BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menyoal Sisi Negatif Quick Count

Menyoal Sisi Negatif Quick Count

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 12.12

Menyoal Sisi Negatif Quick Count
Oleh: Ismatillah A. Nu'ad*

*TENGAH* hari pada hari pilpres kemarin, beberapa lembaga survei telah
mengumumkan hasil /quick count/. Di antaranya, LSI (Mega-Pro 26,5
persen; SBY-Boediono 60,8 persen; JK-Win 12,6 persen), Lingkaran Survei
Indonesia (Mega-Pro 27,3 persen; SBY-Boediono 60 persen; JK-Win 12,6
persen), LRI (Mega-Pro 27,1 persen; SBY-Boediono 59,6 persen; JK-Win
12,6 persen), dan LP3ES (Mega-Pro 27,6 persen; SBY-Boediono 59,9 persen;
JK-Win 12,4 persen).

Dari keempat lembaga survei itu, jelas pasangan SBY-Boediono diprediksi
memenangi Pilpres 2009 satu putaran saja. Apa signifikansi hasil /quick
count/ tersebut terhadap pilpres yang proses penghitungannya baru akan
dimulai?

Di satu sisi, setidaknya hasil itu telah membuktikan wacana yang selama
ini berkembang, yakni persoalan pilpres satu putaran saja. Di sisi lain,
hasil survei tersebut jelas mengendurkan semangat para capres yang
berlaga. Meskipun /quick count/ bukanlah akhir karena masih sebatas
prediksi, sejujurnya hasil itu membuat /shock/ sebagian kalangan,
terutama pasangan capres dan pendukungnya.

Pertanyaan pentingnya, sejauh mana tingkat independensi sekian lembaga
survei yang melakukan /quick count/ tersebut? Apakah benar-benar
independen ataukah benar anggapan serta opini masyarakat umumnya selama
ini yang menyebut bahwa lembaga survei itu hanyalah kepanjangan tangan
kepentingan politik penguasa?

Hal itu penting dicermati supaya proses demokrasi dalam masyarakat tidak
dinodai kehadiran lembaga survei. Di satu sisi, lembaga survei memang
masih dibilang baru dan perannya oleh sebagian kalangan sangat
dibutuhkan. Di sisi lain, hendaknya kepercayaan tersebut tidak dinodai
oleh penggiat lembaga survei.

***

Selama ini, eksistensi lembaga survei muncul ke permukaan dan
popularitasnya sangat dominan di masyarakat. Survei-survei maupun
/polling-polling/ yang telah dilakukan, baik untuk pemilu legislatif
maupun pilpres sekarang ini, sejujurnya sangat memengaruhi opini publik.

Begitu pula, pada pemilu-pemilu lokal untuk memilih gubernur maupun
bupati, lembaga survei selalu berada di garda depan untuk melakukan
survei maupun /polling/. Pendeknya, semua lembaga survei naik daun dan
diminati tim-tim sukses, baik dari parpol maupun calon-calon pemimpin.

Tak kurang, tingkat popularitas lembaga survei juga dibarengi
kontroversi yang menyelimuti. Misalnya, masyarakat luas menganggap
lembaga tersebut tidak netral dari /politic of interest/ tim sukses
untuk memenangkan pemilihan. Selain itu, kinerja lembaga survei dianggap
hanya menjadi /the/ /opinion makers/, yang hendak memengaruhi pemilih
terhadap salah satu parpol maupun calon pemimpin.

Tak ayal, lembaga survei tidak malah menumbuhkan iklim demokratisasi
publik, melainkan menebar kebohongan publik lewat hasil-hasil survei
maupun /polling/ yang dibuat.

Di Amerika, sebagai negara bapak demokrasi, kontroversi lembaga survei
ternyata juga terjadi. Lembaga survei dianggap lebih tertarik pada
industrialisasi dan bisnis atau pembentukan opini publik dengan menarik
perhatian media massa ketimbang mengungkap opini publik yang sesungguhnya.

Salah satu lembaga survei terbesar di AS bernama Gallup Poll yang
dianggap sebagai /think-thank/ pembentuk opini publik lewat survei
maupun /polling-polling/-nya. Gallup ditengarai berselingkuh dengan
kekuasaan yang menginginkan tercapainya kesuksesan politik di Negara
Paman Sam.

Lewat buku berjudul /The Opinion Makers: An Insider Exposes The Truth
Behind The Polls/ (2008), misalnya, yang ditulis David W. Moore,
terbongkar kebobrokan lembaga survei itu. David adalah mantan orang
dalam Gallup Poll yang seakan-akan berbalik arah (/turn around/)
menguliti lembaga survei paling kontroversial tersebut.

Buku yang ditulis David nyaris mirip dengan karya John Perkins
(/Confession of An Economic Hitman/, 2005), yakni kesaksian orang dalam
yang mencoba ''bertobat'', lalu mendeskripsikan kebobrokan lembaga yang
semula menjadi tempat kerjanya.

David pernah bekerja di Gallup sejak Maret 1993 sampai April 2006. Pada
2008, buku /The Opinion Makers/ terbit kali pertama di AS dan langsung
direspons para penggiat lembaga-lembaga survei di sana. David dianggap
telah menjilat ludah sendiri karena mengisahkan kinerjanya selama ini.

Kontroversi Gallup Poll saat David masih bekerja adalah sewaktu Konvensi
Partai Republik. Saat itu, Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen
setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen sepuluh hari
berikutnya hingga akhirnya mengungguli elektabilitas Senator John Kerry
dari Partai Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.

***

Lembaga seperti Gallup Poll sebenarnya menjadi renungan bagi lembaga
survei di Indonesia supaya melakukan kinerja secara lebih profesional
dan bersikap independen. Di satu sisi, masyarakat Indonesia masih
membutuhkan lembaga survei. Di sisi lain, kepercayaan itu hendaknya
tidak dipersalahgunakan.

Sebab, bagaimanapun, Indonesia baru dua kali melaksanakan pemilu yang
benar-benar dilakukan secara langsung dan demokratis. Kiranya awal ini
tak dinodai dengan lembaga survei yang bekerja tidak profesional,
melainkan demi industrialisasi dan bisnis semata.

Hasil lembaga survei ditengarai membingungkan masyarakat. Kondisi
tersebut membuat masyarakat kurang percaya terhadap hasil survei yang
dinilai tidak independen lagi. Terbukti, sejumlah lembaga survei
terkesan ingin menggiring opini publik ke arah kontestan pilpres
tertentu. Padahal, hasil survei merupakan salah satu instrumen penting
dalam demokrasi. Karena itulah, sudah seharusnya hal tersebut tidak
dicederai oleh perilaku para penggiat lembaga survei.

Jika merasakan impresinya, secara perlahan masyarakat tampaknya mulai
sadar dan berhati-hati terhadap lembaga survei. Mereka lambat laun tak
mau terpengaruh lagi oleh opini publik yang ditebar lembaga survei.
Semoga ini akan menjadi titik di mana masyarakat benar-benar menjadi
demokratis dan lembaga survei akhirnya benar-benar bekerja secara
profesional dan independen. (*)

* /*). Ismatillah A. Nu'ad/ * /, peminat historiografi Indonesia modern,
tinggal di Jakarta/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79404
Share this article :

0 komentar: