BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Banalitas Realisme Politik

Banalitas Realisme Politik

Written By gusdurian on Jumat, 17 April 2009 | 12.50

Banalitas Realisme Politik


Oleh Triyono Lukmantoro

Politik adalah seni segala kemungkinan. Itulah adagium atau pepatah yang sangat populer di Indonesia. Bahkan bukan sekadar menjadi adagium, ”seni segala kemungkinan” itu telah menjelma sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan. Bukti-bukti konkret dapat ditampilkan. Permusuhan secara mendadak bisa berubah menjadi perkawanan. Kompetisi politik justru dapat menghasilkan koalisi untuk merengkuh kekuasaan. Tiada sahabat dan seteru abadi dalam domain politik semacam ini.
Kaum elite politik yang pernah bertikai pada masa silam seakan-akan dengan cepat menemukan kesepakatan damai. Kompetisi politik melalui ajang pemilihan umum yang menebarkan slogan saling serang di antara elite politik seolah-olah bisa diselesaikan dalam waktu sekejap. Itulah fenomena politik yang terjadi ketika Wiranto bertemu dengan Prabowo Subianto maupun saat Jusuf Kalla berjumpa dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Rangkaian pertemuan elite-elite politik itu bisa direntang lebih panjang lagi jumlahnya untuk memverifikasi adagium ”seni segala kemungkinan” itu.
Semua itu bukan menandakan bahwa politik negeri ini mudah memberikan pengampunan. Seluruh rangkaian perjumpaan politik yang diberi tajuk ”penjajakan berkoalisi” itu tak lebih dorongan untuk mendapatkan kekuasaan. Suara rakyat dalam pemilu diposisikan sebagai bahan bakar untuk menjalankan tawar-menawar. Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, melainkan suara rakyat disulap sebagai karpet merah untuk melempangkan jalan menuju kekuasaan.
Elite dari partai politik yang bisa meraih suara lebih besar bagaikan memiliki daya magnetis. Di sini kutub-kutub politik diformulasikan dan akan dibubarkan sesuai dengan kebutuhan untuk berkuasa, sebagaimana yang telah diagendakan. Tidak ada lagi ideologi yang menjadi rujukan untuk menciptakan ikatan politik. Ideologi politik bisa dibikin sesaat dan diubah-ubah untuk memenuhi kepentingan hasrat. Ideologi sebagai gagasan ideal yang hendak diperjuangkan secara konsisten hanya bernasib layaknya pakaian yang bisa dipertukarkan sesuai dengan kebutuhan pentas kekuasaan.
Bujuk rayu kekuasaan
Mengapa para elite politik begitu mudah terkena bujuk rayu kekuasaan? Dan, setelah mereka mendapatkan kekuasaan politik itu, mengapa mereka begitu enggan melepaskannya? Jawaban menarik diberikan Vaclav Havel ketika menerima Sonning Prize pada 28 Mei 1991 untuk kontribusinya bagi peradaban Eropa. Havel, sang sastrawan yang pernah menjadi Presiden Cekoslowakia (periode 1989-1993) dan Presiden Republik Ceko (periode 1993-2003), menyatakan, ada tiga dorongan yang menjadikan seseorang berkeinginan kuat menggapai kekuasaan politik. Pertama, gagasan-gagasan lebih baik untuk mengorganisasikan masyarakat. Nilai- nilai dan ideal-ideal politik itu diperjuangkan ke dalam kenyataan sosial. Kedua, motivasi peneguhan diri. Kekuasaan memberikan peluang besar untuk membentuk dunia sebagaimana yang telah digambarkan dalam diri seseorang. Ketiga, menggapai berbagai keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan politik. Pada alasan inilah akan terlihat betapa kejamnya bujuk rayu kekuasaan.
Dirumuskan dalam bahasa yang lebih transparan, dorongan pertama bernama ideologi, dorongan kedua berupa cita-cita, dan dorongan ketiga adalah oportunisme. Dalam perpolitikan kita, apa yang disebut sebagai ideologi telah sirna karena ideologi tidak lebih berkedudukan sebagai label dagangan politik belaka. Mewujudkan cita-cita merupakan dorongan yang paling sering didengungkan, setidaknya fenomena ini tampak dalam sekian slogan kampanye dan iklan-iklan politik. Namun, bukankah jargon dan iklan sekadar perkakas muslihat untuk meraih simpati massa? Jadi, dorongan ketiga, yakni oportunisme, merupakan hal yang paling sering dilakukan elite politik kita yang dibungkus dalam ideologi dan cita-cita.
Pada situasi itulah menarik menyimak apa yang dikatakan Havel bahwa ketiga dorongan kuat tersebut berjalinan. Selalu ada ambiguitas yang terdapat dalam kekuasaan politik. Pada satu sisi, kekuasaan memberikan peluang untuk meneguhkan diri, menyajikan identitas yang tidak mungkin disangkal, dan meninggalkan jejak yang begitu kasatmata. Namun, pada sisi lain, kekuasaan juga menciptakan kebohongan yang berbahaya, yakni seakan- akan menegaskan eksistensi dan identitas kita, padahal kenyataannya justru merampok kita.
Perampok kekuasaan
Ketika hasrat berkuasa merampok ideologi dan cita-cita politik, peluang yang selalu terbuka adalah sebentuk oportunisme politik yang mendorong elite politik bertingkah sebagai perampok kekuasaan. Sosok perampok kekuasaan selalu berhitung dengan realitas yang mengitarinya, bukan dengan memuliakan idealitas yang menjadi keyakinannya. Bukan gejala yang janggal jika realpolitik membinasakan idealpolitik. Sebab, realpolitik merupakan rujukan bagi politik atau diplomasi yang secara primer didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan praktis ketimbang gagasan ideologis. Realpolitik hanya berhitung pada kekuasaan yang ingin didapatkan sambil dengan aneka tipu daya mematikan idealitas, moralitas, dan prinsip-prinsip humanitas.
Realpolitik berkaitan erat dengan filsafat politik yang bernama realisme politik. Pada aliran filsafat politik ini, ungkap Alexander Moseley (2006), kekuasaan menjadi dan bahkan keharusan untuk dijadikan sebagai tujuan utama tindakan politik. Sadar atau tidak, filsafat realisme politik itu sangat kuat tertancap dalam diri kalangan elite politik negeri ini. Memburu kekuasaan sesuai dengan kepentingan egoisme mereka telah demikian nyata terlihat, bahkan telah menjadi banalitas. Dan, setiap banalitas politik tidak hanya menyajikan kevulgaran tindakan meraih kekuasaan, tetapi juga kekasaran dalam mereduksi prinsip-prinsip etika politik.
Triyono Lukmantoro Pengajar FISIP Universitas Diponegoro Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/17/03065473/banalitas.realisme.politik
Share this article :

0 komentar: