tentang rumah dinas DPR, terutama yang di Kalibata.
Ceritanya bisa menyangkut suka dan duka yang tinggal di kompleks itu,
tapi yang lebih banyak adalah cerita yang menyangkut biaya atau
anggarannya. Misalnya soal pengadaan barang-barang inventaris, dana
pemeliharaan,dan kini tampaknya menyangkut biaya renovasinya yang
membengkak. Apalagi sepanjang renovasi itu, setiap anggota DPR diberi
bantuan sebesar Rp15 juta per bulan. Di masa saya menjadi anggota DPR,
1999-2004, saya pernah menempati rumah dinas itu selama empat
tahun.Saya harus akui bahwa banyak di antara rumah-rumah dinas itu
yang tidak ditempati penghuninya. Bisa jadi ditempati keluarga,
kerabat, teman, atau malah orang lain.Tapi,sudah tidak ada lagi yang
dikontrakkan. Kami pernah juga menghitung-hitung, sekitar 30% dari
rumah-rumah dinas itu tidak dimanfaatkan anggota DPR.
Pilihan tinggal di rumah dinas DPR disebabkan beberapa hal. Pertama,
letaknya di tengah kota, memudahkan untuk menjangkau Gedung DPR di
Senayan. Kedua, kualitas bangunannya jauh lebih bagus dari rumah
saya.Ketiga, fasilitasnya lebih lengkap.Kamar-kamarnya dilengkapi AC
dan mebelmebelnya baru.Yang dibeli sendiri cuma mesin cuci, bukan
karena diributkan oleh media masa di kala itu.Keamanan tinggal di
kompleks itu terjamin karena dijaga 24 jam. Tetapi, biaya pemeliharaan
rumah- rumah dinas itu memang tidak murah.
Pada saat itu saja tidak kurang dari Rp50 juta per rumah per
tahun.Artinya,untuk merawat 500 rumah dinas itu dibutuhkan dana Rp25
miliar per tahun. Kini jumlahnya bertambah menjadi 550 unit, dan yang
50 unit lagi dibangun di Srengseng.Pembangunan di Srengseng ini juga
pernah bermasalah. Biaya pemeliharaan kedua kompleks itu tentu jauh
lebih mahal lagi. Ketika itu pun telah muncul perdebatan, apakah perlu
mempertahankan rumah-rumah dinas itu? Sampai-sampai ada niat untuk
menjualnya.Kepada siapa? Yang mampu jelas anggota DPR sendiri karena
kemakmurannya sudah membaik.Tetapi, semua pasti sepakat itu akan
menimbulkan masalah di kemudian hari.
Tidak Perlu
Setelah saya menjadi anggota BPK, saya makin yakin pada pendapat tidak
perlunya memelihara rumah dinas untuk pejabat. Kebetulan saya juga
tidak menempati rumah dinas saya sebagai anggota BPK di Kemayoran. Ada
empat alasannya. Pertama, menempati rumah dinas itu amat merepotkan.
Ketika “hanya”menempati empat tahun rumah dinas anggota DPR, yang
menyulitkan justru tatkala pindah rumah. Lagi pula, bukankah kita
lebih bahagia menempati rumah sendiri? Kedua, bukankah para pejabat
publik, termasuk pejabat-pejabat di berbagai instansi dan perusahaan,
telah memiliki kemampuan untuk memiliki rumah sendiri.Apalagi untuk
kelas pejabat negara. Pada dasarnya mereka sudah kaya.
Buktinya, seperti yang pernah ditelusuri sebuah koran nasional,
sekitar 65% anggota DPR itu memiliki rumah di Jabodetabek. Ketiga,
kalau hasrat untuk membangun rumah dari setiap instansi dipenuhi,
Jakarta dan sekitarnya akan dipenuhi rumahrumah dinas dari berbagai
lembaga, instansi, atau institusi, apakah itu lembaga negara, lembaga
p e m e r i n t a h , perusahaan,dan berbagai pemilik modal lainnya.
Keempat, dengan membangun rumah dinas, berbagai masalah di sekitar
perumahan dan penghuniannya itu kelak tidak ada selesaiselesainya.
Buktinya, renovasi rumah dinas DPR yang menelan biaya Rp445 miliar
sekarang ini kembali diperdebatkan.
Apalagi DPR kian rumit cara berpikirnya. Ketua Badan Urusan Rumah
Tangga (BURT) dirangkap oleh Ketua DPR. Padahal pembangunan setiap
sarana dan prasarana yang dimiliki DPR mestilah s e p e n g e t a h u
a n BURT.Tidak mungkin pihak Sekretariat Jenderal DPR bekerja
sendiri.Pembengkakan anggaran justru acapkali terjadi karena campur
tangan para anggota BURT yang tak lain dari anggota DPR sendiri.
Bagaimana mungkin pimpinan DPR (Ketua atau Wakil Ketua DPR) menegur
BURT dan Sekjen DPR jika yang bersangkutan juga ikut di dalamnya?
Bahkan menjadi Ketua BURT.
Kekacauan Audit
Yang lebih aneh lagi penunjukan lembaga yang melakukan audit
(pemeriksaan) pengelolaan keuangan negara dalam renovasi rumah dinas
DPR itu.Yang diminta Ketua DPR adalah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Padahal Pasal 23 E ayat (1) UUD1945 menegaskan
“untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri”. Pesan
UUD 1945 inilah yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai undang-
undang yang setelah dibahas bersama pemerintah ditetapkan oleh
DPR.Tentang pemeriksaan keuangan negara diatur melalui Undang-Undang
(UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Undang-undang itu mengatur bahwa yang memeriksa keuangan
negara,termasuk yang dikelola dan dipertanggungjawabkan DPR,adalah
Badan Pemeriksa Keuangan. BPK merupakan lembaga negara, lembaga yang
kewenangannya diatur tersendiri di UUD 1945.Sementara BPKP merupakan
lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang diatur melalui peraturan
presiden. Oleh pemerintah, BPKP disebut sebagai pengawas internal.
Melalui kata ‘internal’ menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan
BPKP adalah di lingkungan pemerintahan yakni badan, institusi, atau
instansi yang berada di bawah presiden (eksekutif).
Karena itu, terasa aneh jika DPR meminta BPKP untuk memeriksa
(mengaudit) pengelolaan keuangan negara di lingkungan DPR, khususnya
yang menyangkut renovasi rumah dinas DPR.Langkah ini tentu akan
mengacaukan sistem penyelenggaraan negara yang ingin kita bangun.
Sesungguhnya Ketua DPR yang merangkap Ketua BURT DPR dapat meminta
pengawas internal di lingkungan DPR untuk melakukan pengawasan,
termasuk audit renovasi rumah dinas ini. Jika tidak, DPR bisa meminta
BPK, sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang saya kutip di
atas.
Pemeriksaan itu bisa menyangkut laporan keuangan, kinerja, maupun
pemeriksaan untuk tujuan tertentu (investigasi dan lainnya). Jika
Pengawas Internal DPRatauBPKdianggapkurang memiliki kemampuan atau
kurang dipercaya, tugas kitalah membenahinya agar memiliki kemampuan
dan bisa dipercaya. Apalagi anggota BPK dipilih oleh DPR (dengan
pertimbangan DPD). Renovasi rumah berjalan,audit BPKP juga
berjalan.Tapi,persoalan ternyata belum selesai.Terhitung sejak Januari
2011 para anggota DPR diminta untuk menempati rumah dinas (jabatannya)
masingmasing, dan sejalan dengan itu dana bantuan sewa rumah sebesar
Rp15 juta sebulan dihentikan.Tapi, teman-teman dari Fraksi PAN
mempertimbangkan untuk menolak menempati rumah jabatan itu sebelum ada
kepastian hasil audit BPK.
Tak heran bila Sekjen DPR mengatakan bahwa sudah ada audit dari BPKP.
Yang aneh nanti, kalau salah satu mengatakan tidak ada penyimpangan,
sedang yang lainnya mengatakan terjadi penyimpangan. Jika demikian
halnya, lantas mana yang menjadi pegangan? Tapi, memang begitulah
biasanya DPR, selalu ada persoalan. Jika sudah tidak ada lagi
persoalan,apa salahnya dicari.(*)
Baharuddin Aritonang
Mantan Anggota BPK (2004-2009) dan Anggota DPR/ MPR (1999-2004)
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar