Oleh Ade Anggraini
Gunung Sinabung yang kegiatannya meningkat beberapa hari terakhir walhasil meletus pada Sabtu, 28 Agustus, malam.
Fakta yang menarik adalah bahwa sampai beberapa jam sebelum gunung meletus, lembaga yang berwenang mengeluarkan status suatu gunung api bersikukuh bahwa kegiatan Sinabung tidak berbahaya. Berdasarkan informasi ini, otoritas lokal memutuskan tak mengeluarkan perintah mengungsi kepada penduduk yang tinggal di sekitar Sinabung.
Namun, beberapa jam berikutnya, kegiatan gunung api ini meningkat pesat hingga akhirnya meletus pada Sabtu malam. Untungnya, otoritas lokal dibantu sukarelawan berinisiatif mengungsikan warga. Beberapa jam kemudian, staf ahli presiden bidang bencana mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah mengakui telah salah prediksi dalam krisis Sinabung ini.
Gunung Sinabung adalah gunung api—istilah bahasa Indonesia baku untuk volcano—yang terletak di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Menurut sebuh situs di internet, gunung api dengan ketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut itu masih tergolong stratovulkano. Contoh stratovulkano lain ialah Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Masih menurut situs yang sama, walau tak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung ini, pada 1912 diketahui ada kegiatan solfatara di puncak dan lereng sekitar puncak Sinabung. Artinya, Gunung Sinabung sebenarnya hanya tidur panjang sembari mengumpulkan tenaga buat kegiatan seperti saat ini.
Ada syarat
Di dunia sains, salah prediksi wajar dan sangat bisa diterima dengan syarat, saat membuat prediksi, kita memasukkan fakta ilmiah ke dalam proses prediksinya. Prediksi bisa berubah, bahkan gagal, jika kelak ditemui ada fakta lain: bisa data baru bisa juga data yang lebih valid.
Dalam kasus Sinabung, institusi yang terkait terlalu mengandalkan data teknis yang tampaknya tak mutakhir. Jelas, dalam beberapa hari terakhir terjadi kegiatan di luar kebiasaan. Secara intuitif saja bisa disimpulkan, ada yang tak biasa di Sinabung, ditambah lagi dengan observasi visual masyarakat sekitar yang sudah puluhan tahun hidup bersama Sinabung: terlihat semburan lava pijar, asap solfatara yang jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Sinabung yang tidur lebih dari 400 tahun tiba-tiba menggeliat!
Untunglah pemerintah lokal segera mengungsikan warga sebelum letusan. Proses mengeluarkan diseminasi cukup panjang dan berliku. Salah diseminasi memang bisa menimbulkan dampak negatif. Selain besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk memobilisasi ribuan penduduk dan menampung mereka di tempat pengungsian, ada efek psikologis bila diseminasi meleset. Kepercayaan masyarakat bisa hilang. Itu salah satu alasan peringatan tsunami pada teks berjalan siaran TV memuat kata berpotensi.
Namun, kerugian ekonomi maupun dampak psikologis itu tak ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatan penduduk yang tinggal di daerah potensi bencana. Semoga kita masih ingat pada gempa 7,7 skala Richter yang mengguncang wilayah laut selatan Jawa, Juli 2006, yang mendatangkan tsunami dan mengakibatkan ratusan orang meninggal.
Sebenarnya saat itu Sistem Peringatan Dini Tsunami Pasifik telah mengirim kawat kepada otoritas pemantau gempa di Indonesia tentang potensi tsunami. Nyatanya diseminasi tak dikeluarkan. Menteri yang berwenang saat itu mengatakan bahwa pemerintah tak ingin menimbulkan panik tak perlu bagi warga.
Di sini terlihat betapa minim keseriusan pemerintah dalam mitigasi bencana. Saat memberi pernyataan tentang Sinabung, staf ahli presiden bidang bencana menyinggung bahwa dalam beberapa bulan terakhir timnya telah keliling Sumatera untuk sosialisasi gempa. Namun, Sinabung luput dari pengamatan.
Sangat pesat
Saat ini riset gempa dan tsunami tumbuh sangat pesat setelah gempa besar Andaman 2004 yang mengakibatkan tsunami dahsyat yang menyapu wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Gempa dan tsunami menjadi isu amat trendi. Namun, sangat disayangkan bila kita terlalu berkonsentrasi pada satu hal lalu mengabaikan bahkan melupakan hal lain yang sebenarnya lebih penting dan segera memerlukan solusi.
Ada beberapa bencana alam yang frekuensinya lebih sering terjadi dan kerap pula menimbulkan korban jiwa dan dampak ekonomi yang luput dari pengamatan: banjir dan longsor. Pemantauan potensi longsor dengan metode mikroseismik cukup sederhana dan bisa menyelamatkan banyak orang. Sayang, kelanjutan riset ini belum banyak didukung pemerintah.
Memantau kegiatan gunung api jauh lebih mudah daripada memantau gempa. Ada ratusan gunung api di Indonesia yang aktif (tipe A) maupun yang tidur (tipe B). Idealnya, semua tetap perlu dipantau sebab gunung berapi tipe B sebenarnya tetap berpotensi meletus. Tentu perlu biaya. Kalau pemerintah tak mampu pasang seismometer di semua gunung, setidaknya prioritas diberlakukan pada gunung yang tingkat okupansi penduduknya tinggi.
Jika sumber daya dan sumber dana terbatas, badan vulkanologi bisa menjalin kerja sama dengan lembaga lain sehingga salah prediksi yang berpotensi mengakibatkan kerugian, seperti kasus Sinabung, tidak lagi berulang.
Ade Anggraini Kandidat Doktor Geofisika di Universitas Potsdam, Jerman