Etika Koalisi
Para elite politik kini disibukkan oleh upaya koalisi menyongsong pemilihan presiden (pilpres). Penjajakan demi penjajakan pun dilakukan pasca- Pemilu Legislatif 9 April lalu.Para petinggi dari sembilan partai politik yang lolos parliamentary threshold (PT) tampak sedemikian sibuk saling bersilaturahmi.
Demikian halnya partai kecil lain yang tak lolos PT, mereka saling menginisiasi pertemuan koalisi. Beberapa waktu lalu,Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam jumpa pers tentang perihal sejauh mana koalisi dilakukan. Menurutnya, koalisi harus dilakukan secara tertulis dan diumumkan di depan publik. Pernyataan ini menarik untuk diapresiasi, utamanya berkait dengan urgensi koalisi sebagai variabel organik efektivitas pemerintahan presidensial.
Keharusan Koalisi
Hasil kasar penghitungan suara pemilu legislatif sudah dapat diketahui.Muncul kejutan dengan hadirnya pemenang baru (Partai Demokrat). Dua parpol terbesar lain (PDIP dan Partai Golkar) berada di urutan kedua dan ketiga, disusul parpol menengah lain dan hadirnya dua parpol baru yang juga melenggang ke Senayan (Gerindra dan Hanura).
Dengan posisi demikian,bandul koalisi sesungguhnya berada pada tiga parpol terbesar (Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Golkar). Aturan Pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menyatakan syarat pencalonan presiden harus memenuhi kuota 25% perolehan suara sah nasional atau 20% kursi DPR.
Kemungkinan hanya Partai Demokrat yang bisa mengajukan pa-sangan capres-cawapres tanpa koalisi. Meskipundalamperolehansuaratak ada satu parpol pun yang memenuhi angka 25%, jika Partai Demokrat memperoleh lebih dari 112 kursi (20% kursi parlemen),mereka bisa mengajukan capres-cawapres sendirian.
Sementara PDIP dan Golkar sepertinya belum cukup aman tanpa koalisi. Namun, untuk menang, ketiganya wajib membangun koalisi. Dalam kondisi ini, parpol menengah lain menjadi aktor pembantu sekaligus aktor penentu yang siap dilamar dan mewarnai ritme koalisi.
Koalisi Berbasis Etika
Secara etimologis etika berasal dari Yunani ”ethe” dan ”ethikos” yang menurut Aristoteles berarti baik buruknya suatu sifat: kejahatan dan keutamaan.Karya Aristoteles Ethique a Nicomaquemenyebutkan, selain kata ”ethos” yang berarti ”kualitas suatu sifat” digunakan juga kata ”etos” yang berarti kebiasaan.
Jadi,etika dapat berarti suatu cara berpikir merasakan, bertindak, dan bertingkah laku yang memberikan ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok dan sekaligus merupakan tugas bersama. Terlepas dari siapa pun figur capres- cawapres yang nantinya bertarung, masing-masing dengan fatsun politiknya mesti menyadari sejauh mana koridor koalisi yang akan dibangun. Untuk itu,penulis memandang urgen mengapresiasi opsi yang dilontarkan SBY tentang koalisi tertulis yang diumumkan di depan publik sebagai basis etika koalisi.
Penulis sepakat dengan gagasan koalisi tertulis,kalau dimungkinkan berupa notariil atau bermeterai.Aturan ini sejatinya juga sesuai dengan UU No 42/2008,utamanya Pasal 11 ayat (2), bahwa kesepakatan antarpartai politik maupun antara partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon dinyatakan secara tertulis dengan bermaterai cukup yang ditandatangani pimpinan partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon.
Yang terpenting adalah sejauh mana konsistensi kelompok koalisi menjalankannya. Memang koalisi macam ini dikritik karena mengambil analogi ”perusahaan jasa dengan pembagian sahamnya” yang dapat memenjara hak dalam perbedaan politik. Namun, di dalam demokrasi kita membutuhkan bangunan permanen dalam sketsa koalisi yang beretika. Hal ini penting untuk memperjelas kelamin koalisi yang selama ini masih buram.
Takadanya posisi tegas antara partai pemerintah (ruling party) dengan partai oposisi (opposition party) menstimulasi politisi di parlemen bermain petak umpet dan tidak tegas menyikapi pelbagai kebijakan pemerintah.Inilah faktor utama hadirnya sistem presidensial bercita rasa parlementer di Indonesia. Nah, untuk menjamin hadirnya koalisi permanen dibutuhkan serangkaian etika dan perangkat politik- hukum sebagai koridor. Ini penting agar di masa mendatang tidak ada lagi perilaku oportunis parpol- parpol yang seolah menjadi peragaan jamak dalam praktik politik kita.
Meski tak diatur secara tekstual di dalam UU pilpres perihal koalisi permanen, perangkat politik dan hukum dalam koalisi dapat dilakukan selama tidak kontraproduktif dengan aturan UU. Setidaknya koalisi tertulis dan diumumkan di masyarakat mempunyai implikasi positif bagi perkembangan demokrasi kita. Pertama, demi hadirnya keseimbangan hubungan checks and balances dalam pemerintahan dan parlemen.
Kestabilan roda pemerintahan akan kian terjamin bila kelompok koalisi kian tertuntut untuk konsisten dengan kesepakatan bersama.Ikatan ini menjadi sarana penting dinamika politik untuk mengakhiri fluktuasi politik masa transisi,utamanya bagi implementasi sistem presidensialisme. Kedua, menjamin transparansi demokrasi. Dengan kesepakatan tertulis dan diketahui secara luas, publik akan mengetahui keberpihakan partai politik dalam kontestasi politik membangun demokrasi.
Hal itu dilakukan selain untuk memberikan kedewasaan dan literasi politik masyarakat,juga untuk membangun kembali kepercayaan mereka kepada partai,khususnya terkait dengan konsistensi perjuangan partai untuk kepentingan rakyat.Baik yang dilakukan partai pendukung pemerintah maupun partai oposisi. Memang ada serangkaian kelemahan,misalnya kekhawatiran adanya intervensi, baik oleh partai pada kebijakan pemerintah ataupun sebaliknya.
Untuk itu mesti dijelaskan detail kesepahaman yang ada di dalam akta notaris. Pada prinsipnya, keraguan itu dapat diatasi dari transparansi aturan yang mengikat. Ketiga, terbukanya kontrol publik. Selain minimalisasi perilaku transaksional,koalisi tertulis menjadi semacam kontrol bagi publik tentang seberapa besar komitmen kelompok koalisi committed terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan.
Di sini rakyat akan mempunyai ruang evaluasi dan apre-siasi, partai mana saja yang suka bermain lompat-lompatan dan par-tai mana pula yang tetap istiqamahdengan program yang diusung di dalam koalisi.Rakyat juga dapat menilai pelbagai motif hadirnya koalisi sekaligus mendorong partai untuk melakukan koalisi visioner dan ideologis,bukan sekadar koalisi kepentingan politik sesaat.
Sebagai sebuah ikhtiar, koalisi tertulis, bermeterai, dan diumumkan di depan publik atau dimungkinkan dalam bentuk nota riil itu dilakukan demi menjamin stabi-litas pemerintahan dan pembelajaran politik.Namun dalam satu tarikan napas, fakta politik tak seindah konsep ideal yang dibayangkan. Koalisi faktanya hanyalah perkawinan kepentingan. Sebatas deal: partai mana mendukung siapa dan dihargai berapa.
Sangat sulit membayangkan demokrasi Indonesia di tengah kegenitan politisi yang masih berprinsip untung-rugi. Namun kita masih punya harapan kepada para elite partai dan calon presiden/wakil presiden. Rakyat sungguh merindukan hadirnya pemimpin yang beretika.Se moga!(*)
Dr Ali Masykur Musa
Anggota FPKB DPR RI dan Ketua Alumni Universitas Jember
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/230582/
Etika Koalisi
Written By gusdurian on Jumat, 17 April 2009 | 12.59
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar