BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemimpin Indonesia 2009–2014

Pemimpin Indonesia 2009–2014

Written By gusdurian on Sabtu, 11 Juli 2009 | 13.54

Pemimpin Indonesia 2009–2014

Akhirnya usai sudah agenda negara-bangsa (nation state) ini dalam
memilih pemimpinnya. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mengumumkan
hasil finalnya,berdasarkan laporan perkembangan perolehan suara yang
dilakukan baik oleh KPU maupun sejumlah lembaga survei yang
ada,menunjukkan pasangan SBY-Boediono dapat menyisihkan kedua pasangan
lainnya, yakni Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto.

Diberitakan pula bahwa JK telah memberikan ucapan selamat kepada
SBY-Boediono atas kemenangannya dalam Pilpres 8 Juli 2009 yang lalu
(Seputar Indonesia,10/7). Kepastian kemenangan di atas didasarkan pada
kenyataan bahwa hampir di setiap daerah pemilihan, baik di dalam negeri
maupun luar negeri, pasangan SBY-Boediono mengungguli perolehan suara
kedua pesaingnya di atas secara mencolok.

Kecuali di Bali untuk pasangan Megawati-Prabowo, dan Gorontalo, Sulawesi
Selatan serta Sulawesi Tenggara untuk pasangan JK-Wiranto,praktis
SBY-Boediono memenangkan lebih dari 60% suara sah yang mengikuti pilpres
tiga hari yang lalu. Apa arti kemenangan di atas dan apa yang akan
dilakukan oleh pemimpin baru Indonesia ke depan,tampaknya patut
dijadikan bahan renungan.

Meski ada berbagai persoalan utamanya kekisruhan daftar pemilih tetap
(DPT)– mau tidak mau,setiap kontes tentu akan menyisakan persoalan siapa
pemenang dan siapa yang kalah. Kalaupun ada keberatan terhadap
pelaksanaan serta hasilnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah bersedia
dijadikan mediumnya. Seperti yang sudah kita saksikan selama ini,lembaga
kenegaraan baru tersebut telah berhasil menyelesaikan berbagai sengketa
pemilu yang kita selenggarakan pada Rabu (9/7).

Makna Kemenangan

Bagi penulis, keberhasilan pasangan SBY-Boediono dalam pilpres lalu
bukanlah sebuah prestasi yang mengejutkan. Masalahnya, ada sejumlah
faktor positif yang secara niscaya lebih memihak kepada mereka ketimbang
kedua pasangan lainnya. Pertama, SBY adalah incumbent president, yang
posisinya tentu lebih baik dibandingkan Wakil Presiden JK dan mantan
Presiden Megawati.

Sebagai incumbent, SBY senantiasa ditunggu kehadirannya dalam berbagai
acara kenegaraan. Meski dalam masa tenang menjelang pilpres pun,tak ada
halangan bagi dia melakukan fungsi kenegaraannya. Kesempatan semacam
ini, baik secara langsung maupun tidak, dapat dimanfaatkan sebagai ajang
kampanye, atau paling tidak untuk menyosialisasikan dirinya kepada para
calon pemilih.

Kedua, sebagai incumbent president,SBY memiliki jaringan dan dukungan
yang lebih luas dibandingkan Mega dan JK.Terbukti,dia mampu “memborong”
simpati 24 partai menengah dan kecil, di samping Partai Demokrat
sendiri. Juga ditambah lagi oleh sejumlah jaringan pendukungnya yang
nonpartai, mulai dari kalangan profesional, agamawan, dan pengusaha.

Karena peran mereka itulah maka persoalan dana dan pelaksanaan kampanye
menjadi lebih ringan dibandingkan kedua rivalnya, JK dan Mega. Ditambah
lagi begitu tingginya aktivitas konsultan politiknya, citra keunggulan
SBY tidak hanya dieksploitasi melalui iklan di dalam negeri, tapi juga
lewat majalah Timeyang telah memilihnya menjadi salah satu dari 100
pemimpin yang paling berpengaruh di dunia.

Ketiga, masih kuatnya persepsi masyarakat terhadap pemegang kekuasaan.
Karena kekuasaan harus diwujudkan,maka yang memegangnya harus memiliki
kelebihan dibanding mereka yang dikuasai. Seorang pemimpin mesti
memiliki postur fisik dan cara berbicara yang jauh lebih menarik
dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Terutama dalam masyarakat Jawa, wibawa dan pesona seorang pemimpin
memiliki posisi khusus. Keduanya hanya ada pada seseorang yang
berperilaku tenang dan tidak “pecicilan” dan apalagi “petakilan” seperti
tokoh Cakil dalam dunia pewayangan. Ciri-ciri semacam itu ada pada
seorang SBY.

Keempat, semua kelebihan di atas,sebenarnya akan menjadi berkurang
artinya apabila secara empirik perkembangan sosial-ekonomi Indonesia
menjelang pelaksanaan pilpres dirasakan negatif oleh para calon pemilih.
Misalnya, karena sesuatu hal, stabilitas politik nasional agak
terganggu.Selain itu, elektabilitas dan popularitas SBY akan goyah
secara signifikan apabila terjadi gejolak ekonomi yang memperberat beban
rakyat.

Kenaikan nilai dolar yang sangat signifikan,inflasi yang sangat tinggi,
atau pengangguran yang kian menjadi-jadi akan menurunkan dukungan publik
terhadap SBYBoediono di satu pihak,sedangkan di pihak lain akan
mendongkrak pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto. Akan tetapi,
kendati seluruh persyaratan menang bagi seorang pemimpin ada pada SBY,
penulis sebelumnya tidak yakin bahwa SBY-Boediono akan dapat meraih
kemenangan lewat satu putaran saja.

Masalahnya, baik Mega-Prabowo maupun JK-Wiranto bukanlah wajah baru di
mata pemilih Indonesia. Semuanya pernah duduk di pemerintahan, baik di
lembaga militer maupun sipil.Apalagi JK, sampai sekarang masih tetap
menjadi Wakil Presiden.Jadi,agak berlebihan bila posisi mereka
diremehkan oleh Tim Sukses SBYBoediono.

Meskipun persyaratan yang mereka miliki untuk menjadi presiden dan wakil
presiden Indonesia 2009–2014 tidak selengkap SBYBoediono, masing-masing
pasangan tersebut mempunyai pengikut dan pengagum yang tidak
sedikit.Jadi,kalaupun harus kalah, mesti melewati dua putaran. Di
putaran pertama, paling tidak Mega-Prabowo mendapatkan 30% dan
JK-Wiranto 25%.

Ternyata prediksi itu meleset, justru SBY-Boediono yang secara
signifikan memperoleh kemenangan di atas 60%, sedangkan Megawati-Prabowo
mendapat 28% dan JKWiranto diprediksi memperoleh 14%.Kalaupun ada
sedikit penurunan tingkat keterpilihan SBY-Boediono, itu disebabkan cara
kampanye para tim suksesnya yang terlalu yakin akan posisi SBY,baik
secara terbuka maupun tertutup telah memandang enteng lawanlawan
politiknya, bahkan cenderung melakukan pembunuhan karakter dan menodai
prinsipprinsip demokrasi.

Prospek Pemerintahan SBY-Boediono

Jika janji kampanye yang kita jadikan pegangan dalam menatap masa depan
pemerintahan periode 2009–2014, maka masalahnya sudah jelas. Pasangan
SBY-Boediono berjanji akan melanjutkan apa yang selama lima tahun
terakhir dianggap sebagai keberhasilan.

Mulai dari pengurangan jumlah utang luar negeri sampai ke peningkatan
kesejahteraan rakyat, dipandangnya sebagai bukti dari pengelolaan
pemerintahan yang mengikuti prinsip-prinsip good governance. Dengan
stabilitas politik sebagai dasarnya, pasangan ini berusaha memperbaiki
kualitas demokrasi Indonesia.

Dengan slogan “lanjutkan”, mereka berusaha memperjuangkan pelaksanaan
politik luar negeri yang makin high profile agar Indonesia makin
diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional. Berangkat dari visi
dan misi pasangan SBY-Boediono di atas, setidaknya kita sebagai pemilih
mempunyai tolok ukur untuk memonitor kinerjanya.

Kita berharap agar kedua pemimpin hasil pilpres itu terbuka terhadap
segala masukan, terutama dari kedua pesaingnya. Sebagaimana yang dapat
kita saksikan lewat kampanye-kampanye mereka, tidak sedikit
pikiran-pikiran yang disampaikannya bermanfaat bagi SBY-Boediono untuk
lebih mengonkretkan janjinya.

Setidaknya,kombinasi dari visi dan misi ketiga pasangan, jika di
akomodasi oleh pemimpin baru kita akan melahirkan dua dampak sekaligus:
Pertama, memperlengkap harapan publik tentang peran dan keberadaan
pimpinan nasional dalam memperbaiki kondisi negara-bangsa.

Karena begitu sentralnya kedudukan seorang pemimpin dalam proses
perubahan, maka ucapan dan tindakannya mesti terukur dan mengakomodasi
kehendak warganya. Kedua, bila SBY-Boediono mau mengakomodasi
pandangan-pandangan kedua pesaingnya: Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, maka
akan lebih menciptakan harmoni ketimbang konflik tak berkesudahan.

Tahap berikutnya adalah bagaimana mengimplementasikan semua
pikiran-pikiran yang indah itu ke dalam kebijakan publik. Ini yang jauh
lebih penting. Bila Presiden SBY dan Wapres Boediono peduli terhadap
persoalan ini,soal kalah dan menang dalam pilpres bukan lagi masalah.
Itu semua hanyalah sarana menuju kekuasaan.

Tanpa kemenangan,kekuasaan mustahil diperoleh.Tanpa kekuasaan, tidak
mungkin pula mereka mempunyai poweruntuk merumuskan dan melaksanakan
kebijakan. Semoga ke sanalah kedua pemimpin bangsa hasil Pilpres 8 Juli
2009 ini segera mengarahkan programnya, bukan pesta mempertontonkan
kemenangan.(*)

Indria Samego
Profesor Riset
Perbandingan Politik
LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253750/
Share this article :

0 komentar: