Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Nurdin Halid
membantah penilaian bahwa kompetisi di bawah PSSI penuh kecurangan.
Saat membuka Kongres PSSI di Pan Pacific, Nirwana Bali Resort,
Tabanan, Jumat lalu, ia mengklaim adanya peningkatan kualitas
kompetisi.
Hal itu dibuktikan dengan tingginya animo penonton, kepercayaan
sponsor, serta lahirnya pemain-pemain idola baru. Tapi Investigasi
Majalah Tempo menemukan hal sebaliknya. Kompetisi di bawah PSSI justru
diwarnai banyak hal buruk: tim tuan rumah yang cenderung menang lewat
cara mencurigakan serta adanya indikasi pemain dan wasit yang bisa
disuap.
Keanehan kompetisi itu bisa dilihat di Liga Super Indonesia.
Pada musim 2009/2010, kompetisi level tertinggi di Indonesia itu
menyajikan 306 pertandingan. Dari jumlah itu, sebanyak 196 kali tim
(64 persen) yang berposisi tuan rumah menang
dan hanya 44 kali tim tamu (14 persen) bisa menang.
Bukti kesaktian tuan rumah bisa dilihat dari penampilan Persisam Putra
Samarinda saat jadi juara Divisi Utama Liga Indonesia musim 2008/2009.
Sebagian besar kemenangan tim itu diperoleh lewat penalti.
Dari 15 pertandingan di kandang, Persisam mendapat 20 kali penalti.
Pengelola klub itu membantah kalau dikatakan bahwa hal tersebut karena
ada “faktor nonteknis”.“Kami punya ambisi menang. Kalau main di
kandang, semua klub pasti ingin menang dengan segala cara. Hadiah
penalti bagian dari sepak bola,”kata Aspian Noor, Manajer Persisam.
“Faktor nonteknis” dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan
pengganti “pengaturan” dari luar lapangan—sesuatu yang tak ada
urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke
gawang lawan.
Temuan Tempo menunjukkan bahwa pemain dan wasit merupakan unsur
penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Kedua unsur
ini bisa “dibeli” untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Permainan kotor biasanya melibatkan 3-5 pemain, yang disuap lewat
calo. Tarifnya umumnya Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi I
dan II. Pemain di level ini lebih mudah dipengaruhi karena gajinya
sering terlambat. Di Divisi Utama dan Liga Super, harga pemain minimal
Rp 25 juta per pemain.
Pemain yang sudah dibeli lawan ini biasanya melakukan berbagai aksi
merusak timnya di lapangan. Berpura-pura emosional dan marah paling
mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain tersebut diganjar kartu atau
menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling
sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri.
Klub juga bisa mengharapkan
hasil yang menguntungkan pihaknya dengan memesan wasit tertentu yang
telah dikenalnya.
Tarifnya Rp 20-50 juta, bergantung pada tawar-menawar dan penting-
tidaknya pertandingan.
Wakil Ketua Umum PSSI Nirwan Dermawan Bakrie menegaskan, PSSI sudah
memiliki Komisi Disiplin untuk mengawasi praktek seperti itu. “Tapi
memang susah untuk mengatur soal suap, karena sulit
dibuktikan,”katanya.
Praktek tak terpuji lain juga terungkap dalam investigasi Tempo itu.
Salah satunya adalah soal keharusan “setor dana” kepada pengurus PSSI
bagi klub yang ingin berpromosi ke level lebih tinggi. Laporan
keuangan klub Liga Super juga tak memenuhi standar akuntansi.
Dari 16 klub peserta kompetisi 2009/2010, cuma empat kesebelasan yang
berbadan hukum.
Dari empat klub itu, hanya Arema Malang dan Persebaya yang memiliki
nomor pokok wajib pajak (NPWP). ● WAHYU DYATMIKA | NURDIN
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar