BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 13.55

Belajar Komunikasi dari Kasus Prita

Barangkali dokter dan owner Rumah Sakit (RS) Omni Internasional Alam
Sutera, Banten,Tangerang saat ini susah mengaso.


Kasus Prita seperti mimpi buruk siang bolong. Begitu dahsyatnya sehingga
melumpuhkan brand RS bermerek internasional tersebut. Bahkan di mesin
pencari dunia maya, nama Prita dan RS Omni mempunyai hit tinggi, tentu
saja dengan tendensi negatif dan destruktif. Saat ini bisa kita lihat
dampak dari krisis komunikasi yang tak terbayangkan sebelumnya.

Butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan recovery karena
kini RS itu menjadi musuh publik. Tingkat kepercayaan tentu langsung
turun, bahkan DPR meminta izinnya dicabut. Bayangkan ini: orangtua
sebuah keluarga yang lewat di depan RS itu akan menggunjing dan didengar
anak-anak mereka, yang akan terus diingat. Lengkaplah penderitaan itu.

Salah Langkah

Sejak awal RS Omni memakai paradigma yang salah dalam menangani
persoalan, yaitu dengan paradigma palu dan paku.Oleh RS Omni, pasien
hanya dianggap sebagai “paku kecil” yang perlu “digetok” lantas beres
masalahnya. Kesalahan ini bisa dianggap makin fatal jika benar dalam
menggetok itu RS Omni mendapatkan masukan dari penasihat hukum atau
dukungan aparat penegak hukum.

Kasus ini sebenarnya tidak perlu berujung menistakan RS Omni jika RS itu
punya manajemen komunikasi (public relation/PR) yang berjalan dengan
baik karena bagaimanapun layanan jasa itu menyangkut kepuasan orang.Di
sini bisa kita lihat bukannya fungsi PR yang mengemuka, melainkan fungsi
hukum. Padahal harusnya keduanya berjalan bersama jika terjadi krisis
komunikasi.Wajar RS Omni tidak bisa menghitung ancaman yang bakal
terjadi jika sampai memasukkan Prita ke penjara. Pikirannya pun
sederhana, dengan mengirim Prita ke penjara,semua orang akan jera dan
tidak akan main-main lagi menistakan RS Omni.

Pendekatan yang dipakai Omni juga lebih terasa kental sebagai pendekatan
perusahaan daripada pendekatan RS yang lebih mementingkan servis dan
pelayanan yang excellent. Maka harus dimaklumi jika publik kemudian
marah. Bisakah Anda bayangkan, besarnya impact yang ditimbulkan dari
siaran langsung televisi yang mengetengahkan Prita yang menangis karena
kangen anak-anaknya? Dahsyatnya pula,TV menayangkan gambar dua anak itu
yang seperti itik kehilangan induk.Hati siapa yang tidak tergedor, siapa
pula yang tidak mengumpat RS Omni? Pada kasus ini, jangan membicarakan
yang rasional. Karena rasionalitas pasti tidak jalan.

Publik sudah marah dan ketika marah, publik kehilangan rasionalitasnya,
yang ada hanya satu kata: “lawan”. Karena itu, sikap gagah-gagahan
dengan menyerahkan semuanya kepada hukum untuk menindak aparat yang
terbukti tidak profesional sama dengan penyataan bunuh diri.Suasana
makin buruk ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga tidak membela RS
Omni karena rekam jejak kesehatan adalah hak pasien. Dalam kondisi
krisis seperti ini, komunikasi yang terjadi menjadi invalid sehingga
perlu penanganan khusus.

Misalnya RS Omni sangat yakin bahwa pihaknya berada dalam posisi yang
benar, padahal sebagai dokter yang juga manusia, masih mungkin mereka
salah. Ini yang membuat publik makin geregetan. Mereka hanya menyerahkan
masalah ini pada hukum yang berlaku.Tidak ada sifat rendah hati dan maaf
yang tecermin dalam klarifikasi di media (atau mungkinkah media juga
marah)? Antipati publik merupakan respons alami yang bisa dijelaskan.
Publik seketika akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Prita yang
merupakan cerminan warga kebanyakan.

Dapat kita lihat betapa banyak ibu-ibu penggemar Facebook yang merasa
terancam. Berbagai pertanyaan membayangi pikiran mereka seperti apakah
saya dan keluarga saya aman bila berobat ke sana? Apa yang bisa saya
lakukan untuk melindungi diri dan keluarga saya? Siapa yang menyebabkan
semua ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk Prita?

Krisis Komunikasi

Jika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di RS itu, kasus
semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun
ikon kebesaran RS tersebut.Biayanya tentu jauh lebih murah daripada
beriklan.

Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan RS melihat bahwa
Prita bisa menjadi “agen kebaikan”dari RS tersebut. Tetapi ini memang
tidak mudah karena diperlukan kecerdasan PR, sebuah kecerdasan yang
dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan
out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan
memecahkan masalah yang paling pelik pun.Ujungnya tentu saja melindungi
imej perusahaan dari kejadian- kejadian yang tidak diinginkan.

Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya RS
melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang
akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi PR
berjalan,yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi
persoalan agar tidak sampai membuat imej atau nama baik perusahaan
terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya
mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus
dijalankan. Pada saat itu “teman”terdekat seorang PR adalah media.

Karena media berhubungan langsung kepala publik, itulah pintu yang
paling lebar yang harus dijaga. Dari pintu itu pula semua persoalan
di-manage sedemikian rupa sehingga semua under control. Tantangan bidang
kerja PR dan fungsi PR bisa amat sangat berat. Karena targetnya mengacu
pada membangun image dan mempertahankannya. Bagi perusahaan yang mapan
dan sadar imej,apa pun dilakukan untuk menyelamatkan imej korporasi mereka.

Karena mereka sadar,bila sudah jatuh,akan sulit membangunnya kembali.
Sering kali di sinilah dibutuhkan pemikiran yang lateral tadi, pemikiran
yang tidak biasa dan terobosan-terobosan untuk sebuah kemenangan
branding.Contohnya, bagaimana KPK yang superbody itu goyang dihantam
krisis Antasari. Sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, apakah Anda
melihat KPK masih sama seperti dulu atau sedikit berubah? Kasus-kasus
krisis komunikasi semacam ini memang perlu ditangani secara
extra-ordinary. Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis
komunikasi.

Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi
seharusnya adalah orangorang yang sangat paham dengan media, punya
keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap
perubahan mendadak di lingkungannya.Konsultan komunikasi sama pentingnya
dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu. Ada
sebuah cerita. Suatu saat maskapai penerbangan Jepang Japan Airlines
(JAL) mengumumkan membatalkan penerbangan dari San Fransico, AS, ke
Jepang karena pesawat rusak oleh badai salju.

Semua penumpang dipindahkan dan hampir semua penumpang menerima dengan
senang hati.Namun ada seorang ibu yang tidak mau dan ngototakan menunggu
perbaikan pesawat JAL hingga selesai.Akhirnya manajemen mengabulkan
penerbangan ibu yang dari muda selalu naik JAL itu. Hanya saja sekarang
dia di-upgrade di kelas bisnis sambil ditemani wartawan! Bayangkan apa
yang terjadi.(*)

Luthfi Subagio
PR Consultant, Tinggal di Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/245818/
Share this article :

0 komentar: