Pesta Elite Setelah Pesta Rakyat
Jusuf Kalla kembali memainkan jurus politik yang jitu dan melakukan
manuver politik dengan moto lebih cepat lebih baik. Di luar dugaan,
meskipun masih jauh dari pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU, capres
Jusuf Kalla memberikan selamat kepada pemenang pilpres (versi quick
count) Susilo Bambang Yudhoyono.
Prosesi pengucapan selamat melalui media itu—entah disengaja atau
tidak—diliput oleh media. Ketika ditanya pers pada hari pertama
pemungutan suara pilpres— mengenai hasil quick count yang perolehan
suara SBY-Boediono sudah jauh mengungguli capres Megawati
Soekarnoputri-Prabowo dan JK-Wiranto—Kalla masih menolak mengatakan ini
kemenangan resmi.
Dengan sangat hatihati dan rasional Kalla mengatakan menghargai hasil
penghitungan quick count, meskipun hasil akhir masih menunggu
penghitungan resmi KPU yang diberikan otoritas resmi oleh negara untuk
menentukan hasil akhir pilpres. Di sini sangat terlihat, meskipun
ditengarai kubu Mega–Prabowo dan JK–Wiranto masih mencari
penyimpangan-penyimpangan pilpres di lapangan, tetapi JK punya kalkulasi
politik yang tajam ketika realitas politik yang semakin berpihak pada
kemenangan SBY–Boediono.
Sejauh ini hasil quick count cenderung mendekati hasil penghitungan
resmi KPU. Karena itu, Kalla tampaknya sangat sadar bahwa kubunya—yang
meskipun didukung oleh seabrek potensi umat Islam, bahkan lintas
agama—tak akan mampu mengubah situasi. Kalaupun terjadi penyimpangan
yang sangat ekstrem dan mampu mengoreksi hasil pemilu untuk terjadinya
putaran kedua,maka yang jadi finalis tentu SBY–Boediono dan
Megawati–Prabowo.
Boleh diduga, tanpa mengurangi respek kepada kubu Megawati– Prabowo,
kubu SBY-Boediono akan sangat kerepotan kalau terjadi putaran kedua dan
harus berhadapan dengan JK–Wiranto. Sama halnya kubu JK–Wiranto sangat
sadar untuk meraih kemenangan akan lebih dimungkinkan jika pilpres masuk
ke putaran kedua.Ketika posisi JK–Wiranto di urutan ketiga menurut versi
quick count maka peluang untuk tampil pada putaran kedua semakin pupus
dan mereka dipaksa untuk realistis.
Kubu SBY-Boediono tidak bisa lain, untuk menang dalam pilpres ini
haruslah bekerja keras untuk memenangkan pilpres satu putaran, apalagi
menang dengan angka yang signifikan. Masalahnya yang menarik adalah
ketika terdapat penyimpangan atau penyalahgunaan mekanisme
penyelenggaraan pemilu yang menguntungkan salah satu kontestan haruslah
mampu dibuktikan oleh kedua kubu di luar kubu pemenang.
Kerja keras pembuktian ini terpulang pada kegigihan dan investigasi yang
dilakukan oleh kubu Mega- Prabowo.Mereka mesti kerja keras untuk
menyalurkannya kepada pihak yang mempunyai otoritas yang berwenang untuk
itu,sehingga terbuka peluang untuk pilpres putaran kedua.
*** Dalam situasi seperti ini semua pihak sangat cermat mengikuti
perkembangan pascapilpres. Misalnya dari lingkaran partai Golongan Karya
(Golkar). Dalam partai yang Kalla duduk sebagai ketua umumnya, ada
manuver politik yang menghendaki untuk dilakukan musyawarah nasional
(munas) yang dipercepat sebelum waktunya.Elite Golkar yang masih
memimpikan duet SBY–JK, yang kini sudah mustahil, masih berharap Golkar
masih berpeluang merapat ke SBY sebelum pelantikan presiden periode
2009–2014.
Partai Golkar mulai menjajaki dan menjagokan paling sedikit dua tokoh
Golkar yaitu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.Kedua tokoh ini sangat
dikenal dan masing-masing mempunyai pendukung yang berimbang. Untuk itu
harus diperhatikan tujuan utama munas dipercepat ini.Suatu munas yang
reguler maupun yang luar biasa selalu ada maknanya kalau dijadikan forum
evaluasi dan konsolidasi partai sekaligus ajang introspeksi, sehingga
lebih mampu menangkap tanda-tanda zaman.
Itu pun harusnya dilakukan dengan persetujuan ketua umumnya, JK, sesuai
etika politik dan menaati AD/ART. Dalam tradisi politik atau konvensi
yang telah terjadi sejak Orde Baru, Golkar memang tidak pernah berada
dalam posisi oposisi. Sejak dulu Golkar selalu menjadi partai penguasa,
meskipun itu tidak harus menjadi aksioma.
Karena itu dia lebih berpengalaman mengelola negara. Masalahnya
terpulang pada presiden pemenang pemilu apakah dukungan formal dengan
politik banting setir Golkar yang ingin merapat untuk berkoalisi masih
mendapat tempat dan kompensasi politik yang memadai.
Bukankah SBY menang tanpa dukungan formal Partai Golkar? Dengan kata
lain, bagi Golkar pilihannya apakah pragmatis politik atau perspektif
politik yang menjanjikan untuk merebut kepemimpinan presiden pada
Pilpres 2014. Jangan sekadar suatu aksi politik yang berakibat bumerang
atau antiklimaks.
*** Sebenarnya patut dipertimbangkan oleh SBY dalam menyusun kabinetnya
yang baru untuk menjaga keseimbangan politik (balance of power).Dia
harus mengeset secara cermat dengan pertimbangan profesionalisme yang
tinggi membentuk kombinasi kabinet yang terdiri dari orang-orang ahli di
bidangnya (zakenkabinet).
Mereka harus mempunyai wawasan kebangsaan serta loyalitas dan integritas
yang tak perlu disanksikan. Para ahli inilah yang nantinya disandingkan
dengan kombinasi elite-elite politik yang selama ini sudah cukup
berkeringat mendukung dan mengantarkan SBY ke puncak kekuasaan
tertinggi. Jadi akan lebih bijak SBY dalam mengakomodasi sesuai dengan
hak prerogatif yang dimilikinya selaku presiden terpilih.
Ada baiknya juga agar presiden SBY tidak lupa untuk menanyakan atau
menawarkan kepada rival politiknya pada masa pilpres lalu,apakah mereka
juga mempunyai usulan siapa yang patut untuk membantu presiden yang
baru. Akan lebih baik dan aman mengikutsertakan tokoh-tokoh yang prokubu
rival politiknya.
Akan lebih bijak bestari apabila presiden mengangkat orang-orang yang
rekam jejaknya bukan mbalelo (safety player) atau yang tergolong tidak
setia pada partai induknya. Akan lebih aman bagi SBY justru rekomendasi
nama-nama tokoh yang akan diikutsertakannya berasal dari Kalla dan Mega,
bahkan kalau perlu termasuk usulan Wiranto dan Prabowo. Tokoh-tokoh yang
mbalelo itu seperti kata pepatah, lupa kacang pada kulitnya.
Dalam hitungan-hitungan politik memperhitungkan lawan politik dan
memberikan penghormatan padanya lebih menunjukkan sebagai kiat politik
yang piawai sekaligus menunjukkan sikap kenegarawanan. Karena
bagaimanapun lawan politik adalah mitra tangguh yang menguji
kredibilitas kita.
Silakan endapkan.Ini pun makna dari suatu rekonsiliasi nasional. Menurut
saya, menjadi suatu accident politik ketika kaum munafik diikutsertakan.
Jangan jadikan hasil pilpres ini sebagai pesta elite yang sibuk gesek
sana tusuk sini. Ini adalah kelanjutan pesta rakyat yang sudah
seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat.(*)
Prof Bachtiar Aly
Pakar Komunikasi Politik
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253867/
Jusuf Kalla kembali memainkan jurus politik yang jitu dan melakukan
manuver politik dengan moto lebih cepat lebih baik. Di luar dugaan,
meskipun masih jauh dari pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU, capres
Jusuf Kalla memberikan selamat kepada pemenang pilpres (versi quick
count) Susilo Bambang Yudhoyono.
Prosesi pengucapan selamat melalui media itu—entah disengaja atau
tidak—diliput oleh media. Ketika ditanya pers pada hari pertama
pemungutan suara pilpres— mengenai hasil quick count yang perolehan
suara SBY-Boediono sudah jauh mengungguli capres Megawati
Soekarnoputri-Prabowo dan JK-Wiranto—Kalla masih menolak mengatakan ini
kemenangan resmi.
Dengan sangat hatihati dan rasional Kalla mengatakan menghargai hasil
penghitungan quick count, meskipun hasil akhir masih menunggu
penghitungan resmi KPU yang diberikan otoritas resmi oleh negara untuk
menentukan hasil akhir pilpres. Di sini sangat terlihat, meskipun
ditengarai kubu Mega–Prabowo dan JK–Wiranto masih mencari
penyimpangan-penyimpangan pilpres di lapangan, tetapi JK punya kalkulasi
politik yang tajam ketika realitas politik yang semakin berpihak pada
kemenangan SBY–Boediono.
Sejauh ini hasil quick count cenderung mendekati hasil penghitungan
resmi KPU. Karena itu, Kalla tampaknya sangat sadar bahwa kubunya—yang
meskipun didukung oleh seabrek potensi umat Islam, bahkan lintas
agama—tak akan mampu mengubah situasi. Kalaupun terjadi penyimpangan
yang sangat ekstrem dan mampu mengoreksi hasil pemilu untuk terjadinya
putaran kedua,maka yang jadi finalis tentu SBY–Boediono dan
Megawati–Prabowo.
Boleh diduga, tanpa mengurangi respek kepada kubu Megawati– Prabowo,
kubu SBY-Boediono akan sangat kerepotan kalau terjadi putaran kedua dan
harus berhadapan dengan JK–Wiranto. Sama halnya kubu JK–Wiranto sangat
sadar untuk meraih kemenangan akan lebih dimungkinkan jika pilpres masuk
ke putaran kedua.Ketika posisi JK–Wiranto di urutan ketiga menurut versi
quick count maka peluang untuk tampil pada putaran kedua semakin pupus
dan mereka dipaksa untuk realistis.
Kubu SBY-Boediono tidak bisa lain, untuk menang dalam pilpres ini
haruslah bekerja keras untuk memenangkan pilpres satu putaran, apalagi
menang dengan angka yang signifikan. Masalahnya yang menarik adalah
ketika terdapat penyimpangan atau penyalahgunaan mekanisme
penyelenggaraan pemilu yang menguntungkan salah satu kontestan haruslah
mampu dibuktikan oleh kedua kubu di luar kubu pemenang.
Kerja keras pembuktian ini terpulang pada kegigihan dan investigasi yang
dilakukan oleh kubu Mega- Prabowo.Mereka mesti kerja keras untuk
menyalurkannya kepada pihak yang mempunyai otoritas yang berwenang untuk
itu,sehingga terbuka peluang untuk pilpres putaran kedua.
*** Dalam situasi seperti ini semua pihak sangat cermat mengikuti
perkembangan pascapilpres. Misalnya dari lingkaran partai Golongan Karya
(Golkar). Dalam partai yang Kalla duduk sebagai ketua umumnya, ada
manuver politik yang menghendaki untuk dilakukan musyawarah nasional
(munas) yang dipercepat sebelum waktunya.Elite Golkar yang masih
memimpikan duet SBY–JK, yang kini sudah mustahil, masih berharap Golkar
masih berpeluang merapat ke SBY sebelum pelantikan presiden periode
2009–2014.
Partai Golkar mulai menjajaki dan menjagokan paling sedikit dua tokoh
Golkar yaitu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.Kedua tokoh ini sangat
dikenal dan masing-masing mempunyai pendukung yang berimbang. Untuk itu
harus diperhatikan tujuan utama munas dipercepat ini.Suatu munas yang
reguler maupun yang luar biasa selalu ada maknanya kalau dijadikan forum
evaluasi dan konsolidasi partai sekaligus ajang introspeksi, sehingga
lebih mampu menangkap tanda-tanda zaman.
Itu pun harusnya dilakukan dengan persetujuan ketua umumnya, JK, sesuai
etika politik dan menaati AD/ART. Dalam tradisi politik atau konvensi
yang telah terjadi sejak Orde Baru, Golkar memang tidak pernah berada
dalam posisi oposisi. Sejak dulu Golkar selalu menjadi partai penguasa,
meskipun itu tidak harus menjadi aksioma.
Karena itu dia lebih berpengalaman mengelola negara. Masalahnya
terpulang pada presiden pemenang pemilu apakah dukungan formal dengan
politik banting setir Golkar yang ingin merapat untuk berkoalisi masih
mendapat tempat dan kompensasi politik yang memadai.
Bukankah SBY menang tanpa dukungan formal Partai Golkar? Dengan kata
lain, bagi Golkar pilihannya apakah pragmatis politik atau perspektif
politik yang menjanjikan untuk merebut kepemimpinan presiden pada
Pilpres 2014. Jangan sekadar suatu aksi politik yang berakibat bumerang
atau antiklimaks.
*** Sebenarnya patut dipertimbangkan oleh SBY dalam menyusun kabinetnya
yang baru untuk menjaga keseimbangan politik (balance of power).Dia
harus mengeset secara cermat dengan pertimbangan profesionalisme yang
tinggi membentuk kombinasi kabinet yang terdiri dari orang-orang ahli di
bidangnya (zakenkabinet).
Mereka harus mempunyai wawasan kebangsaan serta loyalitas dan integritas
yang tak perlu disanksikan. Para ahli inilah yang nantinya disandingkan
dengan kombinasi elite-elite politik yang selama ini sudah cukup
berkeringat mendukung dan mengantarkan SBY ke puncak kekuasaan
tertinggi. Jadi akan lebih bijak SBY dalam mengakomodasi sesuai dengan
hak prerogatif yang dimilikinya selaku presiden terpilih.
Ada baiknya juga agar presiden SBY tidak lupa untuk menanyakan atau
menawarkan kepada rival politiknya pada masa pilpres lalu,apakah mereka
juga mempunyai usulan siapa yang patut untuk membantu presiden yang
baru. Akan lebih baik dan aman mengikutsertakan tokoh-tokoh yang prokubu
rival politiknya.
Akan lebih bijak bestari apabila presiden mengangkat orang-orang yang
rekam jejaknya bukan mbalelo (safety player) atau yang tergolong tidak
setia pada partai induknya. Akan lebih aman bagi SBY justru rekomendasi
nama-nama tokoh yang akan diikutsertakannya berasal dari Kalla dan Mega,
bahkan kalau perlu termasuk usulan Wiranto dan Prabowo. Tokoh-tokoh yang
mbalelo itu seperti kata pepatah, lupa kacang pada kulitnya.
Dalam hitungan-hitungan politik memperhitungkan lawan politik dan
memberikan penghormatan padanya lebih menunjukkan sebagai kiat politik
yang piawai sekaligus menunjukkan sikap kenegarawanan. Karena
bagaimanapun lawan politik adalah mitra tangguh yang menguji
kredibilitas kita.
Silakan endapkan.Ini pun makna dari suatu rekonsiliasi nasional. Menurut
saya, menjadi suatu accident politik ketika kaum munafik diikutsertakan.
Jangan jadikan hasil pilpres ini sebagai pesta elite yang sibuk gesek
sana tusuk sini. Ini adalah kelanjutan pesta rakyat yang sudah
seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat.(*)
Prof Bachtiar Aly
Pakar Komunikasi Politik
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253867/