Legitimasi SBY dan Harapan Pemilih
Reformasi konstitusi telah menempatkan pemilih Indonesia pada kedudukan
yang lebih berdaulat dalam menentukan pemimpinnya. Sudah dua kali bangsa
Indonesia memilih langsung pasangan presiden dan wakil presiden.
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 dilaksanakan dua babak karena tidak
ada pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) yang
berhasil ditetapkan sebagai presidenwapres terpilih pada babak pertama.
Selain baru pertama kali pemilih menggunakan haknya dalam pilpres
langsung,pasangan caprescawapres pada Pilpres 2004 berjumlah lima.
Kondisi ini mengakibatkan suara pemilih tersebar sehingga pasangan
capres-cawapres peringkat pertama hanya didukung suara pemilih sebanyak
33,57% dan pasangan peringkat kedua didukung 26,60%. Konstitusi
mengharuskan pilpres babak kedua yang kemudian dimenangkan oleh pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan M Jusuf Kalla (JK). Pilpres 2009
berbeda.
Caprescawapres yang berkompetisi hanya tiga pasang.Menurut hitungan
matematis dengan distribusi normal, masing-masing pasangan akan
memperoleh dukungan suara sekitar 30%.Namun, berbagai hasil hitung cepat
menunjukkan pasangan SBY-Boediono langsung memperoleh dukungan 60-an
persen suara sah dalam babak pertama pilpres.
Keberhasilan ini tidak memerlukan pilpres babak kedua (majority-runoff)
kalau mencapai lebih dari 50% suara pemilih di separuh jumlah provinsi,
dan paling sedikit mencapai 20% suara di tiaptiap provinsi tersebut
(Pasal 6A ayat (3) UUD 1945). Apa arti kemenangan ini? Pertama,
keberhasilan SBYBoediono memenangi pilpres dalam satu babak telah
mengukuhkan legitimasi kepresidenan 2009–2014.
Legitimasi ini lebih berkualitas daripada kemenangan SBY meraup 60%
suara pada babak kedua Pilpres 2004 (waktu itu berpasangan dengan Jusuf
Kalla). Lebih berkualitas karena dihasilkan langsung dari babak pertama
dan bukan merupakan hasil akhir dari bekerjanya sistem
plurality-majoritypada pilpres dua babak (two-round presidential
election). Kedua, pemilih langsung memilah pasangan caprescawapres dan
menentukan pilihannya sehingga SBY-Boediono berhasil memenangi pilpres
dalam satu babak.
Mungkin benar untuk mengatakan, ketokohan capres-cawapres begitu
menentukan dalam pilpres langsung. Selain itu, pemilih Indonesia telah
menunjukkan otonominya sehingga tak ingin bertele-tele dengan “membuang”
Rp4 triliun dalam pilpres babak kedua. Ketiga,SBY-Boediono memiliki
keuntungan ganda dalam menyusun kabinetnya.
Dia sebagai incumbent dan memiliki waktu lebih banyak menyiapkan kabinet
baru bersama mitra koalisi (dari awal Juli hingga Oktober
2009).Kesempatan ini tidak dimiliki SBY di tahun 2004.Ketika itu dia
bahkan menunda pengumuman kabinetnya. Kini legitimasi dan modal dasar
kepresidenan SBY-Boediono justru diperoleh karena meningkatnya
harapan-harapan massa pemilih.
Saya kira citra SBY-Boediono yang dibayangkan oleh massa pemilih bukan
lagi sosok yang perlu mendapat simpati karena dizalimi atau dipojokkan
oleh lawan-lawan politiknya. Keterpilihan SBY-Boediono dalam satu babak
membuktikan keberhasilan pencitraan sebagai sosok yang memberikan uang
bantuan langsung tunai (BLT),atau membagikan beras untuk keluarga miskin
(raskin), jaminan kesehatan, dan bahkan anggaran pendidikan sebesar 20%
APBN (meski sebetulnya merupakan mandat konstitusi).
*** Kemenangan SBY-Boediono dalam pilpres satu babak harus segera
dibuktikan dengan kemampuan mengatur perilaku mitra koalisi dalam
membentuk kabinet. Keleluasaan SBY karena berpasangan dengan Boediono
sebagai wapres yang bebas dari kepentingan partai politik tidak
membebaskannya dari tuntutan mitra koalisi.
Dinamika politik dalam tiga bulan ke depan akan membuktikannya.
Pendukung resmi SBY-Boediono pada Pilpres 2009 jauh lebih banyak dari
tahun 2004,baik dalam hal jumlah partai maupun dukungan suara.
PKS,PPP,PAN, dan PKB akan menuntut bagian karena telah mengurangi lawan
politik SBY dengan cara mendukung pencalonannya, meski Partai Demokrat
memiliki suara terbesar (20%).
Sedikit banyak hal ini sekaligus menjadi faktor yang melemahkan
tingginya legitimasi SBY dalam Pilpres 2009.Apa boleh buat.Pencitraan
dirinya harus dinyatakan sesuai harapan pemilih yang telah
memenangkannya dalam satu babak. Karena itu, SBY membutuhkan dukungan
koalisi untuk mengamankan kebijakan pemerintahan.
Kohesi legislatif berupa koalisi 63% suara di parlemen yang mendukung
SBY-Boediono akan menentukan efektivitas pemerintahan presidensial dalam
memenuhi harapan pemilih. Berarti, dua persoalan dasar harus segera
diselesaikan SBY dalam menyusun kabinetnya. Di satu sisi,dia harus
menjaga kohesi legislatif dengan mengakomodasi mitra koalisi dalam kabinet.
Di sisi lain, SBY harus mampu menentukan pembantu-pembantu profesional
yang menjanjikan kemampuan pemerintahan dalam mewujudkan pencitraan diri
dan memenuhi harapan-harapan pemilih. Persoalan tersebut tak jauh
berbeda dari tahun 2004. Dia sendiri waktu itu menjanjikan kabinetnya
akan diisi oleh kalangan profesional (kabinet ahli) dengan kohesi
dukungan politik.Namun, keinginan SBY terbukti tak terpenuhi.
Dia harus lebih banyak berkompromi, di antara faktornya yang menonjol
adalah karena Partai Demokrat hanya meraup sekitar 7% suara (10% kursi
parlemen), pendukungnya meluas dalam babak kedua Pilpres 2004 (Koalisi
Kerakyatan) dan Wapres Jusuf Kalla cukup powerful dalam memainkan kartu
politiknya.
Sekarang, meski Partai Demokrat memiliki basis suara atau kursi parlemen
berlipat tiga dibanding tahun 2004m, pendukung resmi SBY juga meningkat.
Pasti SBY akan memperhitungkan realitas politik ini.Sudah bagus kalau
SBY berhasil menerapkan fifty-fifty formula dalam komposisi kabinet:
separuh berisi kalangan profesional dan separuh dari partai koalisi.
Formula itu mungkin sudah dibayangkan SBY ketika dia kukuh memilih
Boediono sebagai cawapresnya. Sebagai teknokrat profesional, Boediono
diharapkan mampu mengatasi persoalan ekonomi di tengah krisis global
(konon dampaknya akan lebih terasa pada awal pemerintahan SBY-Boediono).
Dream team di bidang ekonomi akan “ditentukan sendiri” oleh SBY-Boediono
(termasuk investasi, infrastruktur, dan sumber daya), ditopang oleh
kendali SBY terhadap portofolio di bidang politik dan keamanan (seperti
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan).
Namun, di sisi lain, merawat koalisi bukan merupakan perkara
mudah.Selain faktor besar seperti kultur politik, para pimpinan partai
koalisi sudah mengangankan tantangan lebih dinamik menuju Pilpres 2014,
sedangkan SBY “sudah berakhir”. Kabinet yang solid bersama mitra koalisi
dengan kohesi legislatif yang menjamin kebijakan pemerintahan merupakan
jaminan kelembagaan yang penting bagi efektivitas pemerintahan
SBY-Boediono.
Di sinilah tantangan SBY sepanjang tahun 2009–2014, yaitu menjalani dan
mengakhiri kepresidenannya dengan lebih baik. Setelah dia memilih figur
wapres Boediono yang disebutnya loyal dan dikampanyekan bersama sebagai
“tidak memperkaya diri”, maka sorotan akan tertuju langsung pada faktor
kepemimpinan SBY (presidential leadership).(*)
Mohammad Fajrul Falaakh
Dosen Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253749/
Legitimasi SBY dan Harapan Pemilih
Written By gusdurian on Sabtu, 11 Juli 2009 | 13.53
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar