BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indonesia dan Gayusnesia

Indonesia dan Gayusnesia

Written By gusdurian on Senin, 24 Januari 2011 | 10.30

Andi Irawan, PEMINAT MASALAH EKONOMI-POLITIK


Pada sistem yang totaliter, seperti dalam kasus penguasa di era Orba
dan Ben Ali-Tunisia, butuh waktu 20-30 tahun akumulasi energi shock
untuk menumbangkan kekuasaan.

Tapi, dalam era keterbukaan dan demokrasi, waktu yang dibutuhkan akan
jauh lebih singkat.
agaimana kalau kita "B usulkan nama negara ini diganti saja men jadi
GAYUSNESIA.

Dasar negaranya: Panca-Bakti Korupsi, Korupsi adalah kepercayaan kami,
kemanusiaan yang berperadaban korup, persatuan koruptor, kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat berkorupsi dalam permusyawatan dan
perwakilan, kebebashukuman bagi seluruh koruptor".

Kutipan di atas adalah e-mail yang saya terima dari seorang teman.
Saya yakin pandangan sarkastis dan sinistis lainnya yang senada dengan
kutipan di atas banyak yang disampaikan oleh anggota masyarakat, baik
lewat dunia maya maupun dalam pembicaraan sehari-hari. Semuanya
berawal dari keheranan dan ketakjuban melihat kekuatan-kekuatan para
mafia yang mampu mempecundangi semua lembaga yang menjalankan fungsi
negara dalam penegakan hukum.

Bagaimana mungkin eksekutif bisa dipecundangi begitu mudah.
Sebagaimana yang diketahui, kejaksaan dan kepolisian adalah unsur
penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif. Publik melihat
bagaimana kekuatan kejaksaan serta Polri menjadi lumpuh, bahkan
terkesan terkooptasi, oleh kekuatan the unseen hand (tangan yang tidak
kelihatan) mafia pajak dan hukum.

Bagaimana mungkin penjara, yang berada di bawah pengawasan kepolisian,
bisa begitu mudah mengakomodasi pelayanan personal yang begitu
eksklusif untuk seorang Gayus (dengan bebas keluar-masuk 68 kali
penjara serta pelesiran ke luar negeri). Bagaimana mungkin daya
investigasi Polri dan Kejaksaan RI menjadi hilang saat berhadapan
dengan masalah Gayus.

Ketika berhadapan dengan kasus terorisme, kemampuan investigasi dan
eksekusi penegakan hukum Polri, misalnya, sangat bernas dalam
mengungkap jaringan terorisme tersebut dan melumpuhkan aktor-aktor
pentingnya.
Tapi mengapa, ketika berhadapan dengan kasus Gayus, mereka kehilangan
semua kecerdasan, ketangkasan, dan kekuatannya untuk mengungkap
jaringan Gayus ini.

Bagaimana mungkin anggota legislatif tidak merasa perlu ikut
berpartisipasi secara signifikan mengungkap mafia pajak dan hukum
dalam fenomena Gayus ini. Kalau DPR bisa merasakan keresahan rakyat
yang mereka wakili, tentu mereka akan menggunakan hakhak konstitusi
yang mereka miliki secara total untuk menekan eksekutif agar bekerja
total mengungkap jaringan mafia yang berada di belakang Gayus.
Konstitusi kita memberi hak pengawasan penyelenggaraan negara kepada
DPR. Mereka antara lain diberi senjata dalam bentuk hak untuk
melakukan investigasi/interpelasi dan hak untuk menyatakan pendapat
dari investigasi yang dilakukannya.

Sedangkan kekuatan yudikatif kita memang sudah lama dirasakan hilang
eksistensinya dalam menghadirkan ke adilan masyarakat. Publik
merasakan bahwa pengadilan adalah institusi negara yang hanya bernas
menegakkan hukum ketika berhadapan dengan mereka yang berstatus duafa
(kaum lemah) dari sisi kekuatan sosial-politik dan finansial.
Menghadapi mereka yang punya kekuasaan, penegakan hukum menjadi
tumpul, bahkan hilang.

Mengapa lembaga-lembaga negara tersebut menjadi tidak berdaya ketika
berhadapan dengan korupsi? Jawabnya singkat, karena telah terjadi
salah penempatan ideologi dalam menjalankan fungsi dan perannya.
Ideologi penyelenggara negara kita dalam bidang hukum bukanlah "hukum
untuk keadilan", melainkan "hukum untuk uang".

Negara adalah entitas peradaban yang diberi hak monopoli dalam
menetapkan hukum dan menegakkannya dengan tujuan hadirnya keadilan
bagi seluruh masyarakat. Ketika negara berubah menjadi pasar, hukum
berubah menjadi komoditas. Seperti yang kita ketahui, ideologi pasar
adalah maksimalisasi profit dan self interest. Maka, ketika ideologi
tersebut masuk menjadi ideologi pelaku negara, sempurnalah perubahan
fungsi dari entitas negara menjadi pasar. Dan celakalah warga ne gara
yang duafa. Mengapa? Sebab, ketika hukum identik dengan komoditas,
sedangkan pasar untuk komoditas yang bernama "hukum"tersebut adalah
pasar monopoli, keadilan adalah sesuatu yang sulit diraih. Ukuran
kebenaran hukum adalah uang. Dan hukum pasar berlaku bagi para pencari
keadilan: siapa yang ingin hukum berpihak kepadanya, dia harus
membayar. Semakin tinggi uang yang Anda keluarkan, semakin hukum
berpihak kepada Anda.

Saya ingin mengingatkan para elite lembaga-lembaga negara, kiranya
tidak mati rasa dan bisa bergegas mengurangi kegalauan serta keresahan
masyarakat dari tidak berfungsinya peran lembaga negara dalam
mengatasi korupsi. Gayus dan Century adalah megafenomena yang
mencerminkan hal tersebut. Akumulasi kegalauan dan kekecewaan
masyarakat akan menjadi energi shock perubahan sosial yang akan
merugikan pemilik kekuasaan. Pada sistem yang totaliter, seperti dalam
kasus penguasa di era Orba dan Ben AliTunisia, butuh waktu 20-30 tahun
akumulasi energi shock untuk menumbangkan kekuasaan. Tapi, dalam era
keterbukaan dan demokrasi, waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih
singkat.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/24/ArticleHtmls/24_01_2011_012_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: