BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Risiko Penyakit Akibat Stres Kerja

Risiko Penyakit Akibat Stres Kerja

Written By gusdurian on Sabtu, 11 Juli 2009 | 13.48

Risiko Penyakit Akibat Stres Kerja

*Lennart Levi*

# Guru Besar Kedokteran Psikososial pada Kalinska Institute di Stockholm,
penasihat WHO dan Komisi Eropa

Bekerja bisa memberikan bentuk dan arti pada kehidupan. Tapi kondisi
kerja bisa juga memacu atau mempercepat gejala penyakit--fisik dan
mental--yang mempengaruhi produktivitas dan kemampuan seseorang mencari
nafkah serta menjalin hubungan sosial dan keluarga. Sebenarnya, sebagian
besar orang tampaknya berisiko terserang penyakit akibat stres kerja.

Dari 160 juta tenaga kerja Uni Eropa, 56 persennya mengatakan mereka
bekerja dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan 60 persen mengatakan
mereka dikejar-kejar tenggat yang ketat. Lebih dari sepertiganya tidak
punya suara atas apa yang diperintahkan oleh majikan untuk mereka
kerjakan, dan 40 persen melakukan pekerjaan yang membosankan. Inilah
mungkin penyebab timbulnya berbagai penyakit yang terkait dengan
pekerjaan: 15 persen tenaga kerja mengeluhkan sakit kepala, 33 persen
sakit punggung, 23 persen kelelahan, dan 23 persen sakit leher dan bahu,
plus berbagai penyakit lainnya,

Stres kerja juga merupakan penentu penting timbulnya depresi, penyebab
keempat terbesar timbulnya penyakit di seluruh dunia. Depresi
diperkirakan bakal menduduki tempat kedua menjelang 2020 sesudah
penyakit jantung yang menduduki tempat ketiga. Di negara-negara Uni
Eropa, ongkos yang harus dibayar akibat stres kerja dan penyakit mental
yang terkait dengannya diperkirakan mencapai rata-rata 3-4 persen dari
PDB, yaitu sekitar 265 miliar euro setiap tahun.

Lagi pula, stres kerja yang berkelanjutan menyumbang kepada terjadinya
/metabolic syndrome/, suatu mekanisme patogenik bercirikan akumulasi
lemak lambung, menurunnya kepekaan terhadap insulin, meningkatnya level
kolesterol, serta naiknya tekanan darah, semuanya terkait dengan awal
terjadinya penyakit jantung dan diabetes.

Sudah tentu, kondisi kerja mungkin dirasakan sebagai ancaman walaupun
secara obyektif sama sekali tidak, atau gejala-gejala yang remeh
diartikan sebagai manifestasi penyakit yang serius. Tapi stres
merisaukan justru karena bahkan salah penafsiran saja bisa memperparah,
atau mengakibatkan, berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit
jantung, /stroke/, kanker, penyakit muskuloskeletal dan
gastrointestinal, gelisah dan depresi, kecelakaan, dan bunuh diri.

Singkatnya, stres terdiri atas serangkaian proses alami persiapan diri
organisme manusia dalam melakukan kegiatan fisik menjawab tuntutan dan
pengaruh yang membebani kemampuan beradaptasi seseorang. Pengaktifan
mekanisme "melawan atau lari" pada diri seseorang merupakan respons
beradaptasi yang tepat bila menghadapi segerombolan serigala, tapi tidak
demikian halnya ketika seseorang harus beradaptasi dengan rotasi giliran
kerja, tugas yang monoton dan fragmentatif, atau pelanggan yang banyak
rewel. Jika berlanjut terus-menerus, stres sering sulit beradaptasi dan
akhirnya menimbulkan penyakit.

Jalan stres menuju patologi mengambil berbagai bentuk. Ia bisa dalam
bentuk emosional (gelisah, depresi, /hypochondria/, dan alienasi),
kognitif (hilangnya konsentrasi atau kemampuan mengingat kembali, serta
ketidakmampuan belajar hal-hal yang baru, berbuat kreatif, dan mengambil
keputusan), dalam bentuk perilaku (penyalahgunaan narkoba, alkohol,
penolakan mencari atau menerima perawatan), atau psikologis (disfungsi
/neuroendocrine/ dan /immunological/).

Untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi penyebab dan akibat
stres kerja, kita perlu memantau kandungan kerja itu sendiri, kondisi
kerja, syarat kerja, hubungan sosial di tempat kerja, kesehatan,
kesejahteraan, dan produktivitas. Langkah pertama yang harus diambil
adalah mengidentifikasi timbulnya stres, prevalensi dan parahnya stres,
kecenderungan dan penyebab stres kerja, serta akibatnya terhadap
kesehatan. Apakah semua faktor ini menyumbang kepada timbulnya penyakit
akibat stres? Apakah ia dapat diubah? Apakah perubahan itu dapat
diterima oleh pekerja dan majikan?

Bila jawabannya adalah ya, perubahan yang terpadu harus dipertimbangkan.

Perubahan itu kemungkinan besar mencakup bidang-bidang sebagai berikut:

Jadwal kerja: rancanglah waktu kerja sedemikian rupa sehingga dapat
menghindarkan terjadinya konflik dengan tuntutan dan tanggung jawab yang
tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.

Partisipasi/kontrol: biarkan pekerja mengambil bagian dalam keputusan
atau tindakan yang menyangkut pekerjaannya.

Beban kerja: pastikan pekerja punya cukup waktu untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan, dan berikan mereka waktu pulih dari tugas fisik
atau mental yang berat.

Kandungan kerja: rancanglah tugas kerja yang memberikan arti,
rangsangan, rasa kepuasan, dan peluang menggunakan keterampilan.

Peran: tentukan peran pekerja dan tanggung jawabnya dengan jelas.

Lingkungan sosial: pastikan adanya suasana kerja yang bebas dari segala
bentuk diskriminasi dan pelecehan yang meremehkan dan membangkitkan rasa
permusuhan.

Masa depan: hindarkan ambiguitas dalam jaminan kerja dan pengembangan
karier, dorong keinginan belajar dan tetap bekerja yang langgeng.

Walaupun semua ini mungkin dapat dilakukan, hasil jangka pendek dan
jangka panjang perubahan mungkin tidak selalu cukup dalam upaya
mengatasi stres kerja. Maka, ia perlu dievaluasi terkait dengan kondisi
kerja dan reaksi terhadap stres, terjadinya dan prevalensi penyakit,
serta kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang dihasilkan.

Banyak perusahaan di seluruh dunia mengakui bahwa keberhasilan
membutuhkan pemenuhan tiga unsur pembangunan berkesinambungan:
finansial, lingkungan, dan sosial. Gagalnya dipenuhi ketiga unsur ini
bakal, setelah sekian waktu, menyebabkan melemahnya organisasi lantaran
hilangnya kredibilitas di antara para pegawai.

Semua ini membawa berbagai implikasi dalam hubungan dengan pegawai.
Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan kohesi sosial,
diperlukan komitmen terhadap kesehatan dan keselamatan, keseimbangan
yang lebih baik antara kerja dan istirahat, keinginan belajar seumur
hidup, keragaman tenaga kerja yang lebih luas, upah yang tidak memandang
gender dan prospek karier, serta program bagi hasil dan kepemilikan saham.

Praktek-praktek semacam ini bisa membawa dampak positif terhadap laba
perusahaan melalui peningkatan produktivitas, berkurangnya pekerja yang
mengundurkan diri, kesediaan menerima perubahan, meningkatnya inovasi,
serta /output/ yang lebih baik dan lebih andal. Sesungguhnya perusahaan
punya kepentingan bertindak lebih daripada sekadar memenuhi ketentuan
hukum: respek terhadap sesama dan reputasi sebagai majikan yang baik
merupakan aset yang sangat berharga.

Tantangan bagi ilmu pengetahuan adalah menemukan apa yang harus
dilakukan, untuk siapa, dan bagaimana. Tantangan bagi pekerja, majikan,
pemerintah, dan masyarakat adalah menerjemahkan apa yang kita ketahui
sekarang ini menjadi program yang terkoordinasi dan berkesinambungan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/11/Opini/krn.20090711.170718.id.html
Share this article :

0 komentar: