Oleh Hikmahanto Juwana
Presiden telah menyampaikan keterangannya terkait dengan ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia pada 1 September lalu.
Berbagai reaksi bermunculan. Ada yang mendukung, banyak pula yang kecewa, bahkan marah. Namun, ada pula yang bergeming karena tahu pidato Presiden, sebagaimana yang sudah-sudah, akan datar dan tidak sensitif terhadap dinamika yang berkembang di publik.
Fakta dapat diinterpretasi paling tidak dalam dua perspektif berbeda. Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Belanda, misalnya, bisa dianggap tindakan heroik, tetapi pada saat bersamaan tindakan pemberontakan. Menerjemahkan fakta tergantung di mana seseorang berdiri. Jika mencermati isi pidato Presiden, keberpihakan tidak ada kepada publik Indonesia. Ada sejumlah hal yang mengindikasikan hal ini.
Presiden membuka pidato dengan mengungkap hal-hal yang justru berpihak kepada Malaysia. Mulai dari dua juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia, investasi Malaysia di Indonesia hingga jumlah pelajar Indonesia yang besar di Malaysia.
Padahal, jika ingin berpihak kepada publik Indonesia, Presiden dapat membuka pidato dengan menggambarkan bagaimana Malaysia bergantung kepada TKI, bagaimana Malaysia mempunyai kepentingan di Indonesia dalam bidang investasi dan betapa Malaysia diuntungkan dengan banyaknya pelajar Indonesia di Malaysia.
Selanjutnya, keberpihakan tidak berada pada bangsa Indonesia yang merasa terkoyak rasa kebangsaannya ketika Presiden pada akhir pidato justru mengedepankan sikap santun yang harus dipertahankan.
Keberadaan Indonesia di ASEAN yang dikenal sebagai juru damai seolah menjadikan alasan agar kita bisa mengedepankan upaya diplomasi. Padahal, tegas dan lugas terhadap negara sahabat tidak berati perang. Amerika Serikat tidak merasa perlu bersikap lunak terhadap Irak ataupun Iran meski ia berperan sebagai juru damai bagi Palestina dan Israel.
Pengedepanan kesantunan justru akan memberi kesan ramah dan bodoh tak ada bedanya. Terpenting, memahami konteks sehingga kita bisa santun dan bisa tegas. Bahkan, santun tak harus mengesampingkan ketegasan dan kelugasan dalam menjalankan hubungan persahabatan.
Pepesan kosong
Bagian lain pidato Presiden mengungkap kronologi peristiwa dan praktik yang ada. Sayangnya, kronologi tersebut melemahkan ketegasan dan kelugasan yang ingin didengar publik Indonesia, bahkan cenderung merupakan pepesan kosong. Presiden mengungkap dalam penyampaian kronologi yang terpenting adalah pengembalian petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Padahal, publik menghendaki tiga hal, yaitu pengembalian, penjelasan atas perlakuan terhadap petugas KKP, dan permohonan maaf dari Pemerintah Malaysia. Memang kalau target hanyalah pengembalian petugas KKP, sukses telah dituai.
Presiden juga tak menunjukkan ketegasan dalam proses investigasi oleh pihak Malaysia terhadap petugasnya dan sikap mereka yang memperlakukan petugas KKP sebagai pelaku kejahatan. Presiden hanya menyerahkan dan memercayakan investigasi kepada otoritas Malaysia. Padahal, banyak perkara menyangkut korban warga Indonesia yang menguap, kalaupun ada penghukuman, penghukuman dari pihak Malaysia sangat ringan.
Presiden seharusnya bisa meminta kepada Pemerintah Malaysia agar investigasi mengikutsertakan otoritas dari Indonesia. Ini pernah terjadi di Indonesia pada saat investigasi atas terbunuhnya warga AS di Papua. Pemerintah AS meminta personel dari Biro Investigasi Federal AS (FBI) turut dalam investigasi yang dilakukan Polri.
Isu lain yang tidak berpihak kepada publik Indonesia adalah keinginan Presiden mempercepat perundingan perbatasan dan kesepakatan dengan Malaysia.
Tidak berpihak karena jika membicarakan perbatasan bisa jadi Malaysia tak ingin terburu-buru. Malaysia tak akan mundur sejengkal pun dari klaim berdasarkan Peta 1979. Ini karena pemerintahnya merasa memiliki akuntabilitas terhadap konstituennya. Mereka akan berhati-hati jika berbicara masalah klaim kedaulatan karena mereka harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, bukan kepada pemerintah negara lain.
Kedua, jika Malaysia menyepakati batas laut dengan Indonesia yang berimplikasi pada klaimnya berdasarkan Peta 1979, tetangga Malaysia, seperti Filipina dan Thailand, akan menuntut hal yang sama.
Karena itu, Malaysia sudah dapat dipastikan tak akan mundur dari klaim Peta 1979. Permintaan Presiden mempercepat proses kesepakatan batas wilayah laut dengan Malaysia justru menguntungkan Malaysia. Malaysia akan setuju mempercepat jika Indonesia mengakui klaim sepihak mereka atas dasar Peta 1979.
Seharusnya Presiden tahu, penyelesaian perbatasan tidak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat. Prinsip yang harus dipegang, lebih baik sabar daripada kehilangan kedaulatan. Mempercepat perundingan bukan solusi bagi penyelesaian atas insiden yang terjadi pada 13 Agustus lalu.
Di samping itu, keterangan Presiden terkait pelepasan tujuh nelayan Malaysia juga mengesakan terjadinya barter. Para nelayan Malaysia seolah memang melanggar hukum di wilayah kedaulatan Indonesia. Namun, karena ada praktik atau kebiasaan untuk melepas pencuri ikan di kalangan negara-negara ASEAN, mereka dilepaskan.
Padahal, dalam dengar pendapat KKP dan Kementerian Luar Negeri di Komisi I DPR terungkap bahwa pemerintah tidak dapat secara pasti menentukan koordinat penangkapan terhadap pencuri ikan; apakah benar-benar di wilayah kedaulatan Indonesia. Keraguan ini didasarkan pada para petugas KKP yang tak berkoordinasi dengan petugas lain dan global positioning system (GPS) yang tak berfungsi.
Rasional
Pidato telah disampaikan. Reaksi publik pasti beragam. Saatnya sekarang pemerintah berhadapan dan berupaya mengendalikan sebagian publik yang marah dan kecewa. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, saya hanya bisa mengajak publik yang kecewa untuk berpikir rasional.
Kita boleh marah kepada Malaysia, tetapi sebenarnya kita lebih marah kepada para pemegang kekuasaan. Kita hanya bisa meminta pertanggungjawaban mereka melalui koridor hukum dan politik yang ada. Mari kita hindari untuk bertindak anarki. Tegarlah Indonesiaku!
Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI
0 komentar:
Posting Komentar