BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Meneladan Silaturahmi Pendahulu Bangsa

Meneladan Silaturahmi Pendahulu Bangsa

Written By gusdurian on Kamis, 12 Maret 2009 | 12.56

Meneladan Silaturahmi Pendahulu Bangsa
Abdoel Fattah
DIREKTUR EKSEKUTIF THE FATWA CENTER, DOSEN PASCASARJANA UMB DAN UNAS

Bangsa Indonesia sedang menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ditambah lagi dengan adanya dampak krisis global yang melanda banyak negara. Sementara itu, menjelang pemilu yang akan datang, banyak elite politik dan pemimpin yang gencar berkompetisi agar mencapai kemenangan, bahkan dengan berbagai cara. Dalam kerangka demokrasi, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Namun, sebagian ada yang melakukannya dengan cara yang kurang elegan, misalnya saling menghujat, saling menjatuhkan, melecehkan, dan mungkin juga saling memfitnah. Dalam hal memilih kata yang digunakan pun ada yang tidak cerdas. Ada kesan seperti terjadi "pertengkaran" saja.

Yang demikian itu sangat disayangkan karena tidak mencerminkan demokrasi yang bermartabat dan tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat, dan justru dapat membuat citra buruk terhadap demokrasi, apalagi sudah memakan biaya yang besar. Seharusnya elite politik atau pemimpin justru berkewajiban memberikan teladan bagaimana berperilaku yang baik, santun, dan bermartabat, yang merupakan etika berpolitik dalam kerangka membangun perpaduan dan persaudaraan bangsa. Terlepas dari adanya perbedaan-perbedaan apa pun di antara pemimpin dan elite politik, mereka harus saling menghargai dan bisa melakukan silaturahim, persahabatan, dan persaudaraan, termasuk melalui keteladanan tanpa memandang dan melahirkan sekat-sekat berdasarkan kepentingan sempit kelompok, partai, dan kepentingan sesaat.

Dalam perspektif politik, dikenal integrasi politik yang salah satunya adalah perilaku integratif. Terkait dengan hal tersebut, dituntut kemauan untuk bekerja sama dari semua pihak demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa. Dalam perbedaan, apakah dalam sikap politik, perbedaan agama, suku, dan sebagainya, bahkan dalam persaingan pun harus ada kemauan untuk bekerja sama demi bangsa. Bukankah ada pemimpin kaliber dunia yang mengatakan bahwa jika loyalitas kepada negara dimulai, loyalitas kepada partai berakhir? Dalam hal ini bisa dimaknai bahwa loyalitas kepada negara harus lebih besar daripada loyalitas kepada partai, karena pada hakikatnya partai merupakan alat untuk menyusun gagasan, pendapat umum, dan pendidikan politik agar rakyat merasai tanggung jawab sebagai pemangku negara dan sebagai anggota masyarakat.

Para founding father telah memberikan contoh, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, demikian juga Moch. Natsir, yang dengan tulus membantu pemerintah Soeharto mencairkan hubungan dengan Malaysia, padahal beliau kritis terhadap pemerintah pada waktu itu. Hubungan silaturahmi Natsir yang tokoh Islam dengan Kasimo yang Ketua Partai Katolik berlangsung akrab. Masih banyak contoh yang diberikan oleh para bapak bangsa. Dan keberhasilan founding father dalam merawat persaudaraan dan rasa kebangsaan itulah yang perlu diteladan oleh generasi penerus. Pada tingkat dunia bisa dilihat bagaimana mantan presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat bersedia menjadi utusan presiden yang berlainan partai. Demikian juga mantan presiden Hashemi Rafsanjani, bersedia menjadi utusan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad melakukan misi ke Kuwait. Bahkan Mac Cain, yang sebelumnya begitu seru berkompetisi dalam memperebutkan kursi Presiden AS, mau menerima kenyataan kekalahannya oleh Obama dan kemudian justru menyerukan dukungan kepada pemenangnya, yakni Obama. Hal-hal seperti itu perlu dicontoh.

Pertemuan/silaturahim mantan presiden B.J. Habibie dengan Presiden SBY belum lama ini yang berlangsung akrab, di mana Pak Habibie menyampaikan saran-sarannya untuk kemajuan bangsa, juga telah membuka suasana baru dan memberi contoh keteladanan berpolitik yang baik. Ini karena masyarakat dan bangsa ingin melihat pemimpinnya atau seniornya dapat menunjukkan kepaduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengalahkan kepentingan kelompok sesaat. Ironisnya, di tengah banyaknya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan rakyat, ada sementara elite atau pemimpin yang saling mencaci-maki, mencemooh, dan memojokkan dengan menonjolkan pikiran dan sikap negatif yang membuat rakyat jadi bingung. Berbagai masalah yang dihadapi rakyat sering hanya dijadikan komoditas politik untuk saling menjatuhkan. Tentunya hal itu bertentangan dengan etika politik bernegara, karena etika politik bernegara menuntut perilaku yang mementingkan kebaikan bersama bangsa, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Alangkah indahnya jika para elite politik dan pemimpin dapat meneladan pendahulu-pendahulunya dengan melakukan saling silaturahim dalam rangka memberi keteladanan kepada rakyat.

Di samping itu, elite politik seharusnya dapat menunjukkan loyalitas kepada negara baik di pusat maupun di daerah, dan berperilaku sebagai negarawan. Elite politik justru harus menjadi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam berperilaku yang bermartabat dan bertanggung jawab. Keteladanan berpolitik harus didasarkan kepada moral, norma, etika, akhlak mulia, dan kepada estetika yang berkaitan dengan kepantasan berpolitik. Keteladanan berpolitik tidak hanya diukur dari aspek benar-salah, tetapi juga baik-buruk yang dapat mengesankan kecemerlangan pelakunya.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Opini/krn.20090312.159295.id.html
Share this article :

0 komentar: