BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi

Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi

Written By gusdurian on Senin, 24 Januari 2011 | 10.28

Jakarta, Kompas - Hampir semua provinsi di negeri ini tersandera
korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus
tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan Kompas, hanya lima dari
33 provinsi di Indonesia yang hingga Minggu (23/1) tak ada kepala
daerahnya yang terjerat perkara hukum.

Temuan itu seperti membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi, Senin lalu. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di
Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah
hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan,
seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1).

Dari 17 gubernur yang dipaparkan Gamawan itu, tak semuanya kini masih
menjabat. Tinggal empat gubernur yang masih menjabat dan tersangkut
kasus korupsi. Mereka adalah Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin
(terdakwa korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta bea
penerimaan hak atas tanah), Gubernur Sumatera Utara Syamsul Ariffin
(terdakwa korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran), Gubernur
Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (tersangka korupsi dana
pengelolaan dana bagi hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal), dan
Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin (tersangka korupsi
pengembalian dan pemanfaatan lahan bekas pabrik kertas Martapura).
Kini Syamsul Ariffin ditahan.

Anggaran untuk golf

Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi
Temenggung menuturkan, sebagian besar kepala daerah terjerat kasus
korupsi yang terkait penyimpangan APBD, terutama pada pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Dalam
evaluasi APBD provinsi, Kemdagri sebenarnya sering memberikan catatan
terhadap anggaran yang tak sesuai dengan aturan.

”Kesalahan bisa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa yang
seharusnya mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu juga pengelolaan dan
pertanggungjawaban dana hibah, perjalanan dinas, dan bantuan sosial,”
katanya.

Awal 2011, Kemdagri sudah selesai mengevaluasi 30 APBD provinsi. Tiga
APBD provinsi lainnya, yaitu Bengkulu, Papua Barat, dan Aceh, masih
dalam proses evaluasi. ”Tahun 2011 cukup baik pada awal tahun anggaran
ini,” ujarnya.

Direktur Anggaran Daerah Kemdagri Hamdani menambahkan, provinsi dan
kabupaten/kota mempunyai kewenangan keuangan daerah. Namun, ada
beberapa anggaran yang diberi catatan untuk tak dianggarkan lagi di
APBD. ”Misalnya anggaran untuk hibah kepada persatuan golf. Apa
hubungan pemerintah daerah dengan golf? Setelah ditelusuri, ternyata
ketuanya gubernur atau sekretaris daerah,” ujarnya. Contoh lain,
kendaraan untuk anggota DPRD tidak boleh dianggarkan dalam APBD.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin juga mengakui,
modus korupsi di daerah kebanyakan berupa penyalahgunaan APBD dan
APBN, yaitu berupa bantuan sosial fiktif, penggelembungan harga, dan
mengubah spesifikasi teknik dalam pengadaan barang dan jasa. KPK pun
mengusulkan perubahan sistem anggaran. KPK juga menyampaikan kajian
untuk perbaikan keuangan darah ke Kemdagri, bahkan langsung terjun ke
daerah untuk memperbaiki sistemnya. ”Kami mengusulkan transparansi
anggaran dengan memakai e-budgeting dan mendorong transparansi
pengadaan barang dan jasa,” katanya.

Belum dirasakan di daerah

Sebaliknya, Agus Sunaryanto, Koordinator Divisi Investigasi Indonesia
Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Minggu, menilai, upaya
pemberantasan korupsi belum dirasakan di daerah. Karena itu, tren
korupsi di daerah terus meningkat dan jumlah kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi juga semakin banyak.

Berdasarkan kajian ICW, tren korupsi di daerah memang terus meningkat.
Keuangan daerah juga menjadi sektor yang paling rawan dikorupsi dengan
APBD sebagai obyek korupsi.

Selain keterlibatan pejabat lokal dalam kasus korupsi di daerah, Agus
juga menemukan peningkatan keterlibatan aktor dari sektor swasta,
khususnya dengan latar belakang jabatan komisaris/ direktur perusahaan
swasta. Aktor dari swasta umumnya terkait pengadaan barang dan jasa.
”Itu artinya ada upaya masif di kalangan swasta untuk menggerogoti
anggaran daerah melalui kegiatan pengadaan,” katanya.

Selama Januari-Juli 2010, potensi kerugian negara akibat korupsi
sektor keuangan daerah mencapai Rp 596,232 miliar (38 kasus).
”Semester II-2010, trennya meningkat,” katanya.

Agus mengatakan, ICW baru merampungkan kajian di sembilan dari 33
provinsi dan menemukan tak kurang dari 90 kasus korupsi baru selama
Juli-Desember 2010. Sembilan daerah yang selesai dikaji adalah Papua,
Gorontalo, Maluku, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Riau, dan Kepulauan Riau.

”Masih ada 24 provinsi yang belum dimasukkan, tetapi sudah menunjukkan
adanya kenaikan jumlah kasus korupsi yang signifikan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

Menurut Agus, penindakan yang dilakukan KPK dengan menangkap kepala
daerah yang disangka korupsi seperti tak memberikan efek jera. ”Upaya
pemberantasan korupsi belum menyentuh ke daerah. Pemerintah gagal
membangun sistem keuangan daerah yang baik,” katanya.

Akarnya pilkada

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Arif Nur Alam
mengatakan, maraknya korupsi di daerah berakar dari kekeliruan dalam
penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada). Pilkada dijadikan
ajang transaksional. Biaya tinggi dalam pemilihan membuat calon kepala
daerah mencari sumbangan dari sektor swasta.

Arif menyebutkan, biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi
calon bupati minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10
miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar. ”Itu belum sumbangan
dana dari pengusaha lokal,” katanya.

Akibatnya, setelah calon terpilih, dia sibuk mengembalikan uang yang
dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang
diberikan pihak swasta yang membantunya.

Gamawan Fauzi, Minggu di Jakarta, menambahkan, banyaknya kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah di berbagai tingkatan adalah konsekuensi
dari kesalahan bersama dalam pelaksanaan pilkada. Kesalahan itu
seharusnya ditanggung individu calon kepala daerah, partai politik,
dan masyarakat.

Oleh karena itu, untuk mencegah dan menghentikan maraknya korupsi di
daerah, Mendagri meminta jangan membebani calon kepala daerah dengan
materi dan ada undang-undang tentang pilkada yang ketat mensyaratkan
pencalonan kepala daerah. Sikap dan orientasi partai dan masyarakat
dalam pilkada pun perlu berubah.

”Andai terpilih menjadi gubernur dan harus mengganti dana yang
dikeluarkan selama pilkada sampai terpilih, sebesar Rp 60 miliar, dari
mana uang itu harus diambil? Minimal Rp 1 miliar sebulan? Gaji
gubernur hanya Rp 8,7 juta,” ujar Gamawan yang juga mantan Gubernur
Sumatera Barat. (sie/aik/har)

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/24/04412275/aceh.sampai.papua.tersandera.korupsi
Share this article :

0 komentar: