BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kerjasama Indonesia-Jepang Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Written By gusdurian on Jumat, 13 Maret 2009 | 15.19

Kerjasama Indonesia-Jepang Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit



Tokyo, CyberNews. Kebesaran Kerajaan Majapahit menarik perhatian para arkeolog dan kalangan akademisi Jepang, apalagi kedua negara juga meyakini bahwa hubungan Indonesia - Jepang sudah berlangsung sejak zaman keemasan kerajaan terbesar di Indonesia tersebut.

Adanya hubungan sejarah tersebut perlu dipertegas melalui berbagai kegiatan kerjasama yang bisa membuktikan sejarah kedekatan hubungan tersebut, apalagi kedua kerajaan juga diyakini tidak pernah bisa ditaklukkan oleh kekaisaran China, demikian kesimpulan dalam seminar yang berlangsung di Tokyo, Kamis.

"Adanya hubungan dengan kerajaan Jepang didasarkan pada temuan di situs Trowulan berupa barang pecah belah buatan kerajaan Jepang pada abad ke-13," kata arkeolog Indonesia I Made Kusumajaya, yang tampil sebagai pembicara pertama.

Dari situs itulah, katanya, banyak ditemukan baran-barang pecah belah lainnya dari Jepang yang terbuat dari porselen. Situs Trowulan, di Mojokerto, Jawa Timur, merupakan bekas ibukota Kerajaan Majapahit, dan kini terus dilakukan penggalian terhadap situs tersebut guna menemukan bukti-bukti lainnya.

Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir di semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Peneliti dari Ditjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata itu mengatakan, sejarah kebesaran Majapahit dan hubungannya yang jauh sampai ke beberapa negara, seperti Jepang, perlu dibuktikan lagi melalaui penggalian situs ataupun penemuan bukti-bukti sejarah lainnya.

Selain dengan Jepang, kebesaran Kerajaan Majapahit juga bisa dilihat dari "hubungan diplomatiknya" yang luas dengan kerajaan-kerajaan lain di kawasan Asia, mulai dari Kerajaan Campa, Kamboja, Siam (Thailand), Birma (kini Myanmar), Vietnam, dan China.

Sementara itu, Rektor Tokyo University of the Arts Ryohei Miyata mengatakan, ada banyak makna yang bisa dipetik dari mempelajari sejarah Kerajaan Majapahit, yaitu kebudayaan dan kebesaran kerajaan-kerajaan di Asia.

Dari sini, katanya, bisa diperoleh pengertian yang mendalam dan kerjasama bagi upaya peningkatan hubungan kedua negara di masa depan. Itu sebabnya upaya-upaya untuk menggali peninggalan Kerajaan Majapahit perlu terus dilakukan.

"Akan bisa ditemukan kesamaan-kesamaan di antara Kerajaan Majapahit dan Jepang. Di Jepang sendiri sebagian besar bukti-bukti mengenai kerajaan Jepang sudah berhasil ditemukan, sedangkan di Indonesia masih sangat kurang," kata Miyata.

Ia juga mengatakan perlunya Jepang membantu setiap upaya penelitian dan penggalian bukti-bukti sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia, khususnya Kerajaan Majapahit.


Kapal Majapahit

Jepang sendiri merencanakan akan membantu pembuatan kapal yang biasa dipakai kerajaan Majapahit untuk berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Asia.

"Kapal ini nantinya persis seperti yang dibuat pada zaman Majapahit dulu, tidak ada paku besinya ataupun skrup-nya," kata tokoh masyarakat pendukung pertukaran kebudayaan Indonesia-Jepang Luluk Sumiarso.

Menurut Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu, kapal itu nantinya akan melakukan pelayaran ke Jepang untuk menjadi simbol kedekatan hubungan yang sudah terjalin sejak abad 13.

Abad 13-14 merupakan masa-masa kejayaan Kerajaan Majapahit yang berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 Masehi.

Kapal ini nantinya juga menjadi bukti terjalinnya hubungan yang kuat antara Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan besar lainnya di Asia.

(Ant /smcn)



http://suaramerdeka.com/

Koruptor Tak Bisa Menjabat Lagi

Koruptor Tak Bisa Menjabat Lagi
JAKARTA - Mahkamah Agung berpendapat kepala daerah yang divonis bersalah dalam perkara korupsi tidak dapat menjabat kembali setelah menjalani hukumannya. Pendapat hukum tersebut disampaikan menjawab permintaan fatwa yang diajukan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto.

"Kalau seorang bupati melakukan korupsi dan divonis bersalah, menurut kami, sudah tidak mungkin (menjabat) lagi. Tidak layak," kata Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Abdul Kadir Mappong di gedung Mahkamah Agung kemarin.

Mappong mengatakan pendapat hukum yang berdasarkan permintaan Menteri Dalam Negeri itu dibahas dalam rapat pimpinan Mahkamah Agung kemarin. Pendapat resmi Mahkamah Agung ini akan segera dikirim ke Menteri Mardiyanto.

Menurut Mappong, Menteri meminta pendapat hukum Mahkamah Agung karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Minahasa Utara meminta Bupati Minahasa Utara Vonnie Aneke Panambunan diaktifkan kembali sebagai bupati. Anggota Dewan berpendapat Vonnie harus diaktifkan kembali karena kasus korupsi yang menjeratnya terjadi sebelum dia menjabat Bupati Minahasa Utara.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 16 Mei 2008 memvonis Vonnie 18 bulan penjara. Dia didenda Rp 100 juta atau tambahan kurungan tiga bulan karena terbukti korupsi proyek studi kelayakan Bandar Udara Loa Kulu di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dia juga diharuskan membayar uang pengganti Rp 4,006 miliar.

Menurut Mappong, sesuai dengan ketentuan undang-undang, seseorang yang dihukum karena melakukan korupsi atau tindak pidana terorisme tidak dapat duduk sebagai kepala daerah. "Jadi tidak perlu dipertimbangkan. Tidak bisa lagi," ujarnya.

Dia mengatakan, jika telah memiliki kekuatan hukum tetap, bupati tersebut dapat langsung diberhentikan dari jabatannya. Sedangkan saat menjalani proses hukum, kepala daerah yang terlibat korupsi dinonaktifkan dari jabatannya. "Mekanisme pemberhentiannya kita serahkan kepada Mendagri," ujar Mappong.

Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa dalam kesempatan yang sama mengatakan pemerintah pusat dapat langsung memberhentikan kepala daerah yang telah divonis bersalah tersebut. "Bisa diberhentikan tanpa melalui DPRD," ujarnya. SUTARTO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/13/Nasional/krn.20090313.159434.id.html

Era Politik Garing

Era Politik Garing
Dimas Oky Nugroho
MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL UNIVERSITY OF NEW SOUTH WALES, AUSTRALIA

Salah seorang kemenakan saya yang baru masuk kuliah tahun lalu menjawab pertanyaan yang saya ajukan, apakah ia akan memilih pada pemilu mendatang. Jawabannya mengalir gaul, tapi tegas dan bermakna dalam. "Enggak, Om. Golput aja. Politik kita garing ah, males." Menjelang Pemilu 2009 ini ancaman tingginya angka golput telah menjadi hantu paling menakutkan bagi segenap masyarakat politik Indonesia. Di sejumlah pemilihan gubernur yang berlangsung sepanjang tahun lalu, seperti di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, terbukti hasil sesungguhnya hanya menunjukkan golput sebagai pemenang.

Ketika hampir semua elite politik sibuk mencalonkan diri dan bernegosiasi membangun koalisi, sebuah lembaga survei terkemuka baru-baru ini mengeluarkan hasil penelitiannya yang menunjukkan tingginya angka pemilih yang belum memutuskan atau mengasosiasikan pilihannya pada pemilu mendatang. Sulit memberi kepastian apakah para pemilih bimbang ini baru akan memutuskan saat hari H pemilu berlangsung. Atau malah sebaliknya, kebimbangan berubah menjadi keengganan untuk datang ke kotak suara. Golput menjadi hantu karena sesungguhnya dia telah menjadi cermin kegagalan politik mendapatkan dukungan dari rakyatnya sendiri. Namun, tak sedikit yang mengambil sikap “buruk rupa, cermin dibelah”.

Sejarah
Per teori, sebuah rezim politik apa pun bentuk dan cita-citanya mutlak membutuhkan dukungan dan legitimasi dari rakyatnya. Agar politik dapat berkelanjutan, ketersediaan segenap masyarakat politik harus linier dengan kontribusi positif mereka untuk memenuhi harapan kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Berkaca dari masa lalu, negara-bangsa ini mustahil terbangun jika saat itu sosok-sosok kepemimpinan politik transformatif tak hadir dalam masyarakat. Para aktivis politik, kaum terpelajar ini, meski heterogen dan memiliki banyak kendala historis, merujuk Latif (2005), telah berhasil menemukan kode “Indonesia”, mempersatukan sekat-sekat perbedaan melampaui kelas, status, suku, ideologi, dan politik yang beragam. Hanya melalui kerja-kerja politiklah “orang-orang yang di persimpangan kiri dan kanan jalan” ini berhasil membangun passion cita-cita bersama, merekatkan solidaritas dan dukungan rakyat, atau--meminjam Mouffe--membangun sebuah social imaginary baru, yakni kemerdekaan. Kerja-kerja politik ini “menyejarah” karena dibangun di atas basis perjuangan yang konsensual dan inspiratif, tercipta dan terpelihara melalui proses dialektika politik yang dijalankan oleh para agensinya yang kreatif, penuh virtue, dalam meresapi dan membingkai “suasana kebatinan”, kondisi historis, kebutuhan dan cita-cita rakyatnya.

Pelajaran yang bisa diambil dari periode ini tak lain adalah bahwa politik dan diskursus yang menopangnya tidak berada dalam ruang hampa. Ia bukan konsepsi statis yang menjadi mantra sakti yang anti-kontestasi dan anti-politik. Pluralisme politik yang dipilih para pemimpin kita pada masa itu tidak hendak mengeksklusi kepelbagaian yang mutlak menjadi karakter dasar republik ini. Politik yang dipraktekkan saat itu tentu saja bukan politik pencitraan ataupun dagang sapi, melainkan--meminjam Mouffe (1993)--politik yang disandarkan pada tiga pilar utamanya, yakni citizenships, community, dan pluralism. Ini berbeda ketika era Demokrasi Terpimpin yang melalui diskursus revolusinya telah membungkam politik. Saat rezim Orde Baru berkuasa, politik malah semakin terdestruksi, mengalami “efisiensi” demi tampilnya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Perdebatan politik adalah barang haram, oposisi dan kritisisme dinihilkan, ideologi dimusnahkan. Emansipasi politik terkekang, masyarakat sipil rapuh dan mengambang, serta pluralisme ditabukan.

Walhasil, era pasca-Orde Baru hanya bercerita tentang betapa sulitnya merebut kembali makna politik tadi sekaligus merumuskan visi dan kode perjuangan “baru” dalam konteks euforia liberalisme politik-ekonomi setelah puluhan tahun tertindas. Lemahnya visi kepemimpinan politik dan ekonomi membuat bangsa besar ini menjadi liminal di era transisi dan limbung dalam tekanan politik internasional, seiring dengan lemahnya independensi dan ketahanan nasional hampir di semua sendi negara-bangsa. Meski pemerintah SBY-JK banyak dipuji, dianggap mampu membangun stabilitas politik-pemerintahan, hadirnya stabilitas dan institusionalisasi tersebut sesungguhnya merupakan kulminasi dari upaya pemerintah-pemerintah sebelumnya.

Transformasi
Penting untuk dicatat, aspek kesejahteraan rakyat malah semakin jauh terpinggirkan. Demokrasi, yang menurut Eric Aarons dalam bukunya What's Right? (2003) diukur sebagai "sebuah sistem yang mengutamakan penghormatan atas universalitas kemanusiaan (common humanity) dan harkat kemanusiaan (human dignity), pemenuhan standar minimum kesejahteraan sosial, hak-hak dasar, kesempatan, dan keadilan", tak menunjukkan progresnya di bawah pemerintah saat ini. Politik mendangkal menjadi bagi-bagi proyek kekuasaan sekaligus pencitraan dalam kontur demokrasi liberal berorientasi pasar. Ia tidak dikhidmatkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat banyak. Meningkatnya kepemilikan pribadi, misalnya, tak disertai dengan pemenuhan atau keberpihakan negara atas fasilitas publik ataupun public property yang memadai. Meminjam Mouffe dan Laclau, situasi seperti ini menunjukkan masyarakat politik yang gagal memproduksi passion, gairah, harapan, sekaligus keyakinan, sebuah new social imaginary yang seharusnya dapat diciptakan oleh segenap kepemimpinan politik demi kelangsungan politik itu sendiri.

Lantas lawan yang paling membuat cemas bagi demokrasi, bahkan nasionalisme kita, sesungguhnya bukan primordialisme kedaerahan sebagaimana yang dikhawatirkan Presiden SBY beberapa saat yang lalu. Tantangan tak hanya globalisasi dan neo-liberalisme semata. Musuh konkret sesungguhnya adalah apatisme dan frustrasi rakyat sendiri, khususnya kaum muda, terhadap politik. Ketika rakyat jenuh, tak peduli, gejala awal yang muncul adalah bentuk resistansi rakyat, sebuah “weapons of the weak” meminjam Scott, ketidakpedulian terhadap apa pun yang berbau politik.

Mari belajar dari kemenangan Barack Obama, yang kepemimpinan politiknya berhasil membawa harapan dan passion baru terhadap politik, dan mendapatkan kembali dukungan rakyat serta kaum muda Amerika. Krisis politik Indonesia kontemporer diakibatkan oleh miskinnya ide-ide serta agenda transformatif yang seharusnya dapat diproduksi dan direproduksi oleh para agensi-nya. Diskursus dan agenda politik kontemporer gagal menyelami “suasana kebatinan” rakyat, terperangkap dalam retorika dan janji-janji, hadir tanpa virtue dan ideologi, menjauh dari solusi persoalan aktual-depan-mata: kemiskinan, ketidakadilan, buruknya pelayanan publik, serta korupsi yang mewabah. Tampaknya, di atas empat tema kritis inilah sesungguhnya masa depan demokrasi dan nasionalisme kita sedang dipertaruhkan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/13/Opini/krn.20090313.159399.id.html

Sang Nabi Sebagai Pemimpin Sejati

Sang Nabi Sebagai Pemimpin Sejati
Maksun
DOSEN FAKULTAS SYARI'AH IAIN WALISONGO, SEMARANG

Rasanya terlalu sulit mencari figur pemimpin yang dapat menjadi panutan sekarang ini. Kita memang tengah mengalami krisis panutan. Sejarah telah membuktikan hal itu. Sejak merdeka 63 tahun silam, bangsa ini tampaknya selalu tidak becus dalam memilih pemimpin. Kita pun tak pernah memiliki pemimpin sejati. Pemimpin yang memiliki visi membangun bangsa ke depan dan berhenti memimpin dengan manis (happy ending). Mengapa itu semua terjadi? Di samping karena benturan kepentingan (vested of interest), egoisme, dan ambisi politik yang tak lagi memperhatikan suara hati nurani dan aspirasi publik, tampaknya para pemimpin kita selama ini tidak memahami hakikat amanah kepemimpinan yang diembannya. Mereka lupa terhadap nilai esensial sebuah kepemimpinan. Bahkan telah mengabaikan makna filosofis yang selalu melekat pada amanah kepemimpinan. Jauh dari idealitas kepemimpinan yang diteladankan sang Nabi (QS. Al-Ahzab: 21).

Lalu, prinsip-prinsip kepemimpinan apa saja yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berhasil memimpin negara Madinah hingga menjadi negara yang demokratis, tata tentrem kerta raharja, padahal beliau tidak dilengkapi sarana eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sebagaimana tren negara modern? Ada beberapa prinsip kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi yang cukup relevan untuk dijadikan panutan bangsa ini.

Pertama, prinsip khilafah yang menuntut kesadaran teologis seorang pemimpin bahwa ia harus memerankan diri sebagai mandataris Tuhan di muka bumi, dengan tugas pokok memakmurkan bumi dan mewujudkan sebesar-besarnya kemaslahatan bagi alam semesta (rahmatan lil'alamin). Dalam kamus politik Nabi, kepemimpinan bukanlah merupakan suatu tujuan, bukan kenikmatan, dan juga bukan fasilitas. Karena kepemimpinan bukan suatu tujuan, kepemimpinan harus kita pahami hanya sebatas sebagai wasilah (sarana) untuk mewujudkan tujuan diselenggarakannya kehidupan, yaitu terciptanya keadilan masyarakat.

Kepemimpinan juga bukan suatu kenikmatan, tetapi ia adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai kenikmatan umum. Bukan kenikmatan kelompok, golongan, apalagi kenikmatan pribadi. Kepemimpinan juga bukan fasilitas, tetapi ia adalah strategi kebijakan publik yang harus dijalankan seorang pemimpin demi menyediakan sebanyak mungkin fasilitas umum dan fasilitas sosial bagi kemaslahatan orang banyak.

Kedua, prinsip al-amanah. Prinsip ini sangat bertalian dengan mekanisme pertanggungjawaban kepemimpinan. Artinya, kepemimpinan tidak semata-mata dilihat dari pencapaian prestasi terukur seorang pemimpin, tetapi juga berkelit-kelindan dengan tata cara bagaimana prestasi itu dapat diraih, yang kemudian akan ditimbang kadar kejujuran pencapaiannya dalam pertanggungjawaban vertikal yang melibatkan "mata" Tuhan yang tembus pandang dan "intervensi" Tuhan yang tak mungkin diajak berkompromi. Karena kepemimpinan itu suatu amanah, dalam meraihnya harus dengan cara yang hak, fair, jujur, dan tidak menabrak hukum, sehingga praktek kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik dan benar.

Ketiga, prinsip al-'adalah (keadilan). Sebagai konsekuensi dari prinsip al-amanah, pemimpin harus bersikap adil. Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya terhadap pihak-pihak yang seideologi dan seaspirasi dengan kita, tapi juga terhadap mereka yang berseberangan baik secara ideologis maupun politis. Dalam aspek politik, misalnya, Nabi mengakomodasi seluruh kepentingan. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku, kelompok etnis, atau agama. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi. Sementara itu, dalam aspek ekonomi, Nabi mengaplikasikan ajaran egalitarianisme. Yakni, pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS.17:26;59:7).

Di samping faktor politik dan ekonomi, hal sangat mendasar yang ditegakkan Nabi adalah supreme of court (konsistensi hukum). Sebagai sejarawan ulung, Nabi memahami bahwa aspek hukum sangat urgen dan signifikan kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Karena itulah Nabi tidak pernah membedakan "kalangan atas", "orang bawah", atau keluarganya sendiri. Dalam sebuah hadis, Nabi pernah memberikan peringatan dini bahwa: "Kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah, karena jika 'orang atas' (al-sharif) melakukan kejahatan dibiarkan, namun jika 'orang bawah' (al-dha'if) pasti dihukum." Peringatan dini Nabi itu mengisyaratkan bahwa keadilan yang berhasil ditegakkan akan mengantarkan terjadinya pencerahan peradaban. Sebaliknya, kekacauan, kekerasan, dan kejahatan akan mencabik dan mengoyak kehidupan masyarakat (bangsa), manakala hukum dan keadilan "dimatikan".

Keempat, prinsip keterbukaan (inklusivisme). Menurut mendiang Cak Nur (1996), inklusivisme adalah suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimistis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS.7:172 dan QS.30:30), sebelum terbukti sebaliknya. Inklusivisme adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Inilah yang dipraktekkan Nabi ketika memimpin negara Madinah. Tidak jarang beliau mendengar dan menerima kritik dari para sahabatnya, terlebih sahabat Umar bin Khathab yang terkenal sebagai kritikus ulung. Sahabat Umar pun tidak dianggap sebagai rival, makar (bughat), antikemapanan (contra-establishment), apalagi ekstrem kanan oleh Nabi, meskipun berbagai kritik tajam menerpa beliau.

Walhasil, ke depan jelas bangsa ini butuh pemimpin sejati. Bukan pemimpin yang hanya pintar tebar pesona tapi miskin karya. Bukan pemimpin bak “gasing” atau “yoyo”. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang mau mendengar segala keluh-kesah rakyatnya. Pemimpin yang mempunyai keteguhan prinsip dan hati nurani. Pemimpin yang sadar bahwa hidup dengan segala bentuk pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas di dunia ini. Tetapi, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ada kehidupan di dunia lain yang juga menuntut pertanggungjawaban serupa, yaitu kehidupan akhirat. Inilah prinsip-prinsip kepemimpinan yang dipraktekkan oleh Nabi SAW dan harus kita teladankan.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/10/Opini/krn.20090310.159103.id.html

Karut-marut Dana Kampanye

Hampir seluruh partai politik (parpol) telah menyerahkan rekening khusus dana kampanye.


Dalam batas akhir seminggu sebelum dimulainya kampanye dalam bentuk rapat umum, mereka telah menyerahkan rekening yang dimaksudkan dalam Pasal 134 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD,dan DPD,yakni rekening khusus yang memaparkan laporan awal dana kampanye pemilu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tiap tingkatan.

Menarik. Ada partai besar dengan jumlah dana sangat kecil, sedangkan ada partai baru (kecil) dengan dana terbesar. Hal lain, ada partai yang telah jorjoran dalam belanja kampanye media,tetapi hanya melaporkan jumlah dana kampanye yang sangat kecil jika dibanding dengan taksiran yang telah dikeluarkan. Hal yang seakan menggambarkan tidak adanya kerelaan atas kewajiban untuk melengkapi semua hal tersebut.

Aturan Dana

Karenanya, pertanyaan terbesarnya adalah mengapa kebanyakan parpol hanya menyetorkan rekening khusus? Hanya menyetorkan hal yang tidak lengkap secara keseluruhan? Padahal, jika ditelisik, aturan tersebut menyatakan dua hal yang harus diserahkan, yakni laporan dana awal kampanye dan rekening khusus dana kampanye. Praktis, hanya ada enam parpol yang melaporkannya secara lengkap.

Mudah ditebak, transparansi dana kampanye ini memang terkendala oleh aturan hukum yang tidak rapi menjelaskan pembedaan antara laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye. Harus diingat, dalam laporan awal dana kampanye,boleh jadi itu dalam bentuk natura dan/atau jasa selain dalam bentuk uang. Dana kampanye dalam bentuk uang kemudian harus ditempatkan di dalam rekening khusus dana kampanye sebagaimana yang diatur Pasal 129 ayat (4). Adapun laporan dana awal kampanye melaporkan keseluruhan yang jauh lebih luas, yakni termasuk barang dan/atau jasa.

Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 sebagai penatalaksanaan UU No 10 Tahun 2008 ini memang menegaskan kewajiban memberikan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus kampanye. Namun lebih lanjut karena ketidakjelasan pembedaan antara kedua hal yang harus dilaporkan tersebut, terjadi pengerdilan makna tentang laporan awal dana kampanye menjadi hanya rekening khusus dana kampanye. Hal yang kemudian diterjemahkan oleh parpol dengan hanya melaporkan rekening khusus dana kampanye. Hasilnya memang yang terlihat saat ini.

Laporan kebanyakan merupakan hal yang tidak lengkap. Hanya sekadarnya dan sama sekali tidak mendalam. Walau kita memang meragukan kesungguhan transparansi dana kampanye parpol, hal ini juga karena adanya sumbangsih dari KPU. KPU-lah yang kemudian tidak mampu menjelaskan secara detail dan terperinci mengenai laporan dana kampanye melalui Peraturan KPU No 1 Tahun 2009.

Dana Caleg?

Malah Peraturan KPU No 1 Tahun 2009 yang dikeluarkan tanggal 6 Februari 2009 ini juga gagal mengantisipasi Putusan MK atas Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008. Dalam Putusan tersebut, MK telah menginvalidasi Pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 dan membawa implikasi yang besar.

Salah satunya, putusan MK tersebut telah membawa implikasi pergeseran paradigmatik dari paradigma nomor urut menjadi suara terbanyak. KPU seharusnya tidak melupakan bahwa paradigma yang dibawa oleh MK telah menggeser peran besar parpol untuk kemudian berbagi dengan caleg.Hal ini bukannya tidak berimplikasi pada dana kampanye. Jika dulunya parpol menjadi penting sehingga seluruh dana kampanye diserahkan ke parpol, kini dengan model suara terbanyak, kebanyakan caleg bermain sendiri-sendiri, bahkan cenderung lepas sama sekali dari parpol.

Adalah logika yang sangat keliru jika hanya mengawasi dana kampanye melalui rekening-rekening parpol, padahal pada saat yang sama dimensi pemilunya telah tergeser menjadi pertarungan caleg dengan rekening para caleg masing-masing. Dalam pertarungan antarcaleg,dana pribadi atau orang per orang menjadi andalan utamanya.Sayangnya,dana pribadi atau orang per orang yang digunakan dalam kampanye ini tidak jelas akan perihal pengauditannya, bahkan juga tidak jelas batasannya.

Karena batasan sejumlah nominal tertentu yang ada dalam Pasal 131 ayat (1) dan (2) hanya berlaku kepada partai dengan membacanya bersamaan dengan Pasal 129 ayat (1), yakni ”Kegiatan kampanye pemilu anggota DPR,DPRD provinsi,dan DPRD kabupaten/kota didanai dan menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu masing-masing.” Pengauditan juga masih berbicara di tingkat parpol dan bukan orang per orang. Pengauditan hanya dilakukan pada dana kampanye yang dikeluarkan oleh parpol,sedangkan orang per orang hanya untuk DPD.

Dengan ketiadaan aturan mengenai dana kampanye orang per orang yang non-DPD, aroma busuk dana haram akan mudah mengalir ke orang per orang. Penyandang dana besar akan bermain untuk mengusung orang-orang yang menjadi kandidat terbaik.Aroma ”jual-beli” kewenangan lembaga legislatif akan menjadi ”asap” dengan pemantik ”api” uang haram untuk membiayai terpilihnya calon-calon tertentu untuk menduduki jabatan kursi legislatif. Bahkan lebih mudah, tanpa perlu menyetorkan ke parpol yang nantinya diaudit, akan jauh lebih aman bila langsung bermain dengan individu caleg,tanpa batasan serta tanpa audit.

Sungguh, inilah potret karut-marut aturan mengenai dana kampanye pemilu. Keseriusan kita dalam menangkal penggunaan dana haram pada kampanye legislatif ternyata masih sebatas niat tanpa diikuti dengan keseriusan menangkal dan menambal hal-hal bocor dalam aturan dana haram kampanye. Semoga Pemilu Legislatif 2009 tidak ikut ”terbocorkan”dan ”terharamkan”.(*)

Zainal Arifin Mochtar
Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Yogyakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/220301/

Hasil Hitung Cepat Ditayangkan di Internet

Hasil Hitung Cepat Ditayangkan di Internet
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan menampilkan hasil penghitungan cepat melalui Internet. Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary mengatakan penghitungan cepat diharapkan bisa membuat mengetahui langsung perkembangan dan hasil penghitungan suara.

"Kalau menunggu hasil penghitungan manual, tentu terlalu lama," kata Hafiz saat penandatanganan nota kesepahaman dengan BPPT di kantor KPU, Jakarta kemarin.

Menurut Hafiz, tingkat akurasi penghitungan cepat (quick count) versi KPU tergolong tinggi. Pasalnya, hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara akan dipindai di KPU tingkat kabupaten dan kota. "Kecil kemungkinan terjadi kekeliruan," kata dia.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar mengatakan lembaganya akan membantu proses pemasukan data hingga penayangan di Internet. BPPT juga akan membantu menyusun rancangan teknis sistem, pengoperasian dan pemeliharaan pusat data, serta pembuatan perangkat pengamanannya.

Tapi Marzan memperkirakan kualitas penayangan hasil perhitungan cepat tak akan maksimal. Alasan dia, waktu persiapan hingga hari pemungutan suara 9 April nanti sangat singkat. "Kami berusaha supaya hasilnya optimal," katanya.

Marzan pun berharap sistem ini tak hanya dipakai pada Pemilu 2009, tapi juga bisa diteruskan hingga Pemilu 2014. Sistem ini, kata Marzan, sebenarnya sudah ada sejak 2004. "Tapi tidak bisa dipertahankan sehingga harus dibangun kembali," ujar dia. PRAMONO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/13/Nasional/krn.20090313.159427.id.html

Peluncuran Situs Stop Obat Palsu

Peluncuran Situs Stop Obat Palsu



TEMPO Interaktif, Jakarta:Bahaya obat palsu makin mengintai Indonesia, termasuk yang beredar luas di ibukota. Padahal, mengkonsumsi obat palsu sangat berbahaya bagi masyarakat. Tidak saja menyebabkan penyakit yang diderita bertambah buruk, akibat fatalnya bisa mengakibatkan kematian. Sementara itu, Head of Drug Anti Ciunterfeiting Sub Comitee International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG) Thierry Powis yang menutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) peredaran obat palsu diperkirakan 10 persen, tak hanyaIndonesia tapi juga sejumlah negara lainnya di dunia.

Beberapa waktu lalu kasus obat palsu sempat menghebohkan, bahkan berdasarkan lapaoran terakhir yang dikeluarkan United States Trade Representative (USTR) sebanyak 301 laporan di tahun 2008 lali, diperkirakan 25 persen dari obat yang beredar di Indonesia adalah palsu. Suka tidak suka, peredaran obat palsu di Indonesia terus menjadi ancaman atau bahaya permanen. Apalagi di saat situasi sulit, resesi global dan melambungnya biaya hidup, tidak dipungkiri harga murah menjadi salah satu faktor penentu dalam membeli barang termasuk obat.

Berangkat dari fakta mengenai peredaran obat palasu yang berkembang luas di Indonesia, IPMG melihat perlunya melakukan edukasi yang luas kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran atas bahaya obat palsu. Rian Amri dari lembaga ini menjelaskan pekan mendatang akan diluncurkan situs stop www.stopobatpalsu.com. Situs terbaru ini merupakan bagian atau upaya edukasi terhadap masyarakat mengenai isu obat palsu dan menggalakan kampanye anti obat palsu. "Acara peluncuran ini akan dilengkapi diskusi terbuka. Sekali lagi esensinya adalah menstop atau memberhentikan obat palsu yang menjadi ancaman mengintai di Tanah Air," pungkasnya.

Seperti diketahui, permasalahan utama mengenai obat-obatan palsu ini adalah bagaimana mengutamakan ruang gerak peredarannya. Dan repotnya, soal penegakan hukum dalam kasus ini belum optimal. Masih sedikit dari pemalsu obat yang dijerat dan dikenakan sangsi atau hukuman maksimal. "Harapan kami, situs ini menjadi langkah efektif untuk berperan atau bertindak awal atau sebagai langkah konkrit," ujarnya. HADRIANI P

http://tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/03/12/brk,20090312-164438,id.html

Total Jumlah Pemilih 171.265.442 Orang

Total Jumlah Pemilih 171.265.442 Orang


TEMPO Interaktif , Jakarta: Komisi Pemilihan Umum malam ini mengumumkan jumlah pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap. Ketua Komisi Pemilihan Abdul Hafiz Anshary, mengatakan total pemilih sebanyak 171.265.442 orang.



“Jumlah pemilih ini bertambah 196.775 orang dari daftar pemilih yang telah kami tetapkan 24 November lalu,” kata Hafiz dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis (12/3).

Menurut dia, daftar pemilih dalam negeri mengalami perubahan menjadi bertambah 230.820 orang. Sebanyak 10 provinsi mengalami penurunan jumlah pemilih, sedangkan sisanya bertambah. Sembilan provinsi yang mengalami pengurangan jumlah pemilih adalah Kepulauan Riau, Jambi, Lampung, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Papua.

Sedangkan pemilih di luar negeri berkurang 34.045 orang. Pengurangan ini, kata Hafiz, terjadi karena banyak warga negara Indonesia kembali ke tanah air. “Di sejumlah negara juga banyak warga negara kita terkena imbas pengurangan jumlah pegawai,” katanya.

Pada 24 November 2008, Komisi Pemilihan telah menetapkan jumlah pemilih sebanyak 171.068.667 orang. Belakangan, sejumlah daerah mengajukan perubahan daftar pemilih. Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-undang Dasar No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Komisi Pemilihan bisa mengubah daftar pemilih.

Hafiz menjanjikan, perubahan ini hanya berlangsung sekali. Komisi tak akan mengubah lagi daftar pemilih tetap untuk pemilihan anggota legislatif.

Anggota Komisi Pemilihan, I Gusti Putu Artha, mengatakan lembaganya tengah menghitung kebutuhan logistik untuk daerah yang mengalami pertambahan pemilih. Menurut Putu, perubahan ini tak terlalu signifikan. Ia optimistis, surat suara masih bisa dikirim tepat waktu. “Waktu yang tersedia masih cukup panjang,” katanya.

PRAMONO

Data Jumlah Pemilih di 33 Provinsi

1. Nanggroe Aceh Darussalam: 3.009.965 orang
2. Sumatera Utara: 9.180.973 orang
3. Sumatera Barat: 3.155.148 orang:
4. Riau: 3.366.383 orang
5. Kepulauan Riau: 1.131.676 orang
6. Jambi: 2.086.780 orang
7. Sumatera Selatan: 5.192.693 orang
8. Bengkulu:1.214.171 orang
9. Lampung: 5.351.733 orang
10. Bangka Belitung: 782.255 orang
11. DKI Jakarta: 7.026.772 orang
12. Jawa Barat: 29.002.479 orang
13. Jawa Tengah: 26.190.629 orang
14. Daerah Istimewa Yogyakarta: 2.751.761 orang
15. Jawa Timur: 29.514.290 orang
16. Banten: 6.581.587 orang
17. Bali: 2.667.065 orang
18. Nusa Tenggara Barat: 3.135.420 orang
19. Nusa Tenggara Timur: 2.760.518 orang
20. Kalimantan Barat: 3.154.887 orang
21. Kalimantan Tengah: 1.506.244 orang
22. Kalimantan Selatan: 2.478.976 orang
23. Kalimantan Timur: 2.349.862 orang
24. Sulawesi Utara: 1.679.814 orang
25. Sulawesi Tengah: 1.658.693 orang
26. Sulawesi Selatan: 5.630.977 orang
27. Sulawesi Barat: 753.203 orang
28. Sulawesi Tenggara: 1.487.818 orang
29. Gorontalo: 688.272 orang
30. Maluku: 1.020.421 orang
31. Maluku Utara: 691.863 orang
32. Papua: 2.064.532 orang
33. Papua Barat: 521.735 orang
Jumlah Pemilih Dalam Negeri = 169.789.593 orang
Jumlah Pemilih Luar Negeri = 1.475.847 orang
Jumlah Pemilih = 171.265.442 orang
Jumlah Tempat Pemungutan Suara Dalam Negeri: 519.047
Jumlah Tempat Pemunguran Suara Luar Negeri: 873
Jumlah Tempat Pemungutan Suara: 519.920

Sumber: Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum No 164/Kpts/KPU/TAHUN 2009 tanggal 7 Maret 2009 tentang Rekapitulasi Badan Pelaksana dan Daftar Pemilih Tetap dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota tahun 2009



http://tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_berita_mutakhir/2009/03/12/brk,20090312-164476,id.html

Sepatu Olahraga Modern Berbohong

Sepatu Olahraga Modern Berbohong
SYDNEY - Tim peneliti di Australia mengumumkan kebohongan dari klaim sepatu olahraga (lari) berteknologi tinggi yang disebut-sebut bisa memperbaiki performa seorang atlet ataupun menekan kemungkinan cedera. Tim peneliti itu menyatakan tidak menemukan satu bukti ilmiah pun yang mendukung klaim itu.

Fisiolog di Newcastle University, Craig Richards, sebagai ketua tim, menyatakan bahwa mitos sepatu lari modern telah merasuk ke dalam industri yang luas sejak 1970-an. "Banyak yang jatuh hati pada sepatu-sepatu itu," kata Richards.

Richards mengaku banyak pula yang tidak percaya terhadap hasil studinya itu bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung manfaat positif dari sepatu-sepatu itu. Richards dan timnya menyelisik seluruh literatur kesehatan dan kedokteran di bidang olahraga yang bisa ditemuinya sejak 1950.

Mereka mencari dengan hati-hati apakah ada percobaan terkendali yang memang mengukur apakah sepatu berlari modern berteknologi tinggi mengurangi peluang cedera, memperbaiki performa, dan menekan risiko osteoarthritis si atlet di masa tuanya. "Tapi, pada dasarnya kami tidak menemukan apa-apa," kata Richards.

Sepatu-sepatu, Richards menyebutkan, memang ada yang menjadi subyek pengujian biomekanis yang ekstensif. Sepatu-sepatu juga sering disebutkan memiliki fitur khusus di bagian tumit yang bisa menyerap dampak entakan dengan lantai atau jalan, melindungi tendon Achilles, dan membantu kontrol gerak kaki.

Namun, Richard mengatakan, studinya--yang dimuat dalam British Journal of Sports Medicine edisi terbaru--menunjukkan tidak pernah ada uji dalam lingkungan yang sebenarnya. "Kalau begitu, Anda tentu tidak bisa menyimpulkan apakah sepasang sepatu bisa mengubah peluang cedera, misalnya," katanya. AFP



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/13/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090313.159350.id.html

Bom Dahsyat Narkoba Mata

Written By gusdurian on Kamis, 12 Maret 2009 | 14.05

Bom Dahsyat Narkoba Mata
Kerusakan otak akibat film biru dapat dibuktikan secara fisik dan radiologis.
Suara adzan berkumandang. Hari itu Jumat, berarti saatnya salat Jumat. Abud, 14 tahun (bukan nama sesungguhnya), pun bergegas ke kamar. Tak lama, ia sudah rapi dengan baju koko dan celana panjang. Ia pamit kepada ibunya. Bersama sejumlah temannya, Abud berkumpul di pelataran belakang masjid. Namun, saat azan tidak lagi berkumandang, bukannya tempat air wudhu yang mereka sambangi, melainkan warung Internet yang tak jauh dari sana. Alih-alih salat Jumat, para remaja tanggung itu malah larut mengunduh film biru dari dunia maya.

Berdasarkan observasi Yayasan Kita dan Buah Hati, kasus di atas sekarang mudah ditemukan di lingkungan anak-anak. Malahan, saking candunya terhadap pornografi, seorang siswa sekolah menengah pertama di Tangerang dirawat akibat konsentrasi belajarnya hilang. "Memang jika perilaku tak senonoh itu dilakukan terus, anak bisa menjadi adiktif," kata Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati Elly Risman M.Psi. dalam seminar bertajuk "Memahami Dahsyatnya Kerusakan Otak Anak Akibat Kecanduan Pornografi dan Narkoba dari Tinjauan Kesehatan Inteligensia" di auditorium Departemen Kesehatan beberapa waktu lalu.

Lazimnya, perilaku anak yang demikian bukanlah sebuah aksi tunggal. Di era digital kini, informasi (negatif) yang datang mengalir deras dan berulang dapat membentuk persepsi dan perilaku anak. Otak, sebagai organ pengolah informasi, menerima apa yang dilihat serta didengar. Kemudian memprosesnya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan inteligensia. "Apalagi otak itu adaptif dan fleksibel," kata Kepala Pusat Inteligensia Departemen Kesehatan dr H. Jofizal Jannis, SpS(K) pada kesempatan yang sama. Lagi pula otak anak kecil berbeda dengan orang dewasa--yang sudah dijejali banyak informasi. "Otak anak itu relatif lebih kosong, sehingga rentan terkontaminasi."

Menurut Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Diatri Nari Lestari, SpS, adiksi pornografi kepada anak adalah perilaku yang tidak normal. Hal itu dapat membuat bagian tengah depan otak menyusut dan mempengaruhi perilaku anak. Senada dengannya, ahli bedah saraf Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr., mengatakan adiksi pada manusia, termasuk anak, bermuara ke perubahan sirkuit otak. "Sel otak yang memproduksi dopamin menjadi mengecil, sehingga sel itu mengerut dan tidak bisa berfungsi secara normal," kata Hilton dalam presentasi. Gangguan inilah, menurut dia, yang membuat neurotransmitter--pengirim pesan kimiawi pada otak--menjadi terganggu.

Dalam versi Diatri, saat anak memperoleh ekstase dari pornografi, fungsi eksekutif di otak anak bakal terpengaruh. "Anak sulit konsentrasi dalam belajar karena reseptor dopaminnya telah diisi hal-hal berbau porno," ia menjelaskan. Pornografi mengacaukan proses retensi dalam jangka panjang pada memori anak. Retensi itu adalah kemampuan otak seseorang menahan informasi yang diserapnya.

Belum lagi, menurut Diatri, bila kecanduan yang sudah berlangsung lama dan tiba-tiba dihentikan bisa membuat si anak bereaksi menyimpang. "Adiksi ini memiliki tahap toleransi. Misal, mulanya cuma menonton, lalu besoknya ingin mencoba lebih," dokter berkerudung ini mengungkapkan.

Yang pasti, kerusakan otak akibat film biru ini dapat dibuktikan secara fisik dan radiologis, serta dalam bentuk gangguan perilaku si anak. "Sebenarnya, kerusakan otak karena "narkoba lewat mata" (visual crack cocaine) jauh lebih dahsyat ketimbang seluruh jenis narkoba," Elly menulis dalam esainya. Bila kondisi itu terus berlarut, bahkan dapat mendegradasi kemampuan inteligensia si anak. Yang ditakutkan adalah perilaku menyimpang itu bakal menerabas tatanan nilai di masyarakat.

Esai berjudul "Tidak Perlu Bom untuk Menghancurkan Indonesia" karya Elly sangat mewakili kondisi anak Indonesia kini. Lihat saja data mencengangkan hasil studi Konselor Remaja Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.625 siswa kelas 4-6 Sekolah Dasar se-Jabodetabek sepanjang 2008. Terungkap, 66 persen dari mereka pernah melihat pornografi lewat berbagai media. Rinciannya, 24 persen anak melihatnya lewat komik, 18 persen video game, 16 persen situs porno, 14 persen film, 10 persen DVD dan VCD, 8 persen telepon genggam, serta 4-6 persen majalah dan koran.

Adapun alasan mereka melihat pornografi, sebanyak 27 persen, sekadar iseng. Lantas 14 persennya terbawa teman dan takut dibilang kurang pergaulan (kuper). Ironisnya, banyak dari mereka yang mengakses tontonan dewasa itu di rumah sendiri, yaitu 36 persen. Lalu warung Internet mencapai 18 persen dan di rumah teman sekitar 12 persen. Artinya, jika dirasio, satu dari dua anak belia itu melihat adegan vulgar di kamarnya sendiri.

Lebih yahud lagi hasil survei Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia pada 2007. Terungkap, sebanyak 97 persen remaja pernah mengakses adegan syur. Lalu 93,7 persen pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks. Yang mengagetkan, 62,7 persen remaja usia sekolah menengah pertama didapati sudah tidak perawan dan 21,2 persen siswi sekolah menengah umum pernah aborsi.

Berdasarkan data itu, lalu ke mana fungsi kontrol keluarga, khususnya orang tua? Malahan dari pertemuan yayasan pimpinan Elly dengan puluhan ribu orang tua di 28 provinsi, ditemukan cuma 10 persen yang mafhum teknologi informasi yang dipakai anak mereka. Artinya, benar apa yang dikatakan Elly, tidak butuh bom untuk menghancurkan bangsa ini. HERU TRIYONO



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/11/Gaya_Hidup/krn.20090311.159140.id.html

Mega-Kalla Samakan Visi

Mega-Kalla Samakan Visi


JAKARTA (SINDO) – Pertemuan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla akan menggagas pentingnya menciptakan pemerintahan yang kuat.


Pertemuan pemimpin dua partai politik dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2004 itu rencananya digelar hari ini di sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol No 66 Jakarta. ”Kedua partai yang memiliki platform sama ini berkeinginan mewujudkan pemerintahan yang kuat, yakni mendapat dukungan mayoritas parlemen dan mayoritas pilihan rakyat,” kata Sekjen DPP PDIP Pramono Anung saat menyampaikan pernyataan pers bersama Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar Burhanudin Napitupulu mengenai pertemuan Mega dan Kalla di Jakarta kemarin.

Dalam pertemuan hari ini, Kalla akan didampingi Ketua Dewan Penasihat Surya Paloh, Sekjen Soemarsono, dan Wakil Ketua Umum Agung Laksono. Sementara Megawati akan didampingi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Taufik Kiemas, Sekjen Pramono Anung, dan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Tjahjo Kumolo.

Menurut Pramono,pertemuan dua tokoh ini akan melahirkan kesepakatan. Lalu, secara bertahap kesepakatan dilanjutkan menjadi kerja sama PDIP dan Golkar secara lebih terlembaga. ”Mustahil politik bisa stabil dan efektif jika pemerintahan tidak kuat.Mustahil juga ada pemerintahan kuat tanpa adanya koalisi yang terlembaga antarminimal dua partai terbesarnya,”ujarnya.

Burhanudin Napitupulu sepakat perlunya pemerintahan yang kuat menjadi komitmen Golkar dan PDIP sehingga pemerintahan dapat menghemat biaya politik yang tinggi. Dia menambahkan, pertemuan Mega dan Kalla juga akan membicarakan sejumlah permasalahan bangsa seperti sistem pemilu, ekonomi, otonomi daerah, pilkada langsung, dan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sementara untuk menindaklanjuti kesepakatan yang akan dihasilkan dalam pertemuan tersebut, masingmasing masih akan menunggu hasil pemilu legislatif 9 April 2009. Pramono dan Burhanuddin menegaskan, pertemuan tersebut belum masuk ke isu koalisi calon presiden karena masih menunggu hasil pemilu legislatif.

Namun, Burhanuddin kembali menyatakan bahwa pertemuan Mega dan Kalla bisa saja mengarah ke koalisi. Sebab, menurut dia, berdasarkan pengalaman selama ini, sangat sulit bekerja sama dengan Partai Demokrat untuk saling menghargai satu sama lain. ”Lebih baik Golkar memilih partner partai yang lebih besar, yang lebih punya kemampuan untuk saling menghargai, yaitu PDIP,” ujarnya.

Tetap Berteman

Di tempat terpisah, Jusuf Kalla mengungkapkan, pertemuannya dengan Megawati dalam rangka menjalin silaturahmi. Kalla menilai selama ini para pemimpin negeri tidak pernah saling bertegur sapa. ”Kita tidak ingin pemimpin negeri tidak tegur sama sekali. Kita harus tetap berteman,” papar Kalla di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta,kemarin.

Kalla menuturkan, selain melakukan komunikasi dengan berbagai tokoh lintas agama, partai yang dipimpinnya juga tengah menjajaki komunikasi dengan berbagai partai politik lain. ”Saya sebagai ketua umum di samping bertemu dengan tokoh agama, juga bertemu dengan PPP, PKS, dan insya Allah dengan PDIP,”tuturnya.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif menyambut baik pertemuan Mega-Kalla.Menurut dia pertemuan ini sebaiknya diikuti pertemuan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Megawati.

”Saya setuju Kalla ketemu Megawati. Kalau bisa SBY juga bertemu Megawati. Politik jangan dianggap serius, politisinya saja tidak pernah serius,”ujar Syafii. Menanggapi rencana pertemuan Mega dan Kalla, Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum melihatnya sebagai hal yang wajar. Dia belum melihat bahwa akan ada kesepakatan koalisi antara PDIP dan Golkar dalam pertemuan tersebut.

Kalla Pengaruhi Peta

Sementara itu, dari hasil survei empat lembaga, yaitu Center for Strategic and International Studies ( CSIS ), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), serta Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) diketahui figur Kalla menjadi kunci naik atau merosotnya suara calon presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY).

Dari temuan survei nasional yang digelar 9–20 Februari 2009 itu, Kalla masih pasangan paling ideal bagi SBY. Duet mereka mendapat dukungan tertinggi, yaitu 51,5%. ”Jika SBY berpasangan dengan Kalla lagi, pemilu presiden cukup satu putaran akan selesai,” kata peneliti CSIS Sunny Tanuwidjaja saat pemaparan hasil survei di Jakarta kemarin. Survei empat lembaga tersebut dilakukan di 33 provinsi mencakup 2.957 responden di 150 desa.

Data dikumpulkan dengan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur. Pengambilan sampel acak bertingkat (multi-stage random sampling) dengan margin of error +/- 1,8% pada tingkat kepercayaan 95%. Pasangan SBY-Kalla dalam survei mengungguli pasangan lain seperti Megawati- Sultan (27,1%) dan Prabowo- Hidayat Nur Wahid (9,3%).

Sementara 12% lainnya menyatakan tidak tahu. Hasil survei menunjukkan bahwa Kalla juga bisa menggembosi suara SBY. Pisahnya SBY-Kalla akan mengurangi banyak suara dukungan dari duet tersebut. Dari hasil survei, awalnya pasangan SBY-Kalla didukung oleh 69,1% pemilih Golkar. Jika SBY-Kalla berpisah, maksimal hanya 48,7% pemilih Golkar yang akan memilih SBY.

”SBY akan kehilangan paling sedikit 24% dari suara total SBY-Kalla atau 12,4% dari suara total pemilih,” papar Sunny. Lebih lanjut Sunny mengatakan simulasi tersebut dilakukan sebelum Kalla menyatakan bersedia maju sebagai capres. Jadi saat itu pemilih Golkar belum melihat Kalla akan maju. Dengan kondisi Kalla yang sudah bersedia maju sebagai capres dia melihat petanya akan berubah lagi.

Mengenai figur capres secara umum, SBY masih yang teratas dengan 46%. Disusul Megawati (17%), Sultan (4,7%), Prabowo (4,6%), Wiranto (3,6%), Amien Rais (2,2%), Hidayat Nur Wahid (2,1%), dan Kalla (1,9%). Capres lain 8,9%, sedangkan yang tak memilih satu pun 9%. Dari survei itu juga diprediksi capres masih mengerucut di dua figur yaitu SBY-Megawati.

Pengamat Politik LIPI Syamsuddin Haris yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan hasil survei empat lembaga tersebut merupakan penguat atau konfirmasi hasil survei yang sebelumnya dilansir lembaga lain. Misalnya popularitas SBY yang masih teratas dan Kalla yang masih kecil elektabilitasnya di posisi capres.

Namun dia yakin Kalla yang dinilainya mulai lincah akhirakhir ini akan memberikan pengaruh yang besar pada pilpres. ”Survei ini diambil saat Kalla belum menyatakan siap maju,”ujarnya. (rahmat sahid/maya sofia/dian widiyanarko)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/220340/38/

DPR Diduga Terima Uang Depnakertrans

DPR Diduga Terima Uang Depnakertrans

JAKARTA (SINDO) – Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan di 10 Balai Latihan Kerja (BLK) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Bahrun Effendi mengungkapkan ada pemberian sejumlah uang kepada para pejabat di Depnakertrans, anggota DPR, dan rekanan.


Hal ini diungkapkan Sekretaris Direktorat Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tersebut saat diperiksa sebagaiterdakwadalamkasus ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kemarin. Bahrun mengaku mengetahui ada aliran dana dan mobil ke para pejabat dan anggota DPR atas laporan Kasubdit Pengembangan Sistem dan Inovasi di Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Depnakertrans Taswin Zein yang juga pimpinan proyek tersebut.

”Saya mendapat laporan dari terdakwa Taswin Zein,”kata Bahrun. Taswin Zein sendiri sudah dijatuhi vonis dalam perkara ini. Menurut Bahrun, dana yang diterima para pejabat dan anggota DPR itu didapatkan dari dana taktis masing-masing direktorat. Meski mengetahui ada aliran dana, Bahrun membantah memerintahkan untuk memberikan uang tersebut. Dia juga menyangkal pernah menerima uang dari Taswin. Dana taktis itu, ujar dia, dikumpulkan dari rekanan dalam rekening bersama. Nilainya mencapai Rp 2,8 miliar. Dalam perkara dugaan korupsi ini, Bahrun diduga menerima uang Rp150 juta dan sebuah mobil Nissan Xtrail dari rekanan.

Menurut Bahrun, dana taktis dikumpulkan atas permintaan Direktorat Jenderal Kirnadi. ”Pak Dirjen waktu itu meminta untuk dikumpulkan dana taktis untuk honor anggota DPR,”kata dia. Besarnya 2,5% dari total dana taktis. Uang itu, kata Bahrun,kemudian dibagi-bagikan ke beberapa pejabat Depnakertrans. ”Ada ke sekjen, irjen, dan para sekretaris di masingmasing direktorat serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),”kata dia.Uang untuk BPK ini diterima Ketua Tim Auditor BPK Bagindo Aquirino sebanyak Rp350 juta dan Rp300 juta.

”Tapi saya tidak dilapori secara rinci siapa- siapa yang menerima,” jelas Bahrun. Dalam persidangan sebelumnya, Taswin Zein (sudah divonis) menyatakan keberatan atas keterangan Bahrun. Menurut Taswin,Bahrun menerima dana Rp150 juta. ”Saya serahkan langsung tunai Rp100 juta,” kata dia. Sisanya diserahkan kemudian melalui 10 lembar travel cek sebesar Rp50 juta. Diketahui, kasus ini bermula ketika proses pengadaan alat di 10 BLK tidak sesuai ketentuan dan Keputusan Menakertrans.

Modus yang digunakan adalah memerintahkan seluruh panitia pengadaan untuk menandatangani dokumen kontrak dan serah terima barang sebagai formalitas agar anggaran dapat dicairkan, padahal kontrak pengadaan dan serah terima barang belum ada. (m purwadi)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/220294/

Wali Kota Sampah dan Perubahan

Wali Kota Sampah dan Perubahan


SETAHUN sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) No 18/2008 tentang Pengolahan Sampah, sekarang terlihat betul mana wali kota dan bupati yang benar-benar cerdas dan peduli dan mana yang tidak jelas.


Menurut UU itu, dalam lima tahun ke depan, semua tempat pembuangan akhir (TPA) sampah harus sudah ditutup dan sampah harus diolah, tidak ditumpuk begitu saja (open dumping atau sanitary land fill).

Dalam kehidupan modern, cara suatu masyarakat menangani sampahnya mencerminkan seberapa tinggi peradaban suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang peradabannya tinggi mengolah dan memanfaatkan sampah. Sementara bangsa yang peradabannya rusak (ditandai dengan membusuknya tata nilai kehidupan) membuang sampah sembarangan atau hidup bersama sampah yang membusuk.

Di negara-negara maju, penanganan sampah dilakukan dengan sangat serius, dari hal-hal terkecil dan lingkup terkecil,yaitu keluarga atau individu,mereka terbiasa tidak membuang sampah di sembarang tempat.Mereka bahkan memisahkan sampah dari rumah tangga. Sampai bagaimana mereka menjaga dan membersihkan saluran-saluran air dan mengambil manfaat dari sampah.

Di negara-negara terbelakang, sampah berserakan di mana-mana dan di atas tumpukan sampah TPA bermukim warga yang terbuang dan miskin. Sampah ada di jalan, di dalam saluran air,sungai,tanah-tanah kosong,membusuk di jalan-jalan masuk ke pasar tradisional, mengambang di tepi-tepi pantai, dan dikoyak-koyak anjing liar, kucing, tikus,dan sebagainya.

Perubahan Sesungguhnya

Ketertarikan saya terhadap sampah pertama-tama muncul saat saya menelusuri kembali puncak-puncak gunung yang dulu sering saya daki saatsaya remaja.Betapa menyedihkannya menyaksikan sungai-sungai di daerah pegunungan yang dulu tempat saya mengambil air,memasak, berfoto, dan berkemah kini padat dengan aneka plastik.

Ada tas kresek,bekas bungkus mi instan,sampo,minuman berenergi, kemasan kopi bubuk, karet gelang, dan sebagainya. Saat banjir tiba, bau busuk menyengat.Tikus, bangkai, belatung, berbaur bersama penyakit dan penduduk. Sejak itu Rumah Perubahan bertekad mencari cara membenahi masalah sampah.Saat pertama kami mencoba gerakan ini, kami langsung menyadari bahwa masalah sampah adalah masalah perubahan, bukan teknologi semata-mata.

Perubahan itu bermuara pada enam titik, yaitu rumah tangga (sebagai produsen sampah), petugas kebersihan, aparatur pemerintah daerah, ketua-ketua RT dan RW, para pengembang (developer), dan produsen makanan/minuman yang menggunakan kemasan. Tidak ada konsensus di antara keenam lembaga tersebut tentang bagaimana mengatasi masalah sampah.

Sementara pemerintah daerah dan para pengurus RT tetap asyik dengan cara-cara lama.Sampah ditumpuk di bak-bak sampah di depan rumah, lalu ada petugas keliling yang memasukkan ke dalam gerobak-gerobak dorong dan dibuang ke tepi sungai.Mobil-mobil truk pemda mengambil jasa sewa yang ditawarkan ke daerah-daerah permukiman yang kaya. Karena truknya besar,mereka otomatis tidak bisa masuk ke jalan-jalan yang sempit.

Bak-bak sampah yang statis juga membuat petugas butuh waktu ”menguras”isinya. Akibatnya dalam satu jam hanya 10 rumah yang bisa diangkut sampahnya dan dalam delapan jam hanya satu RT saja.Jadi wajar saja kalau Anda frustrasi dengan masalah sampah karena sampah Anda hanya diangkut seminggu sekali. Pemda juga bukan tidak menghadapi masalah.

TPA mengundang masalah sosial dan kesehatan. Warganya marah-marah karena baunya membusuk.Sementara truktruk besar itu hanya bisa mengangkutsekitar2tonsampah karena sampah-sampah itu belum dicacah atau dipres. Lalu makin hari jalan menuju TPA semakin padat sehingga biaya transportasi dan logistik sangat mahal. Para ketua RT dan RW juga terkesan tidak tahu harus berbuat apa.Kalau diberi solusi, respons mereka amat beragam.

Mereka pusing menghadapi rumah tanggarumah tangga yang tidak mau berkontribusi, apalagi yang sampah kebunnya banyak. Semakin banyak yang berbicara, semakin rumit masalahnya. Tidak aneh kalau sehari-hari kita semakin sering melihat penumpang kendaraan yang membawa sampah untuk dilempar begitu saja di tepi-tepi jalan atau ke dalam sungai.

Sewaktu kami memulai perubahan itu, tak ada ketua RT yang mau mengambil ongkos dari penduduk dan tak ada pendudukyangmauditangani sampahnya. Akhirnya kami mendistribusikan drum-drum sampah secara cuma-cuma. Ajaib.Dalam tempo dua bulan rumah tangga rumah tangga mulai meminta drum dan mulai mau membayar upah pungut dan memberi tips pada petugas.

Ketua-ketua RT mulai bergabung. Namun,begitu masalah di permukiman selesai, datanglah aparat pemda yang tidak bisa menerima proyek angkutan sampahnya diganti oleh masyarakat.Mereka melakukan razia dan memeriksa surat-surat izin pengolahan sampah. Belum selesai masalah ini, ada ketua RT yang tidak menerima wilayahnya dijadikan ”pabrik sampah” meski sampah ini belum sempat busuk (karena) sudah diolah dan tidak berbau, ia berkilah warganya keberatan karena bau busuknya.

Harap maklum,semua urusan selalu ada duitnya. Kami pun terpaksa memindahkannya, mencari area yang lebih tertutup dan tak terlihat. Itulah masalah-masalah kecil yang dihadapi oleh para pengelola sampah. Masalahmasalah besarnya tentu masih ada seperti bagaimana mengembangkan teknologi yang cocok, mencari ongkos produksi yang efisien, membentuk pasar output dari sampah,membina hubungan dengan pengguna produk, serta melakukan product development.

Semua itu kami tangani secara bertahap. Singkat cerita, masalah sampah adalah masalah perubahan, bukan semata-mata teknologi atau proyek pemerintah. Saat ini model yang diusung Rumah Perubahan telah banyak dipakai untuk program pemberdayaan masyarakat, komposnya dipakai untuk menanam sayursayuran penduduk dan kami mulai membuat briket arang dari sampah sebagai alternatif energi kaum papa yang tidak bisa membeli gas elpiji.

Tiga Jenis Wali Kota

Sampai saat ini kami telah bergelut dengan masalah sampah sekitar tiga tahun. Selama itu pula kami telah berkenalan dan bertemu dengan ratusan kepala dinas kebersihan, bupati, wali kota,dan gubernur.Dari interaksi itu, saya berkesimpulan wali kota dan bupatilah yang menjadi ujung tombak keberhasilan pengolahan sampah.

Selama itu pula saya melihat ada tiga jenis wali kota, yaitu wali kota proyek, wali kota politik, dan wali kota perubahan. Wali kota proyek melihat masalah sampah sebagai proyek.Sampah adalah proyek besar dan kalau ia jujur ia melihat dari proses pengadaan dan teknologi.

Kalau ia kurang jujur, Anda tentu mengerti bagaimana perilakunya. Wali kota proyek ada yang lumayan, tapi sebagian besar melakukan pekerjaan sia-sia dalam mengatasi masalah sampah. Wali kota kedua adalah wali kota politis. Ia melihat sampah dari kaca mata politik, yaitu kebijakankebijakan yang bersifat populis dan potong kompas.Ia ingin hasilnya segera bisa dilihat dan proyeknya dibagibagi kepada orang-orang yang terkait dengan partai pendukungnya.

Wali kota seperti ini biasanya kurang berhasil menangani masalah sampah, bahkan memicu persoalan baru, pertengkaran bisnis, dan perlawanan penduduk. Wali kota ketiga adalah wali kota perubahan. Inilah tipikal wali kota yang menjadi mitra Yayasan Rumah Perubahan. Ia tahu persis penanganan sampah butuh waktu dan mendorong kewirausahaan.

Wali kota seperti ini cenderung lebih sukses, didukung masyarakat arus bawah, dan tidak mengalami banyak konflik. Sekarang mudah bagi Anda untuk melihat siapa wali kota/bupati Anda.Apakah ia wali kota perubahan, politis, atau proyek.Hanya wali kota perubahanlah yang akan bekerja sungguh-sungguh mengatasi masalah sampah dan menjalankan amanat UU No 18/2008.Ia akan mengatasi masalah dengan konsep perubahan, menyajikan harapan, dan tentu saja kesejahteraan.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/220338/38/

SILANG SELIMPAT BUDDHA BAR

SILANG SELIMPAT BUDDHA BAR
"Janji-janji Niresta akan saya kejar."
Buddha Bar terus diterpa kontroversi. Setelah diprotes oleh Forum Anti Buddha Bar pada 2 Maret lalu karena penggunaan nama Buddha, kini giliran Forum Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu) memprotes penggunaan cagar budaya untuk bar milik PT Niresta Vista Creative itu.

Menurut Dharmawan Handonowarih, pendiri Walibatu, forum mereka diundang oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengadakan sayembara pemanfaatan gedung yang disebut Batavia Kunstkring yang ada di Jalan Teuku Umar, Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat, itu. "Jurinya orang-orang top, seperti Adolf Heuken, Eka Budianta, Richard Oh, Suryadi Yo Santoso, dan Sarwo Handayani," katanya, Selasa lalu.

Sayembara itu dimenangkan oleh Dastin Hillery dengan judul Gedung Perikatan Seni Jakarta. Dharmawan menjelaskan, konsep Dastin adalah penggunaan gedung untuk galeri seni. Kenyataannya, pemanfaatannya menyimpang dari sayembara. "Kami merasa tertipu," kata Enrico Halim, juga dari Walibatu.

Ia menilai, sayembara itu hanya akal-akalan pemerintah agar memenuhi persyaratan adanya keterlibatan publik dalam pemanfaatan gedung yang dulu dipakai sebagai Kantor Imigrasi Jakarta Pusat itu. Tapi, Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata Aurora Tambunan mengatakan hasil sayembara tak mutlak harus diterapkan.

Gonta-ganti kepemilikan gedung, kata Enrico, juga bermasalah. Pada 1999, PT Mandala Griya Cipta milik Tommy Soeharto menguasai gedung ini melalui tukar guling dengan bangunan di Kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. "Masa sih gedung cagar budaya ditukar gedung biasa," ujarnya.

Nilai transaksi tukar guling itu diperkirakan mencapai Rp 8-9 Miliar. Tapi gedung ini ditelantarkan. Pada 2002, DKI memutuskan membeli gedung ini. Dalam tiga tahun, nilainya meningkat menjadi Rp 28,9 miliar dengan kondisi rusak parah.

Pemerintah lalu merestorasi gedung ini yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar Rp 5 miliar. Walibatu menilai restorasi ini hanya mengembalikan bentuk gedung seperti aslinya tanpa memperhatikan fungsi gedung. Setelah kinclong kembali, Gubernur Sutiyoso meresmikan gedung ini pada September 2007.

Pemerintah lalu mengundang swasta untuk mengelola gedung ini. Menurut Aurora, langkah itu diambil karena pemerintah memiliki dana minim untuk merawat bangunan tua. Lima perusahaan mengajukan proposal. Tiga di antaranya lolos penilaian beauty contest oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. Pemenangnya adalah PT Niresta.

PT Niresta menyewa gedung ini selama lima tahun. Nilai sewanya adalah Rp 800 juta per tahun. Aurora menjamin uang sewa itu masuk ke kas daerah. PT Niresta lalu membuka Buddha Bar di sana.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencium ketidakberesan dari penggunaan gedung ini. Kepala Bidang Investigasi dan Informasi Publik ICW Agus Sunaryanto menduga ada konflik kepentingan karena di PT Niresta milik Jan Farid ternyata Renny Sutiyoso juga memiliki saham. Tempo pada Selasa pekan lalu menyambangi Renny di rumahnya di Mangunsarkoro 9, Menteng. Tapi Renny menolak ditemui.

Tapi Aurora membantah anggapan tersebut. "PT Niresta menang karena mereka paling serius, bukan karena ada anak gubernur di sana," katanya, Selasa lalu. Ia mengatakan, PT Niresta berjanji akan membeli sebidang tanah dan bangunan yang ada di belakang gedung untuk disatukan dengan bangunan utama. Tapi hingga kini belum direalisasikan.

Galeri seni dan ruang publik yang dijanjikan juga belum tersedia. Menurut Aurora, perjanjian mengharuskan PT Niresta menyediakan bagian depan untuk galeri seni, yang akan digunakan untuk menggelar pameran lukisan milik Dewan Kesenian Jakarta sebanyak empat kali dalam setahun. Nyatanya, belum sekalipun pameran digelar.

Selain itu, gedung itu tetap harus bisa dinikmati oleh masyarakat umum. Gedung itu harus terbuka bagi masyarakat yang ingin melihat-lihat tanpa harus masuk ke Buddha Bar. Tapi, pagar bar eksklusif untuk kalangan atas itu selalu tertutup sebelum bar buka. "Janji-janji Niresta itu akan saya kejar," kata Aurora. SOFIAN|FERY FIRMANSYAH

Dari Gedung Kesenian Menjadi Bar

Arsiteknya adalah Pieter Adriaan Jacobus Moojen.

Dibangun pada 1912-1913 dan dibuka pada 17 April 1914.
Dulu bernama Nederlandsch-Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia-Belanda) atau Bataviasche Kunstkring untuk pameran seni.
Pada 1950-1997, menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat.
Pernah dibeli oleh Tommy Soeharto.
Pemerintah Provinsi DKI adalah pemilik bangunan keenam.
Pada 28 November 2008, digunakan untuk Buddha Bar
ISTIQOMATUL HAYATI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Metro/krn.20090312.159253.id.html

Sintong: Banyak Kebohongan Orde Baru

Sintong: Banyak Kebohongan Orde Baru
"Buku ini berisi pengalaman tugas dan berbagai peristiwa penting dalam sejarah ABRI."
JAKARTA - Mantan Panglima Daerah Militer Udayana Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan menyatakan banyak kebohongan yang disampaikan kepada publik oleh para pejabat Orde Baru terkait dengan peristiwa bersejarah di negeri ini. "Ada yang bisa mengatakan dan menguraikan tidak sesuai dengan yang sesungguhnya. Padahal saya terlibat secara fisik dan masih hidup," katanya.

Sintong mengungkapkan hal itu saat peluncuran bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, di Balai Sudirman, Jakarta, semalam. Buku setebal 520 halaman itu ditulis oleh Hendro Subroto. Selain berisi pengalaman hidup, kata Sintong, "Buku ini berisi pengalaman tugas dan berbagai peristiwa penting dalam sejarah ABRI."

Menurut Sintong, buku ini diterbitkan atas desakan keluarga, terutama istrinya, teman, dan para senior tentara. Tujuannya, mengungkap kebenaran sesungguhnya di balik peristiwa-peristiwa bersejarah di negeri ini. "(Karena) banyak pengalaman yang perlu diungkap, banyak peristiwa yang disamarkan," ujar mantan staf khusus Presiden Habibie ini.

Dalam bukunya, Sintong bertutur soal kiprahnya di militer, terutama saat peralihan pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie. Di Korps Baret Merah, Sintong mendidik angkatan muda, antara lain Hendropriyono, Agum Gumelar, Luhut Pandjaitan, dan Prabowo Subianto. Sintong juga pernah memimpin sejumlah operas militer khusus, seperti Operasi Woyla.

Di buku itu Sintong juga mengungkap soal insiden Dili pada 12 November 1991 yang, menurut dia, terdapat unsur sabotase karena, "penembakan itu tidak seujung rambut pun sesuai dengan kebiasaan ABRI," kata Sintong. Dia merasa disabot oleh kawan dan lawan. "Alangkah bodohnya saya kalau saya sampai memerintahkan petugas keamanan melakukan penembakan."

Sintong mengaku pernah menyampaikan aspirasi warga Timor Timur, yang menuntut wilayahnya dijadikan daerah istimewa seperti Aceh dan Yogyakarta, kepada Presiden Soeharto. Tapi Soeharto menjawab dengan keras, "Kamu jangan berpikir mundur. Nanti daerah istimewa itu tidak ada lagi." Reaksi Soeharto itu membuat Sintong ketakutan. TITO SIANIPAR | DWI WIYANA



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/headline/krn.20090312.159342.id.html

Jaringan Mafia Senayan

Jaringan Mafia Senayan

Laode Ida

Tertangkapnya Abdul Hadi Jamal (AHJ)—anggota Komisi V DPR dari Partai Amanat Nasional—oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menambah jumlah wakil rakyat yang akan menghuni lembaga pemasyarakatan.

Seperti tersangka lain dari DPR, AHJ niscaya tak sendirian dalam beraksi. Ia merupakan bagian dari jaringan yang beroperasi dengan cara canggih, berbasis individu-individu yang memiliki posisi menentukan, baik di parlemen maupun di eksekutif (pusat dan daerah) dan pengusaha.

Parahnya, semua merasa tidak bersalah karena penyogok menganggapnya sebagai ucapan ”terima kasih”, sedangkan penerima merasa sebagai ” jasa karena telah memutuskan dan mengarahkan proyek” kepada penyogok. Kondisi ini kian memperburuk wajah parlemen yang sudah ”bopeng”.

Masalahnya, seolah sebagian anggota DPR tidak puas dengan aneka fasilitas istimewa yang diperoleh, yang dibiayai dengan uang rakyat. Padahal, rakyat yang memilih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski demikian, beberapa masih menunjukkan perilaku ”rakus”, ”tidak prihatin” terhadap perasaan dan nasib rakyat banyak yang hidup menderita.

Padahal, menjadi anggota parlemen harus disadari sebagai jabatan mulia. Dalam menjalankan tugas mulia itu bukan hanya harus menghindarkan diri dari perbuatan tercela (apalagi ”mencuri” uang rakyat), tetapi juga harus bertindak sebagai ”pejuang berbasis kepentingan rakyat”.

Lembaga wakil rakyat, dalam hal ini, bukan tempat mencari uang untuk memperkaya diri, tetapi sebagai ”medan pertempuran memperjuangkan perbaikan nasib dan kualitas rakyat” di arena pengambilan kebijakan negara. Jelas, dalam menjalankan kewajiban itu tidak gratis, tetapi diberikan kompensasi memadai berbentuk gaji pokok, uang representasi, tunjangan jabatan, dan berbagai fasilitas lain.

Berperilaku hina

Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota DPR tidak menyadari sebagai pengemban tugas mulia, sebaliknya justru menunjukkan perilaku hina?

Pertama, mereka mungkin mewakili kelompok jahat dalam masyarakat. Meski terlahir dan dibesarkan dari keluarga baik-baik, tetapi sikap dan perilakunya dipengaruhi lingkungan dan budaya tidak bermoral. Apalagi jika motivasi seseorang saat hendak menjadi anggota parlemen, dengan mendasarkan kenyataan para kolega yang hidup mewah sebagai barisan ”orang-orang kaya baru”, sementara mereka menentukan jumlah proyek berikut anggarannya, maka dengan prinsip ”aji mumpung” mereka memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri, keluarga, dan jaringan.

Kedua, persepsi dan tuntutan sosial terhadap anggota parlemen. Tak bisa dimungkiri jika sebagian masyarakat kita cenderung beranggapan, menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) merupakan jabatan politik yang hidup layak sehingga perlu selalu dimintai kontribusinya dalam bentuk materi. Kelompok masyarakat seperti ini tak peduli dengan kenyataan bahwa kompensasi yang diterima tiap anggota parlemen hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, tak akan pernah cukup untuk selalu dikontribusikan kepada para konstituen.

Apalagi dalam pemilu seperti sekarang, di mana tiap caleg berupaya meraih dukungan suara dari daerah pemilihannya, tak sedikit warga yang ”menjual suaranya” kepada pihak yang membutuhkan. Untuk memenuhi tuntutan itu, banyak anggota parlemen mencari tambahan uang secara tidak resmi, termasuk melalui cara-cara AHJ. Karena hanya dengan cara itulah bisa diperoleh uang cepat guna memback-up upaya pemenangan.

Ketiga, perilaku korup dan mafia sebagian anggota parlemen boleh jadi merupakan dampak parpol untuk mendapat suntikan dana melalui kontribusi anggotanya, terutama dari mereka yang sedang berada di legislatif. Sementara sumbangan rutin dari anggota tidak mungkin memadai untuk operasional parpol, maka diperlukan cara-cara tertentu yang berkonsekuensi ”memaksa sebagian anggota parlemen” untuk menjajaki sumber-sumber dana. Bahkan, ada istilah ”penugasan dari parpol” untuk mencari dana parpol dengan mendudukkan orang-orang kepercayaan parpol pada ”komisi-komisi basah”.

Keempat, kepemimpinan di parlemen terkait sistem pengawasan terhadap anggota. Dalam konteks ini, harus diakui, sistem yang diberlakukan di Indonesia memberi ruang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh anggota dengan basis komisi, panitia, dan atau alat kelengkapan, di mana pimpinan parlemen tak berdaya mengendalikan. Sehari-hari kewenangan ada pada alat-alat kelengkapan di mana posisi para anggota amat menentukan jaringan koordinasi di bawah pimpinan alat kelengkapan dari beberapa fraksi.

Jika di antara anggota dalam alat kelengkapan itu saling bekerja sama (termasuk lintas alat kelengkapan) untuk mewujudkan motivasi subyektif, penyalahgunaan kewenangan bersama- sama tak bisa dihindari.

”Orang dalam”

Badan Kehormatan (BK) memang ada, tetapi lembaga intern parlemen itu tak proaktif melakukan pengawasan dan pencegahan dini terhadap kemungkinan perilaku korup anggota. Maklum, anggota badan etik itu adalah ”orang dalam”, yang pasti akan bersikap ”saling memahami”. Apalagi, tak tertutup kemungkinan, di antara mereka juga melakukan praktik mafia.

Pertanyaannya, apakah tertangkapnya oknum-oknum anggota DPR itu akan membuat yang lain jera? Belum tentu. Sebelum menyelesaikan akar masalah seperti yang digambarkan itu, akan amat sulit untuk memberantas mafia parlemen.

Untuk itu, setidaknya ada dua faktor pendukung.

Pertama, kebiasaan pejabat eksekutif yang memahami kiat-kiat untuk ”menyogok” pihak penentu kebijakan proyek-proyek pembangunan berikut anggarannya.

Kedua, jika kewenangan tetap menumpuk pada DPR, tanpa ada pengimbang dari dalam lembaga parlemen melalui sistem dua kamar yang efektif; kita hanya akan lelah mengecam para mafia Senayan dan jaringannya yang niscaya terus menggerogoti uang negara secara ilegal.

Maka, sekali lagi, wajah parlemen (DPR) kita akan semakin buruk.

Laode Ida Wakil Ketua DPD; Pendapat Pribadi



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/12/03270498/jaringan.mafia.senayan

Antikorupsi, Bisa Didiagnosis, Bukan Utopia

Antikorupsi, Bisa Didiagnosis, Bukan Utopia

Oleh Henry Siahaan *

Anggota DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hadi Djamal, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama staf dari Departemen Perhubungan. Tidak lama kemudian, kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, juga ramai diberitakan media melakukan korupsi serta pemerasan.

Yang bisa dipotret dari contoh buruk tersebut, institusi pemerintahan belum cukup serius mengantisipasi terulangnya kasus korupsi. Institusi pemerintahan seolah terjebak dalam semangat formalisme untuk memerangi korupsi. Antikorupsi menjadi ungkapan pemanis bibir, tidak keluar dari lubuk hati terdalam. Belum terbangun sistem integritas.

Padahal, berbagai upaya, termasuk slogan dan deklarasi antikorupsi, dibuat di berbagai tempat. Tapi, korupsi tidak pernah habis. Sekadar membuka kembali ingatan kolektif bangsa ini bahwa pada peringatan Hari Antikorupsi 9 Desember 2008, hampir semua gubernur menyerukan slogan antikorupsi. Demikian pula, pada akhir Februari 2009, semua partai politik berikrar untuk tidak melakukan korupsi.

Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa pelaku (potensial pelaku) korupsi tidak pernah jera dan tiada habisnya terjadi di Indonesia? Tentu banyak pendapat dan analisis yang mampu menjelaskannya dan bahkan sudah diketahui publik.

Toh, menurut saya, dalam perspektif hukum dan pemerintahan belum banyak dibicarakan bagaimana mengangkat korupsi ke tataran aktual sekaligus implementatif. Sebab, bila tidak demikian, arahan dan strategi pemberantasan korupsi sangat mungkin berjalan di tempat.

Ada tiga alasan utama yang memperkuat pendapat tersebut. Pertama, pemahaman dan acuan yang beragam tentang korupsi dari partai politik dan antar penyelenggara negara. Hasil monitoring dan evaluasi (monev) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kempan) mengindikasikan bahwa Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi belum dipatuhi penyelenggara negara secara konsisten.

Bahkan, masih banyak departemen/daerah yang belum memiliki rencana aksi nasional/daerah pemberantasan korupsi (RAN/D-PK), apalagi menjalankannya. Diferensiasi seperti itu rentan terhadap berkembangnya bahaya laten korupsi.

Karena itu, hasil monev seperti ini perlu dijadikan rujukan untuk membangun kembali semangat antikorupsi dalam institusi pemerintahan dan tangan besi pemerintah seolah menjadi kebutuhan kontemporer pemberantasan korupsi dan keharusan sejarah bangsa ini untuk mewujudkan nilai-nilai konstitusi, khususnya kesejahteraan rakyat, sebagaimana mimpi para founding fathers dalam pembukaan UUD 1945.

Kedua, tidak adanya ''blue print'' pemberantasan korupsi yang komprehensif dan aplikatif yang melibatkan elemen-elemen masyarakat. Tidak ada penetapan status korupsi, sehingga seluruh agenda pemberantasan korupsi dianggap absah. Padahal, status korupsi akan menjadi titik tolak dalam melakukan berbagai kebijakan pemberantasan korupsi. Tidak mungkin semua rencana bisa dilakukan.

Karena itu, perlu menentukan prioritas, sehingga aksi yang dilakukan efektif dan berdampak signifikan. Hal tersebut juga ditujukan untuk mempermudah evaluasi hasil upaya pemberantasan korupsi.

Ketiga, antarinstitusi penegak hukum terkesan saling mengabaikan bahkan menegasikan tindakan yang dilakukan salah satu institusi. Tidak ada sinergisitas yang bisa dijadikan best practice.

Contoh yang paling mudah dilihat sewaktu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengangkat Kemas Yahya Rahman serta M. Salim sebagai koordinator dan wakil koordinator I Satuan Khusus (Satsus) Supervisi dan Bimbingan Teknis (Bimtek) Tuntutan Perkara Tipikor, Perikanan dan Ekonomi. Padahal, diduga kuat mereka terlibat skandal Urip yang ditangani KPK.

Berbagai realitas tersebut merupakan benang kusut kompleksitas persoalan korupsi yang patut diurai sebagai tantangan sekaligus peluang. Yakni, tantangan bagi institusi pemerintahan dan bangsa ini untuk menghambat laju korupsi dan membuat bangsa ini bermartabat serta peluang untuk membuat kesejahteraan rakyat bukan sebagai sesuatu yang utopis.

Karena itu, pertama, harus ada ruang yang lebih luas bagi masyarakat, baik nasional maupun lokal, untuk berpartisipasi. Partisipasi tersebut diwujudkan dengan terlibat dalam penyusunan kebijakan maupun pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi.

Kedua, perlu merumuskan dan menentukan status korupsi di Indonesia. Ibarat gunung api yang siap meletus, ada siaga satu, dua, tiga, dan seterusnya; ada early warning system; ada pelatihan evakuasi bagi masyarakatnya; dan sebagainya. Status itu penting untuk memperjelas strategi yang akan digunakan, instrumen yang diperlukan, dan mekanisme evaluasi yang akan dilakukan di berbagai sektor/bidang. Dengan demikian, target untuk meningkatkan peringkat CPI (corruption perception index) dan atau GCB (global corruption barometer) menjadi terukur.

Ketika itu semua dilakukan, sesungguhnya bangsa dan negara ini sedang terlibat dalam kesibukan substantif terhadap warganya dan sedang menganyam masa depan bangsa yang berpengharapan.

Antikorupsi bukan utopia, tapi bisa didiagnosis sebagaimana penyakit lainnya. Kalau negara-negara seperti di Skandinavia atau Swiss dapat melakukannya, mengapa kita tidak? Semoga jawabannya ada pada pemerintahan berikutnya. ***

*. Henry Siahaan, penggiat antikorupsi, bekerja di Kemitraan, Jakarta


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=56682

Nelayan, Kemiskinan, dan Strategi Adaptasi

Nelayan, Kemiskinan, dan Strategi Adaptasi
Khudori
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Cuaca buruk sebenarnya hal biasa. Nelayan sudah akrab dengan irama alam itu. Untuk mengisi waktu, nelayan biasanya memanfaatkannya untuk memperbaiki jaring atau perahu. Dengan cara itu, di musim paceklik mereka masih bisa produktif. Masalahnya jadi lain apabila cuaca buruk berlangsung lebih lama dan fluktuasinya sulit diprediksi, seperti musim barat saat ini. Musim paceklik, yang biasanya berlangsung tiga bulan (Januari-Maret), kini bertambah panjang. Ini ibarat kutukan tahunan. Alat tangkap yang terbatas dan teknologi yang usang membuat nelayan terus berkubang dalam kemiskinan.

Kemiskinan dan nelayan seolah dua sisi dari satu keping mata uang. Fenomena ini belum hilang. Berbagai studi menunjukkan, kehidupan keluarga nelayan tidak pernah lepas dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Studi-studi tersebut menyimpulkan, tekanan yang dialami keluarga para nelayan buruh, nelayan kecil, atau nelayan tradisional relatif lebih intensif dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di desa pertanian atau perkampungan-perkampungan kumuh (slum) di daerah perkotaan.

Ini terjadi karena (Karim, 2003), pertama, kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah dalam membangun sub-sektor perikanan. Secara empiris Tinjabate (2001) membuktikan, akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam pembangunan perikanan untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sebagai sumber devisa negara, intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan Ampenan berlangsung secara intensif. Kepentingan nelayan tradisional menjadi terabaikan akibat perlakuan diskriminatif pemda.

Kedua, ketergantungan yang berbentuk hubungan patron-klien antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dan buruh nelayan. Penelitian Nasikun dkk (1996) di Muncar, Jawa Timur; Elfiandri (2002) di pantai barat Sumatera Barat; dan Iwan (2002) di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten Tajung Jabung, Jambi, menghasilkan kesimpulan sama: akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan, nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret ke dalam kemiskinan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengubah mode of production dari sistem tradisional jadi modern tidak terjadi. Ini karena proses yang terjadi tidak dibarengi pergeseran hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan.

Ketiga, adanya fenomena kompradorisme dalam modernisasi perikanan tangkap. Ini ditandai dengan fragmentasi kegiatan nelayan dari homogen jadi beragam akibat intervensi kapital atas komunitas nelayan (Tinjabate, 2001). Ini memunculkan formasi sosial baru, yaitu adanya buruh nelayan dan punggawa, serta perubahan sumber penghasilan nelayan yang semula diusahakan sendiri kemudian jadi upah yang diberikan juragan pemilik faktor produksi. Punggawa berkedudukan bak kelas komprador yang bertindak sebagai kaki tangan juragan sekalipun, dia berasal dari masyarakat nelayan yang sama sekali tak punya akses ekonomi dan politik. Pada level makro, kelas komprador berperan sebagai broker lisensi dan perizinan. Ia bertopeng sebagai pengusaha domestik, tapi sebetulnya berkolusi dengan oknum birokrat/penguasa untuk memuluskan izin kapal berbendera asing.

Itu yang membuat ekonomi keluarga nelayan tetap dalam belenggu kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, setiap individu anggota keluarga atau rumah tangga nelayan dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara. Setiap individu rumah tangga harus memiliki kemauan untuk mencari nafkah, bagaimanapun kecilnya penghasilan itu. Setiap anggota rumah tangga bisa memasuki beragam pekerjaan (occupational multiplicity) yang dapat diakses. Dalam situasi penuh tekanan, sistem pembagian kerja rumah tangga nelayan tidak lagi rigid, tapi bersifat fleksibel. Hal tersebut bisa dipandang sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan yang mengitarinya.

Dalam kondisi demikian, posisi perempuan memegang peranan cukup penting. Beragam pekerjaan bisa dimasuki oleh istri-istri nelayan untuk menambah penghasilan, seperti sebagai pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, pembersih perahu/kapal yang baru mendarat, pengumpul nener, pekerja pada perusahaan penyimpanan udang beku atau industri rumah tangga untuk pengolahan ikan, pembuat jaring, pedagang ikan eceran, pedagang (ikan) perantara, beternak, berkebun, dan pemilik warung (Poernomo, 1992). Masalahnya, ragam pekerjaan yang bisa dimasuki oleh perempuan masih terkait dengan kegiatan perikanan. Ragam kegiatan tersebut memiliki kerentanan amat tinggi.

Di sinilah pentingnya strategi menciptakan, mengembangkan, dan memelihara hubungan-hubungan sosial untuk membentuk suatu jaringan sosial (social net) sebagai bagian dari strategi adaptasi. Jaringan sosial ini berfungsi memudahkan setiap anggota memperoleh akses ke sumber daya ekonomi yang tersedia di lingkungan. Jaringan sosial yang anggotanya memiliki kesamaan kemampuan sosial-ekonomi (bersifat horizontal) biasanya berwujud aktivitas tolong-menolong. Sebaliknya, jaringan sosial yang anggotanya cukup beragam (bersifat vertikal), polanya berbentuk patron-klien (Kusnadi, 1997). Hubungan-hubungan sosial dalam kedua jaringan sosial bisa berupa tukar-menukar, ataupun peminjaman timbal-balik sumber daya ekonomi, seperti uang, barang, dan jasa. Dalam masyarakat yang memiliki sumber daya terbatas, jaringan ini amat penting.

Masalahnya, beragam strategi adaptasi ini semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif yang bersifat subsistensi, bukan kebutuhan yang bersifat produktif. Dalam jangka panjang, diperlukan strategi yang lebih mendasar untuk meretas belenggu kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan ketergantungan rumah tangga nelayan miskin terhadap lingkungan sumber daya yang melingkupinya. Pertama, diversifikasi teknologi. Nelayan jatuh miskin karena sering kali gagal beradaptasi dengan variasi musim akibat terbatasnya jenis alat tangkap. Di Pasuruan, musim teri nasi adalah Desember-April. Setelah April, mereka butuh alat tangkap lain agar bisa menangkap ikan selain teri (Satria, 2008). Ini juga terjadi pada nelayan daerah lain. Keterbatasan modal membuat nelayan hanya punya satu alat tangkap, sehingga kepastian hidupnya tak pasti.

Kedua, mengembangkan sumber nafkah baru yang tidak bergantung pada hasil penangkapan. Dua sumber nafkah baru yang dapat dimasuki bisa berbasis perikanan dan nonperikanan. Kegiatan alternatif berbasis perikanan berupa usaha budidaya, pengolahan ikan tradisional, dan bakul ikan. Kegiatan alternatif nonperikanan yang bisa dimasuki adalah usaha pertanian di lahan pesisir. Namun, mengubah nelayan menjadi pembudidaya bukan hal mudah. Dibutuhkan konsistensi kebijakan agar berhasil. Ketiga, untuk mewujudkan itu perlu skema pendanaan yang fleksibel, sesuai dengan kebutuhan nelayan. Tanpa itu semua, cuaca buruk membuat nelayan dan kemiskinan seolah duet serasi yang abadi.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Opini/krn.20090312.159294.id.html

Meneladan Silaturahmi Pendahulu Bangsa

Meneladan Silaturahmi Pendahulu Bangsa
Abdoel Fattah
DIREKTUR EKSEKUTIF THE FATWA CENTER, DOSEN PASCASARJANA UMB DAN UNAS

Bangsa Indonesia sedang menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ditambah lagi dengan adanya dampak krisis global yang melanda banyak negara. Sementara itu, menjelang pemilu yang akan datang, banyak elite politik dan pemimpin yang gencar berkompetisi agar mencapai kemenangan, bahkan dengan berbagai cara. Dalam kerangka demokrasi, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Namun, sebagian ada yang melakukannya dengan cara yang kurang elegan, misalnya saling menghujat, saling menjatuhkan, melecehkan, dan mungkin juga saling memfitnah. Dalam hal memilih kata yang digunakan pun ada yang tidak cerdas. Ada kesan seperti terjadi "pertengkaran" saja.

Yang demikian itu sangat disayangkan karena tidak mencerminkan demokrasi yang bermartabat dan tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat, dan justru dapat membuat citra buruk terhadap demokrasi, apalagi sudah memakan biaya yang besar. Seharusnya elite politik atau pemimpin justru berkewajiban memberikan teladan bagaimana berperilaku yang baik, santun, dan bermartabat, yang merupakan etika berpolitik dalam kerangka membangun perpaduan dan persaudaraan bangsa. Terlepas dari adanya perbedaan-perbedaan apa pun di antara pemimpin dan elite politik, mereka harus saling menghargai dan bisa melakukan silaturahim, persahabatan, dan persaudaraan, termasuk melalui keteladanan tanpa memandang dan melahirkan sekat-sekat berdasarkan kepentingan sempit kelompok, partai, dan kepentingan sesaat.

Dalam perspektif politik, dikenal integrasi politik yang salah satunya adalah perilaku integratif. Terkait dengan hal tersebut, dituntut kemauan untuk bekerja sama dari semua pihak demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Dalam perbedaan, apakah dalam sikap politik, perbedaan agama, suku, dan sebagainya, bahkan dalam persaingan pun harus ada kemauan untuk bekerja sama demi bangsa. Bukankah ada pemimpin kaliber dunia yang mengatakan bahwa jika loyalitas kepada negara dimulai, loyalitas kepada partai berakhir? Dalam hal ini bisa dimaknai bahwa loyalitas kepada negara harus lebih besar daripada loyalitas kepada partai, karena pada hakikatnya partai merupakan alat untuk menyusun gagasan, pendapat umum, dan pendidikan politik agar rakyat merasai tanggung jawab sebagai pemangku negara dan sebagai anggota masyarakat.

Para founding father telah memberikan contoh, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, demikian juga Moch. Natsir, yang dengan tulus membantu pemerintah Soeharto mencairkan hubungan dengan Malaysia, padahal beliau kritis terhadap pemerintah pada waktu itu. Hubungan silaturahmi Natsir yang tokoh Islam dengan Kasimo yang Ketua Partai Katolik berlangsung akrab. Masih banyak contoh yang diberikan oleh para bapak bangsa. Dan keberhasilan founding father dalam merawat persaudaraan dan rasa kebangsaan itulah yang perlu diteladan oleh generasi penerus. Pada tingkat dunia bisa dilihat bagaimana mantan presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat bersedia menjadi utusan presiden yang berlainan partai. Demikian juga mantan presiden Hashemi Rafsanjani, bersedia menjadi utusan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad melakukan misi ke Kuwait. Bahkan Mac Cain, yang sebelumnya begitu seru berkompetisi dalam memperebutkan kursi Presiden AS, mau menerima kenyataan kekalahannya oleh Obama dan kemudian justru menyerukan dukungan kepada pemenangnya, yakni Obama. Hal-hal seperti itu perlu dicontoh.

Pertemuan/silaturahim mantan presiden B.J. Habibie dengan Presiden SBY belum lama ini yang berlangsung akrab, di mana Pak Habibie menyampaikan saran-sarannya untuk kemajuan bangsa, juga telah membuka suasana baru dan memberi contoh keteladanan berpolitik yang baik. Ini karena masyarakat dan bangsa ingin melihat pemimpinnya atau seniornya dapat menunjukkan kepaduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengalahkan kepentingan kelompok sesaat. Ironisnya, di tengah banyaknya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan rakyat, ada sementara elite atau pemimpin yang saling mencaci-maki, mencemooh, dan memojokkan dengan menonjolkan pikiran dan sikap negatif yang membuat rakyat jadi bingung. Berbagai masalah yang dihadapi rakyat sering hanya dijadikan komoditas politik untuk saling menjatuhkan. Tentunya hal itu bertentangan dengan etika politik bernegara, karena etika politik bernegara menuntut perilaku yang mementingkan kebaikan bersama bangsa, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Alangkah indahnya jika para elite politik dan pemimpin dapat meneladan pendahulu-pendahulunya dengan melakukan saling silaturahim dalam rangka memberi keteladanan kepada rakyat.

Di samping itu, elite politik seharusnya dapat menunjukkan loyalitas kepada negara baik di pusat maupun di daerah, dan berperilaku sebagai negarawan. Elite politik justru harus menjadi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam berperilaku yang bermartabat dan bertanggung jawab. Keteladanan berpolitik harus didasarkan kepada moral, norma, etika, akhlak mulia, dan kepada estetika yang berkaitan dengan kepantasan berpolitik. Keteladanan berpolitik tidak hanya diukur dari aspek benar-salah, tetapi juga baik-buruk yang dapat mengesankan kecemerlangan pelakunya.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Opini/krn.20090312.159295.id.html

Fwd: Gebyar Literasi di Kampung Budaya Lipursari, Wonosobo

Gebyar Literasi di Kampung Budaya Lipursari, Wonosobo

(Kolaborasi: Rumah Baca “Istana Rumbia“, Pondok Maos Guyub, Milis Apresiasi-Sastra)



Pelaksanaan: Jumat, Sabtu, Minggu 24, 25, 26 April 2009

Tempat: Desa Lipursari, Leksono, Wonosobo.

Kontak Person HP: 081- 314 943 509 (Maria), 081- 391 202 484 (Stevie)



Email: istana.rumbia@gmail.com , diskam@yahoo.com

Blog: http://boniok.multiply.com/



Rumah Baca “Istana Rumbia” telah dirintis dan telah melakukan kegiatan sejak 1 Januari 2006. Berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan literasi dan seni budaya telah diadakan tanpa melupakan peran aktif masyarakat desa Lipursari, khususnya anak-anak. Teman-teman media pun telah sering memberitakan kegiatan kami tersebut, antara lain: Kompas, Suara Merdeka dan Jawa Pos.

Syukur alhamdulilah rumah baca “Istana Rumbia” hingga tahun 2009 ini mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak, terutama dari teman-teman penulis, taman baca, dan penerbit sehingga anak-anak rumbia yang telah menjadi haus akan ilmu dapat tersenyum dan membawa pulang ilmu dari bacaan yang tersedia di rumah baca “Istana Rumbia”.

Melihat kemajuan yang sangat signifikan ini, maka kami mengadakan kegiatan yang berorientasi pada lingkungan hidup agar anak-anak yang menjadi generasi penerus bangsa dapat mencintai, melestarikan dan menjaga alam dan budaya lokalnya.

Dalam kegiatan ini kami juga mengundang dan mengajak peran aktif teman-teman penulis dan penggiat literasi dari berbagai kota, antara lain: Boja (Kendal), Yogyakarta, Muntilan, Jakarta, dan Wonogiri.

===============

Bagi mereka yang ingin memberikan sumbangan buku, silakan mengirimkannya ke:

Rumah Baca "Istana Rumbia"
u.p. Maria Bo Niok
Pasunten 03/02
Lipursari, Leksono
Kab. Wonosobo 56362 – Jawa Tengah

Bagi mereka yang ingin memberikan sumbangan dana, silakan transfer ke rekening:

BCA KCP Wonosobo
AC 239 032 9481
a.n. Siti Mariam

===============

SUSUNAN ACARA

Hari Pertama: Jumat, 24 April 2009

14.30 s.d. 15.30 : Lomba Memancing Anak-anak

Peserta: Anak-anak usia 6 s.d. 17 tahun yang sudah mendaftar
Lokasi Kegiatan: Ngelak-Kali Putih, Sunten, Lipursari, Wonosobo
Agenda:
-Pembukaan + Tebar Benih Ikan oleh Dinas Perikanan di Ngelak-Kali Putih, Sunten
-Lomba Mancing
-Penilaian oleh panitia (Jumlah ikan + udang terbanyak)
Hadirin:
: Umum
: Anak Rumbia
: Tamu Komunitas Antar Rumah Baca
: Kawan-kawan media yang meliput acara

Hari Kedua: Sabtu, 25 April 2009

06.00 s.d. 09.00: Wisata Kampung

Peserta: Tamu Komunitas yang menginap di Istana Rumbia & sekitarnya
Agenda:
-Dolan-dolan ke hutan pinus di Lipursari
-Diskusi kecil di tengah alas

14.30 s.d. 15.00 : Kumpul Bocah

Peserta:
: Anak Rumbia yang mendaftar ikut pelatihan penulis cilik
Agenda:
: Pengarahan dari Arie Saptaji (Penulis “Warior: Sepatu untuk Sahabat”)

15.30 s.d. 17.30 : Dolanan Bocah

Agenda: Dolanan Aneka permainan:
: Sulapan : Sigit Susanto
: Mendongeng : Ariyo/Rini (1001buku Jakarta)
: Dolanan Karet : Anak Rumbia

19.30 s.d. selesai : Diskusi

Agenda/Topik Diskusi: Literasi dan Rumah Baca
Pembicara:
: Sigit Susanto (Penulis buku “Lorong-lorong Dunia”)
: Desy Sekar (Forum Indonesia Membaca-Jakarta)
: Daurie/Virghien (KKS “Melati”- Jakarta)
: Asrie Lesningati- Taman Baca KiRANA- Wonogiri
: Rumah Baca “Istana Rumbia”- Wonosobo

Hadirin/peserta:
Umum (Pengajar/Pendidik/Penulis/Pengamat/Penggiat Literasi dan Rumah Baca)

20.30 s.d. selesai: Pentas Seni Pemuda dan Remaja Lipursari

Agenda: Kelompok seni tampil di atas panggung.
Teknis: Tim panggung mendaftar kelompok seni yang akan tampil

Hari Ketiga: Minggu, 26 April 2009

08.00 s.d. 14.30 : Pelatihan Penulis Cilik

Agenda Perjalanan:
: 08.00 s.d. 09.00 : Kumpul
: 09.00 s.d. 10.00 : Berangkat dari Rumah Baca “Istana Rumbia”
: 10.00 s.d. 11.00 : Kebun Teh Tambi-Garung
: 11.15 s.d. 12.15 : Perjalanan pulang
: 12.15 s.d. 12.45 : Sholat Dhuhur, Istirahat, dan Makan
: 12.45 s.d.13.15 : Kunjungan ke Pabrik Roti “Tunggal Jaya”
: 13.30 s.d. 14.00 : Kunjungan ke Pembuat Tempe
: 14.15 s.d. 14.30 : Kembali ke rumah baca “Istana Rumbia”

Peserta: anak-anak yang ikut pelatihan + pendamping

14.30 s.d. 17.00 : Diskusi Budaya
Agenda/Topik Pembicaraan: Strategi dan Wacana Pengembangan Budaya Lokal
Hadirin/Peserta: Jagong Budaya + Tamu Komunitas

- 19.00 s.d. 22.00 : Malam Budaya
Agenda:
: Baca dan Musikalisasi puisi anak Rumbia
: Puisi Terbangan
: Tari Keplok
: Pembagian hadiah
: Gambus Rudad “Al-Huda”- Sunten, Lipursari
: Musik Orgen: Hartono (Pondok Maos Guyub)
: Spontanitas



Selesai*

Umi Halimah Saadah, Pewarta Warga Terbaik Februari 2009

Umi Halimah Saadah, Pewarta Warga Terbaik Februari 2009

Ditulis Oleh Redaksi
11-03-2009,
Setiap pagi, Umi mengajar pendidikan Agama di SD. Sore hari, dia mengajar di Madrasah Diniyyah di desanya. Umi juga aktif berkegiatan bersama warga di lingkungan tempat tinggalnya: bergabung sebagai panitia Pemilu, mengisi kuliah Ramadan di masjid, anggota Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Karang Taruna, aktif di kegiatan PKK, memimpin jamaah pengajian ibu-ibu, dan masih banyak lagi.

"Karena keaktifan saya ikut kegiatan sosial di desa sampai ada orang bilang kalau saya Srikandhi-nya desa," ujarnya.

Umi merasa, sampai saat ini budaya patriarki masih erat dengan kehidupan masyarakat, bisa dilihat dari berbagai kegiatan yang hampir semuanya dimotori mayoritas oleh laki-laki. Di desanya, Desa Derekan, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Umi menjadi satu-satunya perempuan yang ikut nimbrung dalam kegiatan kemasyarakatan yang notabene dihuni para lelaki. "Kegiatan itu saya lakoni sudah sejak lulus SMA," katanya.

Sejak muda, Umi sudah merasa tidak cocok dengan budaya patriarki yang begitu lekat dan dekat dengan lingkungan terdekatnya. Dia mulai menemukan referensi soal feminisme dan kesetaraan jender saat mondok sembari bersekolah di pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak.

"Ternyata itu bukan saja masalah pribadi saya, namun juga sebuah isu yang ketika itu sedang hangat diperbincangkan. Mulai saat itu saya selalu berusaha agar tidak kalah dengan laki-laki," akunya.

Sekembalinya Umi dari pesantren dan hidup di masyarakat, dia selalu mendapat kesempatan untuk bekerja sejajar dengan laki-laki, meskipun tak banyak rekan perempuan di bidang yang dinilai sangat 'lelaki'.

Kini, Umi tak hanya mengabdi untuk masyarakat. Ia telah menikah, dan sedang mengandung anak pertamanya. Perut buncitnya tak menghalangi dia beraktifitas, justru membuatnya mencari jalan lain untuk terus berbagi: lewat tulisan. Salah satu tulisannya, Perempuan Memakai Celana Panjang, Haramkah? , mendapat begitu banyak respons dari pembaca.

Umi juga pernah menuliskan pengamatannya terhadap tingkah polah para calon legislatif yang berkampanye hingga ke pintu-pintu rumah warga.

Di tengah segala kesibukannya, saat ini Umi masih dalam proses menyelesaikan pendidikan S-2 di IAIN Walisongo Semarang.

"Kepribadian yang grapyak, semanak, adaptif, komunikatif, membuat saya dekat dengan orang-orang sekitar, dari balita sampai manula. Dengan anak didik pun saya tidak bisa kalau harus mengambil jarak. Saya lebih enjoy jika mereka menganggap saya seperti teman, sebaliknya saya dengan mereka."

Umi yang aktif, berpikiran kritis, memang layak mendapatkan predikat sebagai Srikandhi di desanya. Tak berlebihan pula kiranya bila tulisan-tulisannya di Suara Warga mengantarkan dia mendapat predikat pewarta terbaik di bulan ini.


http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=713&Itemid=1

Daftar Juara di All England

Written By gusdurian on Rabu, 11 Maret 2009 | 14.28

Daftar Juara di All England
Reky Herling Kalumata - detiksport



Reuters
Jakarta - Lin Dan akhirnya memastikan diri menjadi juara tunggal putra All England. Ini adalah gelar keempat yang diraih oleh Lin Dan di turnamen tersebut.

Berikut ini daftar para juara di All England di setiap nomor sejak 2001:

Juara Tunggal Putra :
2009 Lin Dan (China)
2008 Chen Jin (China)
2007 Lin Dan (China)
2006 Lin Dan (China)
2005 Chen Hong (China)
2004 Lin Dan (China)
2003 Muhammad Hafiz Hashim (Malaysia)
2002 Chen Hong (China)
2001 Pullela Gopichand (India)

Juara Tunggal Putri :
2009 Wang Yihan (China)
2008 Tine Rasmussen (Denmark)
2007 Xie Xingfang (China)
2006 Xie Xingfang (China)
2005 Xie Xingfang (China)
2004 Gong Ruina (China)
2003 Zhou Mi (China)
2002 Camilla Martin (Denmark)
2001 Gong Zhichao (China)

Juara Ganda Putra:
2009 Cai Yun/Fu Haifeng (China)
2008 Jung Jae-sung/ Lee Yong-dae (Korea Selatan)
2007 Koo Kien Keat/ Tan Boon Heong (Malaysia)
2006 Jens Eriksen/Martin Lundgaard Hansen ( Denmark)
2005 Cai Yun/ Fu Haifeng (China)
2004 Jens Eriksen/Martin Lundgaard Hansen (Denmark)
2003 Sigit Budiarto/Candra Wijaya (Indonesia)
2002 Ha Tae-kwon/Kim Dong-moon (Korea Selatan)
2001 Tony Gunawan/ Halim Heryanto (Indonesia)

Juara Ganda Putri:
2009 Zhang Yawen/Zhao Tingting (China)
2008 Lee Hyo-jung/Lee Kyung-won (Korea Selatan)
2007 Wei Yili/Zhang Yawen (China)
2006 Gao Ling/Huang Sui (China)
2005 Gao Ling/Huang Sui (China)
2004 Gao Ling/Huang Sui (China)
2003 Gao Ling/Huang Sui (China)
2002 Gao Ling/Huang Sui (China)
2001 Gao Ling/ Huang Sui (China)

Juara Ganda Campuran:
2009 He Hanbin/Yu Yang (China)
2008 Zheng Bo/Gao Ling (China)
2007 Zheng Bo/ Gao Ling (China)
2006 Zhang Jun/ Gao Ling (China)
2005 Nathan Robertson/ Gail Emms (Inggris)
2004 Kim Dong-moon/Ra Kyung-min (Korea Selatan)
2003 Zhang Jun/Gao Ling (China)
2002 Kim Dong-moon/Ra Kyung-min (Korea Selatan)
2001 Zhang Jun/Gao Ling (China)
( key / key )

http://www.detiksport.com/read/2009/03/09/081932/1096482/550/daftar-juara-di-all-england