dia dituding melakukan kebohongan.
Terlebih lagi,pihak yang menggulirkan hal itu adalah kalangan pemuka
agama. SBY pun menggelar pertemuan untuk meredakan persoalan krusial
itu. Dalam pertemuan tersebut,SBY menyatakan bahwa dia tidak
antikritik.Hanya, kata SBY, kritik yang diarahkan kepada dirinya dan
pemerintah haruslah bertanggung jawab (SINDO, 18/1).Apakah ini berarti
tudingan kebohongan (sebagai kritik) yang ditujukan kepada SBY tidak
dapat dipertanggungjawabkan? Para pengkritik SBY yang menggulirkan
tuduhan kebohongan itu menggunakan fakta dan data statistik.
Sebaliknya, SBY juga menyampaikan teknik serupa untuk menunjukkan
keberhasilan pemerintahannya.
Dalam domain semacam ini, tepatkah SBY dituding telah melakukan
kebohongan? Ataukah tuduhan kebohongan itu tidak lain merupakan cara
untuk mengemas kecaman yang demikian keras? Lantas, apakah definisi
kebohongan? Apakah kebohongan sama dengan tidak menyampaikan fakta
yang sebenarnya? Apakah semua kebenaran (truth) yang tidak dikemukakan
adalah sama halnya dengan kebohongan? Kebohongan (lying), ungkap
filosof Sissela Bok, adalah “pesan tipuan apa pun yang dinyatakan
secara sengaja”. Kebohongan sebagai tindakan etis harus dibedakan dari
penyesatan yang dilakukan seseorang karena ketidaktahuan tentang fakta
yang benar atau menolak memberikan keterangan yang benar.
Kebohongan hanya boleh dilakukan sejauh memberikan keselamatan untuk
orang yang tidak berdosa. Dalam situasi peperangan, misalnya,
seseorang diperkenankan melakukan kebohongan yang sangat disengaja
karena bertujuan untuk menyelamatkan nyawa orang tidak bersalah.Namun,
jika seorang pemimpin atau pemerintah menyampaikan fakta maupun data
yang tidak sebenarnya, memang,pantas disebut telah berbohong. Apalagi,
tujuan dari tindakan itu adalah meraih popularitas dan menutup-nutupi
kegagalan.
Siasat Penghadiran
Hanya, dalam menyampaikan kebohongan itu pemerintah menjalankan
strategi politik representasi (politics of representation).Konsep ini
biasanya dipakai dalam kajian budaya untuk menyoroti bagaimana media
massa menghadirkan realitas.Apa yang disebut sebagai representasi,
merujuk pada Oxford Advanced Learner’s Dictionary( 2010),berarti
tindakan menghadirkan seseorang atau sesuatu dalam suatu cara
tertentu. Representasi dapat juga dimaknai sebagai sesuatu yang
menampilkan atau mendeskripsikan sesuatu yang lain.Politik
representasi memang tidak secara total melakukan kebohongan, melainkan
sebagai siasat penghadiran realitas sosial.
Hasil dari politik representasi yang sangat berlawanan dengan
kenyataan sosial itulah yang layak disebut sebagai kebohongan. Data
statistik yang biasa digunakan pihak pemerintah untuk membuktikan
keberhasilan program- program ekonomi dan politik sangat mungkin
digunakan untuk berbohong.Angka-angka yang ditampilkan dalam statistik
bukanlah cerminan yang sempurna dari realitas.Angka-angka sekadar
tanda yang paling gampang disepakati karena memiliki pemaknaan yang
cenderung tunggal.Angka-angka statistik, dengan demikian, sekadar
menampilkan kembali realitas yang selalu berubah (dinamis) dalam
kehidupan masyarakat.
Angka-angka statistik tidak lebih merupakan pembekuan atau penetapan
terhadap kenyataan yang bergerak liar tanpa henti. Kerentanan angka-
angka statistik sebagai bukti keberhasilan bisa terjadi ketika
pemerintah dan para pengkritiknya menetapkan definisi kemiskinan dan
pengangguran secara berlainan. Pemerintah, misalnya, mendefinisikan
kemiskinan sebagai konsumsi setiap penduduk dalam satu hari sebanyak
dua dolar.Pada pengangguran, pemerintah mendefinisikannya sebagai
penduduk berusia kerja yang memiliki pekerjaan saat survei
dilakukan.Tidak peduli apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau
sementara. Jika itu yang terjadi, maka angka kemiskinan dan
pengangguran yang diklaim pemerintah pastilah rendah.
Itulah contoh politik representasi melalui angka-angka statistik.Hal
ini lebih tepat disebut sebagai manipulasi sebagai ungkapan halus dari
kebohongan. Pertanyaannya adalah mengapa representasi cenderung
manipulatif? Jawaban yang memuaskan disampaikan oleh David Croteau dan
William Hoynes (2000) ketika mengamati kebiasaan media massa dalam
menyampaikan realitas. Pada kasus tuduhan kebohongan yang ditujukan
kepada SBY,gagasan dari kedua sosiolog media itu dapat dirujuk
kembali.
Pada dasarnya, representasi merupakan hasil seleksi dari kenyataan
sosial yang sangat beragam.Konsekuensinya adalah terdapat berbagai
aspek realitas yang sengaja ditonjolkan, tapi pada saat yang sama ada
pula aspek-aspek kenyataan sosial yang sengaja diabaikan.Fakta yang
ditonjolkan pasti memberikan keuntungan bagi rezim SBY. Sementara itu,
fakta yang diabaikan atau disembunyikan tentu saja adalah yang
merugikan pemerintahannya. Itulah sifat dasar politik representasi
yang menunjukkan strategi kekuasaan dalam menyodorkan realitas sosial.
Pembacaan Tandingan
Terdapat tiga pendekatan dalam representasi, urai Stuart Hall (1997),
yakni: Pertama, reflektif, yang berarti makna dipahami terdapat dalam
objek, persona, ide, atau kejadian yang berlangsung pada dunia yang
riil. Bahasa berfungsi sebagaimana layaknya cermin yang merefleksikan
arti yang sebenarnya. Kedua, intensional, yang menunjukkan makna unik
tertentu yang disampaikan oleh seorang pembicara kepada khalayak. Kata-
kata merupakan maksud dari yang dikehendaki sang pembicara
itu.Ketiga,konstruksionis, yang menunjukkan tidak ada satu pun
pengguna bahasa yang mampu menetapkan makna tertentu dalam bahasa.
Para pemakai bahasa membentuk makna dalam sistem representasional yang
berupa konsep-konsep dan tandatanda. SBY dan pemerintahannya
menggunakan representasi dalam pengertian yang pertama dan kedua.
Gejala itu dapat dilacak ketika dalam berbagai kesempatan SBY
memaparkan data serta fakta tentang keberhasilan rezimnya. Data serta
fakta tersebut diklaim SBY bisa mencerminkan kenyataan sosial yang
sesungguhnya.Di sisi lain, para pengkritik SBY justru menerapkan
pengertian representasi ketiga. SBY sekadar dianggap membentuk,
mengonstruksikan, dan bahkan menciptakan kembali realitas yang sama
sekali tidak mencerminkan kenyataan sosial yang hakiki.
Representasi dari para pengkritik SBY adalah sebentuk pembacaan
tandingan yang melakukan subversi (perlawanan) terhadap klaim-klaim
keberhasilan pemerintahannya. Dalam domain ini, politik representasi
SBY menghadapi representasi oposisional para pengkritiknya. Akibat
dari siasat pembacaan tandingan itu adalah SBY dituding melakukan
kebohongan. Diksi (pilihan kata) kebohongan itulah yang menjadikan SBY
merasa kegerahan luar biasa.Kinerja yang dilakukan rezimnya seakan-
akan tidak dihargai. Pada situasi semacam ini, ada baiknya kita
merenungkan pemikiran Jean Baudrillard (1929–2007) yang menyodorkan
gagasan tentang fase-fase suksesif citraan (image).Pada fase pertama,
citraan adalah cerminan dari realitas dasar.
Fase kedua, citraan menopengi dan menyimpangkan realitas dasar.Fase
ketiga, citraan menopengi absen atau ketidakhadiran realitas
dasar.Fase keempat, citraan tidak memiliki kaitan dengan kenyataan apa
pun, yang disebut sebagai simulakra. Gejala itu terjadi ketika citraan
dibuat untuk menipu dan membohongi pihak lain. SBY boleh saja
bersikeras bahwa data dan fakta yang disampaikannya berada pada fase
pertama citraan.Namun, secara berlawanan, para pengkritiknya
beranggapan bahwa SBY dan rezimnya telah melakukan citraan pada fase
keempat, yakni sekadar menggelar simulakra yang demikian menipu dan
membohongi publik.Peristiwa ini membuktikan politik representasi yang
dijalankan SBY telah gagal.
Pernyataan, data statistik,dan fakta yang ditunjukkan SBY justru
menghantam kekuasaannya sendiri. Politik representasi memang rawan
dijalankan. Maksud awal dari politik representasi adalah
mempertontonkan keberhasilan. Tapi,kalau politik representasi terlalu
banyak mengklaim kesuksesan suatu rezim justru bisa dituding sebagai
kebohongan.(*)
Triyono Lukmantoro
Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Undip Semarang
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar