksasa ritel dunia telah menguasai lebih dari 11% pasar
ritel di Indonesia.

Fakta terbaru saat menghadapi krisis global, pemerintah SBY yang
proliberal justru menyiapkan stimulus fi skal yang tidak memihak kepada
kepentingan nasional. Industri pengolahan susu justru mendapatkan paket
subsidi berupa pembebasan bea masuk impor bahan susu. Jika pemerintah
mengusung ekonomi kemandirian dan kerakyatan, stimulus fi skal tersebut
akan diberikan kepada industri yang menyerap susu produksi para petani
dalam bentuk keringanan pajak atau subsidi dalam bentuk lain.

Kebijakan BUMN Presiden SBY dan tim ekonomi yang mengusung agenda
neoliberal dipastikan akan melanjutkan rencana penjualan berbagai BUMN.
Seperti diketahui, pemerintah SBY pernah merilis 40 BUMN yang siap
diswastakan.

Tidak mengherankan karena privati sasi memang merupakan salah satu
agenda utama neo liberal. Sulitnya para pengusung privatisasi dalam
memberikan alasan yang masuk akal, akhirnya hanya mengusung isu korupsi
dan inefisiensi.

Sangat menyederhanakan masalah. Seolah bila pemerintah terlibat dalam
pengelolaan ekonomi lewat berbagai BUMN, pasti akan merugikan karena
korup dan tidak efi sien. Mereka lupa banyak negara yang maju dan dapat
menyejahterakan rakyat lewat BUMN yang kuat. Singapura misalnya, hingga
saat ini lebih dari 75% ekonominya masih dikelola usaha milik negara.

Singapore Airlines dan Temasek adalah sedikit contoh badan usaha milik
negara yang sangat kompetitif tidak hanya di dalam, tapi juga di luar
negeri.

Memang benar masih banyak BUMN yang salah kelola. Namun, untuk
menyelesaikannya bukan dengan jalan pintas, yakni menjual BUMN. Harus
diingat bahwa BUMN memiliki fungsi strategis lain sebagai penggerak
ekonomi sehingga pemberantasan korupsi yang dilakukan tidak dengan
menghilangkan peran strategis tersebut.

Capres yang akan menawarkan kemandirian ekonomi tentu saja harus
memprioritaskan penghentian privatisasi BUMN. Bahkan harus mengembalikan
peran BUMN sebagai agen pembangunan.

Bila merujuk pada tawaran kebijakan perdagangan di atas, misalnya, BUMN
harus menjadi motor penggerak pembangunan industri pengolahan berbagai
sumber daya alam di Indonesia. Bila saat ini banyak BUMN lebih berperan
sebagai pedagang komoditas primer, harus mengubah haluan kebijakannya
untuk merencanakan pengembangan industri pengolahan komoditas yang
dikelolanya. PT Timah tidak hanya menjadi eksportir timah batangan atau
bahkan pasir timah, tetapi akan menjadi bagian penting untuk membangun
industri pengolahnya.

Strategi kebijakan di bidang keuangan semestinya juga berbeda.
Liberalisasi keuangan dan perbankan harus dihentikan karena sektor
keuangan adalah salah satu jantung kegiatan ekonomi. Saat ini
kepemilikan asing di perbankan nasional sudah mencapai separo. Sementara
itu, untuk memberdayakan UMKM harus ada ruang bagi pemerintah untuk
menggerakkan berbagai dana yang dimiliki di berbagai bank BUMN. Jika
dilakukan privatisasi, kelenturan dalam menggerakkan dana bagi UMKM akan
berkurang, atau bahkan hilang.

Beda garis kebijakan ekonomi, seharusnya beda kebijakannya. Pilihan
kebijakan pe ngusung garis ekonomi liberal dengan pe ngusung ekonomi
kerakyatan dan kemandirian tidak akan sama. Mudahkah untuk meyakinkan
masyarakat dan melaksanakannya? Tentu tidak, karena Indonesia telah
mengalami liberalisasi yang sangat dalam. Namun, tidak ada pilihan lain.
Ekonomi kerakyatan atau kemandirian adalah jalan yang harus ditempuh
untuk menyejahterakan dan memajukan seluruh masyarakat Indonesia saat ini.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/09/ArticleHtmls/09_06_2009_025_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: