BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Presiden yang Bukan Ksatria

Presiden yang Bukan Ksatria

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.53

Pemilihan umum presiden yang baru saja diselenggarakan selalu menyisakan
persoalan moral, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan siapa
pecundangnya.


Imbauan berulang kali disuarakan banyak kalangan, agar kedua pihak (yang
menang dan kalah) dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai, dan
elegan. Ngeluruk tanpo bolo, menang tanpa ngasorake, kata orang Jawa.
Namun sejarah politik di negeri ini mengajarkan, kehendak dari
peribahasa di atas tampaknya selesai di tingkat wacana. Berkalikali
pergantian kekuasaan, senantiasa dimaknai dengan pergantian total
aparatus puncaknya.

Semacam pendekatan zero sum game, terlebih bila pergantian itu diwarnai
dengan sebuah keributan, besar dan kecil.The winner takes all, dan yang
pecundang siap habis total. Pendekatan atau tradisi pergantian pimpinan
seperti ini sebenarnya memiliki akarnya juga dalam masyarakat kita,
terutama dalam tradisi kerajaan konsentris, di Jawa dan berbagai
kerajaan beradab “daratan”lainnya.Pendekatan atau tradisi ini berasal
dari pemahaman, kekuasaan (politik) dan penguasaan (bangsa/negara)
dihasilkan melalui sebuah perjuangan keras dan fisikal dari para ksatria.

Raja atau sultan yang kemudian bertahta adalah mereka berada dalam garis
atau kasta itu. Kekuasaan yang didapat dan dipahami dengan paradigma/
tradisi ini tentu saja berkonsekuensi melahirkan pemerintahan yang
cenderung totaliter, hegemonik dalam penguasaan infrastruktur, sumber
daya, dan berbagai akses sosial.Kesemuanya dilakukan melalui cara-cara
yang koersif, represif, baik yang halus maupun kasar, baik dalam bentuk
yang tradisional maupun canggih karena menggunakan peralatan modern.

Beberapa negara di dunia seperti Myanmar,Kuba, Libya, atau negara-negara
Timur Tengah mempraktekkan tradisi kepemimpinan semacam itu. Bahkan
hingga busana pemimpinannya mewakili gambaran ksatria sejati, militer
dalam perkembangan modernnya. Di beberapa negara demokrasi semu,
modernitas, teknologi, ilmu, sistem demokratis itu sendiri, dan
perangkat canggih lainnya digunakan semata hanya untuk label,
justifikasi, atau hiasan di etalase peradaban internasional.

Bagaimana sebenarnya tradisi (kepemimpinan) politik kita harus dibangun
dengan latar semacam itu? Kenapa kompetisi penuh adab, seperti pemilu
pilpres ini, mesti “habis-habisan”, termasuk menghabisi lawannya?
Mengapa demokrasi sekadar menjadi dekorasi, menjadi alat pemuas dahaga
kekuasaan, bukan sebagai mekanisme pengabdian dan pengadaban negeri?
Satu upaya untuk memperluhur derajat kita sebagai bangsa,mempertinggi
kualitas kita sebagai manusia?

“Bun” dan “Bu”

Masalah di atas,mungkin, berawal dari kacau atau bertabrakannya ukuran
atau standar-standar (etik dan emik) perpolitikan kita antara dua
kecenderungan paradigmatik, oksidental dan oriental. Umumnya, yang
pertama bermain di tingkat akal, dan yang terakhir mengendap di
kedalaman mental.

Dua dimensi yang sangat berpengaruh pada output perilaku para pelakunya.
Bila terjadi semacam ambiguitas atau bahkan skizofrenia politik
karenanya, tentu lumrah adanya. Paradigma oksidental kita paham benar,
karena kita terdidik sejak dini dengan itu. Untuk yang oriental, selain
tradisi yang terinternalisasi dengan pendekatan “Aryan” atau
India—melalui kitab- kitab semacam Mahabarata— di atas, juga ada sebuah
logika menarik dari China.Dalam riwayat maupun legendanya, kultur China
mengenal dua kecakapan utama yang dapat diraih manusia: “bun” dan “bu”.

Yang satu ilmu “surat” (sastra) dan yang lainnya ilmu
“silat”(kanuragan/militer). Dalam dua dunia itu berlaku pemeo “tidak ada
nomor satu dalam bun”(karena siapa yang dapat menentukan karya sastra
nomor satu), dan “tidak ada nomor dua dalam bu” (karena pesaing sudah
mati oleh pesilat paling tangguh). Ajaran moral itu berhasil membagi
dengan cermat kecenderungan idealistis dan pragmatis dari manusia.

“ Bun” adalah perkara-perkara yang menyangkut idea,dunia abstrak dan
simbolik seperti sastra, ideologi, agama, ilmu, juga politik. Sementara
“bu”adalah dunia yang mewakili kecenderungan praktis-pragmatis, yang
konkret dan material, seperti silat, militer, dagang,dan sebagainya.
Masalah terjadi ketika dunia berkembang semakin mengutamakan penumpukan
fasilitas dan ukuran-ukuran yang praktis-pragmatis- material.

Dunia “bun” bukan hanya kian tertekan, bahkan terkooptasi, dan akhirnya
diperalat sebagai arsenal, dalam kekuasaan misalnya. Urusan politik dan
pemerintahan yang sebenarnya berada di wilayah moral “bun”— tempat “tak
ada nomor satu” dan respek menjadi etos utama—pada akhirnya mengeras
menjadi konflik terbuka,bahkan secara fisik. Karena politik kemudian
diperalat oleh kaum “bu” yang tetap mempertahankan moralitas “tak ada
nomor dua” lewat kekerasan fisikalnya.

Kaum ksatria mengambil alih otoritas politik dan melakukan hegemonisasi
lewat caranya yang keras. Kekacauan standar- standar hidup pun terjadi,
karena pertentangan keras sudah terjadi di dalam tubuh kekuasaan –bahkan
di level rendah sekalipun— itu sendiri.

Kasta Pangreh Praja

Maka, ketika SBY, selaku capres mengatakan dirinya adalah “ksatria”
dalam sebuah pidato publik, untuk menjelaskan bahwa dia mendapat banyak
serangan dan tidak membalasnya, bisa dikatakan benar dan keliru sekaligus.

Benar, dia memang ksatria (mantan perwira tinggi) dan menjadi pemimpin
karena tradisi keksatriaan dari kerajaan konsentris kita,termasuk juga
yang dipahami presiden pendahulunya, mantan presiden Soeharto. Namun dia
keliru, bila sebagai ksatria dia tidak “membalas” serangan yang tertuju
padanya. Seorang ksatria harus membalas dan menang, sebagaimana etos itu
diajarkan oleh tradisi. Jadi lebih keliru bila sebagai pemimpin nasional
dia “membalas”serangan itu. Karena terdapat jarak yang menentukan,antara
posisi puncak sebagai pemimpin nasional dengan takdirnya sebagai elite
dari kasta ksatria.

Bisa jadi inilah absensi dalam paradigma/tradisi berpolitik kita. Tidak
ada kasta khusus bagi mereka yang “memerintah negara”, yang menjadi
politikus, jadi negarawan. Seseorang tidak cukup menjadi ksatria untuk
jadi “pemerintah” atau negarawan. Dia harus memiliki beberapa kapasitas
dan kapabilitas tersendiri untuk mencapainya. Setidaknya sebuah
komprehensi yang “melampaui” logika atau disiplin keksatriaannya.
Melihat manusia, bangsa, sejarah dan masa depannya secara lebih
utuh,multidimensional.

Untuk kita bisa menggunakan istilah berbeda, kasta baru, bisa diletakkan
antara brahmana dan ksatria, yang menempatkan seorang politikus—tepatnya
negarawan— hanya seurat di bawah kebijaksanaan nonduniawi dari seorang
brahman.Katakanlah untuk sementara—sebelum ada yang lebih tepat—istilah
pangreh praja atau pangembating praja kita gunakan untuk posisi atau
kasta itu. Sebuah kasta baru yang tidak mencampuradukkan kebijaksanaan
dan kebijakan yang idealistis dan visioner dengan ambisiambisi pragmatis
yang material dan temporer.

Dengan posisi ini, seorang pemimpin tidak berhenti dalam wacana,
retorika, dan romantika karena pribadinya yang sudah mampu meng”atas”i
kepentingan sektoral dan kecenderungan personalnya. Ia menjadi jabatan
puncak, yang diraih lewat cara yang meritokratik, bukan sebuah takdir
yang dibawanya sejak lahir. Karena tak ada manusia yang ditakdirkan
selamanya menjadi sudra,waisya, maupun ksatria.

Semua berpeluang menapaki jenjang yang lebih tinggi, hingga menjadi
pangreh atau pangembating. Sebuah jenjang yang menuntut tanggung jawab
dan kemampuan sangat tinggi, bahkan bukan sekadar “bun” dan “bu”.

Jenjang yang seharusnya ditempati oleh seorang pemimpin,seorang
presiden. Adakah sang pemenang nanti ada di jenjang itu? Anda semua,
juga sejarah, yang akan mencatat dan membuktikannya.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253582/
Share this article :

0 komentar: