Oleh Arif Budimanta
Beberapa waktu lalu, seorang pemilih penulis berkata, ”Bagaimana mau merdeka? Makan saja susah. Senin-kemis. Belum biaya pendidikan anak sekolah. Dana sumbangan pendidikan belum lunas, sudah disuruh bayar dan beli buku pelajaran, 20 buku dikali Rp 8.000, ampun hidup teh.”
Ini fakta kehidupan. Sebuah pernyataan tak terbantahkan yang penulis hadapi dalam menjalankan tugas sebagai anggota DPR yang dipilih langsung pada Pemilu 2009. Salah satu ritus yang dihadapi wakil rakyat dari waktu ke waktu dalam menjalankan fungsinya adalah membahas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU-APBN) dengan pemerintah dan mengawasi pelaksanaannya bila RUU telah disahkan menjadi UU sebagai cermin bahwa kedaulatan rakyat telah dijalankan.
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden secara resmi menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2011 untuk kemudian dibahas bersama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD. Pasal 23 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk itu, APBN harus mampu membuat rakyat bekerja, hidup sejahtera, dan meningkat derajat kemanusiaannya dari waktu ke waktu. APBN juga membiayai pemerintah, organ pendukungnya, dan lembaga negara—termasuk DPR—dengan harapan seluruhnya bekerja untuk mengejar keadilan sosial yang memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, menjalankan amanat dan perintah UUD tidaklah mudah. Jumlah penganggur maupun orang miskin masih sangat banyak dan masih jadi polemik hingga kini.
PDB bertumbuh
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, sebanyak 8,6 juta angkatan kerja masih menganggur dan 31 juta (13,33 persen) penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini masih berpotensi meningkat dengan bertambahnya angkatan kerja baru yang mencapai sekitar 2,2 juta per tahun dan inflasi yang terus mengikis daya beli masyarakat.
Pada sisi lain sebenarnya kita menunjukkan kemajuan dengan bertumbuhnya produk domestik bruto (PDB), yakni nilai semua barang dan jasa yang diproduksi pada periode tertentu. PDB dapat dihitung secara nasional. Di tingkat daerah dinamakan produk domestik regional bruto (PDRB). Pertumbuhan PDB inilah yang selalu dijadikan patokan kemajuan kita dari waktu ke waktu.
Bagi rakyat, pertumbuhan PDB, proyeksi mengenai inflasi, atau nilai tukar adalah suatu ilusi informasi mengenai angka yang bikin bingung dan tidak dekat dengan kenyataan kehidupan. Inilah yang disebut oleh George A Akerlof dan Robert J Shiller (2010) sebagai money illusion.
Akhir-akhir ini kita juga sering melihat dan membaca kesulitan hidup masyarakat di dalam ekonomi, anak-anak putus sekolah, sampai-sampai ada yang bunuh diri karena putus asa akibat penderitaan. Itu terjadi di berbagai daerah dan belahan Nusantara yang kita cintai ini.
Data BPS tahun 2009 mengungkapkan bahwa kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,62 persen dengan PDRB tahun sebelumnya mencapai Rp 677 triliun. Dapat dibayangkan penderitaan saudara-saudara kita di Papua, Papua Barat, dan Maluku yang pada tahun sama tingkat kemiskinannya mencapai masing-masing 37, 08 persen, 35,12 persen, dan 29,66 persen. Atau, Provinsi Gorontalo yang PDRB-nya hanya Rp 5,8 triliun, sementara tingkat kemiskinannya mencapai hampir 25 persen.
Tafsirkan sendiri
Dengan sekian banyak masalah sosial dan ekonomi yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia ini, silakan ditafsirkan sendiri siapakah yang sebetulnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagaimana yang sering kali dibangga-banggakan pemerintah kita.
Untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan mengejar keadilan sosial, hal utama yang harus segera dilakukan pemerintah ialah menyediakan lapangan pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja yang masih menganggur, yang secara eksplisit diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Lantas, siapa yang akan memelihara fakir miskin dan anak telantar? Siapa yang akan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi rakyat? Siapa pula yang bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak? Hampir seluruh ayat dalam Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa negaralah yang harus melakukan itu semua.
Apakah RAPBN 2011 mengiyakannya? Kalau kita lihat total rencana belanja (pengeluaran) negara pada RAPBN 2011 yang berjumlah Rp 1.202 triliun, maka anggaran belanja pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak rakyat jauh sekali timpang apabila dibandingkan dengan kewajiban pemerintah membayar bunga utang yang telah mencapai Rp 1.16,4 triliun. Ini belum termasuk cicilan pokok utang.
Atas dasar pertimbangan itu, marilah kita menata ulang RAPBN kita. APBN merupakan jelmaan proses kedaulatan rakyat. APBN harus disusun oleh semangat pemenuhan hak-hak rakyat dalam meningkatkan derajat kemanusiaannya.
APBN juga harus mampu memberikan gambaran dan keyakinan kepada kita ukuran-ukuran kemajuan setiap jengkal pengeluaran negara terhadap kemajuan kesejahteraan umum, seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Hanya dengan cara inilah kita bisa berpacu mengejar kemakmuran dan menegakkan kedaulatan rakyat di tengah dinamika persaingan dan globalisasi ekonomi.
Arif Budimanta Anggota DPR Komisi Keuangan dan Perbankan dari F-PDI Perjuangan, Anggota Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR
0 komentar:
Posting Komentar