Budaya Politik Santun ala Kalla
Oleh: Ardhie Raditya MA
*HINGGA* detik ini, /quick count/ perolehan suara sementara pilpres 8
Juli lalu masih menempatkan capres-cawapres SBY-Boediono (60 persen) di
atas suara kontestan lainnya; Mega-Pro (28 persen) dan JK-Win (10
persen). Meski bukan hasil akhir resmi KPU, akurasinya dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Karena itu, tidak heran jika
ucapan selamat kepada SBY pun berdatangan silih berganti.
Salah satunya dari Jusuf Kalla (JK), salah satu kompetitor SBY dalam
pilpres. Kemarin malam, JK dengan rendah hati dan penuh kesatria
menyampaikan ucapan selamat kepada SBY atas kemenangannya. Sungguh, itu
merupakan fenomena politik yang mencengangkan dan ganjil di negeri kita.
*Kultur Superioritas*
Selama ini, masyarakat Indonesia dinilai banyak kalangan intelektual
sebagai masyarakat hipokrit. Mochtar Lubis pun pernah mengatakan dalam
buku /Manusia Indonesia/ (1999) bahwa manusia Indonesia pada umumnya
sulit menerima keterbatasan dirinya. Apalagi mereka yang berasal dari
Jawa. Seperti yang dikatakan Sudjiwo Tejo, budayawan asal Banyuwangi,
bahwa orang Jawa mudah menerima kekalahan (/legawa/) atas dirinya, tapi
sulit menyatakan kemenangan untuk orang lain.
Kultur masyarakat Bugis-Makassar pun setali tiga uang. Hasil riset
etnografis sosiolog asal Prancis Christian Pelras menunjukkan bahwa
masyarakat Bugis memiliki nilai-nilai superior. Hal itu terlihat dari
kultur /bissu/ (kuat atau pantang takluk) dan /siri/ (malu). Dengan
demikian, Pelras menegaskan bahwa dimensi kultural itulah yang membuat
masyarakat Bugis-Makassar selalu gigih saat berkompetisi. Kekalahan
berarti harus menanggung malu. Beban menanggung malu semakin berat jika
kekalahan tersebut dialami kalangan bangsawan Bugis (lihat /Regard
Nouveaux,/ karya Pelras, 2006).
Dengan melihat kultur nilai itulah, bisa dimengerti apabila pernyataan
seorang tim kampanye yang berisi tentang belum waktunya orang
Bugis-Makassar memimpin bangsa ini direspons sangat keras oleh mayoritas
masyarakat setempat. Hanya, reaksi keras itu terkadang di luar batas.
Dan, ini yang seharusnya dijadikan bahan refleksi kultur lokal itu sendiri.
Di Madura, kulturnya sedikit berbeda. Bagi masyarakat Madura, urusan
kalah-menang dalam sebuah kompetisi yang /fair/ tidak akan menimbulkan
penolakan atau pertentangan (/รง pa rammi/). Namun, jika kompetisi
tersebut berkaitan dengan urusan hidup dan mati untuk membela harga
diri, maka kekalahan adalah sebuah aib. Sehingga, kekalahan itu harus
ditentang dan dibela sampai mati (/engko' kodu mennang/) agar keluarga
maupun masyarakat sekitarnya tidak akan menganggap sebagai pecundang
(/kala'an, tako'an/) (lihat Latief Wiyata, /Carok,/ 2000; Mien Rifa'i,
/Manusia Madura,/ 2007).
*Pemicu Konflik*
Begitu kentalnya kultur superioritas masyarakat kita itulah yang,
tampaknya, telah merasuki ranah politik di negeri ini sekian tahun
lamanya. Akibatnya, politik kita selalu saja dianggap sebagai medan
pertarungan merebut kekuasaan dengan menghalalkan beragam cara. Kita
lihat saja sejarah rezim Orba yang dengan leluasa melakukan strategi
manipulatif dan represif untuk mempertahankan tampuk kekuasaan 32 tahun
lamanya.
Begitu dominatifnya kultur politik Orba sehingga Pramoedya Ananta Toer
begitu tegas mengatakan, pada masa itu jangan pernah mengharapkan ada
kata maaf atau kesantunan politik secara vertikal dan horizontal. Di
sanalah, epos politik yang kejam serta tidak berbasis etika dan estetika
peradaban dijalankan dengan penuh keyakinan.
Masyarakat pun secara tidak sadar disodori sebuah teladan negarawan yang
tak pantas dijadikan imam. Politik yang bersendi kultur superioritas
hanya menjadikan masyarakat sebagai agen kekerasan dan penuh kecurigaan
(/prejudice/). Mereka yang beda partai, kelas sosial, atau ideologi
dengan kaum mayoritas akan dijadikan musuh yang layak diberantas.
Itulah yang kemudian menjadi pemicu munculnya konflik-kekerasan
pascalengsernya Orba 1998 silam. Etnis Tionghoa yang secara kelas sosial
di atas masyarakat kita harus menjadi korban kekerasan tersebut. Sejarah
tragedi Muara Angke 1742 terulang kembali di masa akhir rezim Orba.
Bukan hanya Tionghoa, masyarakat pribumi pun turut menjadi korban.
Konflik etnis di Kalimantan (Dayak v Madura) dan kerusuhan Ambon adalah
buktinya.
Sentimen kultur superioritas itu pun kembali disulut saat demokratisasi
dijalankan. Kita tentu masih ingat kasus konflik antarmassa parpol di
Bali saat kampanye Pilpres 2004 dan kerusuhan Tapal Kuda-Jatim
pascakudeta politik 1999 silam.
*Kesantunan Politik*
Hampir sebagian besar kasus berdarah yang berdimensi politik di negeri
kita adalah buah egoisme, hipokritasi, dominasi, manipulasi, dan
superioriti di tingkat elite politik. Sikap dan perilaku elite politik
yang enggan bersikap rendah hati dan kesatria dalam akhir kompetisi
membuat bangsa ini terjerembab dalam keguncangan.
Sudah seyogianya, budaya superioritas di tingkat elite di ranah politik
tersebut dikikis hingga derajat yang paling minim. Tak ada kata
terlambat untuk itu. Setidaknya, dimulai sejak Pilpres 2009 ini. Siapa
pun capres yang berkompetisi harus bersikap rendah hati. Si pemenang
janganlah sombong, apalagi takabur.
Sementara itu, yang kalah tidak perlu malu, minder, atau menjadi
''gila''. Tak ada ruginya memberikan selamat kepada pemenang seperti
yang telah dipelopori JK-Win. Sikap negarawan seperti itulah yang
diperlukan bangsa ini ke depan. Sebab, itulah salah satu tolok ukur
elite politik yang rendah hati, empatik, altruistik, dan berjiwa besar.
Tentu, sikap seperti itu adalah basis kesantunan politik yang harus
dibudayakan mulai sekarang oleh para elite politik kita. Agar masyarakat
kita yang masih awam bisa mengambil pelajaran berharga dari sikap
keteladanan para elite politiknya.
Siapa berikutnya yang akan memberikan ucapan selamat dengan ikhlas
kepada sang capres pilihan rakyat? Kita lihat saja.
*/*) Ardhie Raditya MA,/*/ sosiolog FIS Unesa, penulis buku Tafsir
Konflik-Kekerasan (2009)
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79737
Budaya Politik Santun ala Kalla
Written By gusdurian on Sabtu, 11 Juli 2009 | 13.52
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar