BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menyambut DPR Kaum Muda

Menyambut DPR Kaum Muda

Written By gusdurian on Sabtu, 13 Juni 2009 | 14.05

Menyambut DPR Kaum Muda


*M Fadjroel Rachman*

Pasca-Pemilu Legislatif 2009, kaum muda menguasai 63,2 persen DPR meski
penggembosan dan penggelembungan daftar pemilih tetap menjadi catatan
hitam lima tahun ke depan.

Dari penelusuran Kompas (26/5), 560 anggota DPR yang akan dilantik pada
1 Oktober 2009 yang berusia 25-50 tahun cenderung membesar. Tercatat
sebanyak 38,8 persen tahun 1999-2004, 49,0 persen (2004- 2009), dan 63,2
persen (2009- 2014).

Sedangkan anggota DPR usia 50 tahun lebih cenderung menurun. Ada 57,5
persen tahun 1999- 2004, 50,6 persen (2004-2009), dan 36,1 persen
(2009-2014). Selain itu, tingkat pendidikan tinggi yang disandang calon
anggota juga meningkat. Pascasarjana sebesar 18,6 persen (1999-2004),
33,6 persen (2004-2009), dan 41,1 persen (2009-2014). Sarjana 56,3
persen (1999-2004), 49,1 persen (2004-2009), dan 49,5 persen
(2009-2014). Berarti profil DPR periode 2009-2014 mengalami (1)
regenerasi keanggotaan DPR, (2) embrio DPR kaum muda generasi kedua
pascareformasi, serta (3) perbaikan dan kenaikan tingkat pendidikan.

*Habitus semidemokrasi*

Seharusnya regenerasi DPR dan meningkatnya pendidikan menjadi pertanda
baik untuk keberlanjutan demokrasi, sebagaimana dicatat Samuel P
Huntington, (Gelombang Demokratisasi Ketiga, 1995). Di Jerman dan
Jepang, warga negara berusia lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi
menunjukkan sikap lebih prodemokrasi. Hanya 2 persen warga negara Jerman
yang memilih republik federal yang baru (1950), bahkan 30 persen
mengatakan akan mendukung atau acuh tak acuh terhadap upaya Partai Nazi
baru untuk merebut kekuasaan, lalu tahun 1959 dukungan terhadap republik
federal menjadi 42 persen dan memuncak 81 persen tahun 1970.

Artinya, demokrasi berkembang sejalan dengan perubahan generasi dan
terciptanya lingkungan demokratis sebagai habitus warganya. Namun pada
2009-2014, partai politik dan lingkungannya masih semidemokratis.
Sejumlah parpol yang lolos ke DPR masih antipenegakan dan pengadilan
HAM, bahkan koalisi parpol pasangan capres- cawapres untuk pemilu
presiden 8 Juli 2009 meninggalkan pendekatan HAM sebagai basis penentuan
koalisi dan platform kerja koalisi.

Dalam habitus semidemokrasi, dapatkah embrio DPR kaum muda menuntaskan
transisi dan konsolidasi demokrasi? Transisi demokrasi adalah sebuah
tahapan antara dari sistem antidemokrasi ke sistem demokrasi. Tahapan
antara itu mensyaratkan sejumlah agenda, arena, regulasi, dan aktor yang
dapat menjamin berakhirnya sistem antidemokrasi dan berkelanjutannya
perkembangan sistem demokrasi.

Tahap transisi demokrasi mensyaratkan diskontinuitas terhadap tahap
otoriter/totaliter yang antidemokrasi, sedangkan tahap sistem demokrasi
yang diperluas dan diperdalam mensyaratkan kontinuitas dengan transisi
demokrasi. Secara sederhana, ketiga tahapan itu adalah, pertama, tahap
otoriter/totaliter sistem antidemokrasi; kedua, tahap transisi
demokrasi; ketiga, tahap sistem demokrasi berkelanjutan yang diperluas
dan diperdalam.

Pada tahap transisi demokrasi, arena apa saja yang harus dikonsolidasi?
Kata Juan J Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic
Transition and Consolidation (1996), ada lima arena utama konsolidasi
demokrasi modern: (1) civil society; (2) political society; (3) rule of
law; (4) state apparatus; dan (5) economic society.

*Demarkasi demokrasi*

Tahap transisi selalu memiliki agenda demarkasi demokrasi dan
antidemokrasi, umumnya berpusat pada konstitusi antidemokrasi, kejahatan
HAM, kejahatan KKN, dan pemilu curang. Karena itu harus dibentuk (1)
konstitusi demokrasi, (2) komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR), (3)
pengadilan HAM, (4) komisi antikejahatan KKN, dan (5) pemilu jujur dan
adil. Amandemen UUD 1945 Kelima seharusnya adalah upaya membuat
konstitusi demokrasi menyeluruh, demokratis, dan progresif, idealnya
dilakukan Komisi Konstitusi Independen di Filipina atau Afrika Selatan.
Agendanya termasuk menyetarakan wewenang DPD dan DPR, membolehkan capres
independen selain capres parpol/gabungan parpol, serta menyerap
pendekatan HAM, ekologi, dan demokrasi secara utuh.

Bersediakah ”embrio” DPR kaum muda melakukan amandemen UUD 1945 Kelima?
Bersediakah membuat undang-undang untuk menghentikan swastanisasi BUMN,
minyak, gas dan sumber daya alam lain, menasionalisasi/merenegosiasi,
serta menetapkan reformasi agraria/perburuhan dan pajak progresif?

Agenda transisi lainnya, membuat kembali UU KKR yang berpihak kepada
korban, merevisi kewenangan KPK membongkar KKN prareformasi (Soeharto,
keluarga, dan kroni) serta pascareformasi atau membentuk lembaga seperti
Presidential Commission on Good Government di Filipina untuk mengejar
harta KKN Marcos, keluarga, dan kroni.

Dalam konsolidasi aparatus negara, tentu merujuk pada reformasi dan
reorganisasi birokrasi, TNI dan Polri. TNI dan Polri profesional berarti
melepaskan fungsi teritorial, bisnis, dan menempatkan TNI di bawah
Departemen Pertahanan serta Polri di bawah Departemen Dalam Negeri.
Termasuk memfokuskan TNI Angkatan Laut sebagai ujung tombak pertahanan
Indonesia sebagai negara maritim.

*DPR/presiden muda*

Perubahan generasi sekaligus perubahan paradigma yang berjalan kini
secara perlahan dapat melengkapi persyaratan penuntasan agenda, arena,
regulasi, dan aktor transisi demokrasi sehingga tercapai tahap demokrasi
dan habitus demokrasi. Lahirnya ”embrio” DPR kaum muda 2009 ini
melahirkan sikap positif skeptis-optimistis untuk penuntasan transisi
dan konsolidasi demokrasi. Bila integritas moral dan intelektual serta
keberpihakan pada si miskin dan tertindas terjaga baik, pada 2014 secara
serentak akan muncul DPR kaum muda dan presiden kaum muda.

Di tengah habitus semidemokrasi yang dilengkapi godaan masif kekuasaan,
harta, dan pengkhianatan, saat berakhir masa jabatan, mereka harus dapat
membayangkan akan ada intelektual yang menulis, seperti Harsya W
Bachtiar menulis teladan Soe Hok Gie, ”Di tengah pertentangan politik,
agama, dan kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip
perikemanusiaan dan keadilan serta secara jujur dan berani menyampaikan
kritik atas dasar prinsip itu demi kemajuan bangsa”.

/*M Fadjroel Rachman* Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/04431935/menyambut.dpr.kaum.muda
/
Share this article :

0 komentar: