BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Pesta Elite Setelah Pesta Rakyat

Written By gusdurian on Sabtu, 11 Juli 2009 | 13.54

Pesta Elite Setelah Pesta Rakyat

Jusuf Kalla kembali memainkan jurus politik yang jitu dan melakukan
manuver politik dengan moto lebih cepat lebih baik. Di luar dugaan,
meskipun masih jauh dari pengumuman resmi hasil pemilu oleh KPU, capres
Jusuf Kalla memberikan selamat kepada pemenang pilpres (versi quick
count) Susilo Bambang Yudhoyono.

Prosesi pengucapan selamat melalui media itu—entah disengaja atau
tidak—diliput oleh media. Ketika ditanya pers pada hari pertama
pemungutan suara pilpres— mengenai hasil quick count yang perolehan
suara SBY-Boediono sudah jauh mengungguli capres Megawati
Soekarnoputri-Prabowo dan JK-Wiranto—Kalla masih menolak mengatakan ini
kemenangan resmi.

Dengan sangat hatihati dan rasional Kalla mengatakan menghargai hasil
penghitungan quick count, meskipun hasil akhir masih menunggu
penghitungan resmi KPU yang diberikan otoritas resmi oleh negara untuk
menentukan hasil akhir pilpres. Di sini sangat terlihat, meskipun
ditengarai kubu Mega–Prabowo dan JK–Wiranto masih mencari
penyimpangan-penyimpangan pilpres di lapangan, tetapi JK punya kalkulasi
politik yang tajam ketika realitas politik yang semakin berpihak pada
kemenangan SBY–Boediono.

Sejauh ini hasil quick count cenderung mendekati hasil penghitungan
resmi KPU. Karena itu, Kalla tampaknya sangat sadar bahwa kubunya—yang
meskipun didukung oleh seabrek potensi umat Islam, bahkan lintas
agama—tak akan mampu mengubah situasi. Kalaupun terjadi penyimpangan
yang sangat ekstrem dan mampu mengoreksi hasil pemilu untuk terjadinya
putaran kedua,maka yang jadi finalis tentu SBY–Boediono dan
Megawati–Prabowo.

Boleh diduga, tanpa mengurangi respek kepada kubu Megawati– Prabowo,
kubu SBY-Boediono akan sangat kerepotan kalau terjadi putaran kedua dan
harus berhadapan dengan JK–Wiranto. Sama halnya kubu JK–Wiranto sangat
sadar untuk meraih kemenangan akan lebih dimungkinkan jika pilpres masuk
ke putaran kedua.Ketika posisi JK–Wiranto di urutan ketiga menurut versi
quick count maka peluang untuk tampil pada putaran kedua semakin pupus
dan mereka dipaksa untuk realistis.

Kubu SBY-Boediono tidak bisa lain, untuk menang dalam pilpres ini
haruslah bekerja keras untuk memenangkan pilpres satu putaran, apalagi
menang dengan angka yang signifikan. Masalahnya yang menarik adalah
ketika terdapat penyimpangan atau penyalahgunaan mekanisme
penyelenggaraan pemilu yang menguntungkan salah satu kontestan haruslah
mampu dibuktikan oleh kedua kubu di luar kubu pemenang.

Kerja keras pembuktian ini terpulang pada kegigihan dan investigasi yang
dilakukan oleh kubu Mega- Prabowo.Mereka mesti kerja keras untuk
menyalurkannya kepada pihak yang mempunyai otoritas yang berwenang untuk
itu,sehingga terbuka peluang untuk pilpres putaran kedua.

*** Dalam situasi seperti ini semua pihak sangat cermat mengikuti
perkembangan pascapilpres. Misalnya dari lingkaran partai Golongan Karya
(Golkar). Dalam partai yang Kalla duduk sebagai ketua umumnya, ada
manuver politik yang menghendaki untuk dilakukan musyawarah nasional
(munas) yang dipercepat sebelum waktunya.Elite Golkar yang masih
memimpikan duet SBY–JK, yang kini sudah mustahil, masih berharap Golkar
masih berpeluang merapat ke SBY sebelum pelantikan presiden periode
2009–2014.

Partai Golkar mulai menjajaki dan menjagokan paling sedikit dua tokoh
Golkar yaitu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.Kedua tokoh ini sangat
dikenal dan masing-masing mempunyai pendukung yang berimbang. Untuk itu
harus diperhatikan tujuan utama munas dipercepat ini.Suatu munas yang
reguler maupun yang luar biasa selalu ada maknanya kalau dijadikan forum
evaluasi dan konsolidasi partai sekaligus ajang introspeksi, sehingga
lebih mampu menangkap tanda-tanda zaman.

Itu pun harusnya dilakukan dengan persetujuan ketua umumnya, JK, sesuai
etika politik dan menaati AD/ART. Dalam tradisi politik atau konvensi
yang telah terjadi sejak Orde Baru, Golkar memang tidak pernah berada
dalam posisi oposisi. Sejak dulu Golkar selalu menjadi partai penguasa,
meskipun itu tidak harus menjadi aksioma.

Karena itu dia lebih berpengalaman mengelola negara. Masalahnya
terpulang pada presiden pemenang pemilu apakah dukungan formal dengan
politik banting setir Golkar yang ingin merapat untuk berkoalisi masih
mendapat tempat dan kompensasi politik yang memadai.

Bukankah SBY menang tanpa dukungan formal Partai Golkar? Dengan kata
lain, bagi Golkar pilihannya apakah pragmatis politik atau perspektif
politik yang menjanjikan untuk merebut kepemimpinan presiden pada
Pilpres 2014. Jangan sekadar suatu aksi politik yang berakibat bumerang
atau antiklimaks.

*** Sebenarnya patut dipertimbangkan oleh SBY dalam menyusun kabinetnya
yang baru untuk menjaga keseimbangan politik (balance of power).Dia
harus mengeset secara cermat dengan pertimbangan profesionalisme yang
tinggi membentuk kombinasi kabinet yang terdiri dari orang-orang ahli di
bidangnya (zakenkabinet).

Mereka harus mempunyai wawasan kebangsaan serta loyalitas dan integritas
yang tak perlu disanksikan. Para ahli inilah yang nantinya disandingkan
dengan kombinasi elite-elite politik yang selama ini sudah cukup
berkeringat mendukung dan mengantarkan SBY ke puncak kekuasaan
tertinggi. Jadi akan lebih bijak SBY dalam mengakomodasi sesuai dengan
hak prerogatif yang dimilikinya selaku presiden terpilih.

Ada baiknya juga agar presiden SBY tidak lupa untuk menanyakan atau
menawarkan kepada rival politiknya pada masa pilpres lalu,apakah mereka
juga mempunyai usulan siapa yang patut untuk membantu presiden yang
baru. Akan lebih baik dan aman mengikutsertakan tokoh-tokoh yang prokubu
rival politiknya.

Akan lebih bijak bestari apabila presiden mengangkat orang-orang yang
rekam jejaknya bukan mbalelo (safety player) atau yang tergolong tidak
setia pada partai induknya. Akan lebih aman bagi SBY justru rekomendasi
nama-nama tokoh yang akan diikutsertakannya berasal dari Kalla dan Mega,
bahkan kalau perlu termasuk usulan Wiranto dan Prabowo. Tokoh-tokoh yang
mbalelo itu seperti kata pepatah, lupa kacang pada kulitnya.

Dalam hitungan-hitungan politik memperhitungkan lawan politik dan
memberikan penghormatan padanya lebih menunjukkan sebagai kiat politik
yang piawai sekaligus menunjukkan sikap kenegarawanan. Karena
bagaimanapun lawan politik adalah mitra tangguh yang menguji
kredibilitas kita.

Silakan endapkan.Ini pun makna dari suatu rekonsiliasi nasional. Menurut
saya, menjadi suatu accident politik ketika kaum munafik diikutsertakan.
Jangan jadikan hasil pilpres ini sebagai pesta elite yang sibuk gesek
sana tusuk sini. Ini adalah kelanjutan pesta rakyat yang sudah
seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat.(*)

Prof Bachtiar Aly
Pakar Komunikasi Politik


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253867/

Pemimpin Indonesia 2009–2014

Pemimpin Indonesia 2009–2014

Akhirnya usai sudah agenda negara-bangsa (nation state) ini dalam
memilih pemimpinnya. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan
hasil finalnya,berdasarkan laporan perkembangan perolehan suara yang
dilakukan baik oleh KPU maupun sejumlah lembaga survei yang
ada,menunjukkan pasangan SBY-Boediono dapat menyisihkan kedua pasangan
lainnya, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

Diberitakan pula bahwa JK telah memberikan ucapan selamat kepada
SBY-Boediono atas kemenangannya dalam Pilpres 8 Juli 2009 yang lalu
(Seputar Indonesia,10/7). Kepastian kemenangan di atas didasarkan pada
kenyataan bahwa hampir di setiap daerah pemilihan, baik di dalam negeri
maupun luar negeri, pasangan SBY-Boediono mengungguli perolehan suara
kedua pesaingnya di atas secara mencolok.

Kecuali di Bali untuk pasangan Megawati-Prabowo, dan Gorontalo, Sulawesi
Selatan serta Sulawesi Tenggara untuk pasangan JK-Wiranto,praktis
SBY-Boediono memenangkan lebih dari 60% suara sah yang mengikuti pilpres
tiga hari yang lalu. Apa arti kemenangan di atas dan apa yang akan
dilakukan oleh pemimpin baru Indonesia ke depan,tampaknya patut
dijadikan bahan renungan.

Meski ada berbagai persoalan utamanya kekisruhan daftar pemilih tetap
(DPT)– mau tidak mau,setiap kontes tentu akan menyisakan persoalan siapa
pemenang dan siapa yang kalah. Kalaupun ada keberatan terhadap
pelaksanaan serta hasilnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah bersedia
dijadikan mediumnya. Seperti yang sudah kita saksikan selama ini,lembaga
kenegaraan baru tersebut telah berhasil menyelesaikan berbagai sengketa
pemilu yang kita selenggarakan pada Rabu (9/7).

Makna Kemenangan

Bagi penulis, keberhasilan pasangan SBY-Boediono dalam pilpres lalu
bukanlah sebuah prestasi yang mengejutkan. Masalahnya, ada sejumlah
faktor positif yang secara niscaya lebih memihak kepada mereka ketimbang
kedua pasangan lainnya. Pertama, SBY adalah incumbent president, yang
posisinya tentu lebih baik dibandingkan Wakil Presiden JK dan mantan
Presiden Megawati.

Sebagai incumbent, SBY senantiasa ditunggu kehadirannya dalam berbagai
acara kenegaraan. Meski dalam masa tenang menjelang pilpres pun,tak ada
halangan bagi dia melakukan fungsi kenegaraannya. Kesempatan semacam
ini, baik secara langsung maupun tidak, dapat dimanfaatkan sebagai ajang
kampanye, atau paling tidak untuk menyosialisasikan dirinya kepada para
calon pemilih.

Kedua, sebagai incumbent president,SBY memiliki jaringan dan dukungan
yang lebih luas dibandingkan Mega dan JK.Terbukti,dia mampu “memborong”
simpati 24 partai menengah dan kecil, di samping Partai Demokrat
sendiri. Juga ditambah lagi oleh sejumlah jaringan pendukungnya yang
nonpartai, mulai dari kalangan profesional, agamawan, dan pengusaha.

Karena peran mereka itulah maka persoalan dana dan pelaksanaan kampanye
menjadi lebih ringan dibandingkan kedua rivalnya, JK dan Mega. Ditambah
lagi begitu tingginya aktivitas konsultan politiknya, citra keunggulan
SBY tidak hanya dieksploitasi melalui iklan di dalam negeri, tapi juga
lewat majalah Timeyang telah memilihnya menjadi salah satu dari 100
pemimpin yang paling berpengaruh di dunia.

Ketiga, masih kuatnya persepsi masyarakat terhadap pemegang kekuasaan.
Karena kekuasaan harus diwujudkan,maka yang memegangnya harus memiliki
kelebihan dibanding mereka yang dikuasai. Seorang pemimpin mesti
memiliki postur fisik dan cara berbicara yang jauh lebih menarik
dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Terutama dalam masyarakat Jawa, wibawa dan pesona seorang pemimpin
memiliki posisi khusus. Keduanya hanya ada pada seseorang yang
berperilaku tenang dan tidak “pecicilan” dan apalagi “petakilan” seperti
tokoh Cakil dalam dunia pewayangan. Ciri-ciri semacam itu ada pada
seorang SBY.

Keempat, semua kelebihan di atas,sebenarnya akan menjadi berkurang
artinya apabila secara empirik perkembangan sosial-ekonomi Indonesia
menjelang pelaksanaan pilpres dirasakan negatif oleh para calon pemilih.
Misalnya, karena sesuatu hal, stabilitas politik nasional agak
terganggu.Selain itu, elektabilitas dan popularitas SBY akan goyah
secara signifikan apabila terjadi gejolak ekonomi yang memperberat beban
rakyat.

Kenaikan nilai dolar yang sangat signifikan,inflasi yang sangat tinggi,
atau pengangguran yang kian menjadi-jadi akan menurunkan dukungan publik
terhadap SBYBoediono di satu pihak,sedangkan di pihak lain akan
mendongkrak pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Akan tetapi,
kendati seluruh persyaratan menang bagi seorang pemimpin ada pada SBY,
penulis sebelumnya tidak yakin bahwa SBY-Boediono akan dapat meraih
kemenangan lewat satu putaran saja.

Masalahnya, baik Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto bukanlah wajah baru di
mata pemilih Indonesia. Semuanya pernah duduk di pemerintahan, baik di
lembaga militer maupun sipil.Apalagi JK, sampai sekarang masih tetap
menjadi Wakil Presiden.Jadi,agak berlebihan bila posisi mereka
diremehkan oleh Tim Sukses SBYBoediono.

Meskipun persyaratan yang mereka miliki untuk menjadi presiden dan wakil
presiden Indonesia 2009–2014 tidak selengkap SBYBoediono, masing-masing
pasangan tersebut mempunyai pengikut dan pengagum yang tidak
sedikit.Jadi,kalaupun harus kalah, mesti melewati dua putaran. Di
putaran pertama, paling tidak Mega-Prabowo mendapatkan 30% dan
JK-Wiranto 25%.

Ternyata prediksi itu meleset, justru SBY-Boediono yang secara
signifikan memperoleh kemenangan di atas 60%, sedangkan Megawati-Prabowo
mendapat 28% dan JKWiranto diprediksi memperoleh 14%.Kalaupun ada
sedikit penurunan tingkat keterpilihan SBY-Boediono, itu disebabkan cara
kampanye para tim suksesnya yang terlalu yakin akan posisi SBY,baik
secara terbuka maupun tertutup telah memandang enteng lawanlawan
politiknya, bahkan cenderung melakukan pembunuhan karakter dan menodai
prinsipprinsip demokrasi.

Prospek Pemerintahan SBY-Boediono

Jika janji kampanye yang kita jadikan pegangan dalam menatap masa depan
pemerintahan periode 2009–2014, maka masalahnya sudah jelas. Pasangan
SBY-Boediono berjanji akan melanjutkan apa yang selama lima tahun
terakhir dianggap sebagai keberhasilan.

Mulai dari pengurangan jumlah utang luar negeri sampai ke peningkatan
kesejahteraan rakyat, dipandangnya sebagai bukti dari pengelolaan
pemerintahan yang mengikuti prinsip-prinsip good governance. Dengan
stabilitas politik sebagai dasarnya, pasangan ini berusaha memperbaiki
kualitas demokrasi Indonesia.

Dengan slogan “lanjutkan”, mereka berusaha memperjuangkan pelaksanaan
politik luar negeri yang makin high profile agar Indonesia makin
diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Berangkat dari visi
dan misi pasangan SBY-Boediono di atas, setidaknya kita sebagai pemilih
mempunyai tolok ukur untuk memonitor kinerjanya.

Kita berharap agar kedua pemimpin hasil pilpres itu terbuka terhadap
segala masukan, terutama dari kedua pesaingnya. Sebagaimana yang dapat
kita saksikan lewat kampanye-kampanye mereka, tidak sedikit
pikiran-pikiran yang disampaikannya bermanfaat bagi SBY-Boediono untuk
lebih mengonkretkan janjinya.

Setidaknya,kombinasi dari visi dan misi ketiga pasangan, jika di
akomodasi oleh pemimpin baru kita akan melahirkan dua dampak sekaligus:
Pertama, memperlengkap harapan publik tentang peran dan keberadaan
pimpinan nasional dalam memperbaiki kondisi negara-bangsa.

Karena begitu sentralnya kedudukan seorang pemimpin dalam proses
perubahan, maka ucapan dan tindakannya mesti terukur dan mengakomodasi
kehendak warganya. Kedua, bila SBY-Boediono mau mengakomodasi
pandangan-pandangan kedua pesaingnya: Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, maka
akan lebih menciptakan harmoni ketimbang konflik tak berkesudahan.

Tahap berikutnya adalah bagaimana mengimplementasikan semua
pikiran-pikiran yang indah itu ke dalam kebijakan publik. Ini yang jauh
lebih penting. Bila Presiden SBY dan Wapres Boediono peduli terhadap
persoalan ini,soal kalah dan menang dalam pilpres bukan lagi masalah.
Itu semua hanyalah sarana menuju kekuasaan.

Tanpa kemenangan,kekuasaan mustahil diperoleh.Tanpa kekuasaan, tidak
mungkin pula mereka mempunyai poweruntuk merumuskan dan melaksanakan
kebijakan. Semoga ke sanalah kedua pemimpin bangsa hasil Pilpres 8 Juli
2009 ini segera mengarahkan programnya, bukan pesta mempertontonkan
kemenangan.(*)

Indria Samego
Profesor Riset
Perbandingan Politik
LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253750/

Legitimasi SBY dan Harapan Pemilih

Legitimasi SBY dan Harapan Pemilih

Reformasi konstitusi telah menempatkan pemilih Indonesia pada kedudukan
yang lebih berdaulat dalam menentukan pemimpinnya. Sudah dua kali bangsa
Indonesia memilih langsung pasangan presiden dan wakil presiden.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 dilaksanakan dua babak karena tidak
ada pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) yang
berhasil ditetapkan sebagai presidenwapres terpilih pada babak pertama.
Selain baru pertama kali pemilih menggunakan haknya dalam pilpres
langsung,pasangan caprescawapres pada Pilpres 2004 berjumlah lima.

Kondisi ini mengakibatkan suara pemilih tersebar sehingga pasangan
capres-cawapres peringkat pertama hanya didukung suara pemilih sebanyak
33,57% dan pasangan peringkat kedua didukung 26,60%. Konstitusi
mengharuskan pilpres babak kedua yang kemudian dimenangkan oleh pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M Jusuf Kalla (JK). Pilpres 2009
berbeda.

Caprescawapres yang berkompetisi hanya tiga pasang.Menurut hitungan
matematis dengan distribusi normal, masing-masing pasangan akan
memperoleh dukungan suara sekitar 30%.Namun, berbagai hasil hitung cepat
menunjukkan pasangan SBY-Boediono langsung memperoleh dukungan 60-an
persen suara sah dalam babak pertama pilpres.

Keberhasilan ini tidak memerlukan pilpres babak kedua (majority-runoff)
kalau mencapai lebih dari 50% suara pemilih di separuh jumlah provinsi,
dan paling sedikit mencapai 20% suara di tiaptiap provinsi tersebut
(Pasal 6A ayat (3) UUD 1945). Apa arti kemenangan ini? Pertama,
keberhasilan SBYBoediono memenangi pilpres dalam satu babak telah
mengukuhkan legitimasi kepresidenan 2009–2014.

Legitimasi ini lebih berkualitas daripada kemenangan SBY meraup 60%
suara pada babak kedua Pilpres 2004 (waktu itu berpasangan dengan Jusuf
Kalla). Lebih berkualitas karena dihasilkan langsung dari babak pertama
dan bukan merupakan hasil akhir dari bekerjanya sistem
plurality-majoritypada pilpres dua babak (two-round presidential
election). Kedua, pemilih langsung memilah pasangan caprescawapres dan
menentukan pilihannya sehingga SBY-Boediono berhasil memenangi pilpres
dalam satu babak.

Mungkin benar untuk mengatakan, ketokohan capres-cawapres begitu
menentukan dalam pilpres langsung. Selain itu, pemilih Indonesia telah
menunjukkan otonominya sehingga tak ingin bertele-tele dengan “membuang”
Rp4 triliun dalam pilpres babak kedua. Ketiga,SBY-Boediono memiliki
keuntungan ganda dalam menyusun kabinetnya.

Dia sebagai incumbent dan memiliki waktu lebih banyak menyiapkan kabinet
baru bersama mitra koalisi (dari awal Juli hingga Oktober
2009).Kesempatan ini tidak dimiliki SBY di tahun 2004.Ketika itu dia
bahkan menunda pengumuman kabinetnya. Kini legitimasi dan modal dasar
kepresidenan SBY-Boediono justru diperoleh karena meningkatnya
harapan-harapan massa pemilih.

Saya kira citra SBY-Boediono yang dibayangkan oleh massa pemilih bukan
lagi sosok yang perlu mendapat simpati karena dizalimi atau dipojokkan
oleh lawan-lawan politiknya. Keterpilihan SBY-Boediono dalam satu babak
membuktikan keberhasilan pencitraan sebagai sosok yang memberikan uang
bantuan langsung tunai (BLT),atau membagikan beras untuk keluarga miskin
(raskin), jaminan kesehatan, dan bahkan anggaran pendidikan sebesar 20%
APBN (meski sebetulnya merupakan mandat konstitusi).

*** Kemenangan SBY-Boediono dalam pilpres satu babak harus segera
dibuktikan dengan kemampuan mengatur perilaku mitra koalisi dalam
membentuk kabinet. Keleluasaan SBY karena berpasangan dengan Boediono
sebagai wapres yang bebas dari kepentingan partai politik tidak
membebaskannya dari tuntutan mitra koalisi.

Dinamika politik dalam tiga bulan ke depan akan membuktikannya.
Pendukung resmi SBY-Boediono pada Pilpres 2009 jauh lebih banyak dari
tahun 2004,baik dalam hal jumlah partai maupun dukungan suara.
PKS,PPP,PAN, dan PKB akan menuntut bagian karena telah mengurangi lawan
politik SBY dengan cara mendukung pencalonannya, meski Partai Demokrat
memiliki suara terbesar (20%).

Sedikit banyak hal ini sekaligus menjadi faktor yang melemahkan
tingginya legitimasi SBY dalam Pilpres 2009.Apa boleh buat.Pencitraan
dirinya harus dinyatakan sesuai harapan pemilih yang telah
memenangkannya dalam satu babak. Karena itu, SBY membutuhkan dukungan
koalisi untuk mengamankan kebijakan pemerintahan.

Kohesi legislatif berupa koalisi 63% suara di parlemen yang mendukung
SBY-Boediono akan menentukan efektivitas pemerintahan presidensial dalam
memenuhi harapan pemilih. Berarti, dua persoalan dasar harus segera
diselesaikan SBY dalam menyusun kabinetnya. Di satu sisi,dia harus
menjaga kohesi legislatif dengan mengakomodasi mitra koalisi dalam kabinet.

Di sisi lain, SBY harus mampu menentukan pembantu-pembantu profesional
yang menjanjikan kemampuan pemerintahan dalam mewujudkan pencitraan diri
dan memenuhi harapan-harapan pemilih. Persoalan tersebut tak jauh
berbeda dari tahun 2004. Dia sendiri waktu itu menjanjikan kabinetnya
akan diisi oleh kalangan profesional (kabinet ahli) dengan kohesi
dukungan politik.Namun, keinginan SBY terbukti tak terpenuhi.

Dia harus lebih banyak berkompromi, di antara faktornya yang menonjol
adalah karena Partai Demokrat hanya meraup sekitar 7% suara (10% kursi
parlemen), pendukungnya meluas dalam babak kedua Pilpres 2004 (Koalisi
Kerakyatan) dan Wapres Jusuf Kalla cukup powerful dalam memainkan kartu
politiknya.

Sekarang, meski Partai Demokrat memiliki basis suara atau kursi parlemen
berlipat tiga dibanding tahun 2004m, pendukung resmi SBY juga meningkat.
Pasti SBY akan memperhitungkan realitas politik ini.Sudah bagus kalau
SBY berhasil menerapkan fifty-fifty formula dalam komposisi kabinet:
separuh berisi kalangan profesional dan separuh dari partai koalisi.

Formula itu mungkin sudah dibayangkan SBY ketika dia kukuh memilih
Boediono sebagai cawapresnya. Sebagai teknokrat profesional, Boediono
diharapkan mampu mengatasi persoalan ekonomi di tengah krisis global
(konon dampaknya akan lebih terasa pada awal pemerintahan SBY-Boediono).

Dream team di bidang ekonomi akan “ditentukan sendiri” oleh SBY-Boediono
(termasuk investasi, infrastruktur, dan sumber daya), ditopang oleh
kendali SBY terhadap portofolio di bidang politik dan keamanan (seperti
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan).

Namun, di sisi lain, merawat koalisi bukan merupakan perkara
mudah.Selain faktor besar seperti kultur politik, para pimpinan partai
koalisi sudah mengangankan tantangan lebih dinamik menuju Pilpres 2014,
sedangkan SBY “sudah berakhir”. Kabinet yang solid bersama mitra koalisi
dengan kohesi legislatif yang menjamin kebijakan pemerintahan merupakan
jaminan kelembagaan yang penting bagi efektivitas pemerintahan
SBY-Boediono.

Di sinilah tantangan SBY sepanjang tahun 2009–2014, yaitu menjalani dan
mengakhiri kepresidenannya dengan lebih baik. Setelah dia memilih figur
wapres Boediono yang disebutnya loyal dan dikampanyekan bersama sebagai
“tidak memperkaya diri”, maka sorotan akan tertuju langsung pada faktor
kepemimpinan SBY (presidential leadership).(*)

Mohammad Fajrul Falaakh
Dosen Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253749/

Budaya Politik Santun ala Kalla

Budaya Politik Santun ala Kalla
Oleh: Ardhie Raditya MA

*HINGGA* detik ini, /quick count/ perolehan suara sementara pilpres 8
Juli lalu masih menempatkan capres-cawapres SBY-Boediono (60 persen) di
atas suara kontestan lainnya; Mega-Pro (28 persen) dan JK-Win (10
persen). Meski bukan hasil akhir resmi KPU, akurasinya dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Karena itu, tidak heran jika
ucapan selamat kepada SBY pun berdatangan silih berganti.

Salah satunya dari Jusuf Kalla (JK), salah satu kompetitor SBY dalam
pilpres. Kemarin malam, JK dengan rendah hati dan penuh kesatria
menyampaikan ucapan selamat kepada SBY atas kemenangannya. Sungguh, itu
merupakan fenomena politik yang mencengangkan dan ganjil di negeri kita.

*Kultur Superioritas*

Selama ini, masyarakat Indonesia dinilai banyak kalangan intelektual
sebagai masyarakat hipokrit. Mochtar Lubis pun pernah mengatakan dalam
buku /Manusia Indonesia/ (1999) bahwa manusia Indonesia pada umumnya
sulit menerima keterbatasan dirinya. Apalagi mereka yang berasal dari
Jawa. Seperti yang dikatakan Sudjiwo Tejo, budayawan asal Banyuwangi,
bahwa orang Jawa mudah menerima kekalahan (/legawa/) atas dirinya, tapi
sulit menyatakan kemenangan untuk orang lain.

Kultur masyarakat Bugis-Makassar pun setali tiga uang. Hasil riset
etnografis sosiolog asal Prancis Christian Pelras menunjukkan bahwa
masyarakat Bugis memiliki nilai-nilai superior. Hal itu terlihat dari
kultur /bissu/ (kuat atau pantang takluk) dan /siri/ (malu). Dengan
demikian, Pelras menegaskan bahwa dimensi kultural itulah yang membuat
masyarakat Bugis-Makassar selalu gigih saat berkompetisi. Kekalahan
berarti harus menanggung malu. Beban menanggung malu semakin berat jika
kekalahan tersebut dialami kalangan bangsawan Bugis (lihat /Regard
Nouveaux,/ karya Pelras, 2006).

Dengan melihat kultur nilai itulah, bisa dimengerti apabila pernyataan
seorang tim kampanye yang berisi tentang belum waktunya orang
Bugis-Makassar memimpin bangsa ini direspons sangat keras oleh mayoritas
masyarakat setempat. Hanya, reaksi keras itu terkadang di luar batas.
Dan, ini yang seharusnya dijadikan bahan refleksi kultur lokal itu sendiri.

Di Madura, kulturnya sedikit berbeda. Bagi masyarakat Madura, urusan
kalah-menang dalam sebuah kompetisi yang /fair/ tidak akan menimbulkan
penolakan atau pertentangan (/ç pa rammi/). Namun, jika kompetisi
tersebut berkaitan dengan urusan hidup dan mati untuk membela harga
diri, maka kekalahan adalah sebuah aib. Sehingga, kekalahan itu harus
ditentang dan dibela sampai mati (/engko' kodu mennang/) agar keluarga
maupun masyarakat sekitarnya tidak akan menganggap sebagai pecundang
(/kala'an, tako'an/) (lihat Latief Wiyata, /Carok,/ 2000; Mien Rifa'i,
/Manusia Madura,/ 2007).

*Pemicu Konflik*

Begitu kentalnya kultur superioritas masyarakat kita itulah yang,
tampaknya, telah merasuki ranah politik di negeri ini sekian tahun
lamanya. Akibatnya, politik kita selalu saja dianggap sebagai medan
pertarungan merebut kekuasaan dengan menghalalkan beragam cara. Kita
lihat saja sejarah rezim Orba yang dengan leluasa melakukan strategi
manipulatif dan represif untuk mempertahankan tampuk kekuasaan 32 tahun
lamanya.

Begitu dominatifnya kultur politik Orba sehingga Pramoedya Ananta Toer
begitu tegas mengatakan, pada masa itu jangan pernah mengharapkan ada
kata maaf atau kesantunan politik secara vertikal dan horizontal. Di
sanalah, epos politik yang kejam serta tidak berbasis etika dan estetika
peradaban dijalankan dengan penuh keyakinan.

Masyarakat pun secara tidak sadar disodori sebuah teladan negarawan yang
tak pantas dijadikan imam. Politik yang bersendi kultur superioritas
hanya menjadikan masyarakat sebagai agen kekerasan dan penuh kecurigaan
(/prejudice/). Mereka yang beda partai, kelas sosial, atau ideologi
dengan kaum mayoritas akan dijadikan musuh yang layak diberantas.

Itulah yang kemudian menjadi pemicu munculnya konflik-kekerasan
pascalengsernya Orba 1998 silam. Etnis Tionghoa yang secara kelas sosial
di atas masyarakat kita harus menjadi korban kekerasan tersebut. Sejarah
tragedi Muara Angke 1742 terulang kembali di masa akhir rezim Orba.
Bukan hanya Tionghoa, masyarakat pribumi pun turut menjadi korban.
Konflik etnis di Kalimantan (Dayak v Madura) dan kerusuhan Ambon adalah
buktinya.

Sentimen kultur superioritas itu pun kembali disulut saat demokratisasi
dijalankan. Kita tentu masih ingat kasus konflik antarmassa parpol di
Bali saat kampanye Pilpres 2004 dan kerusuhan Tapal Kuda-Jatim
pascakudeta politik 1999 silam.

*Kesantunan Politik*

Hampir sebagian besar kasus berdarah yang berdimensi politik di negeri
kita adalah buah egoisme, hipokritasi, dominasi, manipulasi, dan
superioriti di tingkat elite politik. Sikap dan perilaku elite politik
yang enggan bersikap rendah hati dan kesatria dalam akhir kompetisi
membuat bangsa ini terjerembab dalam keguncangan.

Sudah seyogianya, budaya superioritas di tingkat elite di ranah politik
tersebut dikikis hingga derajat yang paling minim. Tak ada kata
terlambat untuk itu. Setidaknya, dimulai sejak Pilpres 2009 ini. Siapa
pun capres yang berkompetisi harus bersikap rendah hati. Si pemenang
janganlah sombong, apalagi takabur.

Sementara itu, yang kalah tidak perlu malu, minder, atau menjadi
''gila''. Tak ada ruginya memberikan selamat kepada pemenang seperti
yang telah dipelopori JK-Win. Sikap negarawan seperti itulah yang
diperlukan bangsa ini ke depan. Sebab, itulah salah satu tolok ukur
elite politik yang rendah hati, empatik, altruistik, dan berjiwa besar.

Tentu, sikap seperti itu adalah basis kesantunan politik yang harus
dibudayakan mulai sekarang oleh para elite politik kita. Agar masyarakat
kita yang masih awam bisa mengambil pelajaran berharga dari sikap
keteladanan para elite politiknya.

Siapa berikutnya yang akan memberikan ucapan selamat dengan ikhlas
kepada sang capres pilihan rakyat? Kita lihat saja.

*/*) Ardhie Raditya MA,/*/ sosiolog FIS Unesa, penulis buku Tafsir
Konflik-Kekerasan (2009)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79737

Pemilu Pro-(Hak) Rakyat

Pemilu Pro-(Hak) Rakyat

*Refly Harun*

# Pemerhati Hukum Tata Negara dan Pemilu Centre for Electoral Reform
(Cetro), Pemohon Judicial Review

Prosesi Pemilu 2009 bisa dikatakan hampir usai. Pemenangnya sudah bisa
ditentukan, karena hasil hitung cepat lembaga survei plus hitung cepat
ala KPU mengindikasikan hal yang sama: pasangan SBY-Boediono menang
dengan persentase sekitar 60 persen dengan tingkat persebaran di atas 20
persen di semua provinsi. Angka ini cukup melampaui ambang batas
konstitusional untuk menjadikan pemilu presiden lebih cepat (selesai)
lebih baik, sehingga tidak perlu (di)lanjutkan dengan putaran kedua.

Prosesi pemilu tinggal menunggu hasil penghitungan manual yang akan
ditetapkan dalam beberapa hari ke depan, plus pelantikan presiden
terpilih pada 20 Oktober 2009. Terlepas dari segala kekurangan dan
(barangkali) kecurangan yang ada, Pemilu 2009 makin memperkuat posisi
Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah
India dan Amerika Serikat.

Penting untuk terus-menerus menggemakan bahwa Indonesia negeri
demokratis terbesar ketiga di dunia, karena faktanya banyak orang luar
yang tidak tahu. Ketika di India (2006), iseng-iseng saya tanyakan
kepada seorang rekan di sana mengenai jumlah penduduk Indonesia.
Awalnya, dia menolak menyebut angka karena tidak punya ide apa-apa. "/I
have no idea/," katanya. Namun, ketika saya mendesaknya untuk menebak,
dia menyebut jumlah yang membuat dahi berkernyit: seratus ribu! "/How
could you think like that/?" "Indonesia kan negara kecil," katanya. /Oh,
my God/!

Keberhasilan pelaksanaan pemilu di Indonesia, terutama pemilu presiden,
bisa jadi akan membuat masyarakat dunia lebih mengenal Indonesia. Pemilu
presiden di Indonesia setidaknya tidak seperti di Iran, yang berakhir
dengan demonstrasi dan anarki--yang untungnya sudah terselesaikan saat
ini. Dalam hari-hari ke depan, mudah-mudahan situasi kondusif ini
terpelihara hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober nanti.
Seandainya ada protes atas kecurangan, sebaiknya hal tersebut disalurkan
ke instrumen hukum yang ada, dari mekanisme tindak pidana pemilu di
pengadilan negeri hingga sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Menyatakan Pemilu 2009
mulus-mulus saja terlalu naif. Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) adalah
contoh konkret betapa Pemilu 2009 sarat masalah. Hampir saja pemilu
presiden tertunda bila tidak ada putusan MK di /injury time/ yang
membolehkan penggunaan KTP dan paspor bagi pemilih yang tidak tercantum
dalam DPT. Putusan tersebut menjadi solusi terhadap keinginan menunda
pemilu yang kencang disuarakan sejumlah pihak, termasuk pasangan calon.

Kendati demikian, putusan tersebut tetap memunculkan persoalan karena
mengandung ketentuan teknis-administratif yang berpotensi menghilangkan
hak pemilih, yaitu syarat kartu keluarga (KK) yang mengiringi KTP dan
ketentuan hanya memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Dari
pemberitaan media, terbukti banyak warga negara yang akhirnya tidak
memilih karena sedang berada di rantau pada hari pencontrengan, atau
memang tidak memiliki KTP setempat.

*Cara pandang salah*

Ada cara pandang yang salah di kalangan penyelenggara negara, mulai DPR,
KPU, Bawaslu, hingga MK. Yang dikembangkan adalah perspektif
“mencurigai” warga negara, bukan “melindungi” hak warga negara. Cara
pandang mereka kurang-lebih begini: bila tidak ada pembatasan, akan ada
mobilisasi pemilih, atau mereka yang memiliki lebih dari satu KTP bisa
memilih berkali-kali, padahal surat suara terbatas. Lebih dari itu,
pemilu akan berlangsung curang karena pada dasarnya setiap warga negara
hanya boleh memilih satu kali.

Pertanyaannya: bagaimana dengan warga negara yang berwatak baik, yang
ingin menyalurkan haknya hanya satu kali, tapi tidak tercantum dalam DPT
dan tidak memiliki KTP setempat? Mereka sudah pasti terhalang untuk
memilih. Ketika memantau pelaksanaan pemilu presiden 8 Juli lalu, di
salah satu TPS di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, saya menyaksikan seorang
warga yang terpaksa gigit jari karena membawa KTP Sumedang, Jawa Barat.
Petugas KPPS menyatakan, kalau mau memilih sebaiknya pulang ke Sumedang.
Petugas KPPS tersebut tidak salah. MK yang salah karena cara pandang
yang mencurigai tadi plus dilanda kekhawatiran yang tak beralasan.

Soal ketersediaan surat suara, dari beberapa TPS yang saya pantau,
rata-rata surat suara berlebih. Kelebihannya bahkan mencapai jumlah
ratusan. TPS tempat saya memilih di Kebon Jeruk kelebihan sekitar 250
surat suara. Mengenai skenario kelebihan surat suara ini, dalam banyak
kesempatan saya menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut terlalu
berlebihan. Undang-undang memang menentukan bahwa KPU hanya boleh
mencetak 102 persen surat suara dari jumlah DPT yang telah ditetapkan.
Lebih dari itu, tindak pidana yang dapat dihukum penjara dan denda.
Namun, jumlah DPT yang 176-an juta tersebut harus dikurangi beberapa
hal: pemilih yang sudah meninggal dunia, yang masih aktif sebagai
TNI/Polri, yang di bawah umur, dan--yang jumlahnya lebih banyak—yang
tercatat dua atau tiga kali. Angka DPT juga harus dikurangi dengan
jumlah mereka yang tidak datang ke TPS karena golput.

Angka pengurang kelima komponen ini sudah pasti jutaan. Bila pemilih
dengan KTP juga berjumlah jutaan, sesungguhnya akan terjadi keseimbangan
yang tidak perlu membuat penyelenggara pemilu khawatir mengenai
ketersediaan surat suara. Perihal kemungkinan warga negara memilih
berkali-kali karena, misalnya, memiliki lebih dari satu KTP,
kekhawatiran itu juga tidak pada tempatnya. Ada tinta pemilu yang
pengadaan dan penggunaannya seharusnya bisa menghalangi seseorang
memilih lebih dari satu kali. Kalau tidak, buat apa ada tinta pemilu
yang menghabiskan miliaran rupiah.

Masalahnya, adanya tinta ini seolah dilupakan oleh KPU, Bawaslu, MK,
bahkan publik. Yang terjadi di lapangan kemudian, petugas KPPS tidak
benar-benar mencelupkan tangan pemilih di kubangan tinta untuk
memastikan bahwa seperempat atau sepertiga jari kelingking kiri
tercelup, termasuk kuku, yang tidak mudah terhapus dalam jangka waktu
singkat. Bahkan ada petugas KPPS yang hanya menuangkan tinta ke dalam
bantalan stempel. Warga yang sudah memilih bukan mencelupkan jari ke
botol tinta, melainkan hanya mengoleskan tangannya ke bantalan tersebut,
tanpa menyentuh kuku.

Prosesi Pemilu 2009 hampir berakhir dengan pemenang yang telah bisa
ditentukan. Bagi kepentingan masa depan, saatnya mulai memikirkan
reformasi pemilu. Hal itu bisa dimulai dengan membalik paradigma, dari
paradigma “mencurigai” ke paradigma “melayani” hak pemilih. Pemilu harus
lebih berorientasi kepada pelayanan hak-hak rakyat karena dalam pemilu
inilah rakyat diperhatikan oleh calon wakil atau calon pemimpinnya.
Soal-soal teknis-administratif selanjutnya untuk memastikan hak
digunakan secara benar (/proper/) adalah kewajiban negara, terutama
penyelenggara pemilu. Pemilu di masa-masa mendatang mudah-mudahan
menjadi pemilu yang lebih pro-hak rakyat. Lebih cepat kesadaran ini
muncul, lebih baik. Tak perlu kita lanjutkan hal-hal buruk yang muncul
selama prosesi Pemilu 2009.*

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/11/Opini/krn.20090711.170716.id.html

Risiko Penyakit Akibat Stres Kerja

Risiko Penyakit Akibat Stres Kerja

*Lennart Levi*

# Guru Besar Kedokteran Psikososial pada Kalinska Institute di Stockholm,
penasihat WHO dan Komisi Eropa

Bekerja bisa memberikan bentuk dan arti pada kehidupan. Tapi kondisi
kerja bisa juga memacu atau mempercepat gejala penyakit--fisik dan
mental--yang mempengaruhi produktivitas dan kemampuan seseorang mencari
nafkah serta menjalin hubungan sosial dan keluarga. Sebenarnya, sebagian
besar orang tampaknya berisiko terserang penyakit akibat stres kerja.

Dari 160 juta tenaga kerja Uni Eropa, 56 persennya mengatakan mereka
bekerja dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan 60 persen mengatakan
mereka dikejar-kejar tenggat yang ketat. Lebih dari sepertiganya tidak
punya suara atas apa yang diperintahkan oleh majikan untuk mereka
kerjakan, dan 40 persen melakukan pekerjaan yang membosankan. Inilah
mungkin penyebab timbulnya berbagai penyakit yang terkait dengan
pekerjaan: 15 persen tenaga kerja mengeluhkan sakit kepala, 33 persen
sakit punggung, 23 persen kelelahan, dan 23 persen sakit leher dan bahu,
plus berbagai penyakit lainnya,

Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab
keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Depresi
diperkirakan bakal menduduki tempat kedua menjelang 2020 sesudah
penyakit jantung yang menduduki tempat ketiga. Di negara-negara Uni
Eropa, ongkos yang harus dibayar akibat stres kerja dan penyakit mental
yang terkait dengannya diperkirakan mencapai rata-rata 3-4 persen dari
PDB, yaitu sekitar 265 miliar euro setiap tahun.

Lagi pula, stres kerja yang berkelanjutan menyumbang kepada terjadinya
/metabolic syndrome/, suatu mekanisme patogenik bercirikan akumulasi
lemak lambung, menurunnya kepekaan terhadap insulin, meningkatnya level
kolesterol, serta naiknya tekanan darah, semuanya terkait dengan awal
terjadinya penyakit jantung dan diabetes.

Sudah tentu, kondisi kerja mungkin dirasakan sebagai ancaman walaupun
secara obyektif sama sekali tidak, atau gejala-gejala yang remeh
diartikan sebagai manifestasi penyakit yang serius. Tapi stres
merisaukan justru karena bahkan salah penafsiran saja bisa memperparah,
atau mengakibatkan, berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit
jantung, /stroke/, kanker, penyakit muskuloskeletal dan
gastrointestinal, gelisah dan depresi, kecelakaan, dan bunuh diri.

Singkatnya, stres terdiri atas serangkaian proses alami persiapan diri
organisme manusia dalam melakukan kegiatan fisik menjawab tuntutan dan
pengaruh yang membebani kemampuan beradaptasi seseorang. Pengaktifan
mekanisme "melawan atau lari" pada diri seseorang merupakan respons
beradaptasi yang tepat bila menghadapi segerombolan serigala, tapi tidak
demikian halnya ketika seseorang harus beradaptasi dengan rotasi giliran
kerja, tugas yang monoton dan fragmentatif, atau pelanggan yang banyak
rewel. Jika berlanjut terus-menerus, stres sering sulit beradaptasi dan
akhirnya menimbulkan penyakit.

Jalan stres menuju patologi mengambil berbagai bentuk. Ia bisa dalam
bentuk emosional (gelisah, depresi, /hypochondria/, dan alienasi),
kognitif (hilangnya konsentrasi atau kemampuan mengingat kembali, serta
ketidakmampuan belajar hal-hal yang baru, berbuat kreatif, dan mengambil
keputusan), dalam bentuk perilaku (penyalahgunaan narkoba, alkohol,
penolakan mencari atau menerima perawatan), atau psikologis (disfungsi
/neuroendocrine/ dan /immunological/).

Untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi penyebab dan akibat
stres kerja, kita perlu memantau kandungan kerja itu sendiri, kondisi
kerja, syarat kerja, hubungan sosial di tempat kerja, kesehatan,
kesejahteraan, dan produktivitas. Langkah pertama yang harus diambil
adalah mengidentifikasi timbulnya stres, prevalensi dan parahnya stres,
kecenderungan dan penyebab stres kerja, serta akibatnya terhadap
kesehatan. Apakah semua faktor ini menyumbang kepada timbulnya penyakit
akibat stres? Apakah ia dapat diubah? Apakah perubahan itu dapat
diterima oleh pekerja dan majikan?

Bila jawabannya adalah ya, perubahan yang terpadu harus dipertimbangkan.

Perubahan itu kemungkinan besar mencakup bidang-bidang sebagai berikut:

Jadwal kerja: rancanglah waktu kerja sedemikian rupa sehingga dapat
menghindarkan terjadinya konflik dengan tuntutan dan tanggung jawab yang
tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Partisipasi/kontrol: biarkan pekerja mengambil bagian dalam keputusan
atau tindakan yang menyangkut pekerjaannya.

Beban kerja: pastikan pekerja punya cukup waktu untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan, dan berikan mereka waktu pulih dari tugas fisik
atau mental yang berat.

Kandungan kerja: rancanglah tugas kerja yang memberikan arti,
rangsangan, rasa kepuasan, dan peluang menggunakan keterampilan.

Peran: tentukan peran pekerja dan tanggung jawabnya dengan jelas.

Lingkungan sosial: pastikan adanya suasana kerja yang bebas dari segala
bentuk diskriminasi dan pelecehan yang meremehkan dan membangkitkan rasa
permusuhan.

Masa depan: hindarkan ambiguitas dalam jaminan kerja dan pengembangan
karier, dorong keinginan belajar dan tetap bekerja yang langgeng.

Walaupun semua ini mungkin dapat dilakukan, hasil jangka pendek dan
jangka panjang perubahan mungkin tidak selalu cukup dalam upaya
mengatasi stres kerja. Maka, ia perlu dievaluasi terkait dengan kondisi
kerja dan reaksi terhadap stres, terjadinya dan prevalensi penyakit,
serta kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang dihasilkan.

Banyak perusahaan di seluruh dunia mengakui bahwa keberhasilan
membutuhkan pemenuhan tiga unsur pembangunan berkesinambungan:
finansial, lingkungan, dan sosial. Gagalnya dipenuhi ketiga unsur ini
bakal, setelah sekian waktu, menyebabkan melemahnya organisasi lantaran
hilangnya kredibilitas di antara para pegawai.

Semua ini membawa berbagai implikasi dalam hubungan dengan pegawai.
Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan kohesi sosial,
diperlukan komitmen terhadap kesehatan dan keselamatan, keseimbangan
yang lebih baik antara kerja dan istirahat, keinginan belajar seumur
hidup, keragaman tenaga kerja yang lebih luas, upah yang tidak memandang
gender dan prospek karier, serta program bagi hasil dan kepemilikan saham.

Praktek-praktek semacam ini bisa membawa dampak positif terhadap laba
perusahaan melalui peningkatan produktivitas, berkurangnya pekerja yang
mengundurkan diri, kesediaan menerima perubahan, meningkatnya inovasi,
serta /output/ yang lebih baik dan lebih andal. Sesungguhnya perusahaan
punya kepentingan bertindak lebih daripada sekadar memenuhi ketentuan
hukum: respek terhadap sesama dan reputasi sebagai majikan yang baik
merupakan aset yang sangat berharga.

Tantangan bagi ilmu pengetahuan adalah menemukan apa yang harus
dilakukan, untuk siapa, dan bagaimana. Tantangan bagi pekerja, majikan,
pemerintah, dan masyarakat adalah menerjemahkan apa yang kita ketahui
sekarang ini menjadi program yang terkoordinasi dan berkesinambungan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/11/Opini/krn.20090711.170718.id.html

Menyoal Sisi Negatif Quick Count

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 12.12

Menyoal Sisi Negatif Quick Count
Oleh: Ismatillah A. Nu'ad*

*TENGAH* hari pada hari pilpres kemarin, beberapa lembaga survei telah
mengumumkan hasil /quick count/. Di antaranya, LSI (Mega-Pro 26,5
persen; SBY-Boediono 60,8 persen; JK-Win 12,6 persen), Lingkaran Survei
Indonesia (Mega-Pro 27,3 persen; SBY-Boediono 60 persen; JK-Win 12,6
persen), LRI (Mega-Pro 27,1 persen; SBY-Boediono 59,6 persen; JK-Win
12,6 persen), dan LP3ES (Mega-Pro 27,6 persen; SBY-Boediono 59,9 persen;
JK-Win 12,4 persen).

Dari keempat lembaga survei itu, jelas pasangan SBY-Boediono diprediksi
memenangi Pilpres 2009 satu putaran saja. Apa signifikansi hasil /quick
count/ tersebut terhadap pilpres yang proses penghitungannya baru akan
dimulai?

Di satu sisi, setidaknya hasil itu telah membuktikan wacana yang selama
ini berkembang, yakni persoalan pilpres satu putaran saja. Di sisi lain,
hasil survei tersebut jelas mengendurkan semangat para capres yang
berlaga. Meskipun /quick count/ bukanlah akhir karena masih sebatas
prediksi, sejujurnya hasil itu membuat /shock/ sebagian kalangan,
terutama pasangan capres dan pendukungnya.

Pertanyaan pentingnya, sejauh mana tingkat independensi sekian lembaga
survei yang melakukan /quick count/ tersebut? Apakah benar-benar
independen ataukah benar anggapan serta opini masyarakat umumnya selama
ini yang menyebut bahwa lembaga survei itu hanyalah kepanjangan tangan
kepentingan politik penguasa?

Hal itu penting dicermati supaya proses demokrasi dalam masyarakat tidak
dinodai kehadiran lembaga survei. Di satu sisi, lembaga survei memang
masih dibilang baru dan perannya oleh sebagian kalangan sangat
dibutuhkan. Di sisi lain, hendaknya kepercayaan tersebut tidak dinodai
oleh penggiat lembaga survei.

***

Selama ini, eksistensi lembaga survei muncul ke permukaan dan
popularitasnya sangat dominan di masyarakat. Survei-survei maupun
/polling-polling/ yang telah dilakukan, baik untuk pemilu legislatif
maupun pilpres sekarang ini, sejujurnya sangat memengaruhi opini publik.

Begitu pula, pada pemilu-pemilu lokal untuk memilih gubernur maupun
bupati, lembaga survei selalu berada di garda depan untuk melakukan
survei maupun /polling/. Pendeknya, semua lembaga survei naik daun dan
diminati tim-tim sukses, baik dari parpol maupun calon-calon pemimpin.

Tak kurang, tingkat popularitas lembaga survei juga dibarengi
kontroversi yang menyelimuti. Misalnya, masyarakat luas menganggap
lembaga tersebut tidak netral dari /politic of interest/ tim sukses
untuk memenangkan pemilihan. Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap
hanya menjadi /the/ /opinion makers/, yang hendak memengaruhi pemilih
terhadap salah satu parpol maupun calon pemimpin.

Tak ayal, lembaga survei tidak malah menumbuhkan iklim demokratisasi
publik, melainkan menebar kebohongan publik lewat hasil-hasil survei
maupun /polling/ yang dibuat.

Di Amerika, sebagai negara bapak demokrasi, kontroversi lembaga survei
ternyata juga terjadi. Lembaga survei dianggap lebih tertarik pada
industrialisasi dan bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik
perhatian media massa ketimbang mengungkap opini publik yang sesungguhnya.

Salah satu lembaga survei terbesar di AS bernama Gallup Poll yang
dianggap sebagai /think-thank/ pembentuk opini publik lewat survei
maupun /polling-polling/-nya. Gallup ditengarai berselingkuh dengan
kekuasaan yang menginginkan tercapainya kesuksesan politik di Negara
Paman Sam.

Lewat buku berjudul /The Opinion Makers: An Insider Exposes The Truth
Behind The Polls/ (2008), misalnya, yang ditulis David W. Moore,
terbongkar kebobrokan lembaga survei itu. David adalah mantan orang
dalam Gallup Poll yang seakan-akan berbalik arah (/turn around/)
menguliti lembaga survei paling kontroversial tersebut.

Buku yang ditulis David nyaris mirip dengan karya John Perkins
(/Confession of An Economic Hitman/, 2005), yakni kesaksian orang dalam
yang mencoba ''bertobat'', lalu mendeskripsikan kebobrokan lembaga yang
semula menjadi tempat kerjanya.

David pernah bekerja di Gallup sejak Maret 1993 sampai April 2006. Pada
2008, buku /The Opinion Makers/ terbit kali pertama di AS dan langsung
direspons para penggiat lembaga-lembaga survei di sana. David dianggap
telah menjilat ludah sendiri karena mengisahkan kinerjanya selama ini.

Kontroversi Gallup Poll saat David masih bekerja adalah sewaktu Konvensi
Partai Republik. Saat itu, Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen
setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen sepuluh hari
berikutnya hingga akhirnya mengungguli elektabilitas Senator John Kerry
dari Partai Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.

***

Lembaga seperti Gallup Poll sebenarnya menjadi renungan bagi lembaga
survei di Indonesia supaya melakukan kinerja secara lebih profesional
dan bersikap independen. Di satu sisi, masyarakat Indonesia masih
membutuhkan lembaga survei. Di sisi lain, kepercayaan itu hendaknya
tidak dipersalahgunakan.

Sebab, bagaimanapun, Indonesia baru dua kali melaksanakan pemilu yang
benar-benar dilakukan secara langsung dan demokratis. Kiranya awal ini
tak dinodai dengan lembaga survei yang bekerja tidak profesional,
melainkan demi industrialisasi dan bisnis semata.

Hasil lembaga survei ditengarai membingungkan masyarakat. Kondisi
tersebut membuat masyarakat kurang percaya terhadap hasil survei yang
dinilai tidak independen lagi. Terbukti, sejumlah lembaga survei
terkesan ingin menggiring opini publik ke arah kontestan pilpres
tertentu. Padahal, hasil survei merupakan salah satu instrumen penting
dalam demokrasi. Karena itulah, sudah seharusnya hal tersebut tidak
dicederai oleh perilaku para penggiat lembaga survei.

Jika merasakan impresinya, secara perlahan masyarakat tampaknya mulai
sadar dan berhati-hati terhadap lembaga survei. Mereka lambat laun tak
mau terpengaruh lagi oleh opini publik yang ditebar lembaga survei.
Semoga ini akan menjadi titik di mana masyarakat benar-benar menjadi
demokratis dan lembaga survei akhirnya benar-benar bekerja secara
profesional dan independen. (*)

* /*). Ismatillah A. Nu'ad/ * /, peminat historiografi Indonesia modern,
tinggal di Jakarta/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79404

Menanti Sikap Kesatria Elite Politik

Menanti Sikap Kesatria Elite Politik
*HAMPIR* seluruh lembaga /quick count/ menunjukkan kemenangan pasangan
SBY-Boediono dengan satu putaran. Ini memang bukan keputusan suara resmi
KPU. Namun, hasil akhir penghitungan manual nanti bakal tak jauh dari
penghitungan cepat yang marak ditayangkan sejumlah televisi itu.

/Incumbent/ hampir dipastikan menang. Tapi, pemenang sesungguhnya dari
pencontrengan ini adalah rakyat. Sekali lagi rakyat. Rakyat begitu
dewasa menatap hasil pencontrengan. Hingga kemarin sore belum ada yang
memberi reaksi negatif, apalagi membuat kerusuhan yang bisa mengacaukan
keamanan negara.

Perhelatan pemilihan presiden yang berlangsung sekali dalam lima tahun
itu disikapi publik seperti peristiwa biasa. Semua berlangsung dengan
tenang, tanpa ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Seakan-akan tidak
terjadi peristiwa politik yang menentukan arah bangsa lima tahun ke
depan. Ini sebuah petanda yang baik dalam proses demokratisasi. Ini juga
sebuah pertanda bahwa publik mulai legawa dari apa pun hasil kompetisi
pemilu itu.

Rakyat sudah siap dengan apa pun hasilnya. Sekarang tinggal kesiapan
elite, apakah juga sudah siap menerima kekalahan atau kemenangan. Apakah
elite kita sudah siap menerima pilihan mayoritas rakyat.

Kita perlu khawatir dengan kemungkinan munculnya konflik dengan sumbu
pada elite politik yang tidak bisa menempatkan diri dalam koridor siap
kalah dan siap menang. Di sini, konteks elite politik, tak sekadar calon
presiden atau calon wakil presiden. Juga para orang yang berada di
sekitar capres, baik sebagai tim pemenangan atau semacamnya, sebagai
elite parpol yang mendukung, atau elite yang memberi dukungan finansial
dan jaringan.

Katakanlah seorang yang menjadi 'ATM', mesin kampanye yang telah
habis-habisan memberi support, tapi calon yang dijagokan kalah. Atau
seorang politikus berpengaruh yang telah bekerja keras membangun
jaringan, tapi calonnya juga kalah. Mereka ini bila tidak siap menerima
kekalahan, tentu sangat berpotensi menjadi pemantik gelombang protes,
demonstrasi, dan tidak mustahil memunculkan kerusuhan. Ini sangat
mungkin karena para elite itu mempunyai kemampuan ke sana.

Para capres dan cawapres yang kalah serta elite-elite di sekitarnya
harus bisa menahan diri. Artinya, mereka bisa memosisikan diri dalam
koridor aturan. Kekalahan pasti melahirkan kekecewaan. Tapi, ekspresi
kekalahan itu harus dilakukan dengan cara bermartabat dan kesatria,
yakni dengan jalur hukum.

Bukankah kita mempunyai Mahkamah Konstitusi (MK) yang hingga hari ini
masih bisa menjaga reputasi dan kredibilitas? Bila para elite merasa
dicurangi atau dirugikan, mari kita bersam-sama menyelesaikannya ke MK.
Penyelesaian lewat pintu hukum jauh lebih terhormat daripada
penyelesaian dengan cara anarkis yang mengorbankan rakyat. Jangan ajak
rakyat yang sudah bersikap damai dalam kancah konflik. (*)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79402

Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Sejatinya para pendukung SBY-Boediono, dengan mengacu pada hasil quick
count yang menyatakan mereka sebagai pemenang, sedang berancang- ancang
untuk berbagi jatah menteri di kabinet.


Tak perlu heran,setelah memenangi pilpres, langkah yang sudah seharusnya
dilakukan oleh tim pemenang memang membentuk pemerintahan. Tapi bukan
masalah bancakan kekuasaan itu yang hendak diangkat dalam tulisan ini;
melainkan soal sikap pemilih dalam menentukan pilihannya pada 8 Juli
lalu.Beberapa kawan bertanya,kenapa JK-Wiranto mendapat suara yang tidak
signifikan, padahal dalam setiap debat capres Kalla selalu tampil bagus?

Dalam hal penguasaan panggung debat bahkan JK bisa dikatakan mampu
mengalahkan SBY,tapi mengapa perolehan suaranya tidak bisa melampaui
SBY? Sebaliknya untuk Megawati, dalam tiga kali debat dia selalu tampak
ketinggalan dari Kalla ataupun SBY; tetapi perolehan suaranya justru
melampaui Kalla. Lebih dari itu, pasangan Mega- Prabowo seakan-akan
mengambil suara Kalla lebih banyak ketimbang suara SBY.

Jika demikian, apakah benar debat capres tidak memberi pengaruh penting
dalam perolehan suara? Toh suara untuk pasangan SBY-Boediono relatif
bertahan dengan jumlah yang banyak diramalkan lembaga-lembaga survei
sebelum pilpres, yaitu sekitar 60%. Bagaimana kita menjelaskan kenyataan
ini?

Empat Model Keputusan

Debat capres,seperti juga iklan politik, adalah bagian dari kampanye
pilpres.Seperti kita ketahui, kegiatan utama kampanye pilpres adalah
pemberian informasi sebanyak- banyaknya dari masingmasing kandidat untuk
para calon pemilih. Informasi di sini mencakup visi, misi, dan program
di samping jati diri dan rekam jejak masing-masing kandidat.

Dalam proses pemilu/pilpres, informasi itu adalah dasar bagi pemilih
untuk menentukan pilihannya. Kita sudah mafhum bahkan jauh sebelum masa
kampanye, para calon pemilih sudah mendapatkan informasi mengenai keenam
capres/cawapres. Semakin dekat ke hari pemilihan, semakin banyak
informasi yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber,termasuk dari lima
kali debat.

Terkait dengan pengumpulan dan pengolahan informasi, ada empat model
pengelolaan informasi yang lazim terkaji di kalangan pemilih untuk
menentukan pilihan (Lau & Redlawsk, 2006). Pertama, model dispassionate
decision making. Dalam model ini pemilih secara aktif mencari informasi
sebanyak mungkin baik yang positif maupun yang negatif dari ketiga
pasangan capres-cawapres. Setelah mempertimbangkan secara rasional semua
informasi yang diterimanya, pemilih dengan model pengolahan seperti ini
selanjutnya menentukan pilihan.

Dasar penentuannya adalah kepentingan dirinya sendiri, bukan atas
keberpihakan atau desakan dan tekanan siapa pun. Itulah mereka pemilih
yang independen. Kedua, model confirmatory decision making. Pemilih
dengan pengolahan informasi model ini cenderung mencari informasi yang
bersifat meneguhkan pilihan yang sudah dimilikinya. Hal ini dilakukannya
karena mereka ingin struktur kognisinya selalu berada dalam kesetimbangan.

Untuk itu mereka hanya mencari informasi yang mendukung pilihannya dan
menghindari informasi yang dianggap membebani pikiran. Model ini banyak
dialami oleh pemilih yang memiliki kedekatan emosional dengan salah satu
kekuatan politik (capres/cawapres) yang didukungnya. Ketiga, model fast
and frugal decision making.Sekalipun pemilih dengan pengolahan informasi
model ini aktif mencari informasi mengenai ketiga pasangan, tapi
pencarian informasi difokuskan pada informasi tertentu yang terkait
langsung dengan pilihan yang telah dimilikinya.

Mereka bertindak efisien dalam mencari informasi. Satu dua informasi,
yang positif atau negatif, sudah dianggap cukup dalam menentukan
pilihan. Kalangan pebisnis yang supersibuk cenderung menjadi pemilih
model ini. Keempat, model intuitive decision making. Bagi mereka yang
lebih suka memakai stereotip, skemata, penilaian sepihak, dan enggan
mendalami informasi yang dimilikinya, termasuk ke dalam model keempat ini.

Dalam model ini terjadi cognitive shortcut di kalangan pemilih mengenai
masingmasing capres dan cawapres. Jangan salah,model ini tidak hanya
terjadi di kalangan awam, melainkan juga bisa terjadi pada kaum
elite.Termasuk ke dalam pola pikir yang menelantarkan asas rasionalitas
ini adalah kepatuhan yang buta pada ajakan dan putusan pimpinan. Manakah
yang banyak terjadi di antara empat model di atas? Kecenderungan
utamanya adalah model yang kedua.

Rupa-rupanya para pemilih kita sudah punya kedekatan dan pilihan secara
emosional dengan salah satu pasangan sebagaimana telah banyak
diprediksikan, bahkan sebelum masa kampanye. Karena itulah kampanye
terbuka, pemasangan iklan, debat capres, dan pemberitaan di media massa
tidak terlalu banyak memengaruhi sikap pemilih. Kalaupun mereka menerima
informasi dari berbagai sumber itu, mereka hanya menggunakan informasi
yang meneguhkan pilihannya.

Itulah sebabnya tak mengherankan jika quick count menunjukkan kemantapan
angka pilihan konstituen terhadap masing-masing kandidat seperti sudah
diduga sebelum pelaksanaan pilpres itu sendiri. Kemantapan angka itu
juga terjadi karena ditopang oleh model pengolahan informasi yang
keempat. Umumnya,pemilih kita juga sangat suka dengan
stereotypingmengenai sosok (figur) pribadi masingmasing kandidat.Maka
beruntunglah kandidat yang mendapat stereotip positif atas sosok
pribadinya yang tampak gagah, tampan, dan santun.

Atas dasar itulah mereka memilihnya dan mendapat angka yang tinggi.
Adapun sosok-sosok yang dianggap biasa-biasa saja cenderung kurang
mendapat dukungan, sekalipun tampak cerdas. Pemilih kita tampaknya
kurang suka pada kandidat yang terbuka dan terus terang dalam menyatakan
pendapat (low context communication) ketimbang kandidat yang kalem dan
diplomatis (high context communication).

Masa Depan Pilpres

Apakah perilaku pemilih pada Pilpres 2009 ini akan terulang pada Pilpres
2014? Boleh jadi terlalu dini kita memprediksinya,tapi jika melihat
karakteristik pemilih kita yang emotional based itu maka tampaknya model
kedua itu masih akan berlaku dalam pilpres yang akan datang.

Pada umumnya pemilih kita mudah terikat secara emosional dengan kandidat
yang didukungnya.Lebih dari itu pemilih kita juga dikenal sebagai
pemilih yang “welas asih”kepada kandidatnya itu. Bahkan struktur kognisi
mereka merasa akan terganggu jika kandidatnya diserang atau diperlakukan
tidak adil.Faktanya, pemilih jenis ini masih menjadi lapisan terbanyak
di tengah masyarakat kita.

Dengan karakteristik pemilih seperti itu, modal intelektualitas dalam
bentuk kejelasan visi, misi, dan program serta risk taker bukan sesuatu
yang patut diandalkan pada pilpres selanjutnya.Yang penting bagi pemilih
irasional dan intuitif ini adalah kepiawaian membentuk hubungan
emosional dengan para calon pemilih.

Untuk yang terakhir ini penampilan yang good looking bisa dijadikan
salah satu kekuatan di samping strategi high context
communication.Siapakah yang muncul kelak? Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253583/

Presiden yang Bukan Ksatria

Pemilihan umum presiden yang baru saja diselenggarakan selalu menyisakan
persoalan moral, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan siapa
pecundangnya.


Imbauan berulang kali disuarakan banyak kalangan, agar kedua pihak (yang
menang dan kalah) dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai, dan
elegan. Ngeluruk tanpo bolo, menang tanpa ngasorake, kata orang Jawa.
Namun sejarah politik di negeri ini mengajarkan, kehendak dari
peribahasa di atas tampaknya selesai di tingkat wacana. Berkalikali
pergantian kekuasaan, senantiasa dimaknai dengan pergantian total
aparatus puncaknya.

Semacam pendekatan zero sum game, terlebih bila pergantian itu diwarnai
dengan sebuah keributan, besar dan kecil.The winner takes all, dan yang
pecundang siap habis total. Pendekatan atau tradisi pergantian pimpinan
seperti ini sebenarnya memiliki akarnya juga dalam masyarakat kita,
terutama dalam tradisi kerajaan konsentris, di Jawa dan berbagai
kerajaan beradab “daratan”lainnya.Pendekatan atau tradisi ini berasal
dari pemahaman, kekuasaan (politik) dan penguasaan (bangsa/negara)
dihasilkan melalui sebuah perjuangan keras dan fisikal dari para ksatria.

Raja atau sultan yang kemudian bertahta adalah mereka berada dalam garis
atau kasta itu. Kekuasaan yang didapat dan dipahami dengan paradigma/
tradisi ini tentu saja berkonsekuensi melahirkan pemerintahan yang
cenderung totaliter, hegemonik dalam penguasaan infrastruktur, sumber
daya, dan berbagai akses sosial.Kesemuanya dilakukan melalui cara-cara
yang koersif, represif, baik yang halus maupun kasar, baik dalam bentuk
yang tradisional maupun canggih karena menggunakan peralatan modern.

Beberapa negara di dunia seperti Myanmar,Kuba, Libya, atau negara-negara
Timur Tengah mempraktekkan tradisi kepemimpinan semacam itu. Bahkan
hingga busana pemimpinannya mewakili gambaran ksatria sejati, militer
dalam perkembangan modernnya. Di beberapa negara demokrasi semu,
modernitas, teknologi, ilmu, sistem demokratis itu sendiri, dan
perangkat canggih lainnya digunakan semata hanya untuk label,
justifikasi, atau hiasan di etalase peradaban internasional.

Bagaimana sebenarnya tradisi (kepemimpinan) politik kita harus dibangun
dengan latar semacam itu? Kenapa kompetisi penuh adab, seperti pemilu
pilpres ini, mesti “habis-habisan”, termasuk menghabisi lawannya?
Mengapa demokrasi sekadar menjadi dekorasi, menjadi alat pemuas dahaga
kekuasaan, bukan sebagai mekanisme pengabdian dan pengadaban negeri?
Satu upaya untuk memperluhur derajat kita sebagai bangsa,mempertinggi
kualitas kita sebagai manusia?

“Bun” dan “Bu”

Masalah di atas,mungkin, berawal dari kacau atau bertabrakannya ukuran
atau standar-standar (etik dan emik) perpolitikan kita antara dua
kecenderungan paradigmatik, oksidental dan oriental. Umumnya, yang
pertama bermain di tingkat akal, dan yang terakhir mengendap di
kedalaman mental.

Dua dimensi yang sangat berpengaruh pada output perilaku para pelakunya.
Bila terjadi semacam ambiguitas atau bahkan skizofrenia politik
karenanya, tentu lumrah adanya. Paradigma oksidental kita paham benar,
karena kita terdidik sejak dini dengan itu. Untuk yang oriental, selain
tradisi yang terinternalisasi dengan pendekatan “Aryan” atau
India—melalui kitab- kitab semacam Mahabarata— di atas, juga ada sebuah
logika menarik dari China.Dalam riwayat maupun legendanya, kultur China
mengenal dua kecakapan utama yang dapat diraih manusia: “bun” dan “bu”.

Yang satu ilmu “surat” (sastra) dan yang lainnya ilmu
“silat”(kanuragan/militer). Dalam dua dunia itu berlaku pemeo “tidak ada
nomor satu dalam bun”(karena siapa yang dapat menentukan karya sastra
nomor satu), dan “tidak ada nomor dua dalam bu” (karena pesaing sudah
mati oleh pesilat paling tangguh). Ajaran moral itu berhasil membagi
dengan cermat kecenderungan idealistis dan pragmatis dari manusia.

“ Bun” adalah perkara-perkara yang menyangkut idea,dunia abstrak dan
simbolik seperti sastra, ideologi, agama, ilmu, juga politik. Sementara
“bu”adalah dunia yang mewakili kecenderungan praktis-pragmatis, yang
konkret dan material, seperti silat, militer, dagang,dan sebagainya.
Masalah terjadi ketika dunia berkembang semakin mengutamakan penumpukan
fasilitas dan ukuran-ukuran yang praktis-pragmatis- material.

Dunia “bun” bukan hanya kian tertekan, bahkan terkooptasi, dan akhirnya
diperalat sebagai arsenal, dalam kekuasaan misalnya. Urusan politik dan
pemerintahan yang sebenarnya berada di wilayah moral “bun”— tempat “tak
ada nomor satu” dan respek menjadi etos utama—pada akhirnya mengeras
menjadi konflik terbuka,bahkan secara fisik. Karena politik kemudian
diperalat oleh kaum “bu” yang tetap mempertahankan moralitas “tak ada
nomor dua” lewat kekerasan fisikalnya.

Kaum ksatria mengambil alih otoritas politik dan melakukan hegemonisasi
lewat caranya yang keras. Kekacauan standar- standar hidup pun terjadi,
karena pertentangan keras sudah terjadi di dalam tubuh kekuasaan –bahkan
di level rendah sekalipun— itu sendiri.

Kasta Pangreh Praja

Maka, ketika SBY, selaku capres mengatakan dirinya adalah “ksatria”
dalam sebuah pidato publik, untuk menjelaskan bahwa dia mendapat banyak
serangan dan tidak membalasnya, bisa dikatakan benar dan keliru sekaligus.

Benar, dia memang ksatria (mantan perwira tinggi) dan menjadi pemimpin
karena tradisi keksatriaan dari kerajaan konsentris kita,termasuk juga
yang dipahami presiden pendahulunya, mantan presiden Soeharto. Namun dia
keliru, bila sebagai ksatria dia tidak “membalas” serangan yang tertuju
padanya. Seorang ksatria harus membalas dan menang, sebagaimana etos itu
diajarkan oleh tradisi. Jadi lebih keliru bila sebagai pemimpin nasional
dia “membalas”serangan itu. Karena terdapat jarak yang menentukan,antara
posisi puncak sebagai pemimpin nasional dengan takdirnya sebagai elite
dari kasta ksatria.

Bisa jadi inilah absensi dalam paradigma/tradisi berpolitik kita. Tidak
ada kasta khusus bagi mereka yang “memerintah negara”, yang menjadi
politikus, jadi negarawan. Seseorang tidak cukup menjadi ksatria untuk
jadi “pemerintah” atau negarawan. Dia harus memiliki beberapa kapasitas
dan kapabilitas tersendiri untuk mencapainya. Setidaknya sebuah
komprehensi yang “melampaui” logika atau disiplin keksatriaannya.
Melihat manusia, bangsa, sejarah dan masa depannya secara lebih
utuh,multidimensional.

Untuk kita bisa menggunakan istilah berbeda, kasta baru, bisa diletakkan
antara brahmana dan ksatria, yang menempatkan seorang politikus—tepatnya
negarawan— hanya seurat di bawah kebijaksanaan nonduniawi dari seorang
brahman.Katakanlah untuk sementara—sebelum ada yang lebih tepat—istilah
pangreh praja atau pangembating praja kita gunakan untuk posisi atau
kasta itu. Sebuah kasta baru yang tidak mencampuradukkan kebijaksanaan
dan kebijakan yang idealistis dan visioner dengan ambisiambisi pragmatis
yang material dan temporer.

Dengan posisi ini, seorang pemimpin tidak berhenti dalam wacana,
retorika, dan romantika karena pribadinya yang sudah mampu meng”atas”i
kepentingan sektoral dan kecenderungan personalnya. Ia menjadi jabatan
puncak, yang diraih lewat cara yang meritokratik, bukan sebuah takdir
yang dibawanya sejak lahir. Karena tak ada manusia yang ditakdirkan
selamanya menjadi sudra,waisya, maupun ksatria.

Semua berpeluang menapaki jenjang yang lebih tinggi, hingga menjadi
pangreh atau pangembating. Sebuah jenjang yang menuntut tanggung jawab
dan kemampuan sangat tinggi, bahkan bukan sekadar “bun” dan “bu”.

Jenjang yang seharusnya ditempati oleh seorang pemimpin,seorang
presiden. Adakah sang pemenang nanti ada di jenjang itu? Anda semua,
juga sejarah, yang akan mencatat dan membuktikannya.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253582/

Pemilihan Presiden dan Politik Primordial

Pemilihan Presiden dan Politik Primordial

*Saiful Mujani*

# PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA

Politik primordial adalah politik yang tumbuh dan berkembang atas nama
asal-usul sosial individu atau kelompok, seperti ras, suku, kedaerahan,
agama, dan lain-lain. Semua orang punya asal-usul ini bukan karena
pilihan, melainkan merupakan takdir hidup. Orang atau kelompok mengejar
kekuasaan atas dasar kesamaan asal-usul atau secara sadar mengakui
keberagaman asal-usul tersebut dan kemudian menghimpunnya menjadi
kekuatan bersama. Bukan atas pertimbangan kemampuan, tanpa
mempertimbangkan asalusul itu sebagai faktor utama (meritokratisme).

Dalam masyarakat kita, salah satu bentuk politik primordial adalah
politik aliran: sikap dan perilaku politik yang tumbuh dan hidup dari
keyakinan atau paham keagamaan. Diyakini bahwa dalam masyarakat kita ada
dua aliran keagamaan (Islam) utama: santri dan abangan. Yang pertama
dinilai taat menjalankan perintah agama Islam; yang kedua dinilai tidak
atau kurang.

*Politik elektoral*

Pada 1950-an, kaum santri membangun dan mendukung partai-partai Islam,
seperti Partai NU dan Masjumi; kaum abangan partai-partai “nasionalis”,
seperti PNI dan PKI. Tema dikotomis “Islam” vs “nasionalis” mungkin
kurang pas. Yang lebih pas mungkin “partai-partai sekuler” versus
“partai-partai Islam”. Pada 1950-an, kekuatan partai Islam sekitar 43
persen di tengah- tengah penduduk yang hampir semuanya beragama Islam.
Ini mengindikasikan bahwa, sejak awal politik kepartaian, umat Islam
umumnya berorientasi politik sekuler. Setelah 44 tahun (pada Pemilu
1999), dukungan terhadap partai-partai Islam menurun menjadi sekitar 37
persen. Ini pun kalau PKB dan PAN dimasukkan dalam kelompok partai
Islam. Dalam Pemilu 2004, kekuatan partai Islam tidak banyak berbeda
dengan hasil Pemilu 1999. Tapi, pada Pemilu 2009, kekuatan partai Islam
merosot cukup tajam, menjadi sekitar 26 persen.

Politik Islam/santri semakin menurun dalam 60 tahun perjalanan bangsa
kalau dilihat dari perkembangan politik kepartaian. Politik aliran
menjadi semakin tidak penting di tengah-tengah umat Islam yang kelihatan
semakin taat menjalankan agamanya, di tengah-tengah jilbab dan baju koko.

Semakin tidak signifikannya politik santri ini terlihat lebih jelas
dalam politik presidensial, yakni pilihan warga atas caloncalon presiden
dalam pemilihan presiden. Pada pemilihan presiden 2004, ada dua calon
yang biasa diidentifikasi sebagai calon santri, yakni Amien Rais dan
Hamzah Haz. Dalam pemilu tersebut, Hamzah Haz mendapat suara sekitar 5
persen, dan Amien Rais sekitar 14 persen. Keduanya tersisih di putaran
pertama. Yang masuk putaran kedua, SBY dan Megawati, biasa dianggap
sebagai tokoh dari kaum abangan. Sekali lagi, politik Indonesia dikuasai
oleh tokohtokoh abangan di tengah-tengah lautan jilbab dan baju koko.

Tapi, menjelang pemilu presiden 2009, sejumlah elite dan partai berusaha
melawan arus politik elektoral Indonesia yang semakin menjauh dari
konsep politik aliran tersebut. Amien Rais, misalnya, menjelang
deklarasi calon presiden- wakil presiden SBY-Boediono, secara
terangterangan menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY
karena pilihan terhadap ekonom ini bertentangan dengan pakem klasik
politik Indonesia. Memilih Boediono berarti mengabaikan aspirasi umat
Islam dan representasi luar Jawa. Sejumlah elite PKS juga beretorika
dengan bahasa yang sama. Dikatakan bahwa pemilihan Boediono sebagai
calon wakil SBY tidak menampung aspirasi politik umat Islam.

*Menjelang pemilu presiden*

Tidak sedikit pula pengamat sosial-politik yang masih terpaku pada
konsep politik aliran ini. Tiap calon presiden dan wakil presiden
dipreteli asal-usulnya, bahkan anak-istrinya, apakah mencerminkan
kombinasi aliran atau tidak. JK, misalnya, ditafsirkan lebih mewakili
umat Islam karena lebih santri, pernah menjadi aktivis HMI, misalnya.
Asal sukunya Bugis dan daerahnya wilayah timur Indonesia. Istrinya
berasal dari wilayah barat Indonesia. Wakilnya, Wiranto, lebih mewakili
kaum abangan dan etnis Jawa. Tapi istrinya dari daerah timur Indonesia
(Gorontalo) dan mencerminkan kaum santri. Karena kombinasi- kombinasi
seperti ini dalam pasangan JK-Wiranto, tim suksesnya menyebut pasangan
ini “Pasangan Nusantara”.

Justifikasi bahwa perilaku keagamaan masyarakat sangat penting dalam
menentukan pilihan, Wiranto secara eksplisit menyatakan bahwa istri
pasangan JK-Wiranto ini berbeda dengan istri pasangan SBYBoediono,
karena istri JK-Wiranto berjilbab, sedangkan istri SBY-Boediono tidak.
Apa yang diharapkan dari ungkapan itu adalah menarik pemilih muslim,
karena jilbab dinilai positif dan penting secara politik. Jilbab sebagai
bahasa politik juga digunakan sebagian elite PKS ketika mereka melakukan
bargaining untuk menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY.

Walaupun tidak bertumpu pada konsep aliran, pasangan Mega-Prabowo
dinilai cukup mencerminkan keberagaman Nusantara. Keduanya dinilai
abangan, tapi masingmasing berasal-usul dari suku bangsa dan daerah yang
cukup beragam. Mega adalah seorang putri dari pasangan Jawa- Bali
(ayahnya) dan Bengkulu (ibunya). Sedangkan Prabowo berasal dari seorang
ayah Jawa dan ibu Manado, abangan dan Katolik. Jadi lebih mencerminkan
keberagaman dibandingkan dengan pasangan SBY-Boediono.

Pasangan SBYBoediono dinilai sangat homogen dari sisi aliran politik,
suku bangsa, dan kedaerahan. Keduanya dianggap berasal dari kaum
abangan, etnis Jawa, dan daerah Jawa Timur. Bahkan Jawa Timur
“pedalaman” atau “Majapahitan”. Pilihan SBY terhadap Boediono, menurut
Amien Rais, bertentangan dengan pandangan yang sudah baku atau klasik
tentang pembelahan politik Indonesia.

Indonesia. Amien dan politikus-politikus lain, serta para pengamat
politik yang berkacamata politik primordial, mungkin benar bahwa
pasangan SBY-Boediono mengabaikan pakem klasik politik Indonesia. Namun,
validitas klaim tersebut tidak terlihat dalam politik kepartaian dan
dalam pemilu presiden 2004.

Apa yang dianggap sebagai pakem klasik politik Indonesia mungkin sudah
luntur; tak mampu lagi menangkap dinamika sosial-politik yang sedang
terjadi di masyarakat kita. Sekularisasi politik sedang berlangsung
dalam masyarakat. Pada 1950-an, sekularisasi ini belum sekuat sekarang
meskipun mayoritas kekuatan politik di parlemen sekuler (PNI, PKI, PSI,
dan sejumlah partai kecil lain). Sekularisasi pada 1950-an lebih
ideologis, terutama karena pertarungan ideologi politik yang tajam dalam
konteks Perang Dingin, terutama antara Islam dan PKI. Pengaruh
pertentangan ideologi ini berakar kuat dalam masyarakat, di mana santri
versus abangan sangat kuat, setidaknya kalau kita baca karya tahun-tahun
itu.

Sekarang sekularisasi politik berlangsung dalam pengertian bahwa
masyarakat membedakan kehidupan individual dan sosial dari kehidupan
politik. Polarisasi politik kurang ideologis. Ideologi politik sudah
mati. Sejak Orde Baru hingga sekarang kita tidak bisa membedakan
ideologi partai-partai politik tersebut. Deideologisasi politik ini
dipercepat oleh Orde Baru, yang pada dasarnya anti-ideologi dan
antipolitik dalam arti tidak menoleransi kebebasan dan keberagaman
kekuatan politik. Tapi, di sisi lain, Orde Baru mendorong pembangunan
kehidupan keagamaan di tingkat individu, keluarga, dan organisasi
sosial. Berhenti sampai di situ. Maka kesalehan individual berkembang
dan terpisah dari kekuatan politik.

Tempaan Orde Baru ini membentuk sekularisasi politik sekarang. Kita
melihat muslimah-muslimah seperti istri Wiranto atau JK yang
berkerudung. Tapi partai mereka bukan PKS atau PPP, melainkan Hanura
atau Golkar, yang bukan partai Islam; tidak banyak berbeda dengan
Demokrat atau PDI Perjuangan. SBY-Boediono, yang dianggap kurang santri,
justru didukung oleh partai-partai Islam (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB, PBR,
dan lain-lain). Pertimbangan politik murni, misalnya keyakinan akan
peluang menang lebih besar, lebih dikedepankan.

Bila pemilu presiden 2009 dimenangi pasangan SBY-Boediono, politik
aliran dan lebih luas lagi politik primordial akan menjadi semakin tidak
penting. Polarisasi agama, etnik, dan wilayah tidak lagi menjadi basis
sosial untuk kepemimpinan nasional. Mungkin ia telah digeser oleh
wawasan baru tentang makna agama dan wawasan Nusantara. Saleh secara
individual dan sosial, dan tetap menjaga semangat kedaerahan secara
sosial, tapi lebih mengedepankan pertimbangan yang lebih inklusif,
beyond primordialisme, adalah faktor-faktor dalam menentukan
kepemimpinan nasional. Memilih SBY-Boediono mungkin bukan karena
sentimen kejawaan atau kejawen menguat, melainkan mungkin karena
persepsi pemilih bahwa pasangan ini lebih baik untuk memimpin Indonesia
menurut meritokratisme. Apakah akan begitu pemilih kita pada pemilu
presiden 2009? Kita lihat.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/10/Opini/krn.20090710.170613.id.html

Melawan Siklus Lupa Lima Tahunan

*Khudori*

# Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut
simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan
reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program
unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita
Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil
berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma
agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda
kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski
sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.

Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang
diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia
mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada
mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi
seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin
segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta
hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari
konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek /land reform/. Lahan
dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.

Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah /land
reform/ plus. /Land reform/ itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan
ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar
tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah
mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi
tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun.
Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan,
penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen,
infrastruktur, dan lain-lain.

Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara
pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni
Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu,
tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian
jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis,
Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko),
jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis
(Jepang, Tanzania, Taiwan)?

Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama
(Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data
yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat,
elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai
ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan
keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu,
jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun,
para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa
mengeliminasi syarat lain.

Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa
wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat
SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu
presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo.
Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat
program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi
persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi
kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan
Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang
mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah
yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).

Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset
nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini
berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu
orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada
yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar
62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto,
2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini:
ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004
jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada
2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih
tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka /underemployment/ meningkat dari 29,8
persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan
dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak;
daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.

Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh
pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30
tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja
formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di
atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, /real estate/, transportasi
dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran (/non-tradable/) yang
miskin penyerapan tenaga kerja, /capital intensive/, dan ditekuni
segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap
tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya
4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya,
kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di
pedesaan bekerja di pertanian.

Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian
hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya.
Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan
masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi /sadumuk
bathuk, sanyari bumi ditohing pati/ (meskipun sejengkal, tanah bagian
kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya). Di
etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki
kedudukan penting.

Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan
modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses
terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform)
jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal
memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik,
seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan
ekonominya dengan /land reform/. Di pengujung abad ke-20, /land reform/
plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata
struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur
agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan
awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak
lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite
politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji
rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima
tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma
agraria. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/10/Opini/krn.20090710.170611.id.html

BSNP tidak Profesional

Oleh Hanif Nurcholis Dosen FISIP Univeritas Terbuka, Jakarta, dan
pengamat pendidikan


SESUAI dengan Pasal 67 PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
lembaga yang diberi tugas pemerintah untuk menyelenggarakan ujian
nasional (UN) adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Akan
tetapi, setelah melaksanakan tugasnya selama empat tahun, kinerja BSNP
sangat tidak profesional dilihat dari sisi legal, akademik, dan manajerial
Dilihat dari sisi legal dan akademik, BSNP tidak profesional karena
menyelenggarakan UN untuk mata pelajaran bahasa Indonesia tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Hal ini terjadi karena BSNP tidak memahami bahan
ajar bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 1994, KBK 2004, dan standar
isi 2006. Berdasarkan tiga dokumen kurikulum tersebut, bahan ajar bahasa
Indonesia bukan lagi kebahasaan, melainkan keterampilan berbahasa. Dalam
kurikulum 1994 bahan ajar bahasa Indonesia terdiri atas butir-butir
pembelajaran di bawah dua aspek: 1) pemahaman dan 2) penggunaan. Aspek
pemahaman mencakup keterampilan mendengarkan dan membaca, sedangkan
aspek penggunaan mencakup keterampilan berbicara dan menulis. Dalam KBK
2004 dan standar isi 2006 bahan ajar bahasa Indonesia terdiri atas
beberapa kompetensi dasar (KD) di bawah empat aspek keterampilan
berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Ketiga dokumen
kurikulum tersebut menempatkan bahan ajar kebahasaan hanya sebagai
pendukung keterampilan berbahasa
Dengan kurikulum yang menitikberatkan pada keterampilan berbahasa
tersebut, BSNP mestinya dalam menyelenggarakan UN Bahasa Indonesia
mengembangkan instrumen penilaian seperti yang dikembangkan Pusat Bahasa
Depdiknas yang dikenal dengan UKBI, uji keterampilan bahasa Indonesia,
yaitu menguji sejauh mana peserta didik menguasai kompetensi
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Ternyata, instrumen
penilaian yang dikembangkan BSNP bukan soal model UKBI, melainkan soal
konvensional berisi alat uji untuk mengukur pemahaman bacaan, tata
bahasa, ejaan, dan tanda baca
BSNP tidak menguji KD-KD dalam lingkup mendengarkan, menulis, dan
berbicara. KD-KD dalam lingkup mendengarkan dan berbicara penilaiannya
diserahkan kepada sekolah masingmasing, tapi hasilnya tidak dimasukkan
ke penentuan hasil akhir UN, sedangkan KD-KD dalam lingkup menulis diuji
dengan soal yang misleading alias tidak valid
Mengenai soal menulis, tampaknya BSNP tidak paham bahwa yang dimaksud
menulis dalam kurikulum 1994, 2004, dan 2006 adalah menuangkan gagasan
yang ada dalam otak peserta didik ke dalam bentuk tulisan di kertas atau
media lain (mengarang). Soal menulis yang dikembangkan BSNP bukan
mengukur kemampuan tersebut, tapi menguji kemampuan memahami
kaidah-kaidah penulisan dengan soal pilihan ganda. Instrumen penilaian
demikian jelas sangat tidak valid karena misleading
Jadi, sebenarnya semua hasil UN bahasa Indonesia yang diselenggarakan
BSNP sejak awal sampai tahun pelajaran 2008/2009 tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara legal dan akademis karena pertama tidak
mengacu ke kurikulum resmi (kurikulum 1994, KBK 2004, dan SI-SKL 2006)
dan kedua hanya menguji satu aspek (membaca) yang berarti hanya menguji
seperempat standar kompetensi lulusan
Ketidakprofesionalan BSNP kedua adalah dalam menangani kekisruhan
penyelenggaraan UN. Sejak awal, penyelenggaraan UN selalu dilekati
dengan ‘mafi a kecurangan UN’: pembocoran soal; ‘penyuksesan’ UN yang
melibatkan birokrat pendidikan, kepala sekolah, dan guru; dan jual beli
kunci jawaban. Dalam menangani ‘mafi a kecurangan UN’ tersebut, BSNP
tidak mencari akar masalahnya lalu membuat kebijakan terapis manajerial
dan pedagogis, tapi malah mencari kambing hitam. UN ulang adalah salah
satu contohnya
Menurut BSNP, UN harus diulang karena jawaban siswa berpola sama
sehingga dapat dipastikan soal tersebut dikerjakan bersama-sama
Cara berpikir BSNP tersebut jelas mengikuti logika yang keliru karena
BSNP membangun dalil sebagai berikut. ‘Mengerjakan soal UN dengan pola
jawaban yang sama dalam satu sekolah adalah perbuatan curang. Semua
siswa di sekolah x mengerjakan UN dengan pola jawaban yang sama. Oleh
karena itu, semua siswa di sekolah x curang. Karena semuanya curang,
harus dihukum dengan mengulang UN’. Jelas, ini logika deduktif yang
sesat karena menyamakan pola jawaban yang sama dengan kecurangan siswa.
Padahal, ini baru indikasi. Kalau baru indikasi, perlu investigasi untuk
pembuktian
Setelah ada bukti, baru punishment. Dalam hal ini, sebenarnya BSNP
melakukan kesalahan fundamental karena menetapkan asumsi yang dijadikan
proposisinya bukan substansinya
Perlu disampaikan bahwa premis mayor dan minor sesuai dengan
substansinya bukan seperti di atas, melainkan sebagai berikut. “Semua
birokrat pendidikan dan guru harus meluluskan 100% UN. Birokrat
pendidikan dan guru yang tidak mencapai target tersebut akan diberi
sanksi. Supaya tidak diberi sanksi, birokrat pendidikan dan guru harus
‘meluluskan’ siswa dalam UN”
Jadi, substansi masalah tidak terletak pada siswa yang membuat pola
jawaban sama, melainkan pada kebijakan taktis menerabas yang diambil
dinas pendidikan dan sekolah demi ‘reputasinya’ dan ‘masa depan siswa’.
Subjeknya adalah birokrat dinas, kepala sekolah, dan guru yang
bersangkutan. Siswa hanyalah objek atas kebijakan taktis menerabas tersebut
Oleh karena itu, sangat tidak logis jika BSNP justru menghukum siswa
yang tidak tahu apaapaKalau BSNP profesional, dalam menangani masalah
tersebut, ia akan berpijak pada kaidah manajemen, pendidikan, dan hukum.
Jika ia menemukan kecurangan, pertama kali yang harus diperiksa adalah
bagaimana implementasi standard operating procedures dan self guard
mechanism-nya baik internal maupun eksternal
Jika di sana ditemukan penyimpangan yang disengaja, pelakunya diberi
sanksi. Jika pada aspek ini tidak ditemukan penyimpangan, investigasi
diarahkan ke siswa. Jika ditemukan siswa melakukan kecurangan, hanya
siswa yang curang inilah yang diberi sanksi, tidak semua siswa
Dengan makin karut-marutnya UN tersebut, sudah saatnya pemerintah
meninjau ulang UN
Kalau UN tetap dipertahankan, ada baiknya dilakukan penyegaran anggota
BSNP agar lebih perform sehingga tidak ada jatuh korban lagi (siswa).
BSNP dengan anggota baru hendaknya lebih mengutamakan peran ketimbang
menonjolkan wewenang sebagaimana ditampilkan anggota BSNP saat ini.
Dengan demikian, kehadirannya akan diapresiasi karena menjadi bagian
dari lembaga yang memperkuat upaya peningkatan mutu pendidikan, bukan
lembaga yang memperuwet penyelenggaraan pendidikan atas nama peningkatan
mutu

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/07/10/ArticleHtmls/10_07_2009_021_001.shtml?Mode=0

Menanti Presiden Negeri Lebah

Oleh: Dr Bashori Muchsin MSi

Setiap makhluk yang diciptakan Allah SWT di muka bumi ini dapat
digunakan sebagai objek /iqra' /oleh manusia sebagai /khalifah fil-ard.
/Dari bacaan ini, manusia bukan hanya bisa membuat dirinya kaya (secara
ekonomi), tetapi juga kaya nonekonomi, seperti kekayaan ilmu pengetahuan
dan moral-teologis.

''Kekayaan moral-teologis" dapat menjadi peranti diri dan saham
kepribadian bagi seseorang yang hendak atau sedang berebut serta
mendaulatkan dirinya sebagai penguasa atau pemimpin seperti presiden.
Saham kepribadian itu akan menguntungkan diri, masyarakat, dan negara
bila dikembangkan dalam ranah kepemimpinan, teristimewa yang berelasi
dengan kepentingan masyarakat.

Masalahnya, tidak setiap orang, termasuk pemimpin atau pemegang kendali
rezim, yang mau belajar dan mencerdaskan dirinya dengan ''membaca"
makhluk ciptaan-Nya. Bagaimana mungkin bisa menjadi presiden yang
mempunyai ''kekayaan moral-teologis" dan mempunyai saham kepribadian
kalau opsi yang diajukan ''buta membaca"? Bagaimana mungkin bisa jadi
presiden bernurani cerdas kalau nuraninya ''miskin" berdialektika dengan
makhluk-Nya?

***

Al-kisah, seorang kiai memberikan petuah kepada santri-santrinya:
''belajarlah kalian kepada hewan yang bernama lebah. Hewan ini tergolong
istimewa" ''Kenapa harus kepada lebah?" Tanya si santri berusaha ingin
tahu. ''Dari lebah ada pelajaran berharga dan nyata, sementara kalau
dari kitab, kalian baru mendapatkan cerita tentang kehidupan makhluk
Tuhan," jawab kiai.

''Mengapa bukan kepada hewan yang lain?" ''Dari lebah, kalian akan bisa
belajar banyak tentang filosofi kehidupan, makna mempergauli (memimpin)
alam semesta, urgensi berkomunikasi secara sosiologis, serta cara
membangun negeri yang benar, sakinah, dan menyejahterakan rakyat."
Demikian penjelasan kiai.

Melihat mata santri-santrinya masih penuh tanda tanya, sang kiai
memberikan penjelasan lebih lanjut: ''Dari lebah, manusia dididik
menangkap karya atau ciptaan Tuhan yang telah memberikan manfaat besar
bagi kemaslahatan secara makro. Alangkah bermaknanya hidup kalian jika
kelak jadi tulang punggung negeri atau pelaku strategis di masyarakat,
yang peran-perannya berkaca kepada lebah. Dari lebah, kalian akan
memahami kesejatian peran sebagai makhluk Tuhan yang bermakna bukan
hanya untuk diri sendiri, tetapi juga demi kepentingan makhluk lain di
muka bumi."

Dialog tersebut memang dapat mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa
hewan yang bernama lebah adalah makhluk spesial yang diperintah Tuhan
untuk memainkan peran strategis dan fundamental. Kehadirannya tidak
sekadar bisa menempel dan bertelur di pohon-pohon, tetapi juga
mendatangkan manfaat khusus bagi manusia yang membutuhkannya (/Imam,
2006/).

''Dan, Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah
itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya
terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang memikirkan.'' (/QS An-Nahl (16): 68-69/).

Lebah diabadikan sebagai nama surat di dalam Alquran, yakni surat ke-16
(An-Nahl). Penyebutan ini menjadi pertanda banyaknya keajaiban, hikmah,
manfaat, dan rahasia dalam penciptaannya. Selain menghasilkan madu,
lebah juga menghasilkan royal jelli, polen, propolis, lilin (/wax/),
sengat (/venom/), dan membantu penyerbukan tanaman (/polinasi/)
(/Rusfidra, 2006/).

Uraian itu menunjukkan bahwa lebah adalah hewan khusus yang tidak hanya
bermanfaat secara ekonomi bagi kepentingan hidup manusia, tetapi juga
bermanfaat secara moral, fisik, dan medis. Madu yang diproduk oleh lebah
dapat menjadi sumber penyangga kehidupan ekonomi manusia, sementara
secara medis dan fisik, madu berbuah mengobati penyakit dan menyehatkan.

***

Secara moral-filosofis, lebah dapat membuka mata hati manusia (presiden)
yang sedang mengidap ''kebutaan kepekaan", krisis responsibilitas, atau
berpenyakitan rohani akibat melupakan Tuhan atau hidup bersibuk ria
dengan perburuan kepentingan politik (kekuasaan), sementara politik
pengabdian kerakyatan diabaikan.

Manusia atau pemimpin yang jalan hidupnya tersesat atau kehilangan
kiblat kepemimpinannya diingatkan oleh lebah bahwa dalam ranah
kesemestaan ini harus bertujuan, bernilai guna, atau tidak dijalani
dengan sia-sia dan tanpa arah. Memimpin pun haruslah seperti lebah, yang
bisa memberikan dan mengikhlaskan pengabdiannya dengan menempatkan
rakyat sebagai ''proyek utama" yang diwujudkannya. Lebah ini menjadi
deskripsi kesejatian peran hewan yang berpola pengabdi, yang hidupnya
''diberikan" demi kepentingan semesta dan manusia.

/''Seorang mukmin itu diumpamakan seperti lebah, tidak makan kecuali
yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat, dan tidak
bersifat merusak/.'' Demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung
pelajaran moral kepemimpinan yang bisa dipetik hikmahnya, yang
menunjukkan bahwa untuk menuai prestasi kepemimpinan bernama kebaikan,
kemakmuran, kesejahteraan, atau atmosfer (meminjam istilah Ibnu Khaldun)
''negeri madani", presiden dapat mengadopsi gaya hidup lebah.

Kendati lebah mengambil nektar dari bunga tanaman, misalnya, mereka
tidak pernah merusak tanaman yang disinggahi. Lebah tidak meninggalkan
dampak destruksi, apalagi menghancurkan dan membakar kayu hutan seperti
yang dilakukan manusia yang ''maniak" mencari dan memburu keuntungan
ekonomi.

Yang diperbuat lebah itu jelas berbeda jika dibandingkan dengan
perbuatan manusia pada umumnya, terutama akhir-akhir ini, yang terlibat
dalam berbagai bentuk perusakan kekayaan alam atau penghancuran sumber
daya hutan.

''Negeri lebah" akan semakin jauh terwujud bila peran elite eksekutifnya
tidak maksimal menghidangkan keteladanan yang bercorak meresponsi
berbagai penyakit, antara lain, /illegal logging/ dan penghancuran
kekayaan laut (/illegal fishing/) yang jelas-jelas dapat merusak dan
menghancurkan ketahanan serta keberdayaan bangsa. *(*)*

/*). Dr Bashori Muchsin MSi, pembantu rektor II Universitas Islam Malang
dan penulis buku Pendidikan Islam Kontemporer/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7