BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » BSNP tidak Profesional

BSNP tidak Profesional

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.32

Oleh Hanif Nurcholis Dosen FISIP Univeritas Terbuka, Jakarta, dan
pengamat pendidikan


SESUAI dengan Pasal 67 PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
lembaga yang diberi tugas pemerintah untuk menyelenggarakan ujian
nasional (UN) adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Akan
tetapi, setelah melaksanakan tugasnya selama empat tahun, kinerja BSNP
sangat tidak profesional dilihat dari sisi legal, akademik, dan manajerial
Dilihat dari sisi legal dan akademik, BSNP tidak profesional karena
menyelenggarakan UN untuk mata pelajaran bahasa Indonesia tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Hal ini terjadi karena BSNP tidak memahami bahan
ajar bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 1994, KBK 2004, dan standar
isi 2006. Berdasarkan tiga dokumen kurikulum tersebut, bahan ajar bahasa
Indonesia bukan lagi kebahasaan, melainkan keterampilan berbahasa. Dalam
kurikulum 1994 bahan ajar bahasa Indonesia terdiri atas butir-butir
pembelajaran di bawah dua aspek: 1) pemahaman dan 2) penggunaan. Aspek
pemahaman mencakup keterampilan mendengarkan dan membaca, sedangkan
aspek penggunaan mencakup keterampilan berbicara dan menulis. Dalam KBK
2004 dan standar isi 2006 bahan ajar bahasa Indonesia terdiri atas
beberapa kompetensi dasar (KD) di bawah empat aspek keterampilan
berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Ketiga dokumen
kurikulum tersebut menempatkan bahan ajar kebahasaan hanya sebagai
pendukung keterampilan berbahasa
Dengan kurikulum yang menitikberatkan pada keterampilan berbahasa
tersebut, BSNP mestinya dalam menyelenggarakan UN Bahasa Indonesia
mengembangkan instrumen penilaian seperti yang dikembangkan Pusat Bahasa
Depdiknas yang dikenal dengan UKBI, uji keterampilan bahasa Indonesia,
yaitu menguji sejauh mana peserta didik menguasai kompetensi
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Ternyata, instrumen
penilaian yang dikembangkan BSNP bukan soal model UKBI, melainkan soal
konvensional berisi alat uji untuk mengukur pemahaman bacaan, tata
bahasa, ejaan, dan tanda baca
BSNP tidak menguji KD-KD dalam lingkup mendengarkan, menulis, dan
berbicara. KD-KD dalam lingkup mendengarkan dan berbicara penilaiannya
diserahkan kepada sekolah masingmasing, tapi hasilnya tidak dimasukkan
ke penentuan hasil akhir UN, sedangkan KD-KD dalam lingkup menulis diuji
dengan soal yang misleading alias tidak valid
Mengenai soal menulis, tampaknya BSNP tidak paham bahwa yang dimaksud
menulis dalam kurikulum 1994, 2004, dan 2006 adalah menuangkan gagasan
yang ada dalam otak peserta didik ke dalam bentuk tulisan di kertas atau
media lain (mengarang). Soal menulis yang dikembangkan BSNP bukan
mengukur kemampuan tersebut, tapi menguji kemampuan memahami
kaidah-kaidah penulisan dengan soal pilihan ganda. Instrumen penilaian
demikian jelas sangat tidak valid karena misleading
Jadi, sebenarnya semua hasil UN bahasa Indonesia yang diselenggarakan
BSNP sejak awal sampai tahun pelajaran 2008/2009 tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara legal dan akademis karena pertama tidak
mengacu ke kurikulum resmi (kurikulum 1994, KBK 2004, dan SI-SKL 2006)
dan kedua hanya menguji satu aspek (membaca) yang berarti hanya menguji
seperempat standar kompetensi lulusan
Ketidakprofesionalan BSNP kedua adalah dalam menangani kekisruhan
penyelenggaraan UN. Sejak awal, penyelenggaraan UN selalu dilekati
dengan ‘mafi a kecurangan UN’: pembocoran soal; ‘penyuksesan’ UN yang
melibatkan birokrat pendidikan, kepala sekolah, dan guru; dan jual beli
kunci jawaban. Dalam menangani ‘mafi a kecurangan UN’ tersebut, BSNP
tidak mencari akar masalahnya lalu membuat kebijakan terapis manajerial
dan pedagogis, tapi malah mencari kambing hitam. UN ulang adalah salah
satu contohnya
Menurut BSNP, UN harus diulang karena jawaban siswa berpola sama
sehingga dapat dipastikan soal tersebut dikerjakan bersama-sama
Cara berpikir BSNP tersebut jelas mengikuti logika yang keliru karena
BSNP membangun dalil sebagai berikut. ‘Mengerjakan soal UN dengan pola
jawaban yang sama dalam satu sekolah adalah perbuatan curang. Semua
siswa di sekolah x mengerjakan UN dengan pola jawaban yang sama. Oleh
karena itu, semua siswa di sekolah x curang. Karena semuanya curang,
harus dihukum dengan mengulang UN’. Jelas, ini logika deduktif yang
sesat karena menyamakan pola jawaban yang sama dengan kecurangan siswa.
Padahal, ini baru indikasi. Kalau baru indikasi, perlu investigasi untuk
pembuktian
Setelah ada bukti, baru punishment. Dalam hal ini, sebenarnya BSNP
melakukan kesalahan fundamental karena menetapkan asumsi yang dijadikan
proposisinya bukan substansinya
Perlu disampaikan bahwa premis mayor dan minor sesuai dengan
substansinya bukan seperti di atas, melainkan sebagai berikut. “Semua
birokrat pendidikan dan guru harus meluluskan 100% UN. Birokrat
pendidikan dan guru yang tidak mencapai target tersebut akan diberi
sanksi. Supaya tidak diberi sanksi, birokrat pendidikan dan guru harus
‘meluluskan’ siswa dalam UN”
Jadi, substansi masalah tidak terletak pada siswa yang membuat pola
jawaban sama, melainkan pada kebijakan taktis menerabas yang diambil
dinas pendidikan dan sekolah demi ‘reputasinya’ dan ‘masa depan siswa’.
Subjeknya adalah birokrat dinas, kepala sekolah, dan guru yang
bersangkutan. Siswa hanyalah objek atas kebijakan taktis menerabas tersebut
Oleh karena itu, sangat tidak logis jika BSNP justru menghukum siswa
yang tidak tahu apaapaKalau BSNP profesional, dalam menangani masalah
tersebut, ia akan berpijak pada kaidah manajemen, pendidikan, dan hukum.
Jika ia menemukan kecurangan, pertama kali yang harus diperiksa adalah
bagaimana implementasi standard operating procedures dan self guard
mechanism-nya baik internal maupun eksternal
Jika di sana ditemukan penyimpangan yang disengaja, pelakunya diberi
sanksi. Jika pada aspek ini tidak ditemukan penyimpangan, investigasi
diarahkan ke siswa. Jika ditemukan siswa melakukan kecurangan, hanya
siswa yang curang inilah yang diberi sanksi, tidak semua siswa
Dengan makin karut-marutnya UN tersebut, sudah saatnya pemerintah
meninjau ulang UN
Kalau UN tetap dipertahankan, ada baiknya dilakukan penyegaran anggota
BSNP agar lebih perform sehingga tidak ada jatuh korban lagi (siswa).
BSNP dengan anggota baru hendaknya lebih mengutamakan peran ketimbang
menonjolkan wewenang sebagaimana ditampilkan anggota BSNP saat ini.
Dengan demikian, kehadirannya akan diapresiasi karena menjadi bagian
dari lembaga yang memperkuat upaya peningkatan mutu pendidikan, bukan
lembaga yang memperuwet penyelenggaraan pendidikan atas nama peningkatan
mutu

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/07/10/ArticleHtmls/10_07_2009_021_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: