istilah kerja sama ekstradisi antarnegara.
Kerja sama itu sangat bermanfaat dalam upaya penegakan hukum karena
begitu banyak tersangka kriminal yang memilih kabur ke luar negeri
untuk bersembunyi dari hukum.
Indonesia sendiri sudah punya payung hukum untuk mengatur ekstradisi
itu. Lewat UU No 1/1979, pemerintah diizinkan untuk kerja sama
ekstradisi dengan negara lain.
Namun mengapa realisasinya begitu sulit? Sebut saja Anggoro Widjojo,
tersangka kasus suap pengadaan sistem komunikasi radio terpadu
Departemen Kehutanan, yang sejak Oktober 2008 disebutsebut bersembunyi
di Singapura, negara yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari
Indonesia.
"Syarat ekstradisi dengan Singapura begitu banyak. Salah satunya, kita
tidak ada perjanjian bilateral dengan Singapura," kata Kasubdit
Perjanjian Politik Keamanan dan Kewilayahan Kementerian Luar Negeri
Abdul Kadir Jailani saat ditemui Jumat (21/1) lalu.
Dipaparkannya, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura menemui jalan
buntu pada tahap ratifikasi. Singapura meminta agar perjanjian
ekstradisi digabung dengan persetujuan kerja sama Pertahanan (Defense
Cooperation Agreement/DCA).
Di sisi lain, Indonesia menolak menggabungkan perjanjian ekstradisi
dengan DCA itu.
"Kita tidak mau meratifikasi DCA. Karena itu, Singapura juga tidak mau
meratifikasi perjanjian ekstradisi," terang Abdul.
Namun, perjanjian ekstradisi ternyata bukanlah satu-satunya pintu
masuk untuk memburu tersangka kriminal yang lari ke luar negeri. Masih
ada kerja sama internasional bagi negaranegara yang mengikatkan diri
pada United Nations Convention on Against Corruption (UNCAC).
"Kita punya UNCAC yang bisa dijadikan dasar untuk mengajukan
permintaan. Jadi untuk kasus korupsi, kita bisa mengekstradisi dari
ratusan negara. Kita bisa ke negara mana pun," ungkapnya.
Ia mengatakan saat ini anggota UNCAC berjumlah sedikitnya 148 negara.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC pada 2008 silam. Selain
Kemenlu yang tengah bekerja keras lewat jalur diplomatik, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tengah menjajaki kerja sama dengan
negara-negara G20, untuk mempersempit ruang gerak koruptor. Salah satu
kerja sama yang ingin dicapai adalah mencegat para koruptor begitu
tiba di pintu masuk negara tujuan (entry denial).
Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan M Jasin memaparkan, kerja sama ini
dilakukan sebagai tindak lanjut dari pertemuan antikorupsi antarnegara
G-20 yang digelar akhir 2010 silam. "Setiap negara dalam G-20 paling
tidak menerapkan daftar nama yang dianggap bermasalah karena dianggap
terkait tindak pidana korupsi."
Dengan demikian, KPK akan melakukan pencegahan ganda. Mekanisme entry
denial tersebut, menurut Jasin, akan dibakukan dalam pertemuan negara-
negara G-20 yang akan digelar di Prancis pada Februari mendatang.
"Meski secara informal sebenarnya sudah dilaksanakan, bagus kalau ada
kesepakatan biar lebih kooperatif," tuturnya.
Langkah KPK itu mendapat dukungan penuh dari Trans parency
International Indonesia (TII). Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki
memandang Indonesia sudah saatnya punya perjanjian entry denial dengan
negara-negara yang diduga menjadi tujuan pencucian uang dan pelarian
kekayaan hasil korupsi.
Langkah itu dinilai le bih mutakhir ketimbang kerja sama dengan
Interpol. "Interpol itu terlalu kuno karena hanya kerja sama antara
polisi Indonesia dengan polisi internasional.
Kalau dengan entry denial, tidak hanya polisi, tetapi lembaga
perbankan Tanah Air bisa bekerja sama dengan lembaga perbankan
internasional."
Ia juga mendesak Presiden bisa membujuk Singapura untuk menandatangani
perjanjian itu. Menurutnya, Singapura selama ini menjadi surga bagi
para koruptor untuk menyimpan aset-asetnya termasuk melakukan
pencucian uang.
"Di sana ada Syamsul Nursalim dan Sutanto Tanoto yang kabur ke
Singapura. Selama ini, negara itu belum mau bekerja sama dengan kita.
Ini yang harus kita dorong," ujar Teten. (Nav/Wta/Ide)
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar