BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.55

Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Sejatinya para pendukung SBY-Boediono, dengan mengacu pada hasil quick
count yang menyatakan mereka sebagai pemenang, sedang berancang- ancang
untuk berbagi jatah menteri di kabinet.


Tak perlu heran,setelah memenangi pilpres, langkah yang sudah seharusnya
dilakukan oleh tim pemenang memang membentuk pemerintahan. Tapi bukan
masalah bancakan kekuasaan itu yang hendak diangkat dalam tulisan ini;
melainkan soal sikap pemilih dalam menentukan pilihannya pada 8 Juli
lalu.Beberapa kawan bertanya,kenapa JK-Wiranto mendapat suara yang tidak
signifikan, padahal dalam setiap debat capres Kalla selalu tampil bagus?

Dalam hal penguasaan panggung debat bahkan JK bisa dikatakan mampu
mengalahkan SBY,tapi mengapa perolehan suaranya tidak bisa melampaui
SBY? Sebaliknya untuk Megawati, dalam tiga kali debat dia selalu tampak
ketinggalan dari Kalla ataupun SBY; tetapi perolehan suaranya justru
melampaui Kalla. Lebih dari itu, pasangan Mega- Prabowo seakan-akan
mengambil suara Kalla lebih banyak ketimbang suara SBY.

Jika demikian, apakah benar debat capres tidak memberi pengaruh penting
dalam perolehan suara? Toh suara untuk pasangan SBY-Boediono relatif
bertahan dengan jumlah yang banyak diramalkan lembaga-lembaga survei
sebelum pilpres, yaitu sekitar 60%. Bagaimana kita menjelaskan kenyataan
ini?

Empat Model Keputusan

Debat capres,seperti juga iklan politik, adalah bagian dari kampanye
pilpres.Seperti kita ketahui, kegiatan utama kampanye pilpres adalah
pemberian informasi sebanyak- banyaknya dari masingmasing kandidat untuk
para calon pemilih. Informasi di sini mencakup visi, misi, dan program
di samping jati diri dan rekam jejak masing-masing kandidat.

Dalam proses pemilu/pilpres, informasi itu adalah dasar bagi pemilih
untuk menentukan pilihannya. Kita sudah mafhum bahkan jauh sebelum masa
kampanye, para calon pemilih sudah mendapatkan informasi mengenai keenam
capres/cawapres. Semakin dekat ke hari pemilihan, semakin banyak
informasi yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber,termasuk dari lima
kali debat.

Terkait dengan pengumpulan dan pengolahan informasi, ada empat model
pengelolaan informasi yang lazim terkaji di kalangan pemilih untuk
menentukan pilihan (Lau & Redlawsk, 2006). Pertama, model dispassionate
decision making. Dalam model ini pemilih secara aktif mencari informasi
sebanyak mungkin baik yang positif maupun yang negatif dari ketiga
pasangan capres-cawapres. Setelah mempertimbangkan secara rasional semua
informasi yang diterimanya, pemilih dengan model pengolahan seperti ini
selanjutnya menentukan pilihan.

Dasar penentuannya adalah kepentingan dirinya sendiri, bukan atas
keberpihakan atau desakan dan tekanan siapa pun. Itulah mereka pemilih
yang independen. Kedua, model confirmatory decision making. Pemilih
dengan pengolahan informasi model ini cenderung mencari informasi yang
bersifat meneguhkan pilihan yang sudah dimilikinya. Hal ini dilakukannya
karena mereka ingin struktur kognisinya selalu berada dalam kesetimbangan.

Untuk itu mereka hanya mencari informasi yang mendukung pilihannya dan
menghindari informasi yang dianggap membebani pikiran. Model ini banyak
dialami oleh pemilih yang memiliki kedekatan emosional dengan salah satu
kekuatan politik (capres/cawapres) yang didukungnya. Ketiga, model fast
and frugal decision making.Sekalipun pemilih dengan pengolahan informasi
model ini aktif mencari informasi mengenai ketiga pasangan, tapi
pencarian informasi difokuskan pada informasi tertentu yang terkait
langsung dengan pilihan yang telah dimilikinya.

Mereka bertindak efisien dalam mencari informasi. Satu dua informasi,
yang positif atau negatif, sudah dianggap cukup dalam menentukan
pilihan. Kalangan pebisnis yang supersibuk cenderung menjadi pemilih
model ini. Keempat, model intuitive decision making. Bagi mereka yang
lebih suka memakai stereotip, skemata, penilaian sepihak, dan enggan
mendalami informasi yang dimilikinya, termasuk ke dalam model keempat ini.

Dalam model ini terjadi cognitive shortcut di kalangan pemilih mengenai
masingmasing capres dan cawapres. Jangan salah,model ini tidak hanya
terjadi di kalangan awam, melainkan juga bisa terjadi pada kaum
elite.Termasuk ke dalam pola pikir yang menelantarkan asas rasionalitas
ini adalah kepatuhan yang buta pada ajakan dan putusan pimpinan. Manakah
yang banyak terjadi di antara empat model di atas? Kecenderungan
utamanya adalah model yang kedua.

Rupa-rupanya para pemilih kita sudah punya kedekatan dan pilihan secara
emosional dengan salah satu pasangan sebagaimana telah banyak
diprediksikan, bahkan sebelum masa kampanye. Karena itulah kampanye
terbuka, pemasangan iklan, debat capres, dan pemberitaan di media massa
tidak terlalu banyak memengaruhi sikap pemilih. Kalaupun mereka menerima
informasi dari berbagai sumber itu, mereka hanya menggunakan informasi
yang meneguhkan pilihannya.

Itulah sebabnya tak mengherankan jika quick count menunjukkan kemantapan
angka pilihan konstituen terhadap masing-masing kandidat seperti sudah
diduga sebelum pelaksanaan pilpres itu sendiri. Kemantapan angka itu
juga terjadi karena ditopang oleh model pengolahan informasi yang
keempat. Umumnya,pemilih kita juga sangat suka dengan
stereotypingmengenai sosok (figur) pribadi masingmasing kandidat.Maka
beruntunglah kandidat yang mendapat stereotip positif atas sosok
pribadinya yang tampak gagah, tampan, dan santun.

Atas dasar itulah mereka memilihnya dan mendapat angka yang tinggi.
Adapun sosok-sosok yang dianggap biasa-biasa saja cenderung kurang
mendapat dukungan, sekalipun tampak cerdas. Pemilih kita tampaknya
kurang suka pada kandidat yang terbuka dan terus terang dalam menyatakan
pendapat (low context communication) ketimbang kandidat yang kalem dan
diplomatis (high context communication).

Masa Depan Pilpres

Apakah perilaku pemilih pada Pilpres 2009 ini akan terulang pada Pilpres
2014? Boleh jadi terlalu dini kita memprediksinya,tapi jika melihat
karakteristik pemilih kita yang emotional based itu maka tampaknya model
kedua itu masih akan berlaku dalam pilpres yang akan datang.

Pada umumnya pemilih kita mudah terikat secara emosional dengan kandidat
yang didukungnya.Lebih dari itu pemilih kita juga dikenal sebagai
pemilih yang “welas asih”kepada kandidatnya itu. Bahkan struktur kognisi
mereka merasa akan terganggu jika kandidatnya diserang atau diperlakukan
tidak adil.Faktanya, pemilih jenis ini masih menjadi lapisan terbanyak
di tengah masyarakat kita.

Dengan karakteristik pemilih seperti itu, modal intelektualitas dalam
bentuk kejelasan visi, misi, dan program serta risk taker bukan sesuatu
yang patut diandalkan pada pilpres selanjutnya.Yang penting bagi pemilih
irasional dan intuitif ini adalah kepiawaian membentuk hubungan
emosional dengan para calon pemilih.

Untuk yang terakhir ini penampilan yang good looking bisa dijadikan
salah satu kekuatan di samping strategi high context
communication.Siapakah yang muncul kelak? Kita tunggu!(*)

Ibnu Hamad
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253583/
Share this article :

0 komentar: