BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Negara Kesejahteraan Pilihan Capres?

Negara Kesejahteraan Pilihan Capres?

Written By gusdurian on Jumat, 17 April 2009 | 13.15

Negara Kesejahteraan Pilihan Capres?
Oleh Hasbullah Thabrany Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia


P EMILU legislatif baru saja usai. Meski pun diragukan oleh sebagian tokoh parpol, hasil quick count dan tren hasil sementara sudah dapat ditebak siapa capres yang memenuhi syarat untuk maju. Tiga partai yang mengusung calon SBY, JK, dan Megawati punya peluang. Perebutan kekuasaan akan lebih sederhana dipahami dan bisa jadi tidak banyak perbedaan tawaran tentang kesejahteraan, yang bakal menjadi daya terik besar pemilih yang rasional. Apa yang akan mereka tawarkan?
Naiknya Demokrat sangat kuat korelasinya dengan program-program populer seperti askeskin/jamkesmas, BLT, pendidikan gratis. Praktik layanan kesehatan dan pendidikan gratis di berbagai daerah, terlepas parpol pemenangnya, diduga sangat kuat memengaruhi pemilih untuk ‘tetap melanjutkan’ tren yang ada. Semua yang dikemas itu masuk keranjang ‘kesejahteraan’ dalam konsep negara. Beberapa iklan televisi, entah itu untuk ‘melanjutkan’ atau konsep baru, telah menjual ‘sekolah gratis’. Rakyat akan memilih pemimpin yang menyejahterakan seperti yang tertulis dalam Pembukaan UUD 45. Tetapi, sampai di mana kesejahteraan? Apakah janji sekolah gratis menyejahterakan? Sejauh mana gratis itu bebas biaya penuh seperti di Sri Lanka yang lebih miskin daripada Indonesia. Di sana, buku, seragam, dan transportasi ke sekolah benar-benar gratis. Bahkan kuliah di fakultas kedokteran juga gratis. Di Indonesia, untuk masuk beberapa fakultas kedokteran negeri, pegawai negeri yang jujur tidak akan sanggup karena harus bayar uang muka puluhan juta.
Di luar suasana kampanye, banyak pakar Indonesia tidak setuju dengan negara kesejahteraan yang dipahami sebagai negara harus bertanggung jawab atas semua kebutuhan pokok, termasuk tunjangan pengangguran, rakyatnya. Tren sekolah mahal, rumah sakit yang memiskinkan rakyat, dan banyaknya rakyat miskin serta pengangguran jelas menunjukkan bahwa belum ada tanda-tanda pemerintah mengemudikan negeri ini menuju negara kesejahteraan.
Relevankah negara kesejahteraan?
Banyak pejabat dan tokoh yang meyakinkan publik dan investor bahwa Indonesia bukan negara kesejahteraan. Negara kesejahteraan dipandang dekat dengan komunis. Ini konsep keliru besar! Dalam pemahaman mereka, negara kesejahteraan adalah negara yang memberikan pelayanan kesehatan gratis, sekolah-kuliah gratis, ada tunjangan pengangguran bagi semua, dan segalanya diurus negara. Intinya, negara sangat berperan besar atas kehidupan sosial-ekonomi rakyatnya. Bukan pasar yang berperan besar. Indonesia tidak ke sana! Rumah sakit pemerintah dibaguskan dengan uang rakyat, setelah itu pasang tarif tinggi. Jika penduduk Malaysia dirawat di RS Publik hanya bayar tiga ringgit (sekitar Rp10 ribu per hari, all in), di RSCM Jakarta, konsultasi rawat jalan saja sudah harus merogoh Rp40 ribu, belum termasuk obat, laboratorium, dan pemeriksaan lain. Padahal, pembangunan RSCM dan belanja operasional didanai dari APBN.
Siswa pandai yang ingin masuk sekolah negeri bermutu di Jakarta harus bayar jutaan rupiah. Salah satu perguruan tinggi negeri dalam penerimaan awal April ini mengharuskan lulusan SMU yang diterima membayar Rp90 juta. Pemerintah tidak mencerdaskan rakyat, tetapi ‘jualan ilmu’ kepada rakyatnya! Pedagang besar atau profesional seperti dokter spesialis dan notaris mungkin mampu membayar sejumlah itu. Nanti setelah lulus, mereka jualan lagi untuk mengembalikan modal. Dalam bukunya yang baru Common Wealth: Economics for a Crowded Planet, Jeffry Sach, ekonom terkemuka di dunia, menganalisis tiga kelompok negara: (1) negara kesejahteraan (social welfare states) yang menerapkan sistem asuransi sosial ekstensif seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia, (2) negara relative free market economies termasuk Amerika, Inggris, Kanada, dan Australia, serta (3) negara campuran yaitu inti ne gara Uni Eropa (Jerman, Prancis, Italia, Belanda, dsb). Pembagian kelom- pok negara Jeffry memang sedikit beda dengan pembagian negara kesejahteraan sebagaimana kita dicekoki. Sebab, di Inggris yang dikelompokkan negara ekonomi bebas, pelayanan kesehatan gratis bagi semua penduduk--termasuk transplantasi organ. Sebaliknya, di Jerman, kuliah gratis bagi semua penduduk, tetapi penduduk wajib mengiur asuransi sosial kesehatan. Sebagai ekonom, Jeffry membagi ketiga kelompok negara berdasarkan porsi belanja pemerintah jika dibandingkan dengan kue ekonomi negara. Di negara kesejahteraan, Jeffry menunjukkan bahwa belanja pemerintah tahun 2004 mencapai 52% pendapatan negara tersebut. Sementara itu di negara pasar bebas hanya sekitar 38% dan di negara campuran belanja pemerintah mencapai rata-rata 49% dari PDB. Di Indonesia, total belanja peme rintah hanya sekitar 20% PDB, jauh dari belanja negara kesejahteraan bahkan negara ekonomi bebas. Kok bisa pemerintah belanja sebegitu besar? Bisa! Kuncinya, good governance! Ini memang tantangan besar bagi Indonesia yang baru saja dinobatkan negara terkorup di ASEAN.
Jeffry menunjukkan bahwa di negara kesejahteraan, pendapatan per kapita penduduk sangat tinggi, rata-rata pendidikan juga sangat tinggi karena praktis tidak ada hambatan ekonomi untuk kuliah, anggaran riset juga tinggi sehingga jumlah paten per kapita juga tinggi.
Di negara kesejahteraan, Nordic countries, pemerintah menarik pajak penghasilan dan atau iuran asuransi sosial tinggi, mencapai 50% dari penghasilan penduduknya. Tetapi karena dana pajak dan asuransi sosial masuk anggaran pemerintah, dikelola baik untuk mendanai kesejahteraan seluruh rakyat (kesehatan, pendidikan, pengangguran, pengentasan rakyat dari kemiskinan, riset, dan fasili tas umum), uang berputar cepat di dalam negeri. Di negara ekonomi bebas, pajak penghasilan cenderung diturunkan, tetapi peran pemerintah makin terbatas. Fasilitas umum pun, seperti jalan tol dan transportasi, diserahkan ke swasta. Memang tingkat pajak penghasilan rendah, tetapi pemerintah berperan kecil. Rakyat tidak dilayani. Akhirnya rakyat harus bayar fee for service, semacam a la carte ketika makan di restoran. Dengan model ekonomi bebas, karena sebagian belanja ditentukan oleh rakyat, rakyat yang kaya bisa belanja di negara lain. Toh, uangnya sendiri, sehingga mereka bebas belanja di mana saja. Rakyat miskin cukup menonton. Berbeda dengan di negara kesejahteraan, ada dana ‘belanja paksa’ rakyat dalam bentuk pajak dan asuransi sosial yang dihabiskan di dalam negeri, karena masuk belanja pemerintah. Pemerintah juga dengan mudah membuka lapangan kerja baru, jika ada peningkatan pengangguran. Maka uang berputar di dalam negeri lebih banyak, meskipun lebih dari separuhnya dari kantong pemerintah.
Sejauh mana konsep capres?
Dari iklan-iklan bakal capres, ada indikasi keinginan capres untuk menjamin kesehatan dan pendidikan bagi semua. Janji politiknya sudah lama terdengar, tetapi realitasnya masih jauh. Transportasi dan lapangan kerja? Lebih tidak jelas konsepnya. Bisakah kita percayai janjijanji mereka? Apakah konsep mereka realistis? Persoalannya kita belum lihat hitung-hitungan dan skenario program mereka. Berapa dana yang akan dimobilisasi dan dibelanjakan untuk pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Sampai sejauh mana pelayanan dasar tersebut akan disediakan, bukan ‘jualan’ oleh pemerintah? Jika sekadar janji untuk menggratiskan, tetapi dukungan dana tidak memadai, tidak akan ada efeknya bagi produktivitas, kesejahtera an, dan ekonomi rakyat. Sejak zaman Soe harto sudah dicanangkan wajib sekolah sembilan tahun, tetapi rakyat harus bayar macam-macam uang sekolah, uang buku, uang seragam, uang gedung, dsb. Guru dibayar ‘asal’, fasilitas pendidikan ‘asal ada’ dan buku-buku tidak tersedia. Kualitas ba ngunan, peralatan medis, obat-obatan di puskesmas dan di RS publik juga ‘asal ada’.
Dokter dan guru/dosen digaji ‘asal’ se hingga dokter dan guru ngobjek di RS, puskesmas, sekolah, atau di perguruan tinggi. Rakyat tidak dilayani. Rakyat yang berduitlah yang dilayani. Jika pemerintah bisa membangun gedung Bank Indonesia, gedung pemerintahan dan gedung BUMN yang bagus-bagus serta dilengkapi peralatan standar internasional (padahal bukan kewajiban konstitusional), mengapa kok tidak bisa untuk sekolah dan RS? Jika pemerintah bersedia membayar kontraktor gedung, jalan, perlengkapan pemerintahan, belanja BUMN dll dengan harga market economy, mengapa upah perawat, dokter, guru, dan dosen yang menyejahterakan dan mencerdaskan tidak realistis? Atau memang kita menuju negara pasar bebas? Yang mampu sehat dan cerdas silakah, asal ada duit. Yang tidak mampu, ya harus sadar diri?
Jika capres konsisten dengan janjinya, paham, dan bertekad kuat memajukan bangsa, negara kesejahteraan dapat diwujudkan. Tidak ada alasan ekonomi negara belum mampu. Negara kesejahteraan di Eropa dan Asia juga memulai sistem mereka ketika negara mereka tidak sebaik ekonomi Indonesia saat ini. Saatnya rakyat meminta kejelasan tentang konsep capres, lengkap dengan hitungan ekonominya. Kita tunggu!
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/16/ArticleHtmls/16_04_2009_023_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: