BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menyemai Nasionalisme dari Sekolah

Menyemai Nasionalisme dari Sekolah

Written By gusdurian on Senin, 24 Januari 2011 | 10.37

Benni Setiawan Pemerhati pendidikan, tinggal di Sukoharjo



ADALAH Kenichi Ohmae dan Thomas Friedman yang mengumandangkan
berakhirnya nation-state.
Ohmae dalam The End of the Nation-State menyatakan negara adalah `the
artifact of the 18th and 19th centuriesÊ (batu peninggalan abad ke-18
dan ke-19). Pada waktu itu tapal batas masih jelas dan penting.
Mereka merasa pasti di mana garis sebuah tapal batas. Ini rakyat kami,
itu bukan. Ini kepentingan kami, itu bukan. Ini industri kami, itu
bukan. Di masa lampau orang berperang atas nama negara dan senjata
sebuah negara diacungkan kepada negara lain.

Namun, kini negara telah lenyap karena tidak ada lagi tapal batas.
Kini sulit untuk menentukan siapa masuk tapal batas apa karena
kegiatan ekonomi di tingkat global telah menerjang tapal batas itu dan
merusak garis-garis peta politik tradisional. Ohmae menunjuk kenyataan
global capital markets yang tidak lagi minta permisi kepada negara
untuk menentukan nilai tukar mata uang.

Ditunjukkan pula bagaimana sebuah produk tidak lagi dapat dikatakan
dihasilkan sebuah negara. Produk sebuah perusahaan Amerika dihasilkan
dari komponen-komponen yang dibuat dari pabrik-pabrik yang tersebar di
seluruh dunia. Itu berakibat lunturnya label nasional, tidak relevan
lagi mengatakan sebuah produk adalah buatan negara tertentu.

Dalam nada yang tidak kalah garang, Thomas Freidman, wartawan New York
Times, mengatakan hal yang sama dalam bukuya, The Lexus and the Olive
Tree. Kata Freidman, semua negara di dunia kini harus berpakaian sama,
yaitu the Golden Straitjacket. Artinya, negara harus menjalankan pasar
bebas, membuka lebar-lebar pasar mereka untuk produk-produk dari mana
saja di dunia. Dengan kata lain, ia juga mendukung borderless world,
seperti yang dikumandangkan Ohmae. Bahkan dikatakan bahwa negara-
negara yang menolak untuk mengenakan the Golden Straitjacket akan kena
hukuman mereka sendiri. `Those countries that put on the Golden
Straitjacket and keep it on are rewarded by the herd with investment
capital. Those that donÊt put it on are disciplined by the herd·
either the herd avoiding or withdrawing its money from that
country' (I Wibowo: 2010).

Benarkah apa yang dikumandangkan Ohmae dan Friedman? Walaupun
berakhirnya nation-state tidak terlalu kentara, hal itu setidaknya
telah melunturkan semangat nasionalisme sebuah bangsa. Lihatlah betapa
kumandang kata nasionalisme di Indonesia seakan hanya bergairah ketika
ada momentum-momentum besar seperti kemenangan tim nasional sepak bola
pada ajang Piala AFF lalu.

Atau Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus, dan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan
10 November; ketika kedaulatan bangsa diusik Malaysia; ketika banyak
tenaga kerja Indonesia (TKI) disiksa hingga babak belur, dan
seterusnya. Namun, selebritas nasionalisme masih belum menjiwai setiap
warga bangsa. Ia hanya dipekikkan dalam kata tanpa makna.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana menumbuhkan semangat
nasionalisme di tengah gempuran modernisme dan globalisme yang
ditandai dengan sikap individualisme dan semangat kesukuan yang
mengalahkan rasionalitas, terutama di kalangan peserta didik?
Pendidikan kebangsaan Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah,
pertama, per lunya menggiatkan kembali pendidikan kebangsaan di
sekolah. Pendidikan kebangsaan adalah proses pendidikan yang dilakukan
di sekolah dengan mengancang kurikulum nasional berbasis kearifan
lokal.

Pendidikan itu tidak gelap mata oleh kecanggihan dan kemajuan sistem
pendidikan di luar negeri dan berkiblat secara taklid kepadanya.

Pendidikan kebangsaan diharapkan mampu menumbuhkan semangat peserta
didik untuk berkreasi dan menunjukkan kepada dunia bahwa keindonesiaan
belum hilang dari Bumi Pertiwi dan generasi muda. Peserta didik
diharapkan tidak malu lagi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Peserta didik diharapkan tetap menjadi pionir atau garda depan
dalam membela tumpah darah Indonesia yang berkepribadian di tengah
gempuran globalisasi dan gaya hidup individualisme.

Format pendidikan kebangsaan tidak menjadi hak mutlak pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Namun,
itu harus berakar dan bertumpu kepada kreativitas guru di sekolah.
Pendidik (guru) tidak hanya mengajarkan nama-nama suku bangsa atau
pakaian adat Indonesia. Namun, lebih dari itu guru harus menjadi
pendidik yang mendidik. Mereka mendidik peserta didik agar memahami
bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam budaya. Ragam budaya Indonesia
tidak kalah dengan budaya asing. Bahkan, ragam budaya Indonesia lebih
memiliki nilai (luhur) daripada kebudayaan asing (Benni Setiawan:
2008).

L e b i h d a r i i t u kreativitas
pemimpin daerah pun perlu dihargai. Sebagaimana yang dicanangkan Wali
Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Mulai tahun ajaran 2010/2011 seluruh
sekolah di wilayah Kota Yogyakarta diharapkan memulai dan mengakhiri
pelajaran dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (karya WR Soepratman)
dan Padamu Negeri (karya Koesbini). Pemikiran yang cerdas itu patut
diapresiasi se luruh masyarakat Indonesia.

Menyanyikan lagu kebangsaan dan perjuangan memang bukan perkara sulit.
Namun, ketika tidak ada perhatian dan kesanggupan komponen sekolah
untuk memulainya ini terasa berat.

Menyanyikan lagu di sekolah tentunya akan semakin menguatkan semangat
belajar dan kebangsaan peserta didik.
Mereka akan merasa bangga dengan Indonesia dan keindonesiaan. Dalam
jiwa mereka akan tertanam rasa kecintaan yang mendalam terhadap
Indonesia. Mereka tidak akan hanya hafal lagu-lagu pop dari artis
papan atas dalam dan luar negeri, tetapi juga mengerti dan memahami
sejarah perjuangan bangsa melalui sebuah lagu.

Proses memahami sebuah lagu memang tidak dengan serta-merta atau dalam
waktu singkat. Proses itu membutuhkan waktu dan proses pengenalan yang
dapat dimulai dari seorang guru.

Seorang guru dapat menyelipkan pemahaman tentang kebangsaan atau
tafsiran terhadap lagu-lagu tersebut dalam mata pelajaran yang
diampunya. Jadi, peserta didik secara tidak langsung mengerti dan
memahami arti kegiatan yang dilakukan di pagi hari dan siang hari itu.
Menyanyikan lagu kebangsaan secara tidak langsung juga merupakan bahan
ajar pendidikan karakter yang kini menjadi agenda pemerintah.
Revitalisasi pelajaran sejarah Kedua, revitalisasi pelajaran sejarah.
Pelajaran sejarah yang sering kali hanya berupa hafalan nama, tempat,
dan fokus kejadian sudah saatnya diubah. Mata pelajaran sejarah sudah
saatnya diajarkan secara benar dan baik oleh guru.
Model pengajaran sejarah saat ini seolah menafikan sejarah sebagai
peristiwa yang sarat makna kehidupan. Alhasil, peristiwa sejarah yang
seharusnya dipenuhi nilai-nilai perjuangan, kegagalan dan
keberhasilan, kesalahan dan keunggulan, serta semangat tak terpatahkan
untuk memperjuangkan suatu kebenaran yang dilakukan para pelaku
sejarah justru tidak diajarkan kepada peserta didik.

Penggalian nilai dan makna dalam setiap peristiwa sejarah merupakan
keniscayaan. Materi pendidikan sejarah tidak boleh menempatkan pelaku
sejarah sekadar sebagai sebuah nama yang berupaya mengubah jalannya
kehidupan umat manusia, tanpa mengindahkan nilai-nilai yang dimiliki
pelakunya (Kompas, 9 Juli 2010).

Mata pelajaran sejarah merupakan pintu gerbang mengobarkan semangat
nasionalisme dalam diri peserta didik. Peserta didik diajak untuk
merenung betapa bangsa ini dibangun dengan keringat, darah, dan
semangat perlawanan tanpa henti. Dengan demikian, peserta didik akan
paham bahwasanya tugas merekalah saat ini untuk melanjutkan perjuangan
itu, tidak hanya dengan rajin belajar, tetapi juga berprestasi dan
menjadi kebanggaan bangsa dan negara.

Pembelajaran sejarah juga harus mampu membawa kesadaran siswa ke dalam
kenyataan bahwa Indonesia negara majemuk. Tidak seperti di masa Orde
Baru yang menggiring kesadaran keragaman budaya sebagai bentuk yang
paling formal (soft multiculturalism), orientasi pembelajaran sejarah
ke depan tidak hanya harus mampu memetakan kesadaran budaya dan
geografi s yang statis, tetapi juga memberikan spirit dan kesadaran
kritis siswa terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara.

Pada akhirnya, semangat nasionalisme tidak boleh mati. Ia harus selalu
disemai dan dipupuk agar senantiasa hidup dalam sanubari bangsa
Indonesia.

Harus selalu ada energi kreatif dari para guru dalam menciptakan ruang
perenungan proses belajar-mengajar yang berorientasi pada pemihakan
jati diri bangsa Indonesia sebagai kesatuan entitas keragaman budaya.
Dengan demikian, bangsa ini pun dapat berdiri tegak sehingga tidak
mudah dipermainkan (dilecehkan) bangsa lain.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_013_018.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: