BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemilihan Presiden dan Politik Primordial

Pemilihan Presiden dan Politik Primordial

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.52

Pemilihan Presiden dan Politik Primordial

*Saiful Mujani*

# PENELITI LEMBAGA SURVEI INDONESIA

Politik primordial adalah politik yang tumbuh dan berkembang atas nama
asal-usul sosial individu atau kelompok, seperti ras, suku, kedaerahan,
agama, dan lain-lain. Semua orang punya asal-usul ini bukan karena
pilihan, melainkan merupakan takdir hidup. Orang atau kelompok mengejar
kekuasaan atas dasar kesamaan asal-usul atau secara sadar mengakui
keberagaman asal-usul tersebut dan kemudian menghimpunnya menjadi
kekuatan bersama. Bukan atas pertimbangan kemampuan, tanpa
mempertimbangkan asalusul itu sebagai faktor utama (meritokratisme).

Dalam masyarakat kita, salah satu bentuk politik primordial adalah
politik aliran: sikap dan perilaku politik yang tumbuh dan hidup dari
keyakinan atau paham keagamaan. Diyakini bahwa dalam masyarakat kita ada
dua aliran keagamaan (Islam) utama: santri dan abangan. Yang pertama
dinilai taat menjalankan perintah agama Islam; yang kedua dinilai tidak
atau kurang.

*Politik elektoral*

Pada 1950-an, kaum santri membangun dan mendukung partai-partai Islam,
seperti Partai NU dan Masjumi; kaum abangan partai-partai “nasionalis”,
seperti PNI dan PKI. Tema dikotomis “Islam” vs “nasionalis” mungkin
kurang pas. Yang lebih pas mungkin “partai-partai sekuler” versus
“partai-partai Islam”. Pada 1950-an, kekuatan partai Islam sekitar 43
persen di tengah- tengah penduduk yang hampir semuanya beragama Islam.
Ini mengindikasikan bahwa, sejak awal politik kepartaian, umat Islam
umumnya berorientasi politik sekuler. Setelah 44 tahun (pada Pemilu
1999), dukungan terhadap partai-partai Islam menurun menjadi sekitar 37
persen. Ini pun kalau PKB dan PAN dimasukkan dalam kelompok partai
Islam. Dalam Pemilu 2004, kekuatan partai Islam tidak banyak berbeda
dengan hasil Pemilu 1999. Tapi, pada Pemilu 2009, kekuatan partai Islam
merosot cukup tajam, menjadi sekitar 26 persen.

Politik Islam/santri semakin menurun dalam 60 tahun perjalanan bangsa
kalau dilihat dari perkembangan politik kepartaian. Politik aliran
menjadi semakin tidak penting di tengah-tengah umat Islam yang kelihatan
semakin taat menjalankan agamanya, di tengah-tengah jilbab dan baju koko.

Semakin tidak signifikannya politik santri ini terlihat lebih jelas
dalam politik presidensial, yakni pilihan warga atas caloncalon presiden
dalam pemilihan presiden. Pada pemilihan presiden 2004, ada dua calon
yang biasa diidentifikasi sebagai calon santri, yakni Amien Rais dan
Hamzah Haz. Dalam pemilu tersebut, Hamzah Haz mendapat suara sekitar 5
persen, dan Amien Rais sekitar 14 persen. Keduanya tersisih di putaran
pertama. Yang masuk putaran kedua, SBY dan Megawati, biasa dianggap
sebagai tokoh dari kaum abangan. Sekali lagi, politik Indonesia dikuasai
oleh tokohtokoh abangan di tengah-tengah lautan jilbab dan baju koko.

Tapi, menjelang pemilu presiden 2009, sejumlah elite dan partai berusaha
melawan arus politik elektoral Indonesia yang semakin menjauh dari
konsep politik aliran tersebut. Amien Rais, misalnya, menjelang
deklarasi calon presiden- wakil presiden SBY-Boediono, secara
terangterangan menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY
karena pilihan terhadap ekonom ini bertentangan dengan pakem klasik
politik Indonesia. Memilih Boediono berarti mengabaikan aspirasi umat
Islam dan representasi luar Jawa. Sejumlah elite PKS juga beretorika
dengan bahasa yang sama. Dikatakan bahwa pemilihan Boediono sebagai
calon wakil SBY tidak menampung aspirasi politik umat Islam.

*Menjelang pemilu presiden*

Tidak sedikit pula pengamat sosial-politik yang masih terpaku pada
konsep politik aliran ini. Tiap calon presiden dan wakil presiden
dipreteli asal-usulnya, bahkan anak-istrinya, apakah mencerminkan
kombinasi aliran atau tidak. JK, misalnya, ditafsirkan lebih mewakili
umat Islam karena lebih santri, pernah menjadi aktivis HMI, misalnya.
Asal sukunya Bugis dan daerahnya wilayah timur Indonesia. Istrinya
berasal dari wilayah barat Indonesia. Wakilnya, Wiranto, lebih mewakili
kaum abangan dan etnis Jawa. Tapi istrinya dari daerah timur Indonesia
(Gorontalo) dan mencerminkan kaum santri. Karena kombinasi- kombinasi
seperti ini dalam pasangan JK-Wiranto, tim suksesnya menyebut pasangan
ini “Pasangan Nusantara”.

Justifikasi bahwa perilaku keagamaan masyarakat sangat penting dalam
menentukan pilihan, Wiranto secara eksplisit menyatakan bahwa istri
pasangan JK-Wiranto ini berbeda dengan istri pasangan SBYBoediono,
karena istri JK-Wiranto berjilbab, sedangkan istri SBY-Boediono tidak.
Apa yang diharapkan dari ungkapan itu adalah menarik pemilih muslim,
karena jilbab dinilai positif dan penting secara politik. Jilbab sebagai
bahasa politik juga digunakan sebagian elite PKS ketika mereka melakukan
bargaining untuk menolak Boediono sebagai calon wakil presiden bagi SBY.

Walaupun tidak bertumpu pada konsep aliran, pasangan Mega-Prabowo
dinilai cukup mencerminkan keberagaman Nusantara. Keduanya dinilai
abangan, tapi masingmasing berasal-usul dari suku bangsa dan daerah yang
cukup beragam. Mega adalah seorang putri dari pasangan Jawa- Bali
(ayahnya) dan Bengkulu (ibunya). Sedangkan Prabowo berasal dari seorang
ayah Jawa dan ibu Manado, abangan dan Katolik. Jadi lebih mencerminkan
keberagaman dibandingkan dengan pasangan SBY-Boediono.

Pasangan SBYBoediono dinilai sangat homogen dari sisi aliran politik,
suku bangsa, dan kedaerahan. Keduanya dianggap berasal dari kaum
abangan, etnis Jawa, dan daerah Jawa Timur. Bahkan Jawa Timur
“pedalaman” atau “Majapahitan”. Pilihan SBY terhadap Boediono, menurut
Amien Rais, bertentangan dengan pandangan yang sudah baku atau klasik
tentang pembelahan politik Indonesia.

Indonesia. Amien dan politikus-politikus lain, serta para pengamat
politik yang berkacamata politik primordial, mungkin benar bahwa
pasangan SBY-Boediono mengabaikan pakem klasik politik Indonesia. Namun,
validitas klaim tersebut tidak terlihat dalam politik kepartaian dan
dalam pemilu presiden 2004.

Apa yang dianggap sebagai pakem klasik politik Indonesia mungkin sudah
luntur; tak mampu lagi menangkap dinamika sosial-politik yang sedang
terjadi di masyarakat kita. Sekularisasi politik sedang berlangsung
dalam masyarakat. Pada 1950-an, sekularisasi ini belum sekuat sekarang
meskipun mayoritas kekuatan politik di parlemen sekuler (PNI, PKI, PSI,
dan sejumlah partai kecil lain). Sekularisasi pada 1950-an lebih
ideologis, terutama karena pertarungan ideologi politik yang tajam dalam
konteks Perang Dingin, terutama antara Islam dan PKI. Pengaruh
pertentangan ideologi ini berakar kuat dalam masyarakat, di mana santri
versus abangan sangat kuat, setidaknya kalau kita baca karya tahun-tahun
itu.

Sekarang sekularisasi politik berlangsung dalam pengertian bahwa
masyarakat membedakan kehidupan individual dan sosial dari kehidupan
politik. Polarisasi politik kurang ideologis. Ideologi politik sudah
mati. Sejak Orde Baru hingga sekarang kita tidak bisa membedakan
ideologi partai-partai politik tersebut. Deideologisasi politik ini
dipercepat oleh Orde Baru, yang pada dasarnya anti-ideologi dan
antipolitik dalam arti tidak menoleransi kebebasan dan keberagaman
kekuatan politik. Tapi, di sisi lain, Orde Baru mendorong pembangunan
kehidupan keagamaan di tingkat individu, keluarga, dan organisasi
sosial. Berhenti sampai di situ. Maka kesalehan individual berkembang
dan terpisah dari kekuatan politik.

Tempaan Orde Baru ini membentuk sekularisasi politik sekarang. Kita
melihat muslimah-muslimah seperti istri Wiranto atau JK yang
berkerudung. Tapi partai mereka bukan PKS atau PPP, melainkan Hanura
atau Golkar, yang bukan partai Islam; tidak banyak berbeda dengan
Demokrat atau PDI Perjuangan. SBY-Boediono, yang dianggap kurang santri,
justru didukung oleh partai-partai Islam (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB, PBR,
dan lain-lain). Pertimbangan politik murni, misalnya keyakinan akan
peluang menang lebih besar, lebih dikedepankan.

Bila pemilu presiden 2009 dimenangi pasangan SBY-Boediono, politik
aliran dan lebih luas lagi politik primordial akan menjadi semakin tidak
penting. Polarisasi agama, etnik, dan wilayah tidak lagi menjadi basis
sosial untuk kepemimpinan nasional. Mungkin ia telah digeser oleh
wawasan baru tentang makna agama dan wawasan Nusantara. Saleh secara
individual dan sosial, dan tetap menjaga semangat kedaerahan secara
sosial, tapi lebih mengedepankan pertimbangan yang lebih inklusif,
beyond primordialisme, adalah faktor-faktor dalam menentukan
kepemimpinan nasional. Memilih SBY-Boediono mungkin bukan karena
sentimen kejawaan atau kejawen menguat, melainkan mungkin karena
persepsi pemilih bahwa pasangan ini lebih baik untuk memimpin Indonesia
menurut meritokratisme. Apakah akan begitu pemilih kita pada pemilu
presiden 2009? Kita lihat.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/10/Opini/krn.20090710.170613.id.html
Share this article :

0 komentar: