BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jaringan Mafia Senayan

Jaringan Mafia Senayan

Written By gusdurian on Kamis, 12 Maret 2009 | 13.08

Jaringan Mafia Senayan

Laode Ida

Tertangkapnya Abdul Hadi Jamal (AHJ)—anggota Komisi V DPR dari Partai Amanat Nasional—oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menambah jumlah wakil rakyat yang akan menghuni lembaga pemasyarakatan.

Seperti tersangka lain dari DPR, AHJ niscaya tak sendirian dalam beraksi. Ia merupakan bagian dari jaringan yang beroperasi dengan cara canggih, berbasis individu-individu yang memiliki posisi menentukan, baik di parlemen maupun di eksekutif (pusat dan daerah) dan pengusaha.

Parahnya, semua merasa tidak bersalah karena penyogok menganggapnya sebagai ucapan ”terima kasih”, sedangkan penerima merasa sebagai ” jasa karena telah memutuskan dan mengarahkan proyek” kepada penyogok. Kondisi ini kian memperburuk wajah parlemen yang sudah ”bopeng”.

Masalahnya, seolah sebagian anggota DPR tidak puas dengan aneka fasilitas istimewa yang diperoleh, yang dibiayai dengan uang rakyat. Padahal, rakyat yang memilih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski demikian, beberapa masih menunjukkan perilaku ”rakus”, ”tidak prihatin” terhadap perasaan dan nasib rakyat banyak yang hidup menderita.

Padahal, menjadi anggota parlemen harus disadari sebagai jabatan mulia. Dalam menjalankan tugas mulia itu bukan hanya harus menghindarkan diri dari perbuatan tercela (apalagi ”mencuri” uang rakyat), tetapi juga harus bertindak sebagai ”pejuang berbasis kepentingan rakyat”.

Lembaga wakil rakyat, dalam hal ini, bukan tempat mencari uang untuk memperkaya diri, tetapi sebagai ”medan pertempuran memperjuangkan perbaikan nasib dan kualitas rakyat” di arena pengambilan kebijakan negara. Jelas, dalam menjalankan kewajiban itu tidak gratis, tetapi diberikan kompensasi memadai berbentuk gaji pokok, uang representasi, tunjangan jabatan, dan berbagai fasilitas lain.

Berperilaku hina

Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota DPR tidak menyadari sebagai pengemban tugas mulia, sebaliknya justru menunjukkan perilaku hina?

Pertama, mereka mungkin mewakili kelompok jahat dalam masyarakat. Meski terlahir dan dibesarkan dari keluarga baik-baik, tetapi sikap dan perilakunya dipengaruhi lingkungan dan budaya tidak bermoral. Apalagi jika motivasi seseorang saat hendak menjadi anggota parlemen, dengan mendasarkan kenyataan para kolega yang hidup mewah sebagai barisan ”orang-orang kaya baru”, sementara mereka menentukan jumlah proyek berikut anggarannya, maka dengan prinsip ”aji mumpung” mereka memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri, keluarga, dan jaringan.

Kedua, persepsi dan tuntutan sosial terhadap anggota parlemen. Tak bisa dimungkiri jika sebagian masyarakat kita cenderung beranggapan, menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) merupakan jabatan politik yang hidup layak sehingga perlu selalu dimintai kontribusinya dalam bentuk materi. Kelompok masyarakat seperti ini tak peduli dengan kenyataan bahwa kompensasi yang diterima tiap anggota parlemen hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, tak akan pernah cukup untuk selalu dikontribusikan kepada para konstituen.

Apalagi dalam pemilu seperti sekarang, di mana tiap caleg berupaya meraih dukungan suara dari daerah pemilihannya, tak sedikit warga yang ”menjual suaranya” kepada pihak yang membutuhkan. Untuk memenuhi tuntutan itu, banyak anggota parlemen mencari tambahan uang secara tidak resmi, termasuk melalui cara-cara AHJ. Karena hanya dengan cara itulah bisa diperoleh uang cepat guna memback-up upaya pemenangan.

Ketiga, perilaku korup dan mafia sebagian anggota parlemen boleh jadi merupakan dampak parpol untuk mendapat suntikan dana melalui kontribusi anggotanya, terutama dari mereka yang sedang berada di legislatif. Sementara sumbangan rutin dari anggota tidak mungkin memadai untuk operasional parpol, maka diperlukan cara-cara tertentu yang berkonsekuensi ”memaksa sebagian anggota parlemen” untuk menjajaki sumber-sumber dana. Bahkan, ada istilah ”penugasan dari parpol” untuk mencari dana parpol dengan mendudukkan orang-orang kepercayaan parpol pada ”komisi-komisi basah”.

Keempat, kepemimpinan di parlemen terkait sistem pengawasan terhadap anggota. Dalam konteks ini, harus diakui, sistem yang diberlakukan di Indonesia memberi ruang terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh anggota dengan basis komisi, panitia, dan atau alat kelengkapan, di mana pimpinan parlemen tak berdaya mengendalikan. Sehari-hari kewenangan ada pada alat-alat kelengkapan di mana posisi para anggota amat menentukan jaringan koordinasi di bawah pimpinan alat kelengkapan dari beberapa fraksi.

Jika di antara anggota dalam alat kelengkapan itu saling bekerja sama (termasuk lintas alat kelengkapan) untuk mewujudkan motivasi subyektif, penyalahgunaan kewenangan bersama- sama tak bisa dihindari.

”Orang dalam”

Badan Kehormatan (BK) memang ada, tetapi lembaga intern parlemen itu tak proaktif melakukan pengawasan dan pencegahan dini terhadap kemungkinan perilaku korup anggota. Maklum, anggota badan etik itu adalah ”orang dalam”, yang pasti akan bersikap ”saling memahami”. Apalagi, tak tertutup kemungkinan, di antara mereka juga melakukan praktik mafia.

Pertanyaannya, apakah tertangkapnya oknum-oknum anggota DPR itu akan membuat yang lain jera? Belum tentu. Sebelum menyelesaikan akar masalah seperti yang digambarkan itu, akan amat sulit untuk memberantas mafia parlemen.

Untuk itu, setidaknya ada dua faktor pendukung.

Pertama, kebiasaan pejabat eksekutif yang memahami kiat-kiat untuk ”menyogok” pihak penentu kebijakan proyek-proyek pembangunan berikut anggarannya.

Kedua, jika kewenangan tetap menumpuk pada DPR, tanpa ada pengimbang dari dalam lembaga parlemen melalui sistem dua kamar yang efektif; kita hanya akan lelah mengecam para mafia Senayan dan jaringannya yang niscaya terus menggerogoti uang negara secara ilegal.

Maka, sekali lagi, wajah parlemen (DPR) kita akan semakin buruk.

Laode Ida Wakil Ketua DPD; Pendapat Pribadi



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/12/03270498/jaringan.mafia.senayan
Share this article :

0 komentar: