BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Rp 439 Miliar untuk UN

Written By gusdurian on Jumat, 17 April 2009 | 13.26

Rp 439 Miliar untuk UN
Sekolah Dilarang Lakukan Pungutan kepada Siswa

Jakarta, Kompas - Pelaksanaan ujian nasional untuk siswa SD-SMA sederajat gratis alias tidak dipungut biaya. Pasalnya, pendanaan UN sudah ditanggung pemerintah pusat dan daerah yang pada tahun ini nilainya mencapai Rp 438, 61 miliar atau hampir Rp 439 miliar.
”Kalau ada pungutan, itu pelanggaran. Biaya UN dan UASBN total ditanggung pemerintah pusat dan daerah,” tegas Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Mungin Eddy Wibowo di Jakarta, Rabu (15/4).
Anggaran UN yang disediakan pemerintah tersebut meliputi biaya UN SMP-SMA sederajat senilai Rp 296 miliar, ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) di tingkat SD Rp 59,5 miliar, serta pengawasan dan pemantauan oleh tim independen sebesar Rp 83 miliar.
Pelaksanaan UN dan UASBN akan diikuti 10.297.816 siswa yang meliputi siswa SD sebanyak 4.514.024 orang, siswa SMP sebanyak 3.575.987 orang, dan siswa SMA sebanyak 2.207.805 orang.
Mungin menjelaskan, proses persiapan penyelenggaraan UN sudah dilakukan sejak Maret 2009. Semua master soal sudah mulai dicetak di masing-masing provinsi.
Adapun pendistribusian soal dilakukan sejak pekan lalu, terutama untuk daerah-daerah terpencil. ”Jadi pada Jumat besok soal sudah berada di rayon atau kabupaten. Baru satu jam sebelum pelaksanaan UN soal dikirim ke sekolah,” kata Mungin menjelaskan.
Jadwal pelaksanaan UN dimulai pada 20-24 April untuk SMA/MA/SMK/SMA Luar Biasa, SMP/MTs/SMP Luar Biasa pada 27-30 April, dan UASBN SD pada 11-13 Mei.
Untuk pemantauan dan pengawasan UN diterjunkan tim independen dari perguruan tinggi yang jumlahnya mencapai 55.265 orang dan pengawas ruangan sebanyak 1,03 juta orang.
Burhanuddin Tolla, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, soal-soal UN dibuat secara bervariasi mulai dari yang mudah hingga sulit untuk mengetahui minimum kompetensi yang bisa dicapai siswa secara nasional. Pemerintah menjamin tidak ada kebocoran soal UN secara massal karena soal-soal di tiap provinsi berbeda.
Selama lima tahun pelaksanaan UN, kata Burhanuddin, terjadi peningkatan nilai rata-rata secara nasional. Berdasarkan hasil evaluasi, pada tahun 2004 rata-rata nilai UN hanya 5,5. Namun pada 2008 rata-rata nilai meningkat drastis menjadi 7,3. ”Jadi terbukti bahwa UN mampu meningkatkan prestasi belajar siswa,” katanya.
Siapkan mental
Di Surabaya, Jawa Timur, sebagian SMA mulai menghentikan persiapan akademis bagi para pelajarnya yang akan ikut UN. Sekolah mulai menyiapkan mental pelajar.
Wakil Kepala SMA Dr Soetomo Surabaya Ali Irianto mengatakan, persiapan akademis terakhir oleh sekolah diselenggarakan pada Senin (13/4). Sekolah merasa sudah cukup untuk persiapan akademis. ”Sekarang kami menghentikan persiapan akademis dan mengajak pelajar lebih tenang,” tuturnya.
SMA Santa Maria Surabaya melibatkan orangtua dan pelajar dalam persiapan sejenis. Kepala SMA St Maria Suster Agatha Linda mengatakan, pihaknya menyelenggarakan spiritual emotional freedom technique (SEFT).
Di Brebes, Jawa Tengah, Sekretaris II Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes Wijanarko menyarankan agar menjelang pelaksanaan UN siswa sebaiknya tidak lagi dijejali latihan soal maupun pengayaan materi baru. Mereka hanya membutuhkan dukungan psikologis untuk memantapkan mental dalam menghadapi UN.
Di Palangkaraya, menurut Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah, karena jumlah perguruan tinggi sangat terbatas, pelaksanaan UN akan melibatkan masyarakat.(ELN/RAZ/ACI/APO/WIE/CAS/WHY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/16/03191360/.rp.439.miliar.untuk.un

Alokasi Belanja APBN 2010 Turun Rp88 T

Alokasi Belanja APBN 2010 Turun Rp88 T


JAKARTA (SI) – Belanja negara tahun depan berkurang Rp88 triliun menjadi Rp949,1 triliun dari alokasi APBN 2009 sebesar Rp1.037,1 triliun.


Fokus belanja 2010, untuk mendanai pemulihan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Data Badan Perencanaan Pembangunan nasional (Bappenas) yang diperoleh SI menyebutkan, alokasi belanja 2010 didasarkan proyeksi total penerimaan yang dapat ditarik pemerintah hanya Rp871,9 triliun. Angka ini turun dari target penerimaan negara tahun ini sebesar Rp985,7 triliun. Pemerintah kemungkinan bakal mengalokasikan belanja departemen sebesar Rp330 triliun.

Sisanya digunakan untuk mendanai program subsidi dan ditransfer sebagai belanja daerah. Dari selisih angka penerimaan dan belanja tersebut, diperoleh proyeksi pembiayaan APBN 2010 sebesar Rp77,1 triliun atau 1,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka defisit ini lebih rendah dibanding target defisit 2009 sebesar Rp132 triliun atau 2,5% PDB.

Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, penurunan penerimaan selain akibat langsung krisis perekonomian global juga disebabkan kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan menjadi 25% dari yang berlaku saat ini 28%. “Itu untuk menggairahkan sektor industri domestik,”kata dia di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan, dengan alokasi belanja yang lebih rendah, pemerintah harus lebih banyak menganggarkan belanja pada sektor-sektor yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi dalam negeri. Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo menambahkan, pembiayaan defisit APBN 2010 masih akan aman.Ini didasarkan pada kesiapan komitmen pendanaan baik bilateral maupun multilateral, termasuk pinjaman siaga (stanby loan) USD5,5 miliar. “Ini (standby loan) bisa kita gunakan dalam dua tahun.

Bila tidak bisa digunakan tahun ini, boleh digunakan pada tahun selanjutnya (2011),”ujarnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance Ahmad Erani Yustika menyarankan pemerintah lebih cermat dalam menentukan rencana besaran defisit APBN 2010. Kendati sudah mulai mengecil dibanding saat ini, tekanan ekonomi 2010 diproyeksikan masih akan sangat berpengaruh pada akumulasi modal pembiayaan pemerintah pada tahun depan.

Erani memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun depan sudah bisa melakukan pemulihan. Ini didasarkan asumsi penanganan krisis ekonomi global oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa yang berlangsung efektif. Erani melanjutkan, bila pemerintah memanfaatkan sumbersumber pembiayaan seperti utang, baik berupa surat utang maupun pinjaman luar negeri, dinilai akan sulit didapatkan pemerintah.

Pasalnya, pemerintah kemungkinan harus bersaing ketat dalam melakukan penarikan pembiayaan utang mengingat negara-negara lain juga membutuhkan utang untuk membiayai pemulihan ekonomi masing-masing. Menurut Erani,defisit 1% PDB masih bisa menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi tahun depan lebih tinggi dari saat ini. Syaratnya, realisasi belanja pemerintah bisa dilakukan efektif. (zaenal muttaqin)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230370/

Negara Kesejahteraan Pilihan Capres?

Negara Kesejahteraan Pilihan Capres?
Oleh Hasbullah Thabrany Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia


P EMILU legislatif baru saja usai. Meski pun diragukan oleh sebagian tokoh parpol, hasil quick count dan tren hasil sementara sudah dapat ditebak siapa capres yang memenuhi syarat untuk maju. Tiga partai yang mengusung calon SBY, JK, dan Megawati punya peluang. Perebutan kekuasaan akan lebih sederhana dipahami dan bisa jadi tidak banyak perbedaan tawaran tentang kesejahteraan, yang bakal menjadi daya terik besar pemilih yang rasional. Apa yang akan mereka tawarkan?
Naiknya Demokrat sangat kuat korelasinya dengan program-program populer seperti askeskin/jamkesmas, BLT, pendidikan gratis. Praktik layanan kesehatan dan pendidikan gratis di berbagai daerah, terlepas parpol pemenangnya, diduga sangat kuat memengaruhi pemilih untuk ‘tetap melanjutkan’ tren yang ada. Semua yang dikemas itu masuk keranjang ‘kesejahteraan’ dalam konsep negara. Beberapa iklan televisi, entah itu untuk ‘melanjutkan’ atau konsep baru, telah menjual ‘sekolah gratis’. Rakyat akan memilih pemimpin yang menyejahterakan seperti yang tertulis dalam Pembukaan UUD 45. Tetapi, sampai di mana kesejahteraan? Apakah janji sekolah gratis menyejahterakan? Sejauh mana gratis itu bebas biaya penuh seperti di Sri Lanka yang lebih miskin daripada Indonesia. Di sana, buku, seragam, dan transportasi ke sekolah benar-benar gratis. Bahkan kuliah di fakultas kedokteran juga gratis. Di Indonesia, untuk masuk beberapa fakultas kedokteran negeri, pegawai negeri yang jujur tidak akan sanggup karena harus bayar uang muka puluhan juta.
Di luar suasana kampanye, banyak pakar Indonesia tidak setuju dengan negara kesejahteraan yang dipahami sebagai negara harus bertanggung jawab atas semua kebutuhan pokok, termasuk tunjangan pengangguran, rakyatnya. Tren sekolah mahal, rumah sakit yang memiskinkan rakyat, dan banyaknya rakyat miskin serta pengangguran jelas menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda pemerintah mengemudikan negeri ini menuju negara kesejahteraan.
Relevankah negara kesejahteraan?
Banyak pejabat dan tokoh yang meyakinkan publik dan investor bahwa Indonesia bukan negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan dipandang dekat dengan komunis. Ini konsep keliru besar! Dalam pemahaman mereka, negara kesejahteraan adalah negara yang memberikan pelayanan kesehatan gratis, sekolah-kuliah gratis, ada tunjangan pengangguran bagi semua, dan segalanya diurus negara. Intinya, negara sangat berperan besar atas kehidupan sosial-ekonomi rakyatnya. Bukan pasar yang berperan besar. Indonesia tidak ke sana! Rumah sakit pemerintah dibaguskan dengan uang rakyat, setelah itu pasang tarif tinggi. Jika penduduk Malaysia dirawat di RS Publik hanya bayar tiga ringgit (sekitar Rp10 ribu per hari, all in), di RSCM Jakarta, konsultasi rawat jalan saja sudah harus merogoh Rp40 ribu, belum termasuk obat, laboratorium, dan pemeriksaan lain. Padahal, pembangunan RSCM dan belanja operasional didanai dari APBN.
Siswa pandai yang ingin masuk sekolah negeri bermutu di Jakarta harus bayar jutaan rupiah. Salah satu perguruan tinggi negeri dalam penerimaan awal April ini mengharuskan lulusan SMU yang diterima membayar Rp90 juta. Pemerintah tidak mencerdaskan rakyat, tetapi ‘jualan ilmu’ kepada rakyatnya! Pedagang besar atau profesional seperti dokter spesialis dan notaris mungkin mampu membayar sejumlah itu. Nanti setelah lulus, mereka jualan lagi untuk mengembalikan modal. Dalam bukunya yang baru Common Wealth: Economics for a Crowded Planet, Jeffry Sach, ekonom terkemuka di dunia, menganalisis tiga kelompok negara: (1) negara kesejahteraan (social welfare states) yang menerapkan sistem asuransi sosial ekstensif seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia, (2) negara relative free market economies termasuk Amerika, Inggris, Kanada, dan Australia, serta (3) negara campuran yaitu inti ne gara Uni Eropa (Jerman, Prancis, Italia, Belanda, dsb). Pembagian kelom- pok negara Jeffry memang sedikit beda dengan pembagian negara kesejahteraan sebagaimana kita dicekoki. Sebab, di Inggris yang dikelompokkan negara ekonomi bebas, pelayanan kesehatan gratis bagi semua penduduk--termasuk transplantasi organ. Sebaliknya, di Jerman, kuliah gratis bagi semua penduduk, tetapi penduduk wajib mengiur asuransi sosial kesehatan. Sebagai ekonom, Jeffry membagi ketiga kelompok negara berdasarkan porsi belanja pemerintah jika dibandingkan dengan kue ekonomi negara. Di negara kesejahteraan, Jeffry menunjukkan bahwa belanja pemerintah tahun 2004 mencapai 52% pendapatan negara tersebut. Sementara itu di negara pasar bebas hanya sekitar 38% dan di negara campuran belanja pemerintah mencapai rata-rata 49% dari PDB. Di Indonesia, total belanja peme rintah hanya sekitar 20% PDB, jauh dari belanja negara kesejahteraan bahkan negara ekonomi bebas. Kok bisa pemerintah belanja sebegitu besar? Bisa! Kuncinya, good governance! Ini memang tantangan besar bagi Indonesia yang baru saja dinobatkan negara terkorup di ASEAN.
Jeffry menunjukkan bahwa di negara kesejahteraan, pendapatan per kapita penduduk sangat tinggi, rata-rata pendidikan juga sangat tinggi karena praktis tidak ada hambatan ekonomi untuk kuliah, anggaran riset juga tinggi sehingga jumlah paten per kapita juga tinggi.
Di negara kesejahteraan, Nordic countries, pemerintah menarik pajak penghasilan dan atau iuran asuransi sosial tinggi, mencapai 50% dari penghasilan penduduknya. Tetapi karena dana pajak dan asuransi sosial masuk anggaran pemerintah, dikelola baik untuk mendanai kesejahteraan seluruh rakyat (kesehatan, pendidikan, pengangguran, pengentasan rakyat dari kemiskinan, riset, dan fasili tas umum), uang berputar cepat di dalam negeri. Di negara ekonomi bebas, pajak penghasilan cenderung diturunkan, tetapi peran pemerintah makin terbatas. Fasilitas umum pun, seperti jalan tol dan transportasi, diserahkan ke swasta. Memang tingkat pajak penghasilan rendah, tetapi pemerintah berperan kecil. Rakyat tidak dilayani. Akhirnya rakyat harus bayar fee for service, semacam a la carte ketika makan di restoran. Dengan model ekonomi bebas, karena sebagian belanja ditentukan oleh rakyat, rakyat yang kaya bisa belanja di negara lain. Toh, uangnya sendiri, sehingga mereka bebas belanja di mana saja. Rakyat miskin cukup menonton. Berbeda dengan di negara kesejahteraan, ada dana ‘belanja paksa’ rakyat dalam bentuk pajak dan asuransi sosial yang dihabiskan di dalam negeri, karena masuk belanja pemerintah. Pemerintah juga dengan mudah membuka lapangan kerja baru, jika ada peningkatan pengangguran. Maka uang berputar di dalam negeri lebih banyak, meskipun lebih dari separuhnya dari kantong pemerintah.
Sejauh mana konsep capres?
Dari iklan-iklan bakal capres, ada indikasi keinginan capres untuk menjamin kesehatan dan pendidikan bagi semua. Janji politiknya sudah lama terdengar, tetapi realitasnya masih jauh. Transportasi dan lapangan kerja? Lebih tidak jelas konsepnya. Bisakah kita percayai janjijanji mereka? Apakah konsep mereka realistis? Persoalannya kita belum lihat hitung-hitungan dan skenario program mereka. Berapa dana yang akan dimobilisasi dan dibelanjakan untuk pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Sampai sejauh mana pelayanan dasar tersebut akan disediakan, bukan ‘jualan’ oleh pemerintah? Jika sekadar janji untuk menggratiskan, tetapi dukungan dana tidak memadai, tidak akan ada efeknya bagi produktivitas, kesejahtera an, dan ekonomi rakyat. Sejak zaman Soe harto sudah dicanangkan wajib sekolah sembilan tahun, tetapi rakyat harus bayar macam-macam uang sekolah, uang buku, uang seragam, uang gedung, dsb. Guru dibayar ‘asal’, fasilitas pendidikan ‘asal ada’ dan buku-buku tidak tersedia. Kualitas ba ngunan, peralatan medis, obat-obatan di puskesmas dan di RS publik juga ‘asal ada’.
Dokter dan guru/dosen digaji ‘asal’ se hingga dokter dan guru ngobjek di RS, puskesmas, sekolah, atau di perguruan tinggi. Rakyat tidak dilayani. Rakyat yang berduitlah yang dilayani. Jika pemerintah bisa membangun gedung Bank Indonesia, gedung pemerintahan dan gedung BUMN yang bagus-bagus serta dilengkapi peralatan standar internasional (padahal bukan kewajiban konstitusional), mengapa kok tidak bisa untuk sekolah dan RS? Jika pemerintah bersedia membayar kontraktor gedung, jalan, perlengkapan pemerintahan, belanja BUMN dll dengan harga market economy, mengapa upah perawat, dokter, guru, dan dosen yang menyejahterakan dan mencerdaskan tidak realistis? Atau memang kita menuju negara pasar bebas? Yang mampu sehat dan cerdas silakah, asal ada duit. Yang tidak mampu, ya harus sadar diri?
Jika capres konsisten dengan janjinya, paham, dan bertekad kuat memajukan bangsa, negara kesejahteraan dapat diwujudkan. Tidak ada alasan ekonomi negara belum mampu. Negara kesejahteraan di Eropa dan Asia juga memulai sistem mereka ketika negara mereka tidak sebaik ekonomi Indonesia saat ini. Saatnya rakyat meminta kejelasan tentang konsep capres, lengkap dengan hitungan ekonominya. Kita tunggu!
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/16/ArticleHtmls/16_04_2009_023_003.shtml?Mode=1

Elite Politik Diminta Tak Membabi-buta

Elite Politik Diminta Tak Membabi-buta
Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemimpin dan elite politik bersikap patut dan cermat dalam menyampaikan pernyataan politik dan gerakan politik terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Menurut dia, tuduhan membabi-buta, apalagi tanpa bukti, bahwa pemilihan curang, dan hasil penghitungan suara yang belum selesai juga dihakimi sebagai tidak benar, merupakan sikap yang prematur dan bukan politik yang baik.
“Mengingkari pikiran dan aspirasi rakyat dalam menyampaikan pilihannya sama saja dengan mencederai kebenaran," kata Presiden dalam pidatonya di Istana Negara kemarin. "Jangan kita melukai hati rakyat karena mereka merasa bahwa aspirasi dan pilihannya tidak dipercaya."
Sebelumnya, sejumlah elite partai bertemu untuk membahas pelanggaran dan kecurangan yang terjadi dalam pemilihan 9 April lalu. Partai Hati Nurani Rakyat dan Partai Gerakan Indonesia Raya, misalnya, sepakat membentuk sekretariat bersama untuk menginvestigasi pelanggaran dalam pemilihan. Tudingan kecurangan juga sempat disampaikan petinggi PDI Perjuangan.
Menurut Yudhoyono, jika dirasakan ada yang tidak benar dalam pemilihan, hendaknya diserahkan semuanya kepada tatanan sistem dan mekanisme hukum. "Bukan 'politik penghasutan' dan 'politik kekerasan’, tetapi 'politik keadilan'," kata Presiden.
Ketua Bidang Kepemudaan PDI Perjuangan Maruarar Sirait meminta Presiden lebih cermat menanggapi keluhan pelanggaran pemilu. Sebab, keluhan itu disampaikan oleh berbagai kalangan, baik dari partai politik, tokoh nasional, lembaga swadaya masyarakat, maupun pemerhati pemilu. Mereka mempermasalahkannya karena pelanggaran bersifat massif.
"Ini bukan soal hasil, tapi prosesnya," kata Maruarar saat dihubungi Tempo semalam, “Berbagai pelanggaran itu sudah terlihat di berbagai tempat, bahkan ratusan daerah pemilihan harus diulang.” GUNANTO | AQIDA SWAMURTI | DWI WIYANA

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/17/headline/krn.20090417.162773.id.html

Menjaga Kemuliaan Politik

Menjaga Kemuliaan Politik


ARISTOTELES, sosok yang sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu politik, menyatakan politik adalah cabang ilmu yang sangat mulia, bahkan paling mulia.


Alasannya, lewat politik,semua ilmu yang lain baru bisa diimplementasikan secara optimal untuk membantu menyejahterakan rakyat.Politik adalah kekuasaan dan dengan kekuasaan semua kekayaan negara dan semua cabang ilmu dikelola dan dikerahkan untuk melindungi dan mendidik warganya.

Dengan begitu, menurut Aristoteles, politik itu pada dasarnya sangat mulia.Ilmu politik memiliki tujuan luhur, yaitu mempelajari tata kelola pemerintahan untuk melayani kebutuhan warganya. Ironisnya, dalam perjalanannya, kemuliaan politik itu mengalami degradasi dan pembelokan.

Panggung politik bukan lagi sebagai medium pertemuan dan jaringan kerja sama untuk membela dan menyejahterakan rakyat, melainkan telah berubah fungsi dan definisi.Politik lalu identik dengan forum lomba kepintaran berpidato di hadapan massa.

Adakalanya sebagai panggung gladiator antarpolitisi untuk saling membunuh lawannya yang lemah dan lengah. Lain kali berubah bagaikan pasar untuk melakukan transaksi jual beli dan tukar-menukar barang.

Kesempatan lain, politik bisa saja berubah menjadi pintu masuk ke birokrasi kekuasaan negara untuk menjarah kekayaan yang tersimpan. Mungkin saja ada yang bergabung ke politik sebagai lapangan kerja dengan penghasilan yang mereka tetapkan sendiri dengan cara memanipulasi peraturan pemerintah.

Nalar, Skill, dan Nurani

Mari kita jaga dan kembalikan kemuliaan politik yang telah terkontaminasi ke posisi awal yang benar, yaitu berpolitik dengan nalar sehat, dengan nurani dan keterampilan teknokratis. Di Indonesia hubungan antara agama dan politik selalu menjadi perdebatan.

Kita boleh saja membedakan agama dan politik, tetapi tidak mungkin memisahkan antara keduanya. Agama merupakan sumber moralitas untuk membuat hidup menjadi mulia dan bermakna.Namun pesan agama tanpa dukungan kekuasaan politik akan sulit untuk diwujudkan.

Yang diperlukan adalah bagaimana membuat format kerja sama yang sehat antara ajaran agama dengan institusi negara. Di negara ini sah-sah saja membaur partai yang berdasarkan agama. Namun perilaku dan produk partai itu haruslah berada dalam semangat dan rumah Indonesia.

Untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa tidak cukup hanya dengan modal simbol dan retorika agama. Diperlukan pula nalar sehat untuk mengartikulasikan gagasan yang cerdas serta diperlukan skillatau keahlian teknokratis untuk mengelola institusi negara yang demikian besar dan kompleks, yang keduanya itu harus didasari niat tulus yang keluar dari hati nurani terdalam.

Orang berpolitik sekadar dengan modal hati nurani tidak cukup tanpa nalar dan skill. Sebaliknya, bila mengandalkan nalar dan skill tanpa hati nurani, kemuliaan dan kesucian politik akan hilang,lalu panggung politik akan berubah menjadi forum caci maki, balas dendam, perkelahian, dan konspirasi untuk merampok uang rakyat.

Agar deviasi politik dapat dikurangi, diperlukan mekanisme pengawasan yang memungkinkan rakyat melihat dan menegur penguasa. Di sinilah gagasan demokrasi muncul. Birokrasi harus diawasi oleh kultur dan mekanisme demokrasi yang sehat dan transparan.

Hanya saja, tingkat kematangan dan kedewasaan demokrasi sebuah bangsa dan negara sangat dipengaruhi tingkat pendidikan rakyatnya dan ketulusan para elite. Akan menjadi ironis tentu saja andaikan sebuah bangsa dengan tingkat pendidikan rakyatnya rendah,lalu mentalitas para politisinya busuk dan korup.

Panggung politik menjadi amburadul, tak ubahnya panggung kontes orang-orang yang rakus dan haus kekuasaan dengan mengenakan simbol-simbol demokrasi dan agama. Sebuah opera sabun dengan ongkos amat mahal, yang awalnya lucu, tetapi lama-lama menjadi memalukan dan menjijikkan untuk ditonton.

Dengan segala kelemahannya, saya rasa Indonesia sudah menuju ke arah dan sasaran yang benar meski banyak hal yang mesti diperbaiki. Dalam hal pemilihan umum saja, misalnya, diperkirakan ongkosnya yang resmi di atas Rp40 triliun. Biaya ini belum memasukkan dana yang dikeluarkan partai.

Coba bayangkan, berapa triliun uang yang dibelanjakan parpol peserta pemilu serta para calegnya,termasuk biaya operasional perjalanan,waktu dan tenaga para pejabat negara. Belum lagi kalau biaya pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten dimasukkan. Seorang teman pengamat ekonomi bercerita, uang yang beredar sebelum dan selama pemilu tidak kurang dari Rp300 triliun.

Sebagai orang yang bergerak di dunia pendidikan, saya melamun, kalau saja uang sebesar itu dibelanjakan untuk membuat institusi riset dan mencetak doktor ilmuwan berkelas dunia,pasti akan mengangkat citra dan kualitas bangsa ketimbang dihabiskan hanya untuk biaya pemilu yang tidak bermutu.

Soal pemilu ini masih menyisakan aspekaspek lain yang perlu perbaikan serius, termasuk undang-undang (UU) dan mekanismenya yang belum dapat menjangkau caloncalon wakil rakyat yang bermutu. Pemilu dari waktu ke waktu selalu saja memberikan pembelajaran kalau kita memang mau belajar dan naik kelas.

Suatu saat politisi yang hanya mengandalkan kekuatan uang dan popularitas pasti akan semakin berkurang. Di beberapa daerah rakyat mulai berpikir kritis.Politisi yang membagi uang untuk menarik simpati justru tidak dipilih meski uangnya diterima. Alasan mereka sangat sederhana.Politisi model ini kalau menang pasti akan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Sejalan dengan fenomena di atas, politisi yang kalah bersaing dalam memperebutkan jabatan akhirnya stres dan setengah gila karena kecewa berat, sementara kekayaannya sudah ludes. Ini pun pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.Bahwa panggung politik jangan dijadikan arena dagang atau perjudian.

Kalau tidak kaya dan tidak ikhlas, jangan coba-coba bergaya sok dermawan. Hanya menipu dan menyakiti diri sendiri. Orang lain pun hanya bisa tertawa campur kasihan. Betapa sulitnya mengumpulkan uang,lalu disebar bagaikan hujan gerimis, menguap seketika tanpa ada bekas. Yang tersisa hanyalah stres dan penyesalan.

Cacat pemilu kali ini sesungguhnya sudah dimulai sejak pemerintah melalui Depdagri menunjuk panitia seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).Panitia seleksi terdiri atas orang-orang yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan urusan pemilu. Bahkan rumornya memang sarat muatan politik.

Tak mengherankan jika hasil seleksi yang diputuskan adalah orangorang yang relatif awam soal pemilu, sementara para pelamar yang sudah malang-melintang di bidang ini tidak lulus seleksi.Tentu saja dengan segala kekurangan yang ada, kita pantas berterima kasih pada teman-teman KPU atas jerihpayahnya selama ini.

Namun ini semua merupakan sebuah pembelajaran politik dengan ongkos sosial amat mahal. Siapa yang mesti menjaga kemuliaan politik? Yang mestinya paling merasa terpanggil adalah politisi dan jajaran petinggi birokrasi negara. Kalau mereka mengurus negara dengan rasional dan tulus, pasti kultur politik dan birokrasi yang berkembang akan sehat.

Suasana kerja juga akan nyaman.Alangkah mulianya kalau mereka berpandangan bahwa gaji politisi itu datang dari dua pintu. Pertama pintu dunia,mereka memperoleh penghasilan sudah lebih dari cukup untuk hidup wajar.Gaji yang jauh lebih tinggi adalah pengakuan dan penghargaan masyarakat dan Tuhan atas pengabdian mereka untuk membela nasib rakyat.

Mestinya insentif yang kedua ini lebih dihayati politisi di tahun-tahun mendatang. Rasanya dulu para pendiri bangsa Indonesia lebih menghargai insentif moral-spiritual. Bukan pemburu jabatan dan uang dalam memperjuangkan nasib rakyat. Kita merindukan kultur politik seperti itu kembali lagi.

Kerinduan ini bukanlah pikiran utopis karena nun jauh di sana kita juga mengenal politisi semacam Mandela, Ahmadinejad, Obama, yang semuanya tampil karena idealisme dan maju dengan tawaran solusi bagi bangsa dan negaranya.Rakyat menginginkan politisi bersaing secara cerdas dan etis,terbebaskan dari rasa iri dan dendam.

Lewat tulisan ini saya ingin menyampaikan terima kasih dan salut setinggi-tingginya kepada rakyat Indonesia yang telah turut menciptakan suasana pemilu damai. Biasanya, kalaupun ada keributan, provokatornya adalah politisi yang kecewa dan sakit hati dengan cara membagi uang untuk melakukan demonstrasi.

Adapun rakyat kita pada dasarnya tidak senang keributan. Jalan terbaik kalau ditemukan pelanggaran pidana dan perdata, tempuh saja jalan hukum. Siapa pun orangnya, kalau memang mesti masuk penjara,apa boleh buat,tetapi jangan sampai muncul provokasi untuk mengulangi pemilu nasional. Rakyat, bangsa, dan negara yang jadi korban.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230586/38/

Etika Koalisi

Etika Koalisi


Para elite politik kini disibukkan oleh upaya koalisi menyongsong pemilihan presiden (pilpres). Penjajakan demi penjajakan pun dilakukan pasca- Pemilu Legislatif 9 April lalu.Para petinggi dari sembilan partai politik yang lolos parliamentary threshold (PT) tampak sedemikian sibuk saling bersilaturahmi.


Demikian halnya partai kecil lain yang tak lolos PT, mereka saling menginisiasi pertemuan koalisi. Beberapa waktu lalu,Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam jumpa pers tentang perihal sejauh mana koalisi dilakukan. Menurutnya, koalisi harus dilakukan secara tertulis dan diumumkan di depan publik. Pernyataan ini menarik untuk diapresiasi, utamanya berkait dengan urgensi koalisi sebagai variabel organik efektivitas pemerintahan presidensial.

Keharusan Koalisi

Hasil kasar penghitungan suara pemilu legislatif sudah dapat diketahui.Muncul kejutan dengan hadirnya pemenang baru (Partai Demokrat). Dua parpol terbesar lain (PDIP dan Partai Golkar) berada di urutan kedua dan ketiga, disusul parpol menengah lain dan hadirnya dua parpol baru yang juga melenggang ke Senayan (Gerindra dan Hanura).

Dengan posisi demikian,bandul koalisi sesungguhnya berada pada tiga parpol terbesar (Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar). Aturan Pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menyatakan syarat pencalonan presiden harus memenuhi kuota 25% perolehan suara sah nasional atau 20% kursi DPR.

Kemungkinan hanya Partai Demokrat yang bisa mengajukan pa-sangan capres-cawapres tanpa koalisi. Meskipundalamperolehansuaratak ada satu parpol pun yang memenuhi angka 25%, jika Partai Demokrat memperoleh lebih dari 112 kursi (20% kursi parlemen),mereka bisa mengajukan capres-cawapres sendirian.

Sementara PDIP dan Golkar sepertinya belum cukup aman tanpa koalisi. Namun, untuk menang, ketiganya wajib membangun koalisi. Dalam kondisi ini, parpol menengah lain menjadi aktor pembantu sekaligus aktor penentu yang siap dilamar dan mewarnai ritme koalisi.

Koalisi Berbasis Etika

Secara etimologis etika berasal dari Yunani ”ethe” dan ”ethikos” yang menurut Aristoteles berarti baik buruknya suatu sifat: kejahatan dan keutamaan.Karya Aristoteles Ethique a Nicomaquemenyebutkan, selain kata ”ethos” yang berarti ”kualitas suatu sifat” digunakan juga kata ”etos” yang berarti kebiasaan.

Jadi,etika dapat berarti suatu cara berpikir merasakan, bertindak, dan bertingkah laku yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok dan sekaligus merupakan tugas bersama. Terlepas dari siapa pun figur capres- cawapres yang nantinya bertarung, masing-masing dengan fatsun politiknya mesti menyadari sejauh mana koridor koalisi yang akan dibangun. Untuk itu,penulis memandang urgen mengapresiasi opsi yang dilontarkan SBY tentang koalisi tertulis yang diumumkan di depan publik sebagai basis etika koalisi.

Penulis sepakat dengan gagasan koalisi tertulis,kalau dimungkinkan berupa notariil atau bermeterai.Aturan ini sejatinya juga sesuai dengan UU No 42/2008,utamanya Pasal 11 ayat (2), bahwa kesepakatan antarpartai politik maupun antara partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon dinyatakan secara tertulis dengan bermaterai cukup yang ditandatangani pimpinan partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon.

Yang terpenting adalah sejauh mana konsistensi kelompok koalisi menjalankannya. Memang koalisi macam ini dikritik karena mengambil analogi ”perusahaan jasa dengan pembagian sahamnya” yang dapat memenjara hak dalam perbedaan politik. Namun, di dalam demokrasi kita membutuhkan bangunan permanen dalam sketsa koalisi yang beretika. Hal ini penting untuk memperjelas kelamin koalisi yang selama ini masih buram.

Takadanya posisi tegas antara partai pemerintah (ruling party) dengan partai oposisi (opposition party) menstimulasi politisi di parlemen bermain petak umpet dan tidak tegas menyikapi pelbagai kebijakan pemerintah.Inilah faktor utama hadirnya sistem presidensial bercita rasa parlementer di Indonesia. Nah, untuk menjamin hadirnya koalisi permanen dibutuhkan serangkaian etika dan perangkat politik- hukum sebagai koridor. Ini penting agar di masa mendatang tidak ada lagi perilaku oportunis parpol- parpol yang seolah menjadi peragaan jamak dalam praktik politik kita.

Meski tak diatur secara tekstual di dalam UU pilpres perihal koalisi permanen, perangkat politik dan hukum dalam koalisi dapat dilakukan selama tidak kontraproduktif dengan aturan UU. Setidaknya koalisi tertulis dan diumumkan di masyarakat mempunyai implikasi positif bagi perkembangan demokrasi kita. Pertama, demi hadirnya keseimbangan hubungan checks and balances dalam pemerintahan dan parlemen.

Kestabilan roda pemerintahan akan kian terjamin bila kelompok koalisi kian tertuntut untuk konsisten dengan kesepakatan bersama.Ikatan ini menjadi sarana penting dinamika politik untuk mengakhiri fluktuasi politik masa transisi,utamanya bagi implementasi sistem presidensialisme. Kedua, menjamin transparansi demokrasi. Dengan kesepakatan tertulis dan diketahui secara luas, publik akan mengetahui keberpihakan partai politik dalam kontestasi politik membangun demokrasi.

Hal itu dilakukan selain untuk memberikan kedewasaan dan literasi politik masyarakat,juga untuk membangun kembali kepercayaan mereka kepada partai,khususnya terkait dengan konsistensi perjuangan partai untuk kepentingan rakyat.Baik yang dilakukan partai pendukung pemerintah maupun partai oposisi. Memang ada serangkaian kelemahan,misalnya kekhawatiran adanya intervensi, baik oleh partai pada kebijakan pemerintah ataupun sebaliknya.

Untuk itu mesti dijelaskan detail kesepahaman yang ada di dalam akta notaris. Pada prinsipnya, keraguan itu dapat diatasi dari transparansi aturan yang mengikat. Ketiga, terbukanya kontrol publik. Selain minimalisasi perilaku transaksional,koalisi tertulis menjadi semacam kontrol bagi publik tentang seberapa besar komitmen kelompok koalisi committed terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.

Di sini rakyat akan mempunyai ruang evaluasi dan apre-siasi, partai mana saja yang suka bermain lompat-lompatan dan par-tai mana pula yang tetap istiqamahdengan program yang diusung di dalam koalisi.Rakyat juga dapat menilai pelbagai motif hadirnya koalisi sekaligus mendorong partai untuk melakukan koalisi visioner dan ideologis,bukan sekadar koalisi kepentingan politik sesaat.

Sebagai sebuah ikhtiar, koalisi tertulis, bermeterai, dan diumumkan di depan publik atau dimungkinkan dalam bentuk nota riil itu dilakukan demi menjamin stabi-litas pemerintahan dan pembelajaran politik.Namun dalam satu tarikan napas, fakta politik tak seindah konsep ideal yang dibayangkan. Koalisi faktanya hanyalah perkawinan kepentingan. Sebatas deal: partai mana mendukung siapa dan dihargai berapa.

Sangat sulit membayangkan demokrasi Indonesia di tengah kegenitan politisi yang masih berprinsip untung-rugi. Namun kita masih punya harapan kepada para elite partai dan calon presiden/wakil presiden. Rakyat sungguh merindukan hadirnya pemimpin yang beretika.Se moga!(*)

Dr Ali Masykur Musa
Anggota FPKB DPR RI dan Ketua Alumni Universitas Jember


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230582/

Pemerintah Berjanji Pacu Penyerapan Anggaran

Pemerintah menyadari penyerapan anggaran pada akhir tahun merupakan hal yang buruk. Tadi disepakati para menteri untuk memfokuskan aktivitas pada kuartal II dan III 2009.
S ETIAP tahunnya penye rapan anggaran pa da kuartal I tidak pernah lepas dari kisaran ang ka 10%. Padahal penyerapan ang garan merupakan kunci bagi bergeraknya perekonomian Indonesia yang sedang dilanda dampak krisis ekonomi global.
Akibat rendahnya penyerapan, banyak pelaku usaha yang bergantung pada proyekproyek pemerintah tidak bisa bekerja. Dampak buruk lainnya adalah menumpuknya dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang hingga akhir bulan lalu telah mencapai kisaran Rp200 triliun. Padahal dana menumpuk di SBI merupakan biaya yang harus ditanggung pemerintah pada akhirnya.
Untuk mengatasi rendahnya penyerapan anggaran itulah, para menteri melakukan rapat koordinasi di Kantor Menko Perekonomian, kemarin.
Dalam rakor itu para menteri sepakat untuk memfokuskan berbagai kegiatan pada kuartal II dan III 2009 sehingga penyerapan anggaran tidak menumpuk di akhir tahun.
"Tadi disepakati para menteri untuk memfokuskan aktivitas pada kuartal II dan II sehingga pe nyerapan anggaran tidak terjadi di akhir tahun," kata Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati seusai rakor, kemarin.
Menurut dia, kementerian/ lembaga yang sudah memiliki program yang pasti beserta alokasi anggarannya harus segera melaksanakan program/kegiatan itu di kuartal II dan III. Pihaknya meminta agar para menteri menginventarisasi berbagai masalah terkait dengan penyerapan anggaran.
"Jika memang ada kelambatan di tingkat Depkeu, tanggung jawab kami untuk membenahi dan mempercepat," katanya.
Sampai dengan kuartal I 2009, penyerapan anggaran mencapai 11,3%. Bila ditambah dengan stimulus, menjadi lebih rendah, yaitu 10,9%. Namun, angka itu lebih baik daripada penyerapan anggaran 2008 sebesar 9%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menyatakan penyerapan anggaran di 2009 yang nilainya lebih dari Rp1.000 triliun harus lebih cepat daripada kebiasaan yang ada. Hal itu akan lebih ber dampak besar daripada belanja stimulus Rp12,2 triliun.
Menurut Rusman, pada kuartal I 2009 memang belum ada dampak apa pun dari stimulus fiskal. Ia berharap stimulus dapat mulai berdampak di kuartal II 2009. "Jadi karena di 2009 bukan tahun yang harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, penyerapan anggaran harus cepat," katanya.
Progres stimulus Instruksi agar meningkatkan penyerapan anggaran tidak hanya untuk anggaran rutin, tapi juga anggaran stimulus fiskal. Terkait dengan hal itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan penekanan khusus dalam rapat kabinet yang digelar awal pekan ini.
Untuk penerima dana stimulus yang paling besar, yaitu Departemen Pekerjaan Umum (PU) dengan total sebesar Rp6,6 triliun, sebanyak Rp3,6 triliun telah diselesaikan dokumennya. "Hanya tinggal persetujuan Dirjen Anggaran dan Panggar," cetus Menteri PU Djoko Kirmanto seusai rapat koordinasi.
Sisanya sebesar Rp3 triliun masih dalam proses koordinasi dengan pihak daerah, yaitu bupati dan gubernur.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penyaluran dana stimulus infrastruktur sektor listrik Rp425 miliar dalam jangka empat bulan terhitung April ini.
Untuk mempercepat realisasi stimulus itu, pihak Departemen ESDM memberi ancaman hukuman Pejabat Pembuat Komitmen (P2K) yang tidak dapat memenuhi target waktu tersebut.
"Saya paksa para pemimpin proyek tersebut supaya dalam waktu empat bulan dana untuk listrik sudah terserap, saya tidak mau tahu," ujar Sekretaris Jenderal Departemen ESDM Wayono Karno.
Alokasi dana stimulus yang masih terganjal ada pada proyek Rp58 miliar yang semula diserahkan Departemen Perhubungan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
"DKP mengatakan mungkin tidak bisa melaksanakan. DKP menyarankan untuk digunakan Dephub," ujar Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal.
Dengan adanya penolakan pihak DKP atas pengalihan alo kasi dana dari Dephub, untuk proyek pembangunan dermaga ikan tersebut masih bermasalah. "Itu masih dibintangi," cetusnya.
Sampai saat ini, proyek tersebut masih dalam proses pencarian lokasi dan realokasi untuk pelaksanaan proyek tersebut.
(Tup/Ant/E-2)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/17/ArticleHtmls/17_04_2009_013_010.shtml?Mode=1

Kiprah Demokrasi tidak Kenal Henti

D ARI sekian banyak iklan dalam rang ka pemilu, iklan Mahkamah Konstitu si adalah satu-satunya yang bisa membuat kita tertawa di tengah ku bangan kekecewaan. Iklan singkat berbentuk opera yang penuh humor itu mempertontonkan sejumlah jagoan dan perempuan kebanyakan yang siap berkelahi karena kecewa akan hasil pemilu. Lalu tiba-tiba datang orang membawa pesan yang intinya menyatakan, "Jangan heboh. Sampaikan keluhan dan kekesalan ke Mahkamah Konstitusi. Dialah yang akan menyelesaikan secara adil." Maka rakyat pun kembali rukun.
"The party is over...." Pesta pemilu sudah usai. Yang tersisa hanya remah-remah dan benah-benah. Buntutnya memang akan panjang karena menyangkut perang ego, hak-hak yang ditelikung, keinginan untuk mengerdilkan kekurangan dan kecurangan, dan--bimsalabim--kalau bisa, menyulap supaya akibat kesemrawutan bisa lenyap. Pesta demokrasi 2009 menunjukkan, kita terbukti belum lolos uji, sekalipun 50 triliun rupiah telah menguap. Bahkan dikatakan, inilah pemilu yang terburuk dalam sejarah perpolitikan kita.
Banyak yang menasihati--mungkin demi ketenangan hati--sebaiknya diingat, "The loyalty to the party ends when the loyalty to the country begins." Tetapi banyak pula yang menyangkal kejujuran ungkapan itu, dan menanggapinya dengan, "The loyalty to the country ends when the loyalty to the individual interest begins." Ungkapan-ungkapan itu tentunya terutama ditujukan kepada kalangan politisi yang penuh dinamika, di samping ambisius secara pribadi. Rakyat dalam hal ini diperankan sebagai penonton. Rupanya baru sampai di situ demokrasi membawa kita.
Maka setelah berhari-hari mendengarkan uraian, analisis, prediksi, dan gosip kelas tinggi, saat-saat ini kita mulai mereka-reka dan menerawang ke depan, yang mana-mana yang akan saling berkoalisi, dan siapa yang menjelang penutup tahun ini akhirnya menjadi pemimpin masa depan. Bagaimanapun, kinerja suatu organisasi--apakah kecil, menengah, besar atau meraksasa seperti negara--ditentukan oleh apa dan siapa yang memimpinnya. Apakah mereka bijaksana dan memiliki cita-cita luhur? Itu pertanyaan penting pertama yang perlu kita ingat ketika kita membuat pilihan.
Rakyat berpartisipasi "Vox populi, vox Dei." Suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya, Tuhan menghendakinya demikian. Memakai konsep itu sebagai patokan, mungkin pertanyaan berikut ini bisa terjawab, mengapa Sukarno dan Soeharto dipilih-Nya menjadi dua presiden pertama kita.
Setelah lebih dari 300 tahun penjajahan, kita membutuhkan pemimpin dengan idealisme menggelora. Soekarno dengan entourage-nya, dan dengan menyuruh rakyat menggantungkan citacita setinggi langit, telah memungkinkan kepulauan Nusantara yang terdiri lebih dari 13.500 pulau itu menjadi negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan luar biasa itu penuh pengorbanan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Peralihan dari pemerintahan 20 tahun Soekarno ke pemerintahan Soeharto pun menuntut banyak pengorbanan. Inilah penggalan sejarah yang menyaksikan kembal inya Indonesia ke dalam ranah pergaulan internasional demi pembangunan, dengan mengikuti perjalanan bisnis dan ekonomi dunia, antara lain, pragmatisme menjadi pilihan. Itulah benang merah yang dapat ditarik dari sejarah sebelum masa reformasi, mulai 21 Mei 1998. Prosesnya tentu tidak segampang dan sesederhana itu. Jauh lebih rumit dan banyak lika-liku. Perpolitikan tak selesai-selesainya menjadi ajang perselisihan dan perdebatan menuju kehidupan de mokrasi yang terusmenerus menuntut penyempurnaan. Perjalanan demokrasi tidak pernah mandek. Semua negara demokrasi di dunia mengalami dan tekun menjalaninya. Rakyatnya bukan hanya menjadi saksi, tetapi secara intens berpartisipasi. Sebenarnya itu hanya mungkin bila rakyat mendapat pendidikan politik yang memadai.
Partai dan ketokohan Orang boleh ramai berdebat sepanjang hayat, tetapi dalam hal memilih pemimpin di masyarakat demokrasi, rakyatlah yang akhirnya menentukan. Ini yang mengharuskan sosialisasi. Tanpa itu, rakyat tidak akan tahu. Soal sederhana dalam pelajaran komunikasi ini seharusnya disampaikan oleh semua tim sukses, termasuk rombongan PR, kepada para politikus yang ingin bertarung. Jangan karena merasa hebat dan dikenal, proses sosialisasi terabaikan dan/atau tertundatunda. Sosialisasi memerlukan perencanaan matang. Proses penyampaian ke masyarakat memerlukan waktu lama dan ketekunan. Dalam hal ini, sistem politik dengan sendirinya mengun tungkan incumbent yang menjadi fokus perhatian tanpa diminta dan tanpa henti. Namun, dia pun masih perlu memberikan pencerahan lebih lanjut demi dampak positif bagi citranya. Rakyat tidak boleh diabaikan.
Sosialisasi inilah antara lain yang membuat seseorang menjadi tokoh. Bila apa yang dia lakukan bermanfaat, menguntungkan dan menyenangkan rakyat banyak, tentunya ketokohannya semakin sempurna. Kenyataan bahwa artis-artis dan selebritas berhasil menjadi pilihan rakyat untuk masuk dewan legislatif membuktikan, rakyat perlu mengenal apa dan siapa yang dipilihnya.
Yang sekarang banyak diwacanakan, tampaknya ketokohan lebih menentukan daripada partai politik yang menjadi kendaraannya. Maka segenap partai politik dan para tokohnya rasanya perlu menentukan, apa tujuan akhir koalisi agar dia tidak salah memilih partai dan tokoh sebagai mitranya.
Koalisi dan wibawa pemimpinnya Di atas disebutkan, pertanyaan penting pertama untuk memilih pemimpin masa depan adalah apakah sang pemimpin memiliki kebijaksanaan dan cita-cita luhur? Pertanyaan penting kedua adalah apakah sang pemimpin yang menghela kendaraan koalisi memiliki wibawa dan karisma cukup besar untuk menarik dan menghimpun suara rakyat? Idealnya, kita mampu menemukan pemimpin yang mengusung perpaduan spirit Sukarno dan spirit Soeharto. Itu yang kita impikan.
Kita rasanya juga perlu merenungkan, cu kupkah kalau koalisi itu dilakukan sekadar demi kelancaran politik agar business as usual tidak terhambat? Ataukah koalisi atas dasar kesamaan platform itu perlu dilakukan secara permanen demi kepentingan negara? Atau koalisi diinginkan demi kepentingan golongan karena cita-cita sulit terwujud kalau dijalankan sendiri-sendiri. Bisa juga demi kelangsungan hidup partai dan para tokohnya. Yang terakhir itu khusus menyangkut partai-partai kecil dan/atau baru yang masih harus berjuang demi eksistensinya.
Mungkin hal-hal tersebut juga sedang menjadi pemikiran semua partai politik dan tokohtokohnya. Hal berikut yang tidak kalah peliknya adalah kecocokan hubungan antarpribadi para tokoh dan kalangan politisi yang mengelilinginya. Mungkin saja tokoh-tokoh pimpinan saling setuju, tetapi sekeliling setiap tokoh belum tentu karena alasan kepentingan partai atau lainnya. Inilah masalahmasalah sensitif yang tentunya menunggu diselesaikan semua partai sebelum diambil keputusan untuk membuat koalisi dengan pihak mana pun.
Banyak partai, banyak keruwetan Di lubuk hati kita masih tersimpan pertanyaan, apakah kekacauan Pemilu 2009 terutama disebabkan oleh banyaknya partai politik yang bersaing dalam pemilu, yang jum lahnya mencapai 44, atau karena kecerobohan penyelenggara? Banyak yang mencurigai, banyak kecurangan telah terjadi yang bisa menafikan keabsahan pemilu. Apa pun, kekacauan itu menunjukkan, yang dikedepankan bukanlah kepentingan rakyat, tetapi kepentingan para caleg, khususnya partai-partai politik.
Kalau partai-partai politik benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat, inilah saatnya mereka memikirkan koalisi permanen, bukannya malahan mengutamakan ego-ego pribadi para tokoh. Secara profesional dapat dilakukan studi, partai-partai mana yang memiliki platform seiring dan dapat disatukan. Jangan membuat rakyat bingung dan tampak bodoh. Bentanganbentangan lebar yang memuat ratusan nama caleg, yang tidak mereka kenal, membuat seluruh proses di TPS tampak penuh pretensi. Apakah penyelesaian kekacauan pemilu dapat ditindaklanjuti anggota-anggota baru perwakilan rakyat? Kita tunggu.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/17/ArticleHtmls/17_04_2009_024_002.shtml?Mode=1

Banalitas Realisme Politik

Banalitas Realisme Politik


Oleh Triyono Lukmantoro

Politik adalah seni segala kemungkinan. Itulah adagium atau pepatah yang sangat populer di Indonesia. Bahkan bukan sekadar menjadi adagium, ”seni segala kemungkinan” itu telah menjelma sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan. Bukti-bukti konkret dapat ditampilkan. Permusuhan secara mendadak bisa berubah menjadi perkawanan. Kompetisi politik justru dapat menghasilkan koalisi untuk merengkuh kekuasaan. Tiada sahabat dan seteru abadi dalam domain politik semacam ini.
Kaum elite politik yang pernah bertikai pada masa silam seakan-akan dengan cepat menemukan kesepakatan damai. Kompetisi politik melalui ajang pemilihan umum yang menebarkan slogan saling serang di antara elite politik seolah-olah bisa diselesaikan dalam waktu sekejap. Itulah fenomena politik yang terjadi ketika Wiranto bertemu dengan Prabowo Subianto maupun saat Jusuf Kalla berjumpa dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Rangkaian pertemuan elite-elite politik itu bisa direntang lebih panjang lagi jumlahnya untuk memverifikasi adagium ”seni segala kemungkinan” itu.
Semua itu bukan menandakan bahwa politik negeri ini mudah memberikan pengampunan. Seluruh rangkaian perjumpaan politik yang diberi tajuk ”penjajakan berkoalisi” itu tak lebih dorongan untuk mendapatkan kekuasaan. Suara rakyat dalam pemilu diposisikan sebagai bahan bakar untuk menjalankan tawar-menawar. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, melainkan suara rakyat disulap sebagai karpet merah untuk melempangkan jalan menuju kekuasaan.
Elite dari partai politik yang bisa meraih suara lebih besar bagaikan memiliki daya magnetis. Di sini kutub-kutub politik diformulasikan dan akan dibubarkan sesuai dengan kebutuhan untuk berkuasa, sebagaimana yang telah diagendakan. Tidak ada lagi ideologi yang menjadi rujukan untuk menciptakan ikatan politik. Ideologi politik bisa dibikin sesaat dan diubah-ubah untuk memenuhi kepentingan hasrat. Ideologi sebagai gagasan ideal yang hendak diperjuangkan secara konsisten hanya bernasib layaknya pakaian yang bisa dipertukarkan sesuai dengan kebutuhan pentas kekuasaan.
Bujuk rayu kekuasaan
Mengapa para elite politik begitu mudah terkena bujuk rayu kekuasaan? Dan, setelah mereka mendapatkan kekuasaan politik itu, mengapa mereka begitu enggan melepaskannya? Jawaban menarik diberikan Vaclav Havel ketika menerima Sonning Prize pada 28 Mei 1991 untuk kontribusinya bagi peradaban Eropa. Havel, sang sastrawan yang pernah menjadi Presiden Cekoslowakia (periode 1989-1993) dan Presiden Republik Ceko (periode 1993-2003), menyatakan, ada tiga dorongan yang menjadikan seseorang berkeinginan kuat menggapai kekuasaan politik. Pertama, gagasan-gagasan lebih baik untuk mengorganisasikan masyarakat. Nilai- nilai dan ideal-ideal politik itu diperjuangkan ke dalam kenyataan sosial. Kedua, motivasi peneguhan diri. Kekuasaan memberikan peluang besar untuk membentuk dunia sebagaimana yang telah digambarkan dalam diri seseorang. Ketiga, menggapai berbagai keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan politik. Pada alasan inilah akan terlihat betapa kejamnya bujuk rayu kekuasaan.
Dirumuskan dalam bahasa yang lebih transparan, dorongan pertama bernama ideologi, dorongan kedua berupa cita-cita, dan dorongan ketiga adalah oportunisme. Dalam perpolitikan kita, apa yang disebut sebagai ideologi telah sirna karena ideologi tidak lebih berkedudukan sebagai label dagangan politik belaka. Mewujudkan cita-cita merupakan dorongan yang paling sering didengungkan, setidaknya fenomena ini tampak dalam sekian slogan kampanye dan iklan-iklan politik. Namun, bukankah jargon dan iklan sekadar perkakas muslihat untuk meraih simpati massa? Jadi, dorongan ketiga, yakni oportunisme, merupakan hal yang paling sering dilakukan elite politik kita yang dibungkus dalam ideologi dan cita-cita.
Pada situasi itulah menarik menyimak apa yang dikatakan Havel bahwa ketiga dorongan kuat tersebut berjalinan. Selalu ada ambiguitas yang terdapat dalam kekuasaan politik. Pada satu sisi, kekuasaan memberikan peluang untuk meneguhkan diri, menyajikan identitas yang tidak mungkin disangkal, dan meninggalkan jejak yang begitu kasatmata. Namun, pada sisi lain, kekuasaan juga menciptakan kebohongan yang berbahaya, yakni seakan- akan menegaskan eksistensi dan identitas kita, padahal kenyataannya justru merampok kita.
Perampok kekuasaan
Ketika hasrat berkuasa merampok ideologi dan cita-cita politik, peluang yang selalu terbuka adalah sebentuk oportunisme politik yang mendorong elite politik bertingkah sebagai perampok kekuasaan. Sosok perampok kekuasaan selalu berhitung dengan realitas yang mengitarinya, bukan dengan memuliakan idealitas yang menjadi keyakinannya. Bukan gejala yang janggal jika realpolitik membinasakan idealpolitik. Sebab, realpolitik merupakan rujukan bagi politik atau diplomasi yang secara primer didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan praktis ketimbang gagasan ideologis. Realpolitik hanya berhitung pada kekuasaan yang ingin didapatkan sambil dengan aneka tipu daya mematikan idealitas, moralitas, dan prinsip-prinsip humanitas.
Realpolitik berkaitan erat dengan filsafat politik yang bernama realisme politik. Pada aliran filsafat politik ini, ungkap Alexander Moseley (2006), kekuasaan menjadi dan bahkan keharusan untuk dijadikan sebagai tujuan utama tindakan politik. Sadar atau tidak, filsafat realisme politik itu sangat kuat tertancap dalam diri kalangan elite politik negeri ini. Memburu kekuasaan sesuai dengan kepentingan egoisme mereka telah demikian nyata terlihat, bahkan telah menjadi banalitas. Dan, setiap banalitas politik tidak hanya menyajikan kevulgaran tindakan meraih kekuasaan, tetapi juga kekasaran dalam mereduksi prinsip-prinsip etika politik.
Triyono Lukmantoro Pengajar FISIP Universitas Diponegoro Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/17/03065473/banalitas.realisme.politik

MA Menangkan Majalah Time

MA Menangkan Majalah Time


JAKARTA (SI)– MahkamahAgung (MA) akhirnya mengabulkan permintaan peninjauan kembali (PK) dari majalah Time Asia dalam perkara pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto.


Hal itu ditetapkan majelis PK yang dipimpin Harifin A Tumpa, beranggotakan Hakim Nyak Pha dan Hatta Ali, dalam sidang putusan di Gedung MA Jakarta kemarin. ”Amarnya mengabulkan PK dan membatalkan putusan kasasi. Jadi kembali ke putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT),”ujar Hatta Ali saat dihubungi wartawan di Jakarta kemarin. Time pun dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi Rp1 triliun yang sebelumnya ditetapkan dalam putusan majelis kasasi.

Dalam pertimbangannya,majelis menilai laporan atau pemberitaan Time tentang kekayaan dan dugaan korupsi Soeharto bukan merupakan perbuatan melawan hukum. ”Itu tak melanggar UU Pers dan kode etik pers. Apalagi hak jawabnya juga sudah dimuat di majalah itu sendiri,”kata Hatta. Soeharto mengajukan gugatan karena laporan hasil investigasi Time atas aset kekayaannya di luar negeri pada volume 153 Nomor 20 terbitan 14 Mei 1999.

Dalam edisi itu, Time menulis artikel tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto dengan judul ”Soeharto Inc. How Indonesia`s Longtime Boss Built a Family Fortune”(Perusahaan Soeharto. Kiat Bos Indonesia Kawakan Membangun Kekayaan Keluarga). Pada edisi yang sama, majalah itu juga memberitakan adanya transfer dana sembilan miliar dolar AS dari Swiss ke sebuah rekening bank di Austria yang diduga milik mantan Presiden Soeharto serta mengungkap harta kekayaan anak-anak Soeharto di luar negeri.

Di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding Time dimenangkan majelis hakim. Namun, pada 30 Agustus 2007 MA memutus sebaliknya. Pada saat itu, majelis menilai pemuatan tulisan dan gambar tentang kekayaan bekas penguasa Orde Baru itu telah mencemarkan harkat dan martabat Soeharto sebagai jenderal besar TNI dan mantan Presiden Indonesia.

Dalam putusan saat itu, selain mewajibkan Time membayar Rp1 triliun, majelis hakim juga mewajibkan Timememuat permohonan maaf dalam media nasional dan internasional. Kuasa hukum Time, Todung Mulya Lubis,menyambut baik putusan ini. Dia pun menilai putusan ini sebagai kemenangan besar buat pers di Indonesia yang belakangan sering dihadapkan pada ancaman dan gugatan pidana maupun perdata.

Menurutnya, putusan ini menunjukkan bahwa MA menghormati kebebasan pers, terutama yang memberitakan kepentingan umum. ”Pers yang memberitakan kepentingan umum, sejauh tidak melanggar kode etik, tidak bisa dikategorikan melawan hukum,” kata Todung. Dengan putusan ini, Todung berharap ke depan,pers tidak akan dibayangi kecemasan dan ketakutan untuk digugat dan dituntut membayar ganti rugi yang fantastis.

Dia juga mengatakan, hasil yang didapat Time merupakan putusan yang objektif. Sebab, pemberitaan tentang kekayaan Soeharto ini tidak hanya dilakukan Time, tetapi juga media massa lain.”MA cukup menyadari ini berita yang bisa dibaca di mana-mana,” ujar Todung. (rijan irnando purba)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230490/

Dekan FEUI Termuda: Saatnya Menghidupkan Tokoh-tokoh Muda

Dekan FEUI Termuda: Saatnya Menghidupkan Tokoh-tokoh Muda
Nurul Qomariyah, Wahyu Daniel - detikFinance


Jakarta - Firmanzah membuat kejutan dengan menjadi Dekan Fakultas Ekonomi UI termuda, pada usianya yang belum genap 33 tahun. Kehadiran ekonom-ekonom ataupun tokoh muda ini terasa segar di tengah tokoh-tokoh yang muncul selama ini terkesan itu-itu saja.

Firmanzah mampu menjadi Dekan FEUI setelah mengalahkan para seniornya yang rata-rata sudah bergelar Profesor. Alumnus jurusan manajeman FEUI angkatan 1994 yang berusia genap 33 tahun pada Juni nanti itu antara lain mengalahkan kakak dari Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, Dr Ir Nining Indrayono Soesilo MA.

Dalam pemilihan Dekan FE UI 14 April 2008, Firmanzah, Ph.D berhasil mengungguli 2 kandidat calon dekan lainnya, yaitu Prof Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal, PhD. Terpilihnya Firmanzah sebagai Dekan FE-UI periode 2009-2013, sekaligus mengukir sejarah sebagai Dekan termuda sepanjang sejarah UI dan sebagai pegawai BHMN pertama yang menjabat posisi Dekan.

Bagaimana kisah pria yang biasa disapa Fiz ini bisa melenggang ke kursi tertinggi di FEUI? Berikut wawancara detikFinance dengan Firmanzah di kantornya, Dekanat FEUI, Depok, Kamis (15/4/2009).

Bagaimana rasanya terpilih menjadi Dekan FEUI di saat saingan anda begitu berat dan lebih senior dari anda?

Tokoh-tokoh muda mati suri dan akhirnya mati suri, itu harus dihidupkan lagi tokoh-tokoh muda. Saat ini kita bicara tentang kinerja berbasis kompetensi dan itu harus dilakukan. UI sedang melakukan transformasi, Rektor yang melakukan itu. Membuat UI lebih fresh, UI keluar dari konservatisme. Lebih adaptif dengan kompetisi di tingkat regional dan juga global, jadi penuh dengan perubahan.

Perlu komitmen universitas jadi kita memilih pemimpin fakultas karena kompetensinya. Bukan karena dukungan atau dia itu siapa dan asalnya dari mana. Itu budaya feodal. Aristokrasi, feodal, dan nepotisme itu sudah tidak relevan lagi saat ini, jadi pemilihan dekan saat itu murni dinilai dari kompetensi. Ini kompetisi, dan mekanisme pemengangnya lewat kompetensi, dan kita harus belajar untuk menjalankannya. Kita juga harus belajar, jangan karena si X ini saudara siapa maka lebih dipilih.

Apakah anda tidak mempunyai beban saat bersaing dengan senior waktu itu?

Ada beban karena bersaing dengan senior, bagaimanapun mereka itu dosen kita dan lebih berpengalaman. Namun itu konsekuensi yang sudah saya sadari sejak awal. Kita harus upgrade diri kita dengan cepat menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan institusi, karena semangat saja tidak cukup. Tapi kita harus belajar untuk menutupi kekurangan-kekurangan kita, belajar dari senior dan teman-teman yang lebih pengalaman.

Persiapan berapa lama?

Persiapannya ada persiapan umum seperti sekolah S3, buat buku dan tulisan yang dipublikasi secara internasional. Membuka jaringan dan komunikasi dengan senior. Persiapan khususnya ketika mengambil formulir pencalonan dekan.

Apa konsep yang anda tawarkan saat itu?

Saya lihat FEUI mempunyai sejarah yang panjang, kompleks, rumit dengan banyaknya lembaga dan program studi seperti ada Ilmu Studi Pembangunan, Ilmu Akuntasi dan Ilmu Manajemen. Tantangan kita ke depan adalah untuk melakukan internasionalisasi secara global. Kita tidak lagi head to head dengan UGM atau universitas lainnya di luar negeri, kita sekarang harus sejajar secara internasional. Dan kita tidak bisa sendiri, harus ada sinergi dari 3 program studi yang ada, dengan mahasiswa, dosen, dan sebagainya untuk memajukan FEUI.

Caranya bagaimana untuk bawa FEUI ke persaingan internasional?

Saya akan mengakselerasi kerjasama internasional. Baik itu mengundang dosen dari luar negeri untuk mengajar di sini, atau outbond, dalam arti dosen kita dikirim untuk mengajar ke luar negeri.

Ada rencana rekomendasi ke pemerintah?


Aspek distribusi dan penataan lembaga. Saya baru dua hari, dan masih banyak yang harus dikerjakan. Tadi ada yang datang dari Slovakia, dan mereka appreciate, karena yang termuda di Slovakia adalah 34 tahun. Dan saya juga lagi Guru Besar, dan mudah-mudahan selesai dalam 3 atau 4 bulan. Saya berencana buat media center.

http://www.detikfinance.com/read/2009/04/17/065926/1116834/459/dekan-feui-termuda-saatnya-menghidupkan-tokoh-tokoh-muda

Jumat, 17/04/2009 07:19 WIB
Wawancara Dekan FEUI Termuda:
SBY, Mega, Prabowo dan Marketing Politik
Nurul Qomariyah, Wahyu Daniel - detikFinance




Jakarta - Pemilu tak pernah lepas dari sisi marketing. Para parpol-parpol dan capres-capres pun menerapkan marketing politik untuk meraih kemenangan atas lawan-lawannya.

Dekan Fakultas Ekonomi UI Firmanzah mengatakan, semua parpol dalam pemilu menggunakan marketing politik dengan gaya yang berbeda-beda. Mereka mengelola isu tersebut setelah melakukan riset dan melihat apa yang dibutuhkan masyarakat.

Bagaimana pergerakan marketing politik di tanah air? Berikut wawancara detikFinance dengan pria yang biasa disapa Fiz ini dikantornya, Dekanat FEUI, Depok, Kamis (15/4/2009).

Firmanzah yang baru 2 hari terpilih memang mendalami marketing politik. Lulusan manajemen FEUI angkatan tahun 1994 itu antara lain pernah menuliskan jurnal ilmiah dengan judul: Mengelola Partai Politik: Persaingan dan Positioning Ideologi Politik di tahun 2008.

Berikut petikan wawancaranya:

Anda mendalami marketing politik, bisa dijelaskan?

Marketing politik adalah bagaimana meletakkan marketing dalam persaingan politik, sekarang ada iklan-iklan politik, brosur, market survei dan manajemen isu, itu semua marketing. Lalu politisi dalam dunia politik yang makin terbuka, bebas dan transparan harus punya konsep dan teknik yang baik dan marketing bisa membantu itu.

Apakah pemilu saat ini sudah menggunakan manajemen marketing itu?

Sudah banyak partai-partai politik dan kontestan politik yang melakukan itu, seperti Prabowo, SBY, ataupun Megawati. Kalau kita lihat bagaimana mereka mengembangkan isu, itu dilakukan melalui riset, melihat apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti isu kesehatan, kesejahteraan. Seperti Unilever jika mau meluncurkan produk, itu harus sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun di politik yang diluncurkan adalah political product. Figur seperti apa, pakaian seperti apa, dan sebagainya.

Di Indonesia bisa seperti itu?

Bisa dan sudah dilakukan. Dan it works. Bagaimana produk yang kita sampaikan dipahami oleh masyarakat.

Kalau karakteristik marketing politik dari politisi kita?

Ada yang lebih market driven, figure driven atau isu lainnya. Jadi seperti SBY dan Mega perang isu, dimana SBY bilang harga makin murah, Mega bilang harga makin mahal.

Kira-kira yang paling efektif seperti apa saat ini?

Yang paling efektif yang paling dibutuhkan masyarakat, karena itu SBY menang. Karena memang dari jargonnya simpel dan sederhana seperti BLT dan Raskin yang sangat kena kepada masyarakat.

Untuk Pilpres bagaimana?

Peta politik Pilpres akan mengkristal kepada dua koalisi, yaitu koalisi S dan koalisi M, atau koalisi Merah dan koalisi Biru. Koalisi S ada Golkar dan saya rasa Golkar akan merapat ke SBY. Lalu diseberang sana ada PDIP, Gerindra, dan Hanura, mereka ini challanger karena isu-isunya satu cluster. Mereka akan head to head.

Ada yang bilang Presiden SBY itu Obama banget caranya, apa Anda melihat seperti itu?

Saya rasa tidak, karena Obama challenger dan dia harus mengkritik kebijakan Partai penguasa yaitu Republik. Sementara SBY incumbent yang harus mempertahankan kebijakannya. Jadi posisinya beda. Dan beda karena SBY lebih mengedepankan pencitraan, sementara Obama memperlihatkan bahwa Presiden manusia biasa.

Posisi SBY masih kuat?

Saya rasa masih kuat, tapi tergantung dari bagaimana koalisi Mega mengelola isu. Kemarin kenapa PDIP jatuh, karena isunya awalnya kontra BLT, sekarang mengawal BLT.

Pilpres nanti kira-kira political issues yang dimainkan apa?

Saya rasa seperti kesejahteraan masyarakat, infrastruktur, monetary policy, investasi, utang luar negeri, dan banyak lagi.

Sebagai ekonom, kondisi Indonesia dengan Pemilu saat ini di tengah krisis gimana?

Saya rasa kondisi kita relatif lebih baik, dibanding kondisi kawasan terutama di ASEAN. Kalau kita lihat Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, pertumbuhan ekonomi kita masih lebih tinggi. Artinya dalam situasi yang sama-sama sulit, kita masih bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak dari mereka, karena pertumbuhan ekonomi mengindikasikan berapa banyak tenaga kerja yang bisa kita serap.

Pemilu legislatif selesai dan sudah oke, ada kekecewaan seperti masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap), tapi ekonomi kita tetap jalan. IHSG bagus, nilai tukar kita tidak drop sampai Rp 15.000-16.000/US$, cadangan devisa terjaga dengan baik. Tidak ada masalah, dan pemilu tidak jadi beban. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik, punya benefit, ini yang tidak dilakukan pada periode 32 tahun Pemerintahan Soeharto.

Tahun 2010 bagaimana ekonomi kita?

Sekarang kondisi beda dengan tahun 1990-an, artinya integrated economy. Bagaimana bisa kita membayangkan demonstrasi di Nigeria bisa menghancurkan UKM kita. Karena demonstrasi pekerja kilang di Nigeria membuat banyak spekulan beranggapan supply minyak dunia menghambat dan memicu mereka membeli bersamaan, dan harga naik. Lalu subsidi kita meningkat, akhirnya harga BBM dilepas mengikuti harga pasar dan komponen energi untuk UKM kita 60% akibatnya banyak UKM gulung tikar. Ini situasi yang kita hadapi, kemampuan kita untuk ciptakan buffer dan reaksi yang cepat dan tepat, menjadi cermin ekonomi nasional. Jadi kita menjaga ekonomi kita dengan baik pun belum cukup karena integrated economy.


http://www.detikfinance.com/read/2009/04/17/071926/1116835/459/sby-mega-prabowo-dan-marketing-politik

Jumat, 17/04/2009 09:04 WIB
Wawancara Dekan FEUI Termuda:
Krisis dan PR Pemerintah Baru
Wahyu Daniel, Nurul Qomariyah - detikFinance




Jakarta - Perekonomian Indonesia bisa dikatakan sedikit lebih beruntung ketimbang negara tetangga di saat krisis global. Ketertinggalan Indonesia dalam mengintegrasikan ekonomi ke dunia internasional justru menjadi tanggul penahan dari dahsyatnya krisis global.

Dan di tengah kondisi krisis global, Indonesia pun harus menghadapi hajatan politik pemilu. Ketidakstabilan politik selama pemilu memang dikhawatirkan bisa membawa dampak pada perekonomian yang sudah sulit ini.

Bagaimana perekonomian Indonesia pada tahun-tahun ke depan terutama setelah pemilu? Apa saja yang harus dilakukan pemerintah agar Indonesia tetap bertahan dan memanfaatkan kekurangan dari ekonomi negara-negara tetangga?

Berikut wawancara detikFinance dengan Dekan FEUI Firmanzah dikantornya, Dekanat FEUI, Depok, Kamis (15/4/2009). Pria yang biasa disapa Fiz ini baru 2 hari terpilih sebagai Dekan FEUI termuda, yakni pada usia yang belum genap 33 tahun.

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana ekonomi Indonesia setelah pemilu?

Saya rasa kondisi kita relatif lebih baik, dibanding kondisi kawasan terutama di ASEAN. Kalau kita lihat Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, pertumbuhan ekonomi kita masih lebih tinggi. Artinya dalam situasi yang sama-sama sulit, kita masih bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak dari mereka, karena pertumbuhan ekonomi mengindikasikan berapa banyak tenaga kerja yang bisa kita serap.

Pemilu legislatif selesai dan sudah oke, ada kekecewaan seperti masalah DPT (Daftar Pemilih Tetap), tapi ekonomi kita tetap jalan. IHSG bagus, nilai tukar kita tidak drop sampai Rp 15.000-16.000/US$, cadangan devisa terjaga dengan baik. Tidak ada masalah, dan pemilu tidak jadi beban. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik, punya benefit, ini yang tidak dilakukan pada periode 32 tahun Pemerintahan Soeharto.

Tahun 2010 bagaimana ekonomi kita?

Sekarang kondisi beda dengan tahun 1990-an, artinya integrated economy. Bagaimana bisa kita membayangkan demonstrasi di Nigeria bisa menghancurkan UKM kita. Karena demonstrasi pekerja kilang di Nigeria membuat banyak spekulan beranggapan suplai minyak dunia menghambat dan memicu mereka membeli bersamaan, dan harga naik. Lalu subsidi kita meningkat, akhirnya harga BBM dilepas mengikuti harga pasar dan komponen energi untuk UKM kita 60% akibatnya banyak UKM gulung tikar.

Ini situasi yang kita hadapi, kemampuan kita untuk ciptakan buffer dan reaksi yang cepat dan tepat, menjadi cermin ekonomi nasional. Jadi kita menjaga ekonomi kita dengan baik pun belum cukup karena integrated economy.

Manajemen pemerintah saat krisis bagaimana?

Kita akui sudah bagus, indikasinya di luar keterbatasan dan kendala, ketidakharmonisan antar departemen, so far baik. Nilai tukar terjaga, utang luar negeri sudah mulai terbayar, dan cadangan devisa semakin tinggi, gejolak ekonomi tidak nampak seperti Malaysia, Thailand atau Filipina.

Kekurangannya dimana?

Di distribusi pendapatan, pemerataan pembangunan. Ini PR kita yang harus diselesaikan. Gap pendapatan masih tinggi. Dan grand design Indonesia bagian Timur, lalu kawasan industri. Lalu logistik dan infrastruktur, kita tahu persoalan pelabuhan dan aksesnya. Pelabuhan Tanjung Priok yang terbesar tidak punya akses kereta api di sana, bongkar muat kontainer tidak efisien.

Lalu masalah birokrasi dimana desentralisasi menambah sulit persoalan. Jadi Bappenas dan Bulog harus direvitalisasi. Bappenas harus diberi otoritas seperti dulu sebagai central planning pembangunan. PR kebijakan ekonomi adalah bahwa ekonomi tidak hanya fiskal dan moneter tapi ada institusional ekonomi yang harus kita perbaiki.

Kemudian kita harus punya keunggulan dibanding negara lain. Seperti Singapura dengan hospital tourism, kita harus punya seperti itu. Tidak hanya produk tapi juga grand design.

Kalau Indonesia apa yang bisa diunggulkan?

Kita punya garis pantai yang luas, laut, dan hutan. Tapi kita tahu bagaimana Departemen Kelautan kita dan komitmen pemerintah memajukan industri kelautan seperti apa. Memajukan industri kelautan tidak bisa ad hoc hanya Departemen Kelautan, tapi juga harus kerjasama dengan TNI untuk pencurian ikan. Karena pencurian ikan kita hilang Rp 40 triliun per tahun, karena kapal dari China dan Filipina mudah masuk dan mengeruk kekayaan laut kita. Departemen Kelautan tidak bisa berbuat banyak, harus ada kerjasama, tidak bisa kerja sendiri-sendiri. Jadi
kita punya keunggulan yang belum kita optimalkan.

Saat ini pertumbuhan ekonomi Singapura negatif dan Thailand sedang menghadapi kekisruhan politik, apa ini bisa kita manfaatkan?

Ini kesempatan bagus untuk Indonesia, paling tidak turis yang tidak datang ke Thailand. Tergantung Departemen Pariwisata, apakah akan ambil kesempatan ini atau melewati kesempatan ini begitu saja. Mumpung Thailand tidak stabil politiknya, saatnya Indonesia menarik turis dari Thailand ke Indonesia, kondisi alam Indonesia dan Thailand tidak berbeda, dan ini kesempatan bagus.

Analisa tentang krisis global yang dimulai di AS saat ini kenapa bisa seluas itu?

Ini masalahnya, semenjak 911, ekonomi AS di-drive oleh ekonomi konsumsi. Dalam beberapa hal baik, tapi sampai hal tertentu jadi membahayakan. Jadi kegiatan ekonomi yang diberikan insentif konsumennya sehingga bisa mengkonsumsi lebih banyak agar produksi tertarik. Akibatnya ketika kebijakan itu tidak ada batasnya, di level mikro satu orang itu bisa punya 6 kartu kredit. Sehingga pendapatan rumah tangga jauh lebih kecil dari pendapatannya dan saving negatif, kemudian untuk menutupi defisit melalui utang luar negeri. Jadi AS merepresentasikan 60% global deficit, yang beli utang AS adalah Cina, Korsel, dan Jepang. Jadi hati-hati kebijakan mendorong ekonomi lewat konsumsi.

Itu sekarang yang dilakukan pemerintah?

Jangan sampai kita mengalami itu. Kebijakan fiskal dan moneter harus bisa dimainkan. Dan juga jaga konsumsi. Seperti Cina saat ekonomi overheating dia menaikkan suku bunga, dan mengeluarkan obligasi untuk serap uang beredar. Bank Indonesia harus bisa menjalankan fungsi kontrol.

Kalau lihat pengawasan perbankan BI?

Kalau kita lihat Pacto 1988 sampai 1998 pengawasannya tidak jalan. Kita kurang dalam kontrol institusi, intinya ekonomi tidak bisa melepaskan diri dari politik dan hukum.

(dnl/qom)
http://www.detikfinance.com/read/2009/04/17/090429/1116863/459/krisis-dan-pr-pemerintah-baru

Rekonstruksi Aceh dan Kejahatan Global

Rekonstruksi Aceh dan Kejahatan Global
Oleh Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh


P ADA 16 April tahun ini Badan Reha bilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias mengakhiri tugasnya. Walaupun telah pergi, lembaga ini masih mening galkan problem pascapembangunan. Luka rekonstruksi kita tinggal sebagai pesan yang perlu dibaca. Pada 3 April lalu, LSM Greenomics mengadukan BRR ke Komnas HAM karena telah mengabaikan hak-hak korban tsunami. Pengangkangan hak-hak korban yang paling banyak dijumpai pada program perumahan; seperti pembangunan asal jadi, korban sejati tidak mendapatkan rumah, malah nonkorban mendapatkan bantuan atau lebih dari satu rumah.
Pelbagai masalah itu muncul karena sejak awal BRR tidak mampu menjadi lembaga yang mendampingi korban dengan pendekatan partisipatif. BRR lebih terlihat sebagai organisasi bisnis yang mengordinasikan ratusan megaproyek.
Meski telah menghabiskan anggaran US$6,7 miliar termasuk Rp23,83 triliun dari APBN, kinerja lembaga itu jauh dari memuaskan. Bersama 500 lembaga lain, lokal dan internasional, lembaga-lembaga bantuan di Aceh telah membelanjakan lebih Rp100 triliun dalam empat tahun terakhir. Bank Dunia termasuk pendukung dana terbesar.
Korporatokrasi Apa yang terjadi di Aceh selama ini adalah epidemi politik bantuan yang hadir ketika bencana dan pembangunan menimpa dunia (ketiga). Fenomena itu disebut John Perkins dengan istilah korporatokrasi: kerajaan korporasi multinasional, sebagian besar digerakkan dari Amerika Serikat, bertujuan pada keuntungan secepatnya, dan meninggalkan polusi kerusakan akibat bisnisnya (The Secret History of the American Empire, 2007).
Secara khusus Perkins merujuk proyek pascabencana tsunami di Aceh. Menurutnya, proses korporatokrasi di Aceh telah berjalan sebelum bencana, ketika pemerintah Indonesia diam-diam berunding dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bencana tsunami seperti berkah tersembunyi. Mesin-mesin kekuasaan uang global memacu lembaga inisiator perdamaian untuk secepatnya menghasilkan kesepakatan. GAM sendiri tidak memiliki opsi lain, apalagi ketika Washington mengubah kebijakan embargo militer di masa pemerintahan Clinton terhadap Indonesia. Bencana telah mengubah seluruh peta perang dan mundur ke masa ketika eksploitasi gas dilakukan Exxon Mobil pada 1970-an: modus utama mengapa Aceh memberontak. Kali ini dengan label bantuan kemanusiaan.
Pembentukan BRR juga bagian dari skenario itu. Bank Dunia dan multidonor yang mendukung kelahiran BRR membutuhkan postur lembaga yang bisa menjamin misi mereka berjalan tanpa terganggu gerakan sosial. Karena itu, pembentukan BRR yang dijamin UU No 10/2005 cukup resisten dengan gelombang demonstrasi, meskipun tidak berkurang dari tahun ke tahun jumlahnya.
Korporatokrasi ini bekerja dalam skala luas untuk proyek-proyek vital seperti pembangunan jalan, bandara, pelabuhan, dan perkantoran. Per 1 Januari 2009 BRR menyatakan telah menyelesaikan 3.500 km jalan, 273 jembatan, 12 bandara, dan 20 unit pelabuhan di samping 133 ribu rumah. Lebih 80% anggaran terserap untuk proyek itu dengan keterlibatan korporasi asosiasi negara secara langsung (bukan hanya penyedia dana, tetapi juga konsultan dan kontraktor induk). Pembangunan jalan Banda Aceh-Calang dikave ling USAID (Amerika), jalan Calang-Meulaboh oleh JICS (Jepang), Pelabuhan Meulaboh oleh Singapura, Pelabuhan Malahayati oleh Belanda, Pelabuhan Ulee Lheu oleh AusAID (Australia), rumah sakit Banda Aceh oleh Jerman, rumah sakit Calang oleh Spanyol, dan lain-lain. Program sertifikasi agraria yang didanai Bank Dunia dengan nama RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) menjadi jalan bisnis paling komplet karena setiap inci tanah Aceh telah terukur nilainya.
Pembangunan infrastruktur skala luas menjadi bukti bahwa korporatokrasi tidak mengindahkan keselamatan lingkungan dan martabat masyarakat lokal. Keperluan terhadap kayu dalam jumlah besar telah mengakibatkan terbukanya hutanhutan Aceh. Jika sebelum 2003 penebangan hutan 'hanya' 33 ribu ha per tahun, sejak 2005 Aceh mengalami deforestasi 220 ribu ha per tahun. Hingga saat ini hampir 1 juta hektare hutan Aceh telah dirambah atau rusak parah. Pertahanan ekosistem Leuseur sejak Kesepakatan Tapaktuan tujuh dekade lalu, antara masyarakat adat hutan dan pemerintah Hindia Belanda yang menolak eksplorasi minyak dan mineral di hutan adat Gunung Leuseur-–cikal bakal Taman Nasional Gunung Leuseur--bobol sudah.
Pembawa acara Radio Expedition, Michael Sullivan membuat laporan setelah melihat langsung nasib hutan tropis terkaya se-Asia ini, "Perdamaian akhirnya membuat tekanan pada hutan meningkat. Ancaman terbesarnya melebihi penebangan kayu tropis dan perkebunan sawit, yaitu jalan raya. Pascatsunami diketahui bahwa sejumlah perusahaan permesinan dan konstruksi AS melobi Bank Dunia dan lembaga donor lain untuk membangun jalan raya yang akan menguntungkan industri minyak dan kayu ke depan" (M Sullivan, The Green Heart of Sumatera, 14/7/2006). Sebagian misteri terbuka, mengapa jalan Banda Aceh–Meulaboh yang sebelumnya 8 meter harus dibangun selebar 25 meter.
Perangkap baru Berakhirnya peran BRR di Aceh bukan berarti skenario korporatokrasi juga akan berhenti. Pembentukan lembaga baru yang melanjutkan sisa rekonstruksi dengan anggaran Rp2,9 triliun harus mampu menyembuhkan paradigma pembangunan.
Level penderitaan yang dirasakan masyarakat terbawah dari program korporatokrasi akan berlanjut jika masih berjalan dengan rel pembangunan infrastruktur dan bukan kepada manusia. Aset terbaik adalah manusia dan lingkungan lestari, bukan bangunan.
Tiga hal yang perlu dilakukan adalah kesejahteraan bagi komunitas penopang ekonomi riil dan lingkungan (petani, nelayan, komunitas hutan, pedagang kecil), rekonservasi dan penyelamatan hutan, serta akses pendidikan dan informasi bagi penduduk lokal. Ketiga hal itu terutama yang terakhir akan memberikan harapan dan kesadaran politik-intelektual masyarakat lokal untuk menentang kekuasaan korporasi bantuan yang sebenarnya lebih banyak menyebar racun berbisa jika dibandingkan dengan madu surga. Kesejahteraan ekonomi dan kualitas pendidikan adalah hal yang paling tertinggal dari proses rekonstruksi Aceh.
Tanpa harus menunggu politik bantuan semakin menjorokkan masyarakat ke arah keserakahan dan materialisme, sudah seharusnya skema Bank Dunia-isasi ditinggalkan dan percaya pada kekuatan komunitarianisme lokal. Perlu tumbuh kesadaran untuk mereproduksi bantuan dan bukan mengonsumsinya mentahmentah. Meninggalkan pola westernisasi, gaya hidup, dan gaji berlimpah yang menyebabkan kesenjangan sosial dan kembali ke local wisdom.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/17/ArticleHtmls/17_04_2009_024_004.shtml?Mode=1

Dana PNPM Mandiri Bertambah

Dana PNPM Mandiri Bertambah
JAKARTA -- Setelah tahun ini mengguyur pasar dengan stimulus fiskal, tahun depan pemerintah berencana menambah alokasi dana bagi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri sebanyak Rp 4 triliun, menjadi Rp 20 triliun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta saat ditemui kemarin di Departemen Keuangan mengungkapkan penambahan alokasi ini berdasarkan permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dia melanjutkan, dengan target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 4,5-5,5 persen, pemerintah juga mentargetkan penurunan angka kemiskinan dari 2009. "Tahun 2010 adalah tahun pemulihan dengan meningkatkan program kesejahteraan rakyat," ucapnya.
Paskah menjelaskan, pemerintah masih akan menjalankan program bantuan pendidikan melalui bantuan operasional sekolah. Begitu pula perluasan program jaminan kesehatan masyarakat, termasuk menyediakan layanan rumah sakit gratis sampai kelas III bagi masyarakat miskin.
"Program yang sifatnya sebagai jaring pengaman sosial akan diperbesar," kata dia. RIEKA RAHADIANA

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20090416.162619.id.html

Sakitnya Ditusuk Hacker

Sakitnya Ditusuk Hacker
Oleh Supriyoko

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) yang sedang membawa beban berat karena banyaknya complain anggota masyarakat, termasuk pimpinan partai politik, terhadap pelaksanaan pemilu legislatif, sekarang dipusingkan oleh serangan kaum peretas, penggondam, penghancur, atau yang dalam dunia maya lebih dikenal dengan sebutan hacker.

Betapa tidak, kalau sampai serangan kaum peretas tersebut berhasil, maka rusaklah data pemilu legislatif; hancurlah tabulasi data nasional Pemilihan Umum Tahun 2009. Dan kalau hal itu terjadi, maka bukan saja KPU yang akan menangis, tetapi Indonesia akan berduka. Kalau data itu rusak, maka pemilihan umum yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah tidak mampu menghasilkan apa-apa terkecuali ketegangan, keberingasan, dan saling menyalahkan antaranak bangsa.

Sekarang telah dibentuk "Tim Penyelamat Data" yang unsurnya dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure (SIRTII), dan Mabes Polri. Meskipun tim ini sudah bekerja keras, tetapi belum ada satu pun kaum peretas yang dapat ditangkap. Data pemilu sampai sekarang memang masih aman, tetapi tetap saja berpotensi dihancurkan.

Hacker Indonesia

Meskipun perkembangan teknologi informasi di Indonesia belumlah semaju Singapura dan Australia, akan tetapi dalam soal peretas, rasanya kita tidak ingin kalah. Yang mengancam keamanan tabulasi data nasional KPU pun disinyalir bukan kaum peretas dari mancanegara, akan tetapi justru para hacker anak negeri sendiri. Di kalangan kaum maya, hacker Indonesia memang dikenal telah memiliki kredibilitas tersendiri.

Barangkali kita masih ingat, pada tahun 2000 seorang peretas Indonesia asal Malang telah menghebohkan masyarakat dan kepolisian Singapura atas ulahnya yang merusak jaringan data di Negeri Singa tersebut.

Nama aslinya Wenas Agustiawan yang memakai nama samaran Hantu Crew alias HC. Usianya baru 15 tahun. Karena kecerdasannya, dia berhasil membobol situs Data Storage Institute Singapore dan beberapa situs besar lainnya. Kecerdasan yang disalurkan secara keliru dengan melakukan cyber crime tersebut akhirnya harus ditebus dengan hukuman. Dia tertangkap oleh polisi Singapura dan dibawa ke pengadilan.

Karena usianya masih muda, dia tidak dikenai hukuman badan, tetapi hukuman denda sekitar 75 juta rupiah; angka yang cukup aduhai ketika itu.

Apabila Singapura berhasil dihebohkan oleh Wenas, maka Amerika Serikat (AS), tepatnya pihak kepolisian Tuckzon, Arizona, berhasil digegerkan oleh peretas Indonesia lainnya yang bernama samaran Hmei7. Tidak tanggung-tanggung, dalam hal ini, yang dirusak situs milik institusi kepolisian itu sendiri. Memang kerusakan situs tersebut akhirnya dapat diperbaiki, tetapi sampai kini hacker Indonesia tersebut tidak pernah ditangkap.

Kaum peretas kita juga pernah saling serang dengan kaum penggondam Malaysia. Di sisi lain penggondam kita pun pernah "berduel" dengan peretas Australia. Hacker kita yang menggunakan nama samaran TarJO bahkan sempat ditakuti oleh para pemilik situs di Australia.

Amankan Data Pemilu

Berbicara tentang peretas, penggondam, penghancur, atau hacker sebenarnya tersirat sesuatu yang membanggakan karena mereka itu sebenarnya orang yang cerdas dan sedikit banyak menguasai teknologi dunia maya. Sayang, kecerdasannya tersebut disalurkan secara negatif yang dapat merugikan orang atau pihak lain.

Seorang peretas bisa saja membuat program untuk membuat kerusakan sementara (temporary break down) data pada situs yang dikehendaki. Data pada pitus yang terserang program ini tiba-tiba akan menghilang, namun dalam waktu tertentu akan muncul kembali.

Kerusakan seperti itulah yang dialami oleh situs kepolisian Tuckzon, Arizona (AS), atas ulah peretas kita Hmei7. Seorang peretas bisa juga membuat program untuk membuat kerusakan tetap (permanent break down) data pada situs yang dikehendaki. Data pada situs yang terserang program ini akan rusak secara tetap. Kerusakan seperti itu dialami oleh situs Lembaga Data Singapura atas ulah peretas kita HC atau Hantu Crew.

Sejahat-jahat hacker toh ia seorang manusia juga. Memang ia mempunyai pikiran yang cerdas, akan tetapi ia pun tentu memiliki hati. Artinya, kalau bisa, kecerdasannya itu disalurkan kepada hal yang positif; kalaupun tidak bisa, artinya tetap disalurkan kepada yang negatif, maka jangan merusak tabulasi data pemilu. Data ini sangat mahal harganya dan harus kita amankan bersama. Di situlah hati seorang peretas perlu bicara.

Bayangkan, data yang rusaknya relatif kecil saja sering menimbulkan keberingasan, misalnya karena manipulasi oleh petugas pemilu di lapangan; apalagi kalau kerusakan datanya bersifat permanen akibat ulah para peretas nakal. Memang, ditusuk hacker itu sakit rasanya.

*. Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd, pembina Sekolah Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta; dan pengajar Teknologi Pendidikan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Unsuri Surabaya

http://jawapos.com/

Manuver yang Sarat Apriori

Written By gusdurian on Rabu, 15 April 2009 | 13.05

Manuver yang Sarat Apriori
PEMILU 2009 memang tidak sempurna. Sangat banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyelenggaraannya. Namun, bukan pada tempatnya jika kelemahan dan kekurangan itu harus dilihat dengan sikap apriori.

Celakanya, yang kini terjadi justru sikap apriori tersebut. Setidaknya, itulah yang diperlihatkan sejumlah tokoh politik dan pimpinan parpol yang kemarin bertemu di rumah Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Intinya, mereka menuding pemerintah dan KPU gagal. Tidak becus menjadi penyelenggara pemilu. Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto, misalnya, minta pemerintah bertanggung jawab. Sedangkan Rizal Ramli minta pemerintah mengganti anggota KPU karena dianggap tidak independen.

Para tokoh yang bertemu di rumah Megawati itu bukan hanya elite pimpinan parpol. Mereka -seharusnya- adalah negarawan. Oleh sebab itu, seharusnya pula mereka memberikan teladan kepada masyarakat mengenai berpolitik yang santun. Memberikan contoh mengenai sportivitas dan fairness dalam berkompetisi politik.

Bahwa Pemilu 2009 belum sempurna, itu memang ya. Bahwa masih ada sogok- menyogok untuk membeli suara, itu pun tidak bisa dibantah. Bahwa banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena namanya ''hilang" atau dihilangkan dalam daftar pemilih tetap (DPT), itu juga betul.

Hanya, cara pimpinan parpol memperlihatkan sikap tidak terpuji dalam menilai penyelenggaraan pemilu tersebut akan menanamkan pandangan dalam masyarakat bahwa mereka -para pimpinan parpol- hanya mau menang, tetapi tidak mau kalah.

Bukankah soal sogok-menyogok untuk memperoleh dukungan pemilih, misalnya, hampir merata diperbuat oleh hampir semua parpol. Tidak ada parpol yang benar-benar ''cring" bersih. Tidak terkecuali parpol yang selama ini mengaku bersih dan bebas korupsi.

Pimpinan parpol itu terkesan tidak mau tahu bahwa besarnya angka warga negara yang enggan menggunakan hak pilih bukan hanya disebabkan kekecewaan kepada anggota dewan yang korup atau menyalahgunakan kekuasaannya.

Rakyat enggan memilih karena banyak yang frustrasi melihat tokoh politik yang terlalu banyak bicara. Sering nggedabrus -banyak omong yang hanya membual-dengan perilaku yang tidak sportif.

Pemilu yang menurut para tokoh itu banyak kecurangannya, sebagian adalah kontribusi mereka sendiri. Buktinya? Soal DPT yang diributkan itu. Semua orang tahu, sebelum para pemilih terdaftar menjadi pemilih tetap, mereka didaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS).

Lantas, DPS itu dibeber terbuka di kantor kelurahan, kecamatan, dan KPU. Tujuannya, agar ada masukan atau bahkan kalau perlu diprotes jika ada kekeliruan, misalnya, ada yang tidak terdaftar atau belum didaftar.

Jadi aneh bin naif kalau saat DPS dibeber, mereka tidak mengontrol. Kemudian, setelah di-DPT-kan dan ditemukan adanya kekurangan, mereka lantas protes ramai-ramai dengan menuding semua itu sebagai buah kecurangan sistematis yang disengaja.

Karena itu, jika para tokoh yang kemarin ramai-ramai bertemu di rumah Megawati tersebut tak segera menghentikan manuver negatifnya, jangan salahkan jika masyarakat makin apriori kepada parpol. Sebab, pimpinan parpol memang belum menjadi pemimpin bangsa yang patut jadi teladan. Sungguh apes nasib bangsa ini.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63553

Manuver yang Sarat Apriori

Manuver yang Sarat Apriori
PEMILU 2009 memang tidak sempurna. Sangat banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyelenggaraannya. Namun, bukan pada tempatnya jika kelemahan dan kekurangan itu harus dilihat dengan sikap apriori.

Celakanya, yang kini terjadi justru sikap apriori tersebut. Setidaknya, itulah yang diperlihatkan sejumlah tokoh politik dan pimpinan parpol yang kemarin bertemu di rumah Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Intinya, mereka menuding pemerintah dan KPU gagal. Tidak becus menjadi penyelenggara pemilu. Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto, misalnya, minta pemerintah bertanggung jawab. Sedangkan Rizal Ramli minta pemerintah mengganti anggota KPU karena dianggap tidak independen.

Para tokoh yang bertemu di rumah Megawati itu bukan hanya elite pimpinan parpol. Mereka -seharusnya- adalah negarawan. Oleh sebab itu, seharusnya pula mereka memberikan teladan kepada masyarakat mengenai berpolitik yang santun. Memberikan contoh mengenai sportivitas dan fairness dalam berkompetisi politik.

Bahwa Pemilu 2009 belum sempurna, itu memang ya. Bahwa masih ada sogok- menyogok untuk membeli suara, itu pun tidak bisa dibantah. Bahwa banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena namanya ''hilang" atau dihilangkan dalam daftar pemilih tetap (DPT), itu juga betul.

Hanya, cara pimpinan parpol memperlihatkan sikap tidak terpuji dalam menilai penyelenggaraan pemilu tersebut akan menanamkan pandangan dalam masyarakat bahwa mereka -para pimpinan parpol- hanya mau menang, tetapi tidak mau kalah.

Bukankah soal sogok-menyogok untuk memperoleh dukungan pemilih, misalnya, hampir merata diperbuat oleh hampir semua parpol. Tidak ada parpol yang benar-benar ''cring" bersih. Tidak terkecuali parpol yang selama ini mengaku bersih dan bebas korupsi.

Pimpinan parpol itu terkesan tidak mau tahu bahwa besarnya angka warga negara yang enggan menggunakan hak pilih bukan hanya disebabkan kekecewaan kepada anggota dewan yang korup atau menyalahgunakan kekuasaannya.

Rakyat enggan memilih karena banyak yang frustrasi melihat tokoh politik yang terlalu banyak bicara. Sering nggedabrus -banyak omong yang hanya membual-dengan perilaku yang tidak sportif.

Pemilu yang menurut para tokoh itu banyak kecurangannya, sebagian adalah kontribusi mereka sendiri. Buktinya? Soal DPT yang diributkan itu. Semua orang tahu, sebelum para pemilih terdaftar menjadi pemilih tetap, mereka didaftar dalam daftar pemilih sementara (DPS).

Lantas, DPS itu dibeber terbuka di kantor kelurahan, kecamatan, dan KPU. Tujuannya, agar ada masukan atau bahkan kalau perlu diprotes jika ada kekeliruan, misalnya, ada yang tidak terdaftar atau belum didaftar.

Jadi aneh bin naif kalau saat DPS dibeber, mereka tidak mengontrol. Kemudian, setelah di-DPT-kan dan ditemukan adanya kekurangan, mereka lantas protes ramai-ramai dengan menuding semua itu sebagai buah kecurangan sistematis yang disengaja.

Karena itu, jika para tokoh yang kemarin ramai-ramai bertemu di rumah Megawati tersebut tak segera menghentikan manuver negatifnya, jangan salahkan jika masyarakat makin apriori kepada parpol. Sebab, pimpinan parpol memang belum menjadi pemimpin bangsa yang patut jadi teladan. Sungguh apes nasib bangsa ini.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=63553

Peraturan sebagai Alat Impunitas

Peraturan sebagai Alat Impunitas
Oleh Prija Djatmika *

SUNGGUH ironis, di tengah upaya masyarakat dan pemerintah memerangi peredaran serta penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, dua jaksa yang diduga menggelapkan 343 butir ekstasi (Esther Tanak dan Dara Veranita) terpaksa dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta.

Tindakan yang amat kontradiktif dengan upaya tegas penegakan hukum kasus narkoba itu terjadi gara-gara izin perpanjangan penahanan dari jaksa agung belum turun hingga batas penahanan di polisi sudah habis.

Impunitas Sistematis

Pasal 5 UU No 16/2004 tentang Kejaksaan memang mengatur bahwa dalam hal melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin jaksa agung.

Substansi pasal itu memang menjadi batu uji bagi jaksa agung untuk bisa jujur, adil, serta objektif dalam memberikan izin kepada penyidik untuk memproses hukum anak buahnya. Sekalipun tindakan itu akan mencoreng nama baik (kredibilitas) dan integritas jajarannya.

Namun, sebagai petinggi penegak hukum, diharapkan semangat menegakkan hukum dan keadilannya -yang memang menjadi kewajibannya- tidak akan tergerus atau terpengaruh oleh semangat korps (spirite de corps), sehingga bertindak menjadi tidak fair dan memihak (parsial).

Apakah tidak keluarnya izin perpanjangan penahanan dari jaksa agung untuk perpanjangan penahanan dua jaksa penggelap barang bukti ekstasi itu karena jaksa agung gagal mengadapi batu ujian tersebut (melawan desakan spirite de corps-nya sendiri) atau ada alasan administratif yang tidak diketahui publik, hanya jaksa agung dan Tuhan yang tahu.

Namun, pasal 5 UU No 16/2004 tersebut memang layak dipersoalkan, terutama dalam upaya membangun langkah penegakan hukum dan keadilan yang free and fair. Pasal itu bisa menjadi instrumen impunitas (pembekuan) proses hukum secara sistematis bagi jaksa-jaksa yang melakukan tindak pidana dalam melaksanakan tugasnya.

Sekalipun ada jargon persamaan di depan hukum (equality before at law), sebagai salah satu prinsip fundamental sebuah negara hukum, jargon itu baru bisa tertegakkan bila aparat-aparat hukumnya memang bermental jujur, objektif, serta adil dalam menegakkan peraturan hukum.

Peraturan hukum, sebagus apa pun, hanyalah kumpulan huruf-huruf mati (dead letters). Ia baru tertegakkan dan mewujud ke alam praksis mutlak bergantung pada kualitas aktor penegak hukumnya dalam menegakkannya. Apakah sungguh-sungguh akan menegakkan secara jujur, objektif, dan adil tanpa pandang bulu atau terpengaruh oleh ''bulu-bulu'' yang dimiliki pihak yang menjadi objek penegakan hukum itu (role occupant).

Sayang, penegak hukum itu juga manusia biasa, bukan nabi apalagi malaikat. Mereka bisa terpengaruh oleh uang (stratifikasi) yang dimiliki pihak yang sedang menjadi objek penegakan hukumnya. Bisa juga terpengaruh kekuasaan yang dimiliki sang objek, tingkat relasinya yang luas, atau pertimbangan subjektif penegak hukumnya sendiri. Misalnya, berkaitan dengan menjaga solidaritas korps karena menyangkut oknum di jajarannya sendiri yang harus dilindungi.

Donald Black menulis semua perihal perilaku hukum yang timpang itu dalam bukunya yang bagus, The Behavior of Law (1976). Sementara sosiolog hukum Schyut menyatakan, memang ada ''equality before at law'', persamaan di depan hukum, ketika hukum itu belum beraksi. Namun, ketika hukum tersebut sudah beraksi pada seseorang, kapasitas dan kualitas sosial seseorang itu akan memengaruhi bekerjanya hukum terhadapnya. Maka, Schyut bilang, sangat sering yang terjadi dalam kenyataannya adalah ''unequality after at law'', ketidaksamaan di belakang hukum.

Apakah pembebasan dua jaksa yang menggelapkan narkoba itu membenarkan dua teori tersebut, entahlah. Namun, pasal 5 dalam UU kejaksaan itu seharusnya direvisi saja. Misalnya, tak diperlukan izin dari jaksa agung untuk mencegah impunitas sistematis karena didorong semangat solidaritas korps. Mungkin bisa direvisi menjadi langsung izin kepada presiden. Ini memang langkah besar untuk mendobrak substansi hukum acara agar tak disalahgunakan.

Tetap Diproses

Meski sudah dibebaskan dari penahanan, tidak berarti dua jaksa tersebut bisa bebas dari tuntutan hukum. Polisi selaku penyidik tetap bisa dan harus terus memproses hukum terhadap tindak pidana penggelapan ekstasi itu. Perang terhadap kejahatan narkotika dan psikotropika tidak boleh terhenti karena terkendala prosedur penahanan. Biarkan dua tersangka itu bebas menghirup udara kemerdekaan. Tapi, bukan alasan hukum untuk menghentikan penyidikannya.

Memang, hasil penyidikan nanti diserahkan ke lembaga kejaksaan untuk penuntutan di pengadilan. Hukum di negeri ini hanya memberi kewenangan pada kejaksaan untuk melakukan penuntutan (dominitus litis), mewakili negara. Jadi, tak terelakkan perkara ini akan kembali ke kejaksaan juga pada akhirnya.

Apakah kejaksaan akan tegas menuntut dua jaksa tersebut sebagaimana mereka menuntut penjahat narkoba yang lain atau akan dipengaruhi oleh solidaritas korps? Kita tunggu saja perkembangan.

Akan menjadi surprise dan meyakinkan publik bahwa institusi kejaksaan tidak berpihak dalam penegakan hukum, sekalipun itu menyangkut warga jajarannya sendiri, bila kejaksaan melakukan penahanan kembali terhadap dua jaksa itu serta menuntut dengan hukuman berat karena sudah mencoreng kredibilitas serta integritas kejaksaan.

Semoga demikian, sehingga prasangka buruk publik bahwa ada upaya impunitas sistematis untuk kasus ini tidak terbukti.

*. Prija Djatmika , doktor hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, (e-mail: prja_djatmika@yahoo.com)

http://jawapos.com/

SBY Dikabarkan Makin Mantap Pilih Sri Mulyani Jadi Cawapres

SBY Dikabarkan Makin Mantap Pilih Sri Mulyani Jadi Cawapres
Muhammad Nur Hayid - detikPemilu


Jakarta - Gonjang ganjing politik terus terjadi pasca pemilu legislatif 9 April lalu. Blok S (Susilo Bambang Yudhoyono) terus disorot, terutama siapa cawapres yang akan dipilih SBY. Benarkah JK calon terkuat pendamping SBY? Ada kabar mengejutkan: SBY lebih memilih Sri Mulyani!

Perolehan sementara Partai Demokrat berdasarkan hitungan KPU semakin membuat SBY di atas angin dalam menentukan cawapresnya. Baik hitung cepat (quick count) atau pun real count KPU masih mencatat perolehan PD berkisar di angka 20 persen. Angka yang relatif aman untuk mengusung capres sendiri.

Sementara Ketua Umum Partai Golkar JK yang sebelumnya ingin menantang SBY dalam pilpres, pun harus rela mengurungkan niatnya. JK 'dipaksa' realistis membaca peta. Dorongan JK kembali mendampingi SBY pun semakin menguat setelah hasil quick count atau real count KPU hanya mencatat Partai Golkar di angka 14 persen.

Bagaimana tanggapan SBY? Nampaknya politisi asal Pacitan ini sudah tidak berminat lagi dengan politisi asal Makassar itu. Pertemuan pertama SBY-JK dalam konteks sebagai politisi yang dilakukan Senin malam (13/4/2009) di kediaman SBY, Cikeas sepertinya tak membawa hasil. Tanda-tandanya, pasca pertemuan, tidak ada keterangan apa pun dari kedua belah pihak, termasuk sapaan hangat JK dengan lambaian tangannya saat meninggalkan Cikeas. Tentu saja sikap keduanya ini ganjil di mata para jurnalis yang sejak sore menunggu penjelasan hasil pertemuan keduanya. Karena, biasanya, setiap ada pertemuan apa pun, jika berujung pada hal yang positif, SBY maupun JK memperlihatkan sikap yang bersahabat, entah dalam bentuk jumpa pers atau sekadar sapa dan lambaian tangan. Apakah JK ditolak SBY?

Sumber detikcom menjelaskan, pertemuan SBY-JK belum menemukan titik temu yang pas. Kabarnya, hal itu disebabkan karena SBY telah memiliki calon pendamping yang cukup kuat. Seorang perempuan yang ahli ekonomi dan masyhur di dunia internasional. Benarkah SBY telah memilih Sri Mulyani menjadi pendampingnya?

Sumber detikcom menjelaskan bahwa pilihan terhadap Mbak Ani, panggilan akrab Sri Mulyani dijatuhkan karena perempuan cantik yang enerjik dan cerdas ini diyakini akan mampu membawa pemerintahan SBY mendatang menjadi lebih baik dan bergas. Background Sri Mulyani yang nonpartisan alias tidak berasal dari parpol dan jaringan internasionalnya yang kuat juga menjadi pertimbangan SBY.

Selain itu, Sri Mulyani dikenal sebagai perempuan berani yang memiliki background pendidikan ekonomi yang mantap. Krisis global yang saat ini melanda dunia termasuk Indonesia diyakini akan mampu diatasi jika SBY menggandeng Sri Mulyani. Dengan tangan lembut Ani diiringi sikap tegas dan berani, perekonomian Indonesia diprediksi akan bangkit dari keterpurukan krisis global.

"Alasan-alasan itulah yang menjadikan Pak SBY memilih realistis. Jika Pak SBY mengambil unsur parpol apakah itu Pak JK atau Pak Hidayat, akan terjadi instabilitas di pemerintahannya nanti. Karena kedua parpol ini saling bersaing untuk pemilu 2014," kata sumber tersebut.

Pilihan SBY terhadap Sri Mulyani juga disebabkan faktor gender. Sosok 'keperepuanan' Mbak Ani diyakini mampu menggilas Ketua Umum DPP PDIP Megawati yang juga masih diyakini maju melawan SBY. Atas dasar pertimbangan itulah, banyak pihak di sekeliling SBY menyarankan kakek Aira ini menetapkan hatinya untuk mengandeng Sri Mulyani. Harapannya, jika Mega mengkampanyekan sensitif gender, SBY langsung bisa menangkis dengan sosok Sri Mulyani yang 'lebih baik'.

"Dengan perolehan suara PD yang di atas 20 persen itulah, SBY semakin leluasa memilih wakilnya tanpa membutuhkan lagi parpol lain. Karena andai PD sendirian mengusung SBY, tanpa koalisi, itu sudah cukup untuk mengusung pasangan capres cawapres. Apalagi Pak SBY masih yakin dirinya yang dikehendaki rakyat," paparnya.

Ketua DPP PD Anas Urbaningrum yang dihubungi detikcom masih belum mau mengangkat teleponnya dan membalas SMS detikcom. Di banyak kesempatan baik saat wawancara maupun di televisi, Anas berkali-kali menegaskan SBY belum menentukan pilihan pendampingnya. Benarkah SBY telah tetapkan Mbak Ani sebagai pendampingnya?
( yid / asy )

http://pemilu.detiknews.com/read/2009/04/15/120134/1115750/700/sby-dikabarkan-makin-mantap-pilih-sri-mulyani-jadi-cawapres