Jeffrie Geovanie:
"JIKA kamu melihat ke jahatan, perbaikilah dengan tanganmu. Bila tidak
mampu (dengan tangan), lakukanlah dengan lisan. Bila tidak mampu (baik
dengan tangan maupun lisan), lakukan dengan hati, dan yang demikian
itu selemah-lemah iman."
Ini merupakan salah satu kutipan dari sekian banyak sabda Rasulullah
SAW yang menjadi panduan moral bagi semua orang agar terhindar dari
kebusukan yang ada di sekitarnya.
Ada tiga cara bagaimana memperbaiki kebusukan di tengah-tengah
masyarakat. Pertama, dengan tangan. Artinya dengan kekuasaan. Apabila
kejahatan dan dekadensi moral sudah merebak di tengah-tengah
masyarakat, penguasa berkewajiban untuk memperbaiki keadaan dengan
tangan (kewenangan) yang dimilikinya, misalnya dengan menegakkan hukum
sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, dengan lisan. Artinya dengan seruan secara lisan (juga dengan
tulisan). Cara ini biasanya ditempuh oleh para cendekiawan dan pemuka
agama untuk mengoreksi para penguasa yang dinilai telah melenceng dari
kebenaran seperti korupsi, berbuat zalim, dan/atau menyelewengkan
amanat yang telah diem bankan ke pundak mereka.
Dalam sejarah, cara kedua ini pernah ditempuh antara lain oleh Imam Al-
Ghazali ketika berhadapan dengan penguasa yang korup pada masa
pemerintahan Seljuk, yakni pemerintahan Islam Suni pada abad
pertengahan.
"Tidakkah Anda sadari betapa kekacauan telah terjadi di negeri ini.
Para pemungut pajak yang korup menindas rakyat yang bodoh untuk
kepentingan mereka sendiri," demikian seruan Al-Ghazali dalam surat
yang disampaikan kepada wazir (menteri) pemerintahan Seljuk.
"Pikirkanlah rakyat Anda yang menderita karena digerogoti ke miskinan
dan kelaparan."
Dalam suratnya yang lain, yang juga dikirimkan kepada seorang menteri,
Al-Ghazali menulis, "Bertafakurlah selama 1 atau 2 jam, dan
berpikirlah secara mendalam mengenai (nasib) orang-orang miskin yang
darah dan keringatnya diisap oleh para aparat pemerintah."
Ketiga, dengan hati. Artinya dengan keteguhan agar tidak larut dalam
kejahatan yang ada.
Melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyendiri (eskapisme) juga
masuk dalam kategori ini. Cara seperti ini disebut selemah-lemah iman
karena sama sekali tidak memberikan solusi. Dampaknya bagi masyarakat
juga tidak ada kecuali sekadar cari selamat bagi dirinya sendiri.
Merujuk pada ketiga cara tadi, apa yang dilakukan oleh para pemuka
agama di negeri ini kurang lebih `serupa tapi tak sama' dengan yang
pernah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali. Situasinya agak mirip, yakni
pada saat para penguasa melakukan korupsi, atau membiarkan para
aparatnya korupsi sehingga membuat rakyat kian terpuruk.
Seperti juga Al-Ghazali, seruan yang disampaikan para pemuka agama
tidak bermaksud untuk meruntuhkan pemerintahan.
Mereka hanyalah memberi nasihat agar penguasa menyadari kesalahan-
kesalahannya untuk kemudian berupaya memperbaiki.
Oleh karena itu, tidak tepat jika pemerintah-dan para pendukungnya---
menyebut seruan pemuka agama sebagai gerakan politik. Apalagi sebagai
upaya untuk menjatuhkan pemerintah.
Seruan itu merupakan gerakan moral yang sudah menjadi kewajiban bagi
para pemuka agama di mana pun di muka bumi ini.
Sejatinya pemerintah mengapresiasi seruan moral itu, dengan cara
introspeksi dan berupaya memperbaiki diri, memenuhi janji-janji yang
pernah diucapkan, menjalankan tugastugas sesuai yang diamanatkan
undang-undang, dan bicara sejujur-jujurnya kepada rakyat.
Jangan hanya mau mendengar laporan para punggawa bermental `asal bapak
senang' dengan menampilkan angka-angka semu yang menipu.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/19/ArticleHtmls/19_01_2011_002_021.shtml?Mode=0
"JIKA kamu melihat ke jahatan, perbaikilah dengan tanganmu. Bila tidak
mampu (dengan tangan), lakukanlah dengan lisan. Bila tidak mampu (baik
dengan tangan maupun lisan), lakukan dengan hati, dan yang demikian
itu selemah-lemah iman."
Ini merupakan salah satu kutipan dari sekian banyak sabda Rasulullah
SAW yang menjadi panduan moral bagi semua orang agar terhindar dari
kebusukan yang ada di sekitarnya.
Ada tiga cara bagaimana memperbaiki kebusukan di tengah-tengah
masyarakat. Pertama, dengan tangan. Artinya dengan kekuasaan. Apabila
kejahatan dan dekadensi moral sudah merebak di tengah-tengah
masyarakat, penguasa berkewajiban untuk memperbaiki keadaan dengan
tangan (kewenangan) yang dimilikinya, misalnya dengan menegakkan hukum
sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, dengan lisan. Artinya dengan seruan secara lisan (juga dengan
tulisan). Cara ini biasanya ditempuh oleh para cendekiawan dan pemuka
agama untuk mengoreksi para penguasa yang dinilai telah melenceng dari
kebenaran seperti korupsi, berbuat zalim, dan/atau menyelewengkan
amanat yang telah diem bankan ke pundak mereka.
Dalam sejarah, cara kedua ini pernah ditempuh antara lain oleh Imam Al-
Ghazali ketika berhadapan dengan penguasa yang korup pada masa
pemerintahan Seljuk, yakni pemerintahan Islam Suni pada abad
pertengahan.
"Tidakkah Anda sadari betapa kekacauan telah terjadi di negeri ini.
Para pemungut pajak yang korup menindas rakyat yang bodoh untuk
kepentingan mereka sendiri," demikian seruan Al-Ghazali dalam surat
yang disampaikan kepada wazir (menteri) pemerintahan Seljuk.
"Pikirkanlah rakyat Anda yang menderita karena digerogoti ke miskinan
dan kelaparan."
Dalam suratnya yang lain, yang juga dikirimkan kepada seorang menteri,
Al-Ghazali menulis, "Bertafakurlah selama 1 atau 2 jam, dan
berpikirlah secara mendalam mengenai (nasib) orang-orang miskin yang
darah dan keringatnya diisap oleh para aparat pemerintah."
Ketiga, dengan hati. Artinya dengan keteguhan agar tidak larut dalam
kejahatan yang ada.
Melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyendiri (eskapisme) juga
masuk dalam kategori ini. Cara seperti ini disebut selemah-lemah iman
karena sama sekali tidak memberikan solusi. Dampaknya bagi masyarakat
juga tidak ada kecuali sekadar cari selamat bagi dirinya sendiri.
Merujuk pada ketiga cara tadi, apa yang dilakukan oleh para pemuka
agama di negeri ini kurang lebih `serupa tapi tak sama' dengan yang
pernah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali. Situasinya agak mirip, yakni
pada saat para penguasa melakukan korupsi, atau membiarkan para
aparatnya korupsi sehingga membuat rakyat kian terpuruk.
Seperti juga Al-Ghazali, seruan yang disampaikan para pemuka agama
tidak bermaksud untuk meruntuhkan pemerintahan.
Mereka hanyalah memberi nasihat agar penguasa menyadari kesalahan-
kesalahannya untuk kemudian berupaya memperbaiki.
Oleh karena itu, tidak tepat jika pemerintah-dan para pendukungnya---
menyebut seruan pemuka agama sebagai gerakan politik. Apalagi sebagai
upaya untuk menjatuhkan pemerintah.
Seruan itu merupakan gerakan moral yang sudah menjadi kewajiban bagi
para pemuka agama di mana pun di muka bumi ini.
Sejatinya pemerintah mengapresiasi seruan moral itu, dengan cara
introspeksi dan berupaya memperbaiki diri, memenuhi janji-janji yang
pernah diucapkan, menjalankan tugastugas sesuai yang diamanatkan
undang-undang, dan bicara sejujur-jujurnya kepada rakyat.
Jangan hanya mau mendengar laporan para punggawa bermental `asal bapak
senang' dengan menampilkan angka-angka semu yang menipu.
http://anax1a.pressmart.net/