BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » SILANG SELIMPAT BUDDHA BAR

SILANG SELIMPAT BUDDHA BAR

Written By gusdurian on Kamis, 12 Maret 2009 | 13.20

SILANG SELIMPAT BUDDHA BAR
"Janji-janji Niresta akan saya kejar."
Buddha Bar terus diterpa kontroversi. Setelah diprotes oleh Forum Anti Buddha Bar pada 2 Maret lalu karena penggunaan nama Buddha, kini giliran Forum Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu) memprotes penggunaan cagar budaya untuk bar milik PT Niresta Vista Creative itu.

Menurut Dharmawan Handonowarih, pendiri Walibatu, forum mereka diundang oleh pemerintah DKI Jakarta untuk mengadakan sayembara pemanfaatan gedung yang disebut Batavia Kunstkring yang ada di Jalan Teuku Umar, Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat, itu. "Jurinya orang-orang top, seperti Adolf Heuken, Eka Budianta, Richard Oh, Suryadi Yo Santoso, dan Sarwo Handayani," katanya, Selasa lalu.

Sayembara itu dimenangkan oleh Dastin Hillery dengan judul Gedung Perikatan Seni Jakarta. Dharmawan menjelaskan, konsep Dastin adalah penggunaan gedung untuk galeri seni. Kenyataannya, pemanfaatannya menyimpang dari sayembara. "Kami merasa tertipu," kata Enrico Halim, juga dari Walibatu.

Ia menilai, sayembara itu hanya akal-akalan pemerintah agar memenuhi persyaratan adanya keterlibatan publik dalam pemanfaatan gedung yang dulu dipakai sebagai Kantor Imigrasi Jakarta Pusat itu. Tapi, Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata Aurora Tambunan mengatakan hasil sayembara tak mutlak harus diterapkan.

Gonta-ganti kepemilikan gedung, kata Enrico, juga bermasalah. Pada 1999, PT Mandala Griya Cipta milik Tommy Soeharto menguasai gedung ini melalui tukar guling dengan bangunan di Kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. "Masa sih gedung cagar budaya ditukar gedung biasa," ujarnya.

Nilai transaksi tukar guling itu diperkirakan mencapai Rp 8-9 Miliar. Tapi gedung ini ditelantarkan. Pada 2002, DKI memutuskan membeli gedung ini. Dalam tiga tahun, nilainya meningkat menjadi Rp 28,9 miliar dengan kondisi rusak parah.

Pemerintah lalu merestorasi gedung ini yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar Rp 5 miliar. Walibatu menilai restorasi ini hanya mengembalikan bentuk gedung seperti aslinya tanpa memperhatikan fungsi gedung. Setelah kinclong kembali, Gubernur Sutiyoso meresmikan gedung ini pada September 2007.

Pemerintah lalu mengundang swasta untuk mengelola gedung ini. Menurut Aurora, langkah itu diambil karena pemerintah memiliki dana minim untuk merawat bangunan tua. Lima perusahaan mengajukan proposal. Tiga di antaranya lolos penilaian beauty contest oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. Pemenangnya adalah PT Niresta.

PT Niresta menyewa gedung ini selama lima tahun. Nilai sewanya adalah Rp 800 juta per tahun. Aurora menjamin uang sewa itu masuk ke kas daerah. PT Niresta lalu membuka Buddha Bar di sana.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencium ketidakberesan dari penggunaan gedung ini. Kepala Bidang Investigasi dan Informasi Publik ICW Agus Sunaryanto menduga ada konflik kepentingan karena di PT Niresta milik Jan Farid ternyata Renny Sutiyoso juga memiliki saham. Tempo pada Selasa pekan lalu menyambangi Renny di rumahnya di Mangunsarkoro 9, Menteng. Tapi Renny menolak ditemui.

Tapi Aurora membantah anggapan tersebut. "PT Niresta menang karena mereka paling serius, bukan karena ada anak gubernur di sana," katanya, Selasa lalu. Ia mengatakan, PT Niresta berjanji akan membeli sebidang tanah dan bangunan yang ada di belakang gedung untuk disatukan dengan bangunan utama. Tapi hingga kini belum direalisasikan.

Galeri seni dan ruang publik yang dijanjikan juga belum tersedia. Menurut Aurora, perjanjian mengharuskan PT Niresta menyediakan bagian depan untuk galeri seni, yang akan digunakan untuk menggelar pameran lukisan milik Dewan Kesenian Jakarta sebanyak empat kali dalam setahun. Nyatanya, belum sekalipun pameran digelar.

Selain itu, gedung itu tetap harus bisa dinikmati oleh masyarakat umum. Gedung itu harus terbuka bagi masyarakat yang ingin melihat-lihat tanpa harus masuk ke Buddha Bar. Tapi, pagar bar eksklusif untuk kalangan atas itu selalu tertutup sebelum bar buka. "Janji-janji Niresta itu akan saya kejar," kata Aurora. SOFIAN|FERY FIRMANSYAH

Dari Gedung Kesenian Menjadi Bar

Arsiteknya adalah Pieter Adriaan Jacobus Moojen.

Dibangun pada 1912-1913 dan dibuka pada 17 April 1914.
Dulu bernama Nederlandsch-Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia-Belanda) atau Bataviasche Kunstkring untuk pameran seni.
Pada 1950-1997, menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat.
Pernah dibeli oleh Tommy Soeharto.
Pemerintah Provinsi DKI adalah pemilik bangunan keenam.
Pada 28 November 2008, digunakan untuk Buddha Bar
ISTIQOMATUL HAYATI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/12/Metro/krn.20090312.159253.id.html
Share this article :

0 komentar: